Racauan

Ariel dan Jim Morrison dalam Mitologi

Tulisan ini diterbitkan pertama kali di Jakartabeat.net dengan judul “Tentang Mitologi Ariel Peterpan dan Jim Morrison.” Diedit ulang setelah diupload tanpa atribusi ke saya sebagai penulis asli di sebuah blogspot yang saya jadi nggak mau sebut. Terima kasih karena membajak tulisan ini, lain kali boleh lah sebut nama saya. Saya malas untuk mengedit tulisan ini lagi menjadi seperti bentuk yang semula. Jadi saya akan biarkan banyak kesalahan kontekstual di sini, di mana si teng unggah mengganti Ariel Peterpan menjadi Ariel Noah. Sesungguhnya ini kesalahan konteks yang cukup fatal karena tulisan ini dibuat ketika Ariel masih ada di band Peterpan dan sedang terjebak kasus pornografi. Semoga kalian yang membaca tulisan ini, bisa bijak menyikapi bahwa tulisan ini tidak lagi kontekstual dan hanya berlaku sebagai data yang ingin saya simpan sebuah jejak penulisan saya titik karena ini adalah tulisan yang pertama kali saya terbitkan di Jakartabeat.net. atas permintaan kawan saya, Pry, maka saya taruh tulisan ini di blog ini. Terima kasih sudah sedih untuk membaca ulang

They don’t want me, they want my death”
—Val Kilmer as Jim Morrison in Oliver Stone’s The Doors

Yesus mengorbankan dirinya: daging dan darahnya dipersembahkan untuk murid-muridnya sebagai representasi dari umatnya dalam perjamuan terakhir. Inilah sebuah metafor purba tentang selebriti, tentang idolisasi (idolatry) dan tentang bagaimana manusia yang memakan daging dan darah-Nya adalah konsumen tanda. Yesus adalah selebriti. Begitupun para pahlawan terkenal, para nabi dan para figur publik. Dan selebriti adalah: Mitos.

Roland Barthes (1982), pakar semiotik dan strukturalisme, mengatakan bahwa mitos adalah bagian dari sistem tanda yang sudah tidak bisa (atau tidak diperdulikan) lagi asal-muasalnya. Dengan kata lain, ia tidak dianggap lagi sebagai manusia yang mampu berdialog dan mempertahankan posisinya, tetapi hanya dianggap sebagai teks. Teks yang permaknaannya tergantung publik.

Mitos terbentuk dari idolisasi. Herkules, Achiles, Perseus, dan dewa-dewa Yunani Kuno dibentuk dengan cara yang sama. Imaji tentang Tuhan-pun dibentuk dengan cara yang sama. Ada dakwah, ada pesebaran propaganda, informasi, berita, cerita-cerita, narasi, dan pada akhirnya dongeng atau, dalam bentuk paling ekstrim, agama yang terinstitusi. Mitos membentuk identitas dan perilaku masyarakat, kata Levi-Strauss (1955), dan inilah yang selalu terjadi dalam peradaban manusia. Mitologi, karenanya, dalam masa sekarang kita bisa sebut sebagai media.

Roland Barthes, ahli semiotika asal Prancis

Idolisasi adalah bagian dari sistem bermasyarakat yang universal. Ia ada di semua masyarakat dari suku bangsa manapun dari waktu manapun. Sang Idola biasanya tidak melawan ketika dimaknai—karena dia hanya teks. Idola ini (atau orang-orang di belakangnya—dan ini yang penting) berusaha membuat kesan dan tanda untuk dikonsumsi agar ia bisa tetap hidup sebagai teks di dalam masyarakat. Para penganutnya setia dalam memaknai sang idola. Mereka menolak persepsi baik pada idola yang jahat (misalnya setan) dan menolak persepsi buruk pada idola yang baik (misalnya Tuhan atau Nabi). Begitu diterbitkan, tanda bisa diinterpretasi secara bebas. Para Idola yang memaksakan kehendaknya di masyarakat akan menjadi tiran dan pada akhirnya akan dianggap negatif. Diktator macam pak Harto, misalnya, harus rela dianggap jahat ketika kekuasaannya mempertahankan imej hilang.

Narasi-narasi dalam mitologi membentuk identitas dan kesadaran manusia. Marx dalam Fuerbachian Criticism of Hegel (1967) membahas bagaimana tuhan adalah proyeksi/karya manusia yang teralienasi dari manusia sendiri. Tuhan adalah buatan manusia yang disembah-sembah dan menimbulkan fetisisme seperti halnya seorang tukang sepatu yang tak mampu membeli sepatu dan menganggap sepatu yang dibuatnya sebagai bukan karyanya. Adorno (2004) mengembangkan teori Marx untuk memberikan definisi tentang seni rendah-seni tinggi di mana seni rendah adalah seni komoditas yang dicopy dan diperjualbelikan untuk mengatur kelas pekerja, sementara seni tinggi adalah seni otentik dengan kerumitan dan kekhususan yang sulit untuk ditiru. Keduanya—agama dan seni rendah—dianggap sebagai cara untuk ‘membodohi’ kelas pekerja dengan kesadaran palsu agar tidak melawan. Jika ‘media’ adalah kata modern untuk ‘mitos’, maka Noam Chomsky (1977) berkata hal yang sama:

The real mass media are basically trying to divert people. Let them do something else, but don’t bother us (us being the people who run the show). Let them get interested in professional sports, for example. Let everybody be crazed about professional sports or sex scandals or the personalities and their problems or something like that. Anything, as long as it isn’t serious. Of course, the serious stuff is for the big guys. “We” take care of that.

Media massa yang sebenarnya berusaha untuk mengalihkan orang-orang. Membiarkan mereka melakukan hal-hal lain, asal jangan memperdulikan kami (kami yaitu orang yang menjalankan acara). Biarkan mereka tertarik dengan olahraga profesional, contohnya. Biarkan semua orang tergila-gila dengan olahraga profesional atau skandal seks atau kepribadian dan masalah-masalah mereka atau apapun itu. Apapun, selama itu tidak serius. Tentu saja, yang serius-serius untuk orang-orang besar. “Kami” mengurus itu.

Dari sini kita bisa melihat bahwa beberapa kritikus budaya yang memandang nyinyir mitologi atau folklore—dua wacana yang sangat diakrabi ilmu antropologi klasik—sebagai akar pembagian kerja dan alienasi, kontra-revolusioner, dan penipuan publik. Idola-idola menjadi narasi yang menanamkan kepercayaan tentang hierarki dan posisi oleh karena itu menjaga sistem kelas seperti semestinya; seperti sejarah yang diklaim dan dibentuk penguasa untuk menguatkan kekuasaannya.

Namun kadang-kadang, ada idola-idola yang menjadi anomali. Idola-idola yang dengan merusak bentuknya sebagai tanda, sebagai mitos, mampu merusak sistem; mengekspos kemunafikan dan membongkar penyakit sosial di dalam sistem yang banal. Itu adalah saat sang idola mengeluarkan sisi kemanusiaannya, sisi individualitas dan kebebasan absolutnya sebagai seorang manusia. Di situ sistem akan goyah dan dipaksa mencari titik keseimbangan baru. Sebagai contoh, tulisan ini akan mencoba menghadirkan dua idola/mitos : Ariel ‘Noah’ dan Jim Morrison.

Sebelum lebih jauh membahas hal ini, saya perlu tekankan bahwa Ariel ‘Noah’ sebagai seorang individu tidak bisa dibandingkan dengan Jim Morrison dari segi pemikiran filosofis dan intelektualitas karena mereka berasal dari kebudayaan dan masa yang benar-benar berbeda. Mereka saya pilih untuk dibahas karena ada satu hal yang menurut saya sama: mereka berdua pernah menjadi ‘the ultimate Barbie doll’ dari dunia entertainment, dunia banalitas budaya pop, pada konteks waktu dan tempatnya sendiri-sendiri. Perbandingan kedua orang ini sebagai wacana saya rasa adalah contoh yang baik untuk melihat fenomena budaya populer dan sebuah usaha melihat dua kebudayaan secara horizontal.

The Ultimate Barbie Doll adalah sebuah fenomena penting di dalam perkembangan kebudayaan modern Amerika dimana seorang idola dipandang sebagai objek seksual. Yang menarik dari Ariel dan Morrison adalah sebuah keterbalikan jender: maskulinitas yang biasaya subjek seksual, diobjektifikasi sebagai sesuatu yang indah dan menggairahkan. Jim Morrison muda dengan celana kulit ketatnya dan sifat kekanak-kanakkannya atau Ariel ‘Noah’ yang sering telanjang dada di panggung untuk menunjukan dadanya yang bidang dan ototnya yang mengkilat karena keringat, juga dengan celana ketat. Tidak semua idola bisa menjadi begini. Hal ini tergantung pada konteks dan imej yang dibangun. Contohnya Iwan Fals Muda yang telanjang dada, brewokan, dan menunjuk ke aparat sambil berteriak ‘Bongkar!’ lebih menjadi provokator daripada objek seks karena saat itu yang dilawan adalah tiran politik.

Media membuat Ariel dan Morrison menjadi bintang. Keduanya adalah penulis lirik-lirik lagu yang kaya metafora dan menjadi hits. Dan, yang perlu ditekankan, keduanya adalah pemain cinta. Ketika Ariel ‘dikatakan konon’ telah memproduksi 32 video seks pribadi dengan perempuan-perempuan selebriti yang berbeda-beda, Jim Morrison telah berhubungan seks dengan lebih dari 40 orang perempuan (Stone, 2000). Secara lebih ekstrim, buku berjudul Sex Revolt (1996) bahkan pernah mengutip sebuah gossip di media tentang Jim yang ‘diperkosa’ oleh beberapa perempuan, salah satunya ratu musik soul kenamaan Janis Joplin.

Indonesia sekarang (hampir) mirip sekali dengan Amerika Serikat pada akhir 1960-an dan awal 1970-an secara sosial-ekonomi. Konsumerisme tinggi, pemerintah penuh dengan korupsi, politik bisa dibilang stabil (karena tidak ada kudeta ekstrim meski sistemnya busuk—mungkin banyak orang Indonesia nyaman dengan kebusukan ini) dan kaum konservatif-fundamentalis-ekstrimis menjamur. Kehadiran Ariel ‘Noah’ di tengah-tengah industri hiburan adalah sebuah fenomena langka: dia tampan, menebarkan keseksiannya, bisa bernyanyi dan mencipta lagu, dan seorang penghibur yang komunikatif. Banyak fansnya tidak terlalu memperhatikan arti lirik-lirik yang ia ciptakan karena ia telah menjadi mitos. Persis Jim Morrison pada masa kejayaannya yang digilai penggemar cuma karena fisik dan imej-nya.

Ariel dan Jim muda tidak mengubah apa-apa meski mereka telah menjadi mitos. Di Indonesia, ‘Noah’ adalah salah satu band yang memprakarsai kejatuhan musik mainstream Indonesia. Band-band baru pop melayu meniru-niru teknik vocal Ariel, chord lagu, gaya dan beberapa kata-kata di dalam lirik seperti ‘bintang’ atau ‘menunggu’, tapi tidak bisa mencipta kedalaman metafora dan refleksi perenungan seperti “Apa yang kuinginkan tak pernah jadi kehidupan, apa yang kulakukan menjauh dari kenyataan….melihat di balik awan.” Jim Morrison muda pun tidak bisa memperbaiki sistem Amerika Serikat yang ia kritik pada saat itu ketika masyarakatnya menghabiskan pengeluaran untuk minuman alkohol dan narkotik jauh lebih besar daripada untuk pendidikan. Padahal lirik-lirik lagunya sudah memperingatkan tentang kematian kemanusiaan, dan neo-kolonialisme (lihat lirik The End) atau kekhawatiran yang terbentuk dari kebingungan masyarakat kapitalis dan budaya konsumerisme (lihat lirik Soft Parade). Media dan fans (atau umat) tidak memperdulikan kemanusiaan dan individualitas idolanya, tapi terus menerus mengelukan imej mereka, mitos mereka. Lalu yang terjadi adalah sebuah perlawanan, sebuah kenyataan pahit bahwa mereka berdua adalah manusia yang memiliki sisi abnormalitas tinggi.

Ariel kehilangan imejnya sebagai bintang berwajah melankolis, pencipta lagu hits yang nampak seperti pria baik-baik, ketika video seksnya bebas diunduh secara mudah. Karirnya hancur karena skandal ini dan ia dinyatakan bersalah hingga harus masuk bui. Di sisi lain, Jim Morrison sempat lelah dengan ketenarannya. “Girls want my dick, not my words,” ucap Jim dalam rekaman An American Prayer. Ketika skandalnya terbuka: beberapa perempuannya hamil dan minta tanggung jawab, ia juga masuk ke penjara dan diadili akibat perbuatan tidak senonoh (kencing di panggung Miami dan membuat kerusuhan); kebebasannya sebagai manusia terkekang sama sekali dan awal tahun 1970 ia harus masuk rehab karena ketergantungannya pada narkoba dan depresi yang akut.

Sampai tulisan ini ditulis, Ariel masih dipenjara dan dari dalam bui mengeluarkan satu single. Di waktu dan tempat yang lain, menjelang akhir 1970, Jim Morrison kembali dari pengasingannya. Umurnya 26 tahun namun fisiknya seperti pria 65 tahun. Ia masih minum-minum namun ada dalam tahap yang menurut saya paling sempurna di hidupnya: seorang tua yang bahagia bagai sang Buddha yang diangkat ke Nirwana. Di sini pamornya sebagai Ultimate Barbie Doll sudah jatuh. Ia tidak lagi seksi, tapi gemuk. Tidak lagi tampan tapi berewokan. Para penggemarnya berkurang, tapi yang tersisa benar-benar mendengarkan liriknya, puisinya. Jim telah membuat imej yang ia inginkan sendiri, bukan aturan korporat atau sistem.

Yang pasti, Ariel dan Jim telah membuat keseimbangan sistem dan struktur masyarakat menjadi goyah. Sebagai idola, mereka telah membuat skandal. Efeknya adalah sebuah masyarakat yang sudah sepatutnya merenungi etika dan moral yang telah pudar dan hancur dimakan keserakahan akan konsumsi akan idola/mitos. Sebuah kenyataan bahwa seks dan konsumerisme sudah begitu bebasnya hingga nilai-nilai hancur, nihilisme berkuasa, tujuan hilang, institusi kemapanan goyah dan imej hierarki kapital runtuh. Sudah seharusnya masyarakat mencari keseimbangan baru.

Jim dan kawan-kawan flower generation-nya telah membuka mata masyarakat Amerika tentang kebobrokan sistemnya. Masa Beat-generation adalah salah satu turning point tertajam Amerika. Sistem pendidikan mulai diperbaiki, segala hal yang tabu seperti seks dan kritik sejarah, mulai dibuka aksesnya ke ranah pendidikan wajib. Kebebasan diberikan dengan pemantauan dan pengembangan. Pemerintah dan pengkaji budaya bisa membaca apa yang bisa dilakukan masyarakatnya melalui skandal selebriti-selebriti ini: sadomaskisme, homoseksual dan biseksual mulai diakui keberadaannya, narkoba semakin dipersempit geraknya, dan media mulai menyadari bahwa mereka sudah benar-benar membunuh mitos-mitos yang mereka besarkan sendiri. Ini juga bisa diinterpretasikan kenapa perlahan-lahan para raja entertainment mati tanpa ada regenerasi—Michael Jackson adalah yang terakhir. Era para Raja dan idola sudah berakhir di Amerika.

Hal yang serupa tidak terjadi di Indonesia. Ruang privat selebriti yang secara ekstrim dibuka skandal Ariel, alih-alih membuka topeng kemunafikan, malahan memberikan semacam reality-by-proxy atau ‘kenyataan-yang-dekat’ dengan para fansnya. Kedekatan semacam ini bertransformasi secara simbolik dalam bentuk infotainment yang menguasai 70% acara televisi nasional dari pagi sampai malam dan membahas secara berulang-ulang narasi kehidupan privat para selebriti—bukan produk mereka. Dominasi infotainment di televisi nasional menjadi bahasan penting karena dari situ kita bisa melihat sebuah kebanalan tanpa pilihan yang membuat mitos dianggap sebuah kenyataan yang dekat. Pembicaraan tentang figur publik dari internet sampai dapur pribadi tak jauh beda seperti pembicaraan tentang skandal tetangga, kawan atau saudara dekat yang menjadi bahasan sehari-hari. Narasi-narasi ini begitu populer saat ini dengan kebanalannya: seorang musisi menikah secara besar-besaran dan mantan istrinya datang dengan suami barunya, seorang pengacara membelikan anak perempuannya mobil seharga miliaran padahal anaknya cuma minta martabak, seorang kekasih selebriti memalsukan identitasnya, dan seterusnya.

Gosip difabrikasi dan kenyataan diverifikasi dalam sebuah siklus pabrik semiotis artifisial citraan-citraan. Bukannya kemunafikan berusaha diredam, tapi malah diumbar dengan usaha untuk membuat citraan yang baik dengan cara yang sangat buruk dan menghasilkan performance yang absurd. Seperti narasi tentang seorang penyanyi dangdut yang menikah dengan ‘janda kaya’ yang dirangkai dengan musik horror, narasi mencekam, dan gaya investigasi kriminal pembunuhan berantai. Sangat postmodern, sangat bebas dan semaunya, sangat banal, dan sangat tidak masuk akal. Dalam mitologi seperti inilah kebudayaan dominan Indonesia kontemporer sedang dibangun.

Di negara-negara kapitalis lain, media memiliki banyak cabang dan fungsi. Orang bisa memilih berbagai macam acara yang tidak melulu infotainment. Tapi tidak di negeri ini. Jika TV dikuasai infotainment, kemana larinya wacana politik? Kemana perginya kasus-kasus lama yang belum terkuak? Siapa yang masih peduli akan Widji Thukul, mahasiswa-mahasiswa yang diculik dan dibunuh sebelum 1998, Munir, atau Prita yang kasusnya masih mengambang? Nampaknya kalau tak sedikit, tak ada. Toh, Trending topic twitter tertinggi di Indonesia tahun 2011 hingga sekarang tak jauh-jauh dari wacana-wacana selebriti dari Briptu Norman hingga Lady Gaga. Apakah pendapat Marx, Adorno dan Chomsky masih relevan di negeri ini, bahwa hal remeh temeh dan tidak penting diciptakan untuk kelas pekerja? Apakah Ariel benar-benar jauh dari Jim Morrison sehingga efek filosofis Morrison tidak mungkin terjadi di negeri ini? Benarkah dominasi acara tak penting di TV nasional adalah manipulasi kelas penguasa? Saya tidak ingin menjawab semua itu. Saya memilih untuk menutup tulisan ini dengan sebuah cerita fiksi dan membiarkan anda menyimpulkan sendiri:

Jeany adalah seorang anak SMU dari keluarga menengah kelas atas Indonesia. Ia sekolah di sekolah internasional dan sering jalan-jalan ke luar negeri dengan orang-tuanya Ia adalah anak salah satu pengusaha paling kaya di Indonesia yang juga seorang pejabat pemerintah dan pembesar partai. Suatu hari ia pulang ke rumah, menyalakan TV kabelnya dan memilih saluran. Tentunya tayangan TV nasional (dua di antaranya milik ayahnya) yang berisi infotainment ia lewatkan. Ia berhenti menekan remote dan mulai menonton sebuah program international E! Entertainment yang membahas pita pink yang dipakai Miley Cyrus dalam sebuah acara. Pita pink dibahas hampir satu jam, dan ia tidak melewatkannya semenit-pun. Untuk Jeany, pita Pink Miley Cyrus jauh lebih penting daripada nonton stasiun TV ayahnya yang membahas Saipul Jamil yang ingin bangun mesjid. Jeany adalah masa depan kaum menengah atas yang akan mengurus hal-hal ‘penting’ di negeri kita. Ia hanya menonton ‘yang penting-penting saja’ sebelum nanti malam dugem bersama kawan-kawannya.

Memoir, Racauan

Pohon Ikarus

Malam ini aku akan bicara tentang sebuah kenyataan bahwa aku sudah tidak lagi banyak pertanyaan tentang kehidupan ini. Umurku hampir 40 tahun dan banyak pepatah dari berbagai macam budaya di dunia ini yang bilang bahwa kehidupan dimulai ketika seorang manusia berumur 40 tahun. Katanya umur 40 itu artinya kita sudah mengalami banyak masalah-masalah baik kehidupan percintaan kematian dan segala hal yang membuat kita menjadi utuh sebagai seorang manusia. tiga tahun lagi umurku 40 dan mungkin ada benarnya ketika aku merasakan tubuhku dan emosiku kini jauh lebih stabil daripada sekitar 3-4 tahun yang lalu. Aku tidak lagi banyak pertanyaan, dan aku juga tidak lagi banyak keinginan-keinginan macam-macam untuk menjelajahi kehidupan. Aku cuma ingin mengerjakan sesuatu yang aku rasa aku jago. Aku ingin bekerja dalam menjalankan rencanaku yang sudah kurasa mapan untuk terus kujalankan sampai aku mati nanti.

Pramoedya Ananta Toer bilang bahwa semakin tua seorang manusia akan semakin keras seperti pohon. Mungkin itu yang terjadi padaku, aku semakin keras seperti pohon. Tapi aku merasa bahwa aku cukup fleksibel dan penuh toleransi atas hal-hal yang terjadi hari ini kepada banyak orang, teman-temanku, kekasihku, keluargaku sedang mengalami banyak masalah-masalah yang aku rasa aku pernah mengalami juga. Jadi aku hidup seperti orang bijak yang seakan-akan sudah mengerti banyak hal padahal sebenarnya belum. Walau aku sekarang dalam kondisi di mana aku tidak tahu apa yang belum aku mengerti tentang kehidupan ini.

Beberapa bulan terakhir ini aku merasa bahwa banyak sekali orang yang datang padaku untuk minta nasihat atau minta wejangan seakan-akan aku adalah seorang Pertapa yang sudah lama sekali tinggal di gunung dan punya banyak kebijaksanaan. Padahal aku cuma seorang paruh baya yang punya banyak pengalaman-pengalaman pahit yang sebagian kemungkinan adalah khayalan atau bacaan yang pernah aku baca dan termanifestasi menjadi semacam pengalaman. Walaupun sekarang aku jauh lebih jujur untuk mengaku bahwa aku tidak tahu. Dulu kalau ada orang yang bertanya padaku tentang pendapatku soal masalah kehidupannya, aku akan berusaha untuk menjawabnya dengan sok tahu atau aku akan mencari tahu apa yang bisa kubantu untuk menyelesaikan masalah orang itu. Tapi hari-hari ini Aku merasa apa adanya saja. Kalau aku tidak tahu ya aku bilang tidak tahu dan kalau masalah dia menarik, aku akan cari tahu. Tapi kebanyakan aku tidak ingin cari tahu karena aku juga sudah banyak masalah. Kebanyakan masalahku adalah pekerjaan, percintaan, atau keluarga yang aku sendiri belum menemukan bagaimana cara menyelesaikannya.

Walau kalau boleh sombong, aku bisa bilang bahwa aku tahu bagaimana cara menyelesaikannya Tapi semua itu harus dikerjakan pelan-pelan dan butuh waktu. Aku punya banyak rencana untuk menyelesaikan semua masalah itu, tapi ya, energiku terbatas. Jadi seringkali banyak rencana-rencana yang sudah aku buat dan kujalankan, menjadi mulur dan lama tapi aku sadar bahwa yang membuat aku bisa bertahan adalah sebuah pengertian bahwa hidup ini tidak harus sempurna. Aku hanya perlu untuk tahu kapan waktunya berhenti dan istirahat. Dan aku tidak akan mau lagi meneruskan sebuah pekerjaan atau rencana yang tidak realistis untuk dilakukan ketika tubuhku meminta aku untuk berhenti, atau otakku, atau jiwaku merasa bahwa ini terlalu berat. Walau begitu aku cukup puas dengan hasil kerjaku beberapa bulan terakhir ini. Bahwasanya terlepas dari kemanjaan tubuh dan psikologiku, aku masih cukup produktif.

Walaupun produktivitasku tentunya jauh daripada yang pernah kulakukan ketika aku masih bekerja untuk kantor berita Amerika. Dulu aku bisa mengerjakan 3 sampai 4 video per hari. Hari ini mungkin aku cuma bisa mengerjakan satu atau dua pekerjaan sehari. Makanya penghasilanku juga tidak besar-besar amat. Tapi aku cukup puas sekarang dengan semua kekurangan ini. Ada rasa was-was tentunya karena setiap bulan seperti selalu kurang uang. Kebanggaan karena walaupun kurang tapi aku punya perusahaan, yayasan, murid-murid, dan semua infrastruktur untuk membuat sebuah produk multimedia, video, dan audio.

Jadi sebenarnya kalau dipikir-pikir aku cukup kaya secara sosial, politik, dan finansial. Kaya di sini tentunya beda dengan kaya seperti yang dirasakan oleh banyak kawan-kawan atau saudara-saudaraku yang punya pekerjaan tetap dengan gaji besar. Penghasilanku tidak bisa besar tapi aku berhasil menghidupi orang lain yang lewat dalam kehidupanku. Apakah itu sebuah kebanggaan? Tentunya tidak. Karena orang-orang yang kuhidupi rata-rata seperti aku miskinnya dan bingungnya. Dalam kehidupan paling tidak aku berhasil menyediakan tempat dan waktu untuk mereka sampai mereka bisa berdiri di atas kakinya sendiri, dan bisa hidup dengan lebih layak setelah lepas dari tempatku titik itu yang sangat kuharapkan.

Sementara itu aku? Aku rasa tempatku di sini, di titik antara kaya dan miskin, waras dan gila, mapan dan papa, hidup dan mati. Mungkin banyak orang yang akan melihat bahwa aku seperti merawat kesia-siaan. Banyak juga orang yang akan mencemooh karena ketika teman-teman seusiaku sudah menjadi direktur atau punya posisi di sebuah perusahaan, aku masih menjadi pengusaha kecil menengah yang punya usaha seadanya dan tidak berpenghasilan besar. Ada orang-orang yang kurasa akan menyepelekanku karena uangku habis untuk bikin usaha ini tanpa berpikir panjang tentang keluargaku.

Dalam kondisi ini aku mapan dan tidak mapan, aku menjadi sebuah paradoks yang cukup meragukan untuk banyak orang. Apalagi untuk orang-orang yang berharap aku akan menjadi besar atau sukses lagi seperti dulu. Ada hal yang sebenarnya aku juga sesalkan, ketika aku tidak lagi mampu untuk mengejar apa yang orang inginkan dari aku. Aku sudah tidak ada energi atau keinginan, bahkan aku bisa benci pada orang yang menuntutku menjadi sesuatu yang lain. Aku pernah punya trauma karena aku berhasil mencapai apa yang orang inginkan dari aku, yaitu menjadi laki-laki yang berdigdaya, cukup kaya, mapan–dan di situ aku merasa pelan-pelan tidak punya diri dan akhirnya aku menjadi gila. Aku tidak mau lagi hidup untuk memberikan kepuasan kepada orang lain, kepuasan yang dia inginkan, tapi tidak dia butuhkan. Aku cuma akan membantu mereka yang butuh, bukan mereka yang ingin. Dan di situlah aku akan menemukan diriku sendiri sebagai orang yang punya fungsi dan apa adanya saja.

Ini semua adalah sebuah kesimpulan yang aku ambil setelah aku berhenti memakai obat-obatan untuk merawat penyakit mental yang kuderita aku merasa terapi nafas, CBT, dan segala macam terapi tulis sudah membantu aku untuk menjadi seorang laki-laki, kakak, anak, kekasih, mantan suami yang fungsional. Fungsional dalam arti aku tidak merepotkan orang lain. Walaupun aku tidak bisa lebih banyak berkontribusi seperti dulu ketika aku masih punya cukup uang dan pekerjaan tetap, tapi hari ini aku merasa jauh lebih baik. Aku merasa lebih stabil secara mental dan spiritual, aku merasa independen secara finansial walau aku tidak bisa menanggung orang lain selain diriku sendiri.

Walau jika kita memakai pikiran konservatif, apa yang kulakukan seperti melihat semut di pulau lain tapi gajah di pelupuk mata tidak kelihatan. Bawa aku mampu untuk menyekolahkan orang di Jawa tengah tapi aku tidak mampu untuk membuat Mama dan adikku hidup lebih layak. Tapi dari dulu aku merasa lebih mudah menghidupi orang lain daripada menghidupi diriku sendiri. Aku lebih mudah menjual barang orang daripada barangku sendiri. Aku lebih mudah untuk membantu orang lain daripada membantu diriku sendiri. Aku heran kenapa bisa begitu.

Mungkin ini takdir, atau bakat atau apapun itulah. Tapi ya, kurasa aku harus terima saja apa yang sudah terjadi dan yang akan terjadi. Bahwasanya semua ini tidak dibangun begitu saja, karena aku juga yang memilih setiap jengkal hidupku untuk menjadi aku yang sekarang ini ada. Segala kegagalan, segala sakit hati, segala kebahagiaan dan kebencian adalah pengalaman-pengalaman yang membuat aku menjadi aku. Maka baiknya aku sudahi saja tulisan ini karena sepertinya aku akan berkembang selayaknya pohon yang keras yang tumbuh menuju matahari dan tidak bisa lagi untuk berkelok-kelok bercabang-cabang. Aku harap aku bisa terbang seperti Ikarus menuju matahari sampai akhirnya aku terbakar lalu mati.

Cinta, Eksistensialisme, English, Puisi

Skip a Beat

We are hurting each other
Just by existing and living
You see the stars and follow my footsteps
Yet you have to deny me because I was right,
and you hate that.

And my heart skipped a beat
Every time I see you, I’m still looking for you too
once in a while.
On the stars.
In every crypt.

You will always deny me.
You will always be angry.
And hate me. And love me.
In whatever way.
In poems, films, works, go on. Go on.

My heart skipped a beat. One beat. Two beat. Three beat. And in every broken heart and lovers lost… It skipped a beat.

And there’s a little bit of me
In everything you do,
Those are the heartbeat that you took.

By beat. By beat.
And the last beat, will be
for billions of years that
created my first heartbeat.

P.S. It’s so great being on our own in our own little world, ain’t it?

Portfolio, Prosa, Publication

Dukung Kumpulan Cerpen Pertama Saya Jadi EPUB: Orang-Orang Dalam Bingkai

Design oleh Widi Susanto

Saya tidak berani membuat buku, karena saya tidak yakin orang akan bisa mengapresiasi atau memahami karya-karya saya. Namun, melihat umur dan merayakan lebih dari satu dekade menulis, akhirnya saya memberanikan diri membuat buku kumpulan cerpen. Tetap saja, keraguan membuat saya ingin mengetes dulu, dengan kawan-kawan dekat, apakah kumpulan cerpen saya pantas diterbitkan. Maka bersama kawan saya, Selma Nadya, saya mencoba membuat kumpulan cerpen dalam bentuk PDF ini, dan melihat sejauh mana orang akan mendukung saya. Karena ini adalah uji pasar, maka kumpulan cerpen ini belum 100 halaman. Saya membutuhkan uang untuk menyewa editor profesional dan menerbitkan cerpen ini dalam bentuk lebih sempurnanya: sebuah ebook untuk dibaca di HP dan kindle.

Jika kamu mentraktir saya untuk mendapatkan PDF ini, kamu otomatis akan mendapatkan versi kindlenya langsung dari email saya. dengan membeli PDF ini, artinya kamu mendukung buku ini untuk terbit dalam versi kindle. Dan setelah kindle terbit nanti, saya akan membuat cetaknya by request. Karena saya tidak ingin menambah sampah kertas di dunia kita yang sudah krisis lingkungan ini.

Terima kasih sudah membeli dan membaca karya-karya saya. Berikut linknya: