Film, Kurasi/Kritik

Eternals dan Matinya Mitologi Tuhan

Kebanyakan orang beragama pasti spanneng, kalau Tuhan dibilang mitos, apalagi dongeng. Rocky Gerung pernah kena batunya waktu dia bilang agama adalah fiksi. Tapi yah, kita mau bilang apa sama kebebalan spesies kita? Yang bikin kita jadi manusia toh ternyata bukan akal, bukan logika, tapi dongeng apa yang mau kita percaya.

Kita sudah menemukan hal-hal paling mutakhir: tulisan, metode pengumpulan data, perekam data. Dan data ini terus kita olah menjadi peradaban kita. Tapi data tidak ada gunanya tanpa cerita. Cerita adalah manual kita, semacam petunjuk arah bagaimana kita mau memaknai sebuah data. Data tentang hidup kita, misalnya, cuma bisa relevan kalau kita bagun dalam sebuah cerita.

Kisah-kisah superhero, tidak jauh beda dengan kisah-kisah di kitab suci. Bedanya cuma institusi yang menghasilkannya. Institusi produksi film atau sastra akan dengan gampang mengakui bahwa mereka adalah pabrik imajinasi. Sementara institusi agama akan selalu bilang mereka memegang yang lebih nyata dari yang nyata (baca: akhirat). Tapi orang songong, atheist yang solat, seperti saya akan bilang bahwa memang Tuhan, Dewa-dewa, Setan, Akhirat, Agama-agama, semuanya sama saja dengan dongeng. Mitos. Imajinasi. Semua itu bukan kenyataan tapi jadi pegangan kita dalam menghadapi dan membentuk kenyataan.

Pembicaraan filsafat panjang ini penting saya paparkan ketika bicara soal Film Eternals Marvel-Disney. Ini termasuk film dengan naratif paling songong. Avengers dan Thanos, Dr. Strange, Thor, itu udah bener-bener songong kan. Bayangin aja ada Tuhan bawa-bawa palu, kalah lagi sama Hulk–makhluk yang diciptakan sains. Malu. Untungnya orang Norwegia dan Viking yang beberapa masih menganut agama lama gak sensian kayak orang Islam yang dengan gampang gasih fatwa mati. Mungkin itu juga penganut agama Viking sudah beragama buat gaya-gayaan aja. Toh, negara merka udah jadi salah satu negara termaju di dunia.

Jadi Marvel ini memang segerombolan komikus yang paling songong, bikin dan make imajinasi Tuhan dan mitologi orang dengan semena-mena. Jadi inget buku The American Gods-nya Neil Gaiman, yang ngumpulin seluruh Tuhan-tuhan kuno di Amerika sebagai simbol imigran. Di buku itu nggak ada Allah (adanya Jin) , dan itu membuktikan keberhasilan fatwa mati orang Islam terhadap Salman Rushdie atau Ki Panji Kusmin, yang bikin gak ada penulis mainstream yang akan berani buat “menghina Islam”.

Eternals songong karena mereka bikin plot multidimensional, ketuhanan, dan Paralel Universe Marvel jadi tambah keos. Plus, dunia mereka berkelindan sama Avengers dan X-Men. Gile, Marvel nih udah kayak 72 aliran Islam. Plus mereka udah jelas plagiat beberpa superhero DC, lalu dengan bebasnya ngasih reference bahwa Ikaris adalah Superman. Mungkin udah tahu kali ya kalo Ikaris emang referencenya Superman, makanya daripada dibilang plagiat mendingan hajar bae ngaku itu tribute.

Kelindan, claim, dan tinggi-tinggian superhero itu bukan hal baru. Waktu Sunan Kalijaga bikin wayang, dia pake cerita Hindu dan dewa-dewa Hindu dari Ramayana dan Mahabarata. Bedanya, dan ini yang keren banget dari pembajakan agama Hindu untuk dakwah Islam, sang Sunan ngasih Gusti Allah sebagai dewa tertinggi, dan Punakawan (manusia biasa) sebagai tokoh bijaknya. Resmi tuh agama dibajak untuk dakwah agama lain. Keren. Dan ga ada yang ngamuk saat itu, kerena cerita wayang seseru cerita superhero yang sekarang sering kita tonton.

Menarik melihat Sapiens mengkategorikan agama dan cerita yang mirip agamanya tapi bukan agamanya. Double standard dan paradoxnya ga nahan juga: bahwa agama terinstitusi lebih bisa dipercaya daripada superhero. Kebayang nggak sih kalo dimasa depan, semua superhero ini menggantikan Tuhan kita hari ini, kagak bagaimana Tuhan kita hari ini menggantikan dewa-dewa dan mitologi nenek moyang kita?

Kebayang dong, tapi pasti banyak orang akan deny. Nggak ada yang mau Terima bahwa Tuhan itu jahat. Tapi Tuhannya Eternal, jahat. Ini ancurnya logika film ini. Tuhannya Eternal jahat padahal dia cuma force of nature. Semua juga pada akhirnya akan meledak atau beku. Lucunya Tuhannya Eternals malah kasih kesempatan kedua pasca kiamat, seakan Tuhan bisa dipetisi dewa-dewa atau para malaikatnya. Kalau dibandingkan sama agama semit, Tuhan akan menjadikan malaikat yang mengritiknya jadi setan dan membuangnya ke neraka.

Sudahlah. Mereka perlu itu buat bikin cerita yang manusiawi. Dewa-dewa abadi yang hidup disekitar kita, ama-lama jadi kita. Gitu kali maksudnya. Kasihan amat. Mental tuh dewa-dewa abadi yah. Yang jelas dari jaman Yunani kuno, Dewa-dewa emang udah galau aja sih, mau jadi kayak manusia yang rendah hati, atau kayak manusia yang sombong. Ini membuktikan mitologi Tuhan atau Dewa dengan karakteristik manusia masih laku aja.

Gue rasa percuma ngomongin akting atau aspek teknis di film ini. Apalagi CGI nya banyak banget, udah lah ya. Tapi menarik sih melihat Hollywood dan obsesinya terhadap dewa-dewa dan agama tua. Dari Clash of Titans sampe Gods of Egypt, Hollywood suka banget bawa-bawa nama Tuhan. Well mungkin ini tradisi reinassance Eropa, yang dengan songongnya melukis Yesus dengan kulit putih. Padahal Yesus dalam bukti sejarahnya harusnya Yahudi berkulit gelap.

Klaim-klaim semacam ini bukanlah sebuah hal baru. Mereka yang menguasai seni dan media bisa membuat berbagai macam klaim. Karenanya semakin bebas sebuah media seni, semakin tidak berharga pula klaim-klaim itu. Klaim cuma bisa bekerja dalam sebuah sistem buku rekam seperti hari ini kita punya blockchain. Tanpa ada sistem rekam , maka klaim tidak berharga karena tidak bisa diverifikasi–begitupun Tuhan. Tanpa ada instutusi Agama maka Tuhan tidak bisa diferifikasi sebagai sebuah kode yang menyatukan banyak orang di dalam lindungan (agama)-Nya.

Kembali pada The Eternals, satu hal yang penting dari franchise film ini adalah bagaimana kaum abadi ini merangkum peradaban besar manusia, dan mengklaim diri mereka sebagai bagian dari sejarah peradaban manusia. Dan kesiumpulannya, seperti banyak film superhero hari ini, bukan tidak mungkin di masa depan, superhero hari ini adalah Tuhan di masa depan.


Website ini jalan dengan donasi. Kalau kamu suka yang kamu baca, kamu bisa bantu sang penulis untuk bisa tetap punya blog yang proper dengan mentraktir dia kopi dengan menekan tombol ini:

Film, Gender, Kurasi/Kritik, Memoir, Racauan

Quo Vadis, Henricus Pria?

Tulisan ini buat mbak yang komen di IG cinemapoetica. Ya, saya patriarki. Itu ideologi yang dipakai semua orang hari ini. Dan saya feminis, karena saya melawan ideologi itu, termasuk melawan diri dan privilise saya sendiri sebagai lelaki heteronormatif, yang berusaha untuk terus evaluasi diri. Yes, thank you, saya tidak kenal kamu tapi saya menghormatimu. Semoga bahagia dan sehat-sehat, ya.

Ketika rumah produksi Penyalin Cahaya menyebarkan kabar bahwa penulis naskahnya dicoret dari kredit karena menjadi terduga pelaku pelecehan seksual, saya sangat galau. Saya sedang ada di tengah project film panjang pertama saya, 6 film pendek yang saya eksekutif produser sedang jalan post produksi dan satu sedang distribusi, dan saya sudah melabeli diri saya sebagai pembuat film aktivis, arus pinggiran, khusus NGO dan misi humanitarian, plus saya self proclaimed feminist, tapi… Saya anxious dipenuhi rasa bersalah!

Karena faktanya, saya adalah laki-laki heteroseksual yang dibesarkan di dalam budaya patriarki, dan saya belajar soal seksualitas dan feminisme ketika saya kuliah, untuk lebih mengerti ibu saya yang seperti gambarannya Betty Friedan dan gebetan saya yang seperti Helene Cisoux. Itu pun, dalam masa-masa kuliah dan pasca kuliah yang rock and roll (saya punya 2 album rock and roll dan pernah punya groupies), saya bergaul dengan lumayan banyak perempuan. Dan seremnya, saya takut ada yang saya lecehkan tapi saya nggak sadar karena saya bias patriarki. Karena seperti kata Hannah Arendt, kejahatan itu banal. Anwar Congo nggak merasa bersalah membantai Komunis, sampe dia dipersalahkan zaman Baru yang melihat pembunuhan sebagai pembunuhan. Dan kebanyakan boomer yang melecehkan perempuan menganggap bahwa hal yang mereka lakukan normal- normal saja pada masanya. Intinya, banyak pelecehan terjadi karena kebodohan dan kekurangan kemanusiaan. Sejarah seringkali tidak bersifat linear, tapi paralel dan komparatif: seperti ditemukannya perbudakan manusia di jaman ini di rumah Bupati Langkat. Atau pemikiran beberapa aliran puritan Islam yang tidak mau hidup dengan teknologi karena tidak sesuai dengan cara hidup rasul.

Untuk memastikan saya tidak melecehkan mantan-mantan pacar, gebetan atau FWB, saya menjaga hubungan baik dengan kebanyakan dari mereka. Nggak semua soalnya ada yang sudah kawin, beranak, berbahagia dan suaminya insecure, jadi saya nggak hubungi lagi. Anyway, kasus Penyalin Cahaya bikin saya ga bisa tidur dan saya bikin draft tulisan yang isinya nama dan peristiwa dimana saya mungkin saja pernah melecehkan perempuan. Saya berusaha mengevaluasi diri karena takut nanti pas film saya jadi, ada yang mengadukan saya karena saya pernah tolol aja waktu muda. Tapi pas saya tulis, saya malah ketrigger sendiri—secara saya banyak dibikin nangis sama perempuan. Sad boi gitu, tapi mabok dan ngeblues, maklum belom jamannya Emo jadi saya terhindar dari punya poni banting.

Saya sedih diputusin tapi saya nggak pernah dilecehkan. Saya cuma not good enough to be their man. Saya juga nggak merasa melecehkan, karena toh saya bener-bener sayang sama mereka semua, dan saya sangat terbuka untuk tanggung jawab dan minta maaf pada mereka kalau mereka bilang saya menyakiti mereka. Tubuh saya penuh luka yang pantas saya dapatkan karena membuat mereka patah hati. Beberapa ada yang mereka kasih karena mereka kesal saya selingkuh terus jujur, tapi kebanyakan luka saya toreh atau saya pukul sendiri karena saya merasa bersalah menyakiti hati orang yang sayang sama saya. Ah, sudah ah. Sedih.

Akhirnya tulisan itu jadi draft aja yang entah kapan bakal saya keluarkan. Dan saya coba bikin kritik Penyalin Cahaya sebagai filmmaker saja. Tapi setelah saya tonton dua kali, saya langsung bosan dengan filmnya. Filmnya well crafted, bagus banget secara visual dan naratif, tapi nggak mengulik intelektualitas saya kayak film-filmnya Joko Anwar, misalnya. Penyalin Cahaya yaudah gitu aja. Paling kalo mau dikritisi, filmnya ga mengandung keistimewaan feminist secara visual: cewek-cewek di film itu tetap aja tereksploitasi dan jadi fetish buat cowok-cowok yang suka sama cewek feminist. Yes, seperti ada cowok-cowok fetish sama nenek-nenek, orang kerdil, anak kecil, dan perempuan cantik, ada juga cowok-cowok yang fetishnya sama dominatrix atau feminist. Kalau cowok-cowok yang fetish feminist ini adalah masokis, itu lebih baik daripada Penyalin Cahaya. Karena, dan ini simpulan saya sama Penyalin Cahaya:

Penyalin Cahaya secara visual dan naratif memberikan sebuah orgasme pada para lelaki patriarki dominan yang fetish pada feminist, bahwa pada akhirnya para perempuan yang melawan ini mereka kuasai, sistemnya kuasai. Di visual filmnya tubuh, punggung, dan ranah privat sudah diekspos ke penonton, memberikan kenikmatan. Dan cerita-cerita terfotokopi hanya sekedar buang-buang kertas ke jalanan. Secara visual keren, kertas kuning melayang di udara, tapi secara subtansi cuma jadi sampah di jalanan. Long live patriarchy.

Maka kesimpangsiuran kasus Henricus Pria, dan banyak pelecehan lain cuma menambah kuat statement film ini: cerita-cerita pelecehan itu sampah yang buang-buang kertas aja. Toh angka penonton dan penjualan di Netflix tetap tinggi, dan cerita korban berkeliaran seperti gosipan lambe turah saja.

Dan saya tetap tidak bisa tidur. Bukan karena saya merasa bersalah seperti ketika film ini tercekik wacana dan jadi trending dulu, tapi karena kasusnya seperti tulisan di pasir yang tersapu ombak waktu. Saya tidak bisa tidur memikirkan para perempuan yang trauma, terluka, dan melanjutkan hidup seperti veteran perang yang sengaja dibuat kalah dan traumatis. Saya tidak bisa tidur memikirkan, apa yang bisa saya lakukan besok, biar saya, murid-murid saya, generasi masa depan, tidak mengulang pelecehan yang sama. Karena bikin film soal pelecehan seksual, yang menang banyak penghargaan dan sempat bikin Peraturan Menteri no. 30 jadi hits, nggak bisa membuat korban diurus dengan lebih baik. Saya merasa helpless sebagai filmmaker.

Taik kucing semua kertas fotokopian itu. Saya akan bikin pendidikan film gratis aja buat filmmaker perempuan. Jadi mereka ga motokopi cerita, MEREKA SYUTING SENDIRI! Kalau kamu merasa kamu berbakat jadi sutradara, penulis, atau produser perempuan, tapi ga bisa sekolah film, daftar MondiBlanc!


Terima kasih sudah membaca tulisan ini. Website ini jalan dengan donasi. Jika kamu suka dengan yang kamu baca, kamu boleh sebarkan tulisan ini. Dan jika kamu mendukung saya untuk bisa terus konsisten menulis, boleh klik tombol di bawah ini dan traktir saya segelas kopi. Terima kasih.

Film, Kurasi/Kritik

Ibu Arkaik dan Bapak Yang Mati di Pengabdi Setan dan Perempuan Tanah Jahanam

Era pasca Reformasi membawa ide-ide baru, ideologi dan teknologi: MTV, Internet, Friendster, HP tidak cerdas, Oligarki Media, dan kebangkitan film Indonesia. Seperti dijelaskan oleh Kusumaryati (2011), Paramaditha (2012), dan Pangastuti (2019) ada sebuah pergeseran ideologi yang menyebabkan gelombang dalam naratif teks-teks kebudayaan, termasuk dan khususnya, film. 

Pergeseran tersebut ditunjukkan dari bagaimana perempuan direpresentasikan baik di Industri dan dalam isi film. Buktinya adalah munculnya produser-produser dan sutradara-sutradara perempuan dalam sebuah industri yang biasanya didominasi lelaki dan patron-patron pria. 

Perempuan-perempuan ini, seperti Mira Lesmana dan Nan T. Achnas, adalah bagian dari pergerakan sinema baru di Indonesia pasca Reformasi yang menyutradarai film omnibus Kuldesak (1998). Mengutip Intan Paramaditha:

Not only are they privileged with cosmopolitan perspective of the world, but they are also exposed to the global flows of images that started to proliferate in the 1990s with the emergence of satellite TV. This is also the generation that grew up watching mainly Hollywood films… (Paramaditha, 2012, p. 80) 

Mereka tidak hanya diberkati dengan perspektif kosmopolitan dunia, tapi mereka juga terekspos dengan aliran citra global yang muncul di tahun 1990 dengan hadirnya TV satelit. Mereka juga adalah generasi yang tumbuh menonton kebanyakan film Holywood. 

Kosmopolitanisme memainkan peran besar dalam mode produksi dan kolaborasi para filmmaker pasca Reformasi. Ide-ide baru yang dibawa para mahasiswa Indonesia di luar negeri, internet, dan kembalinya film-film cult Indonesia, telah membuka pintu ke deterriteriolisasi global. Deterriteriolisasi adalah “hilangnya hubungan ‘alami’ antara budaya dengan wilayah geografi dan sosial” (Tomlinson dalam Normanda, 2021: hal. 9) atau dengan kata lain, sebuah dunia imajinasi kolektif dalam bentuk teks kultural dalam dunia data. 

Untuk saya pribadi, ada seorang sutradara yang paling menonjol dalam tanah deterritorialisasi di sinema Indonesia pasca Reformasi: Joko Anwar. Menurut kritikus film Ekky Imanjaya, Anwar adalah orang yang “menemukan kembali film-film B secara global” di awal tahun 2000an yang sempat hilang dari lalulintas kebudayaan Indonesia (Imanjaya, 2016, hal 28).

Saya menyebut Anwar sebagai sutradara-aktivis-selebriti. Dengan 1.7 juta follower di twitter, dan 271 ribu follower instagram, Anwar menerbitkan buah pikirannya beberapa kali sehari, mempromosikan filmnya, film kawan-kawannya, tips membuat film, dan aktivisme sosial. 

Dalam wawancara di tahun 2010, Anwar bilang, “… Saya merasa bahwa saya tidak akan diterima di Indonesia karena satu atau dua alasan. Kalau saya kasih tahu kamu alasannya, orang akan mikir saya terlalu self absorbed. Filmmaker di negeri ini merasa mereka hebat, tapi mereka belum pernah keluar negeri dan melihat orang yang lebih hebat… Saya cuma mau tahu posisi saya di sinema global” (Anwar dalam Nurmanda, 2010, hal 238).

Hari ini, dengan 9 film panjang, sebuah serial HBO, sebuah miniseri HBO, dan banyak film pendek, Anwar tidak lagi membayangkan dunia deterritorialisasi Sinema; dia hidup dalam dunia tersebut. 

Saya akan mendiskusikan secara singkat dua film terakhir Joko Anwar: Pengabdi Setan (2017) dan Perempuan Tanah Jahanam (2019). Saya memilih dua film ini karena ide-idenya tentang protagonist perempuan dan tentang keibuan yang dapat dilihat sebagai sebuah tantangan baru terhadap ideologi patriarki dalam film Indonesia, terutama dengan film-film bergenre serupa yang bicara tentang konflik keluarga dan horor. 

Saya berargumen bahwa dua film tersebut menarasikan aparatus global tentang kebenaran politis (political correctness) dalam isu gender dan penolakan terhadap hukum sang Bapak dari teori Freudian/Lacanian–dan dalam konteks Indonesia, sebuah hempasan pada maskulinitas Orde Baru. 

Bapak yang Menghantui

Jacque Lacan, seorang psikoanalis Prancis, menyatakan bahwa bahasa adalah awal dimana seorang anak memasuki Orde Simbolik, dimana ia belajar hukum sang Bapak dan mulai menginternalisasi bagaimana cara berhasrat dalam hukum tersebut, maka memisahkan ia dari ibunya. (Zizek, 2005). Dalam konteks rezim Orde Baru, kita harus bicara tentang Bapakisme dan Ibuisme, dimana relasi gender dikontrol oleh heteronormativitas negara (Paramaditha, 2012, hal 71.) 

Secara sederhana, Orde Baru melihat Bapak sebagai pemimpin rumah tangga dan ibu sebagai pengasuh. Posisi seorang perempuan ditentukan dari posisi suaminya. Dalam sudut pandang Orde Baru, perempuan dewasa adalah perempuan yang menikah, dan perempuan yang tidak menikah atau tidak punya anak dianggap hina (Abject). 

Sedikit penjelasan logika ini dalam film Indonesia, dalam film Ketika Iblis Menjemput (Tjahjanto, 2018) dan Lampor (Soeharjanto, 2019) menceritakan seorang Ayah yang membuat perjanjian dengan setan atau mengerjakan ritual untuk mendapatkan kekayaan, mengorbankan istri dan anak pertamanya, menikah lagi, jadi depresi, bertobat, mati dan dimaafkan oleh istri atau anak perempuan yang dizalimi untuk kesuksesannya. 

Walaupun kedua film punya protagonist perempuan, keduanya juga punya stereotipe perempuan nakal, dalam bentuk pendaki kelas sosial atau pezina. Kedua film membandingkan perempuan baik-perempuan buruk. Perempuan baik: pemaaf, penyayang, altruistik; perempuan buruk: cantik, licik, ambisius. Walau bapak mati, amal baik bapak atau arwahnya menang dan dimaafkan, walaupun masalah yang ia timbulkan sangat banyak. 

Sementara itu, dalam film Joko Anwar, ketika bapak mati, ya bapak mati. 

Hilangnya Kebapakan

Dalam Pengabdi Setan, cerita berputar di sekitar Rini (Tara Basro) dan tiga adik lelakinya yang berjuang untuk hidup mandiri setelah ibunya meninggal. Bapak mereka harus kerja di kota karena mereka terlilit hutang.  

Ibu mereka adalah mantan penyanyi dan semenjak ia sekarat, banyak kejadian aneh terjadi. Setelah ia meninggal, kejadian supernatural makin sering terjadi. Nenek mereka mati di sumur, dan gebetan protagonis meninggal mengenaskan ketika mengantarkan pesan kebenaran kepada sang protagonis. 

Di akhir film, terbuka bahwa ibu mereka telah mengikat janji pasa setan dan sektenya untuk bisa punya anak, dan dia harus memberikan anak terakhirnya kepada setan ketika usia anak itu 7 tahun. 

Yang paling menarik, dalam film yang memecahkan rekor sebagai film horor terlaku dalam sejarah film Indonesia ini, adalah kematian seorang Ustadz–yang adalah bapak dari gebetan si protagonis. 

Pada masa Orde Baru, film horor harus menggambarkan kehadiran agen agama sebagai deux ex Machina dalam memecahkan masalah supernatural. Hal ini hilang semenjak film Jelangkung (Mantovani, 2001) dibuat. (Kusumaryati, 2011:208). Dalam Jelangkung, tokoh dukun mati ketika mencoba mengusir setan. Di Lampor, makhluk Supernatural juga mengambil si Dukun. Walau tidak diakhiri dengan tokoh religius, kedua film tersebut masih sejalan dengan logika Orde Baru untuk menghukum orang kafir yang kepercayaannya di luar kepercayaan yang disetujui Orde Baru. Hanya dalam Pengabdi Setan, seorang Ustadz bisa depresi dan dibunuh oleh zombie. Naratif ini adalah hantaman keras untuk menolak hukum bapak Orde Baru. 

Film terakhir Anwar sebelum pandemi adalah Perempuan Tanah Jahanam (2019), yang bercerita tentang Maya/Rahayu (Lagi-lagi dimainkan Tara Basro), yang, setelah hampir mati, menemukan bahwa ia mewarisi rumah di sebuah kampung bernama Harjosari.  

Bersama temannya, Dini (Marisa Anita), Maya pergi untuk mengambil warisannya. Kampung tersebut dikutuk karena mantan kepala desa yang juga seorang dalang bernama Ki Donowongso, menggunakan ilmu Hitam untuk menyelamatkan anaknya Rahayu, yang lahir tanpa kulit. Semenjak saat itu, semua bayi yang lahir di kampung itu, lahir tanpa kulit. Cerita latar ini agak panjang dan harus diceritakan melalui momen trans si protagonis tentang patriark di kampung tersebut yang semuanya berakhir mati di akhir film. Dan tokoh Nyi Miskin (Christine Hakim) yang bunuh diri demi anak lelakinya, tetap menghantui. 

Protagonis Perempuan VS Ibu Arkaik

Protagonis dalam kedua film itu adalah perempuan dengan karakteristik yang berbeda. Rini hidup di kampung pada tahun 1980-an dan memiliki kualitas keibuan untuk adik-adiknya: melakukan pekerjaan domestik, merawat ibu yang sakit, dan memasak di dapur. Sementara itu, Maya adalah perempuan Urban kelas menengah bawah di tahun  2000an yang berjuang secara finansial. Kontekstualisasinya cocok, ideologinya tidak: dan itu baik ketika kita punya pernyataan politik. 

Kedua perempuan muda itu terjebak dalam situasi sosial yang aneh, dalam setting yang ambigu. Dari awal, Pengabdi Setan dimulai dengan sekaratnya sang Ibu; sementara Perempuan Tanah Jahanam dengan percobaan pembunuhan protagonis. Dalam dua film tersebut kedua protagonis tidak memiliki keistimewaan apa-apa. 

Tapi mereka harus menghadapi Ibu Arkaik; seorang ibu yang menuntut, ambisius, tidak subur, jahat, berkuasa, dan hina (Creed, 1993). Ada tiga jenis ibu dalam Pengabdi Setan: pertama, ibu yang mati, kedua hantu/zombie ibu yang beda karakter dan kesadaran, dan ketiga nenek/hantu sang nenek yang hadir dari sumur/kamar mandi; tempat mengambil air dan buang air.  

Dalam Perempuan Tanah Jahanam, Ibu Arkaik adalah Nyi Misnih, pelayan/dukun yang mau mengontrol anaknya dan melindunginga dari kesedihan, patah hati, dan ketidakberdayaan. 

Konflik di kedua film dimulai dari tekanan sosial. Dalam Pengabdi Setan, Ibu bergabung dengan sekte setan supaya bisa punya anak. Sementara dalam Perempuan Tanah Jahanam, Nyi Misnih terperangkap struktur sosial ketika anak lelakinya berselingkuh dengan istri Tuannya. Ibu Arkaik berjuang untuk mempertahankan kuasa, dan dengan waktu dan kebenaran, kekuasaannya runtuh. 

Kedua film membunuh atau mengesampingkan tokoh bapak, mengangkat perempuan polos yang dengan intuisi dan improvisasinya mampu melawan ibu arkaik. Naratif ini datang dari seorang sutradara laki-laki yang hadir di Indonesia Pasca Soeharto, dengan kesadaran akan trend political correctness global dan gerakan perempuan. Keterlibatan produser perempuan, kru, dan aktor dengan visi yang sama, juga mengubah lanskap film Indonesia untuk menjadi lebih representatif terhadap perempuan, di dalam dan di luar filmnya. 

***

Terima kasih sudah membaca sampai selesai. Blog ini dibiayai dengan donasi, dan nulis butuh waktu dan energi yang banyak. Kalau kalian mampu, boleh traktir saya kopi dengan klik tombol di bawah atau scan barcode gopay say. Thank you for reading!

Atau scan ini.

Daftar Pustaka

Zizek, S. (2005). Woman is One of the Names-of-the-Father, or How Not to Misread Lacan’s Formulas of Sexuation . Retrieved May 18, 2020, from lacan.com: https://www.lacan.com/zizwoman.htm

Shanty Harmayn, A. L. (Producer), Anwar, J. (Writer), & Anwar, J. (Director). (2019). Impetigore [Motion Picture]. Indonesia.

Gope T. Samtani, S. S. (Producer), Anwar, J. (Writer), & Anwar, J. (Director). (2017). Satan’s Slaves [Motion Picture]. Indonesia.

Creed, B. (1993). The Monstrous Feminine: Film, Feminism, Psychoanalysis. New York: Routledge.

Imanjaya, E. (2016). The Cultural Traffic of Classic Indonesian Exploitation Cinema . Thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy . University of East Anglia School of Art, Media and American Studies .

Kusumaryati, V. (2011). Hantu-hantu Dalam Film Horor Indonesia. (E. Imanjaya, Ed.) Mau Dibawa Kemana Sinema Kita? Beberapa Wacana Seputar Film Indonesia

Nurmanda, N. (2012). Dolanan Globalisasi: Kajian Antropologi Globalisma Seni Gunung. Thesis to be submitted for Master Degree in Anthropology . Indonesia: Universitas Indonesia.

Nurmanda, N. (2011). Tiga Film Pertama Joko Anwar: Kebebasan Kreasi di Perfilman Indonesia Pasca-Soeharto. (E. Imanjaya, Ed.) Mau Dibawa Ke Mana Sinema Kita? Beberapa Wacana Seputar Film Indonesia .

Poernomo, J. (Producer), & Mantovani, R. (Director). (2001). Jelangkung.

Pangastuti, A. (2019). Female Sexploitation in Indonesian Horror Films: Sundel Bolong (A Perforated Prostitute Ghost, 1981), Gairah Malam III (Night Passion III, 1996), and Air Terjun Pengantin (Lost Paradise – Playmates in Hell, 2009). A thesis submitted to Auckland University of Technology in partial fulfilment of the requirement for the degree of Master of Communication Studies . Auckland, New Zealand: Auckland University of Technology.

Paramaditha, I. (2012). Cinema, Sexuality, and Censorship in Post-Soeharto Indonesia. (T. Baumgartel, Ed.) Southeast Asian Independent Cinema .

Soeharjanto, G. (Director). (2019). Lampor [Motion Picture].

Tjahjanto, T. (Director). (2018). May The Devil Take You. Indonesia: Netflix.

Film, Kurasi/Kritik

5 Pelajaran Penting dari Film Selesai

Kalau kamu nonton film cuma ceritanya saja, tulisan ini mungkin bukan buat kamu. Tapi kalau kamu mau belajar untuk mengerti film lebih dari sekedar cerita, yuk terus baca.

To the point saja, film Selesai penting untuk belajar soal bikin film jelek, dan tidak penting untuk ada. Ini peringatan buat semua filmmaker pemula di Indonesia, yang ambil keuntungan besar dari bikin film jelek.

Apa itu film jelek: film jelek adalah film yang melanggar janjinya. Janji di iklan adalah film drama perselingkuhan untuk masyarakat banyak, namun yang disajikan adalah film yang merendahkan perempuan dan penderita sakit mental, dibuat dengan teknik yang sangat buruk, untuk keuntungan sebesar-besarnya. Film jelek adalah produk gagal yang menipu orang dengan iklannya.

Film jelek harus kita catat di sejarah sebagai hal yang harus diwaspadai, karena menyangkut martabat bangsa kita dan menghina kecerdasan penonton. Berikut lima pelajaran yang bisa kita petik dari film Selesai.

1. Awas asap hazer membuat set film seperti kebakaran.

Dari awal film, ketika kita dibawa bergerak ke kamar dua karakter, saya merasa terbawa ke rumah yang sedang kebakaran. Adegan tanpa suara yang didahului alarm menambah kuat kesan bahwa settingnya mungkin ada di rumah dekat dengan lokasi pembakaran hutan buat buka lahan sawit. Saya sempat berpikir, mungkin ini adalah film Dandy Laksono soal polusi akibat korporasi. Ternyata yang terbakar adalah pantat Gading Marten (if you know what I mean).

Di project Omnibus Q MondiBlanc, sutradara pemula Adinegoro Natsir awalnya ingin menggunakan hazer untuk membuat efek golden hour di film pendek berjudul Mithera. Tapi setelah menonton film ini, niat itu dibatalkan. Secara lighting film Selesai tidak punya logika waktu. Kita tidak tahu apakah shotnya siang, sore, atau pagi, karena cahayanya tidak konsisten. Kita jadi banyak belajar tentang apa yang seharusnya tidak kita lakukan di set. Terima kasih dr. Tompi.

2. Awas script dan art jelek tidak bisa diselamatkan aktor hebat.

Skin tone hilang, baju nyaru dengan background.

Naskah yang jelek biasanya bisa diperbaiki oleh aktor yang hebat. Aktor-aktor di film ini jelas hebat, dan ini bukan sarkas. Ariel Tatum sebagai Ayu membawa emosi yang berat di dalam karakternya, Gading sebagai Broto rela digoblok-goblokin ibu dan istrinya. Tapi kalau secara struktur dan logika sudah kacau, para aktor hebat ini kerja sia-sia. Emosi yang terbangun hancur sudah, dengan, misalnya, kedatangan selingkuhan (Anya Geraldine) ke rumah Broto (Gading Marten) di akhir film, padahal sejak awal film, rumahnya disegel gubernur karena lockdown COVID. Rumah disegel ketika lock down juga baru di film ini saja terjadinya. Epik.

Dan siapa production designer/wardrobe yang bikin baju aktor complementary color dengan setnya (orange, coklat)? Kamu mau aktor kamu jadi bunglon? Udah gitu digrading warm pula jadi banyak shot skin tone aktor hilang sama sekali. Dia pikir perawatan kulit aktornya murah? Kalo gue jadi producer sih, itu production designer sama colorist gue potong gajinya buat nombok skin tone aktor mahal yang hilang.

3. Awas lampu syuting bocor di film realis.

Bertold Brecht mengajarkan kita untuk mengasingkan penonton dengan cara meyakinkan penonton bahwa yang mereka lihat adalah sebuah drama di panggung. Dia sengaja kasih lihat lampu panggung bocor biar penonton fokus pada repertoir yang dibawakan, dan nggak terbawa dalam drama emosi di dalam pentas. Film Selesai sementara itu membiarkan lampu terlihat membias di kaca sebelah kanan atas shot wide. Dan adegan ini sampai masuk ke trailer juga. Saya pikir ini sengaja, tapi kok nggak konsisten? Deadpool aja konsisten suka ngomong sama penonton. Anyway, mungkin ini ga salah. Sutradara mungkin cuma mau bilang bahwa ini semua main-main dan mahal. Kok gitu? Karena dia bisa. Sementara kita menderita karena bingung lihat ini film apaan, berantakan amat bikinnya.

4. Awas kalau banyak teriakan, sound tidak boleh off peak.

Banyak sutradara atau aktor yang kurang berpengalaman berpikir bahwa kalau berantem dan marah-marah itu harus teriak-teriak. Yang kasihan ketika aktor teriak-teriak di set film, adalah sound recordist dan sound designer karena mereka denger semua suara teriakan itu langsung dari clip on aktor atau boom mic ke kuping mereka. Dalam beberapa kasus, sound recordist bahkan bisa mendengar suara pipis, berak, atau telpon perselingkuhan aktor yang lupa mematikan clip on sambil jalan-jalan pas break. #truestory.

Nah, waktu teriak-teriak, jika sound recordist tidak memastikan bahwa settingan clip on di bawah normal, dia akan mendapatkan apa yang disebut suara off peak, atau suara pecah karena mic tidak mampu merekam teriakan. Suara pecah ini sulit sekali untuk diedit (bahkan dalam beberapa kasus, hampir tidak mungkin). Dalam film Selesai, selesai sudah kualitas suaranya. Banyak suara pertengkaran off peak, dan berusaha diperbaiki dengan mengecilkan gain/volume di post production, tapi tidak dibalancing dengan baik hingga ketika bicara normal, suaranya kecil banget. Biasanya kejadian ini karena boom operator atau recordist yang disuruh ngerekam bukanlah profesional. Untuk film bertiket 38 ribu, soundnya sampah.

5. Awas tidak peka sosial politik.

Masalah film Selesai yang paling parah adalah ketidak-pekaan terhadap isu sosial dan politik yang ia bawakan. Film adalah alat propaganda paling kuat. Film membentuk bagaimana cara masyarakat berpikir, memaknai hidupnya, dan memaknai hidup orang lain. Selesai adalah satu lagi film Indonesia yang bukan cuma masa bodo, tapi juga memperparah permasalahan sosial di negeri kita.

Pertama, adalah stereotipe dan merendahkan perempuan. Di sini, plotnya sangat misoginis. Empat tokoh perempuan, semuanya kalau tidak gila, binal, goblok atau ketiganya. Ayu masik RSJ, ibu Sepuh ingin anaknya tidak cerai walau sudah saling selingkuh, Anya pelakor dan tidak suka pakai celana dalam, dan si pembantu ditipu pacarnya yang supir yang mencuri uangnya. Lelaki bisa selingkuh dan aman. Perempuan selingkuh bisa gila. Pembantu jadi bucin, duit diambil lelakinya, stereotipenya parah banget. Dan ini adalah representasi yang dihadirkan ketika Harvey Weinstein sudah dipenjara dan Hollywood dan Disney punya kebijakan supaya peran perempuan, ras, dan minoritas lebih banyak hadir di film box office. Film misoginis Selesai ini juga hadir ketika kita punya krisis: RUU PKS belum juga diresmikan, dan pelecehan seksual sering terjadi di set film. Sementara kampanye film ini lebih kenceng daripada kampanye pelecehan seksual. Bener-bener keterlaluan!

Kedua, ketidakpekaan terhadap isu mental health. Gejala delusi dan halusinasi Ayu sama sekali tidak didasarkan riset soal kesehatan mental yang benar. Dia bukan hanya diselingkuhi, dijebak, ditolak, tapi juga dibuat tidak sadar, dicekoki obat (yang ia lepeh di akhir film mungkin untuk membuat sequel). Obatnya tidak jelas apa, di kursi roda entah kenapa. Mungkin film ini bukan realisme, bukan komedi, bukan drama, bukan juga eksperimen. Mungkin film ini hanya bermain-main saja. Tapi permainan semacam ini punya implikasi serius untuk masyarakat. Dan ini sudah terjadi berulang-ulang di film Indonesia.

Dua contoh film lain adalah Antologi Rasa yang melanggengkan budaya perkosaan (lihat Aditya, 2019), dan Tilik yang melanggengkan stereotipe ibu-ibu penggosip dan perempuan muda perebut laki orang (lihat Darmawan, 2020). Kedua film ini punya plot misoginis dan stereotipe, tapi dibuat dengan baik. Sementara Selesai, plotnya merendagkan perempuan dan penyakit mental, dan dibuat dengan sembarangan. Ini menggandakan hinaan terhadap otak penonton Indonesia.

Ini juga berarti, filmmaker Indonesia banyak yang belum sadar betapa kuat dan pentingnya film untuk kebudayaan. Kebebasan bikin film tidak disertai pertanggungjawaban, sehingga plot dibuat semena-mena. Padahal jelas, film propaganda orde Baru seperti Pengkhianatan G 30 S, telah melahirkan ketakutan, paranoid, dan kebencian berkepanjangan terhadap komunisme. Atau film-film horor yang membuat orang-orang kampung sebagai antagonis yang bodoh dan klenik telah membuat gap antara desa-kota semakin menjadi-jadi. Film-film semacam ini adalah musuh bangsa ini, jika bangsa kita mau maju.

Kritik terhadap film macam Selesai ini harus gahar, keras, dan berkepanjangan, supaya film-film yang memarginalkan perempuan dan kesehatan mental semacam ini tidak dibuat lagi. Cukup terjadi tahun 80-90an saja ada film kayak gini, di zaman ketika Warkop DKI sudah tidak bisa melucu selain dengan cara pegang-pegang pantat Kiki Fatmala. Yang boleh membuat film macam ini hari ini cuma sutradara macam Amer Bersaudara yang jenius itu: mereka konsisten, cerdas, bertanggung jawab dan pecinta lingkungan karena mendaur ulang sampah semacam Film Selesai.

***

Terima kasih sudah baca tulisan ini sampai habis. Website ini jalan dari sumbangan. Kalau kamu suka sama yang kamu baca, boleh traktir kopi buat yang nulis biar dia bisa bayar hosting dan domain website ini, dan tetap semangat menulis. Klik tombol di bawah ini.

.