Filsafat, Moral Bengkok, Politik, Prosa, Racauan

SkakMat: Pemilu 2024, Jokowi Pasti Menang

Updated: 14 Februari, 20:10 WIB

Ini bukan satir, bukan ramalan. Ini teori konspirasi yang berdasarkan logika dengan semua kecurangan yang dihalalkan hukum dan politik Indonesia saat ini. Pemilu kali ini Prabowo Gibran menang, karena persiapannya matang. Tapi kemenangan sebenarnya adalah kemenangan Jokowi untuk berkuasa di periode 3 dengan presiden boneka, atau dia sendiri yang maju. Yang dikorbankan: biasa lah, rakyat Indonesia. Kamu dan saya yang milih siapapun.

Banyak orang pasti cukup setuju bahwa politik Indonesia itu menyeramkan. Bahwasannya sebuah visi-misi jangka panjang dari sebuah kelompok penguasa, tidak pernah benar-benar bisa terwujud dengan baik: setiap ganti penguasa, perubahan seringkali dilakukan dengan kasar, berantakan, dan banyak proyek mangkrak hingga ‘kemajuan’ versi sang penguasa terhalang. Maka Jokowi, seperti bung Karno dan pak Harto, minta encore jabatan mulai dari periode ketiga, sampai nanti mungkin demokrasi terpimpin atau pelita repelita 32 tahun plus plus.

Tentunya dengan sejarah kita yang berdarah, dari perang kemerdekaan, banyak kerusuhan, pembantaian, penculikan, pembungkaman, ini jadi sulit. Kebanyakan kita yang waras tak bisa terima pemimpin yang terlalu lama berkuasa. Tapi nampaknya 26 tahun sejak reformasi, orang sudah pada lupa pada kejamnya orde baru, walau traumanya sebenarnya masih ada. Kelupaan ini tentu dilakukan pelan-pelan, lewat “revolusi mental” yang membuat “devolusi mental” atau keterbelakangan mental, sebuah kepikunan massal yang mematikan kemanusiaan kita pada bahayanya tirani dan politik dinasti.

Devolusi mental ini dilakukan perlahan tapi pasti, dan pandemi sedikit banyak memberikan amnesia itu. Seperti orang kena covid, lidah kita kebas, dan kita gagal mencium bau busuk pemerintahan Jokowi yang sebenarnya sudah lama anyep. Akhirnya rekayasa periode 3 atau pemerintahan demokrasi terpimpin atau seumur hidup jadi imajinasi yang sangat mungkin terjadi, dengan pemilu satu putaran atau kemenangan Prabowo-Gibran.

Ini teori konspirasinya:

Pemilu 14 Februari 2024, memenangkan Prabowo Gibran 1 putaran karena formulir C1 banyak hilang, pemaksaan, suap, money politics, pemerasan dengan kasus, penanaman penjabat di daerah, sudah pasti mengunci hasil. Lalu berikut skenario setelah mereka menang. Saat ini, tiga skenario ini fiksi, semoga tidak terjadi.

Skenario 1: Prabowo Presiden, Gibran Wapres. Proyek dan aset terlindungi, investasi berlanjut, bisnis jalan, tapi pasti ada protes. Anies-Ganjar maju ke Bawaslu yang lemah lalu ke MK, tapi MK sudah keropos. Rakyat marah, protes tambah parah. Jokowi dan Presiden Prabowo, bicara dengan para koalisi dan capres gagal, bagi-bagi kue, lalu masyarakat diredam oleh Anies, Ganjar, dan para koalisi karena kue sudah dibagi-bagi. Selesai, tamat, semua senang semua menang, kecuali rakyat dan negara Indonesia yang berubah jadi negara kekuasaan, bukan negara hukum. Hukum baru akan didikte para penguasa. Jokowi Menang.

Skenario 2: Prabowo Presiden, Gibran Wapres. Proyek dan aset terlindungi, investasi berlanjut, bisnis jalan, tapi pasti ada protes. Anies-Ganjar maju ke Bawaslu yang lemah lalu ke MK, tapi MK sudah keropos. Rakyat marah, protes tambah parah. Jokowi, Presiden Prabowo, bicara dengan para koalisi dan capres gagal untuk bagi-bagi kue tapi mereka menolak, dan Anies-Ganjar-Koalisi ikut protes membakar semangat Massa. Polisi dan tentara turun. Banyak yang mati atau hilang, ekonomi terguncang, maka Jokowi terpaksa ambil alih lagi kekuasaan dari Presiden Prabowo. Dengan berat hati ia turun ke jalan dan hendak memperbaiki situasi dengan tetap jadi presiden, untuk periode tiga, sampai situasi kondusif dan pemilu jurdil bisa diulang. Jokowi menang.

Skenario 3: Prabowo Presiden, Gibran Wapres. Proyek dan aset terlindungi, investasi berlanjut, bisnis jalan, tapi pasti ada protes. Anies-Ganjar maju ke Bawaslu yang lemah lalu ke MK, tapi MK sudah keropos. Rakyat marah, protes tambah parah. Jokowi, Prabowo, bicara dengan para koalisi dan capres untuk bagi-bagi kue tapi mereka menolak, dan Anies-Ganjar-Koalisi ikut protes membakar semangat Massa. Polisi dan tentara turun. Banyak yang mati atau hilang, ekonomi terguncang, Jokowi berusaha menenangkan, tapi gagal. Dalam waktu setahun banyak mati, hilang, kekacauan luar biasa hingga mahasiswa dan massa rusuh dimana-mana, gen Z akhirnya tahu rasanya diinjak sepatu lars tentara dan perihnya gas air mata, peluru karet, dan beberapa timah panas, cina-cina menengah bawah jadi korban seperti biasa tiap rusuh jadi pada pindah ke luar negeri atau sembunyi seperti Yahudi di jaman Nazi. Sampai akhirnya internasional ikut campur, akhirnya Prabowo dipaksa berhenti, dan Gibran disumpah jadi presiden. Jokowi menang.

Jadi apapun yang terjadi, Jokowi tetap menang.

SKAK MAT.

Terima kasih telah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan sumbangan, iklannya tak menghasilkan, dengan lisensi Creative Commons, Atribution, Non commercial. Kamu boleh pakai konten ini selama memberikan link sumber dan bukan untuk tujuan komersial. Kalau kamu suka dengan yang kamu baca, silahkan traktir saya kopi murah.

Kontributor, Moral Bengkok, Prosa

Simbok

Semua orang yang tinggal di Jalan Kaki Lima, Desa Sukasari, Kecamatan Setiabudi, memanggil penjual nasi uduk/kunung di depan pos kamling dengan sebutan ‘Simbok’. Nama panggilan tersebut telah begitu saja menjadi identitasnya sehingga semua orang tak sadar bahwa itu bukan nama aslinya. Bahkan Pak RT saja, orang yang mengurus dokumen kepindahan Simbok dua tahun lalu, lupa bahwa Simbok punya nama asli. Simbok, bagaimanapun, tak keberatan dipanggil apa pun selama kehidupannya damai sentosa.

Selain menjual nasi uduk/kuning standard berisi tempe orek, telur dadar suwir dan bihun, Simbok juga menjual lauk lain. Seperti, telur rebus dan tongkol balado, serta ayam kecap dan ayam sambal padang. Gerainya di depan pos kamling sederhana, yaitu hanya terdiri dari meja untuk menaruh wadah lauk dan kursi untuk menaruh termos nasi. Jam buka gerai dimulai dari pukul 6 lewat sedikit sampai pukul 8.30. Tapi, jika kau baru datang pada pukul 8, kau mungkin hanya bisa membeli sisa lauknya atau bahkan sudah kehabisan kalau kau sedang kurang beruntung.

Warung Simbok begitu laris. Bukan hanya karena rasanya enak, tapi harganya juga murah meriah serta porsinya besar. Sungguh surga, terutama bagi para pemuda-pemudi indekos yang banyak tinggal di daerah itu. Sekarang tahun 2017, tapi dengan harga 6 ribu rupiah kau sudah bisa menambah satu butir telur atau ikan tongkol balado ke dalam nasi udukmu. Jika kau membeli seharga 8 ribu, kau bisa menambahnya lagi dengan satu ayam, atau dua jika hanya ayam yang kau beli.

Semua orang yang baru pertama kali makan di warung Simbok terkejut mengetahui harga dan melihat betapa dermawannya porsi nasi uduk/kuning yang mereka terima. Beberapa orang khawatir kalau-kalau Simbok tak akan dapat untung. Meskipun ukuran paha dan sayap ayam Simbok terbilang kecil, penjual lain menghargai sebungkus nasi uduk berisi tempe orek/bihun/telur suwir dan telur balado mereka minimal 8 ribu. Saking terlalu murahnya, ada juga yang mempertanyakan kwalitas ayam yang Simbok gunakan. Meski begitu, investigasi lebih lanjut tak dilakukan. Pembeli yang merasa sangsi itu pernah menemukan sehelai rambut di ayam kecap Simbok. Ia simpulkan, kurangnya kebersihan adalah penyebab harganya yang murah. Dan selayaknya penghuni indekos bokek, ia tak keberatan karena toh ia bisa membuang rambut itu.

Rumah Simbok berada di Gang Hamsad I yang ada di sebrang pos kamling. Letaknya tak terlalu dalam, mungkin hanya 80 meter dari pintu gang. Karena itu, ia tak kesulitan meskipun setiap pagi bulak-balik membawa dagangannya ke depan pos kamling sendirian.

Aktivitas Simbok pada umumnya adalah pergi ke pasar pukul 19.00 dan kembali ke rumahnya pada pukul 21.30. Kemudian, ia mencuci bersih ayam, merebus telur sambil menyiapkan bumbu, setelah itu mencuci muka, berganti pakaian, dan tidur. Pukul 2.30, ia bangun dan mulai memasak. Lalu, ia pergi ke pos kamling pada pukul 5.40, memasang gerai dan menata dagangannya. Ia akan pulang ke rumahnya pukul 9.00 setelah membenahi kembali gerainya dan menyapu jalan tempatnya berjualan. Selain saat berdagang dan belanja ke pasar, Simbok selalu berada di dalam rumahnya dan hanya sesekali terlihat saat menyapu di teras.

Apa saja kegiatan Simbok di rumahnya? Biasanya, ia akan menghabiskan waktunya menonton televisi di sofa sampai ketiduran. Atau lebih tepatnya, tiduran di sofa dengan televisi menyala. Tapi, tiga bulan lalu ia mulai terobsesi dengan drama Korea setelah berkenalan dengan seorang mahasiswa yang tinggal di kosan sebrang rumahnya. Sejak saat itu, waktu bersantainya pun jadi terasa lebih hidup dan mendebarkan. Ia bahkan membeli sebuah laptop untuk mendukung hobi barunya. Mahasiswa itu yang juga membantu memilihkannya.

Drama Korea pertama Simbok adalah The Heirs, dan ia segera jatuh hati pada Lee Min-ho karenanya. Baru-baru ini, ia mengubah meja konsul di dalam kamarnya menjadi altar berisi foto-foto aktor muda tampan itu. Sudah ada lima judul drama Korea yang ia selesaikan. Minggu ini, ia sedang dalam proses menonton yang keenam, drama berjudul Goblin.

Drama Korea jelas berpengaruh pada kesejahterasaan batinnya. Khususnya hari ini, mood Simbok yang baik membuat ia memberi ekstra ayam pada setiap orang yang belanja sebanyak sepuluh ribu. Mereka mungkin bisa menyisihkan sebagian lauknya untuk makan siang. Jualannya pun habis sebelum pukul 8.30. Tapi, saat Simbok sedang berbenah, seorang perempuan paro baya datang. Seketika mata mereka bertemu, Simbok membeku dan di wajahnya muncul kengerian.


Tatapan perempuan paro baya itu kejam, dan caciannya untuk Simbok seperti udara dingin yang menusuk. Simbok masih hanya diam seperti orang yang nyawanya menghilang, tapi keributan yang perempuan paro baya itu buat menarik perhatian orang-orang di sekitar. Tak butuh waktu lama hingga orang-orang mulai berkumpul untuk menonton mereka.


Ada yang berusaha menghentikan perempuan tak dikenal itu, tak tega melihat Simbok yang tubuhnya seperti tiba-tiba menyusut menyedihkan. Tapi, pada akhirnya mereka tak bisa berbuat apa-apa.


“Kalian harus tahu dari siapa kalian membeli sarapan kalian! Dia pembunuh! Dia membunuh anak dan suaminya sendiri!”


Pengumuman mengejutkan itu mengubah suasana menjadi canggung. Keheningan mencekam pun perlahan menelusup. Kini semua mata tertuju pada Simbok. Ada yang menatapnya takut dan curiga, tapi ada juga yang hanya ingin tahu. Mungkin tak ingin cepat-cepat menghakimi.


Simbok masih bungkam, tapi matanya yang beberapa detik lalu tanpa kehidupan tiba-tiba berkilat ngeri, diikuti dengan sebuah senyum aneh yang muncul di wajahnya. Pemandangan yang membuat bulu kuduk berdiri dan membawa keresahan di hati.

“Kau pikir kau bisa hidup damai dan memulai kembali? Apa yang membuatmu berpikir kau pantas?”
Suara tajam perempuan itu yang akhirnya memecah keheningan. Ia tampaknya belum puas meluapkan perasaannya dan tak menunjukan tanda-tanda akan segera berhenti. Tapi, seseorang yang bukan penduduk setempat menyelinap di antara kerumunan dan menariknya pergi. Tentu saja perempuan itu berontak. Sekuat tenaga ia mencoba melepaskan diri sambil tak henti-hentinya meneriaki lelaki yang menyeretnya.

Sepuluh menit kemudian, dua orang asing itu pergi, meninggalkan warga dengan mulut ternganga. Sementara itu, Simbok mulai kembali pada pekerjaannya yang tertunda. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya, serta tak sekalipun ia membalas tatapan ingin tahu orang-orang. Ia bersikap seolah tak ada yang terjadi. Tapi, keesokan harinya Simbok tak muncul untuk berjualan. Pun di hari berikutnya dan berikutnya.
Di belakang Simbok, tak hanya keributan tempo hari yang jadi topik pembicaraan, tapi rumor mengenai dirinya yang ternyata mantan narapidana pun mulai menyebar seperti wabah.

Rupanya, bertahun-tahun lalu ia sungguh membunuh dua anaknya yang masih balita. Simbok tak membunuh suaminya seperti yang dikatakan perempuan itu, tapi suaminya mati bunuh diri.
Simbok membayar kejahatannya di dalam penjara dalam waktu lama. Lima tahun lalu, ia akhirnya bebas. Meski begitu, dendam masa lalu tak mau melepas ia begitu saja. Perempuan yang tempo hari datang adalah adik suaminya, orang yang tak akan pernah memaafkannya.


Menurut desas-desus, Simbok kehilangan akal setelah mengetahui suaminya selingkuh. Ia lantas membunuh anak-anaknya untuk menghukum suaminya. Ia sudah mencoba bunuh diri untuk menyusul anak-anaknya, tapi gagal. Gosip lain mengatakan, Simbok bergabung dengan sebuah sekte sesat yang memuja setan, dan ia memberikan anak-anaknya sebagai persembahan. Gosip lainnya, kehidupan sebagai ibu rumah tangga yang mendorong Simbok pada kegilaan. Apa pun alasannya, membunuh anak sendiri tetap keji.
Simbok bukannya tak mengetahui itu. Hanya saja, keseruan drama Korea yang dua bulan belakangan menghiburnya membuat ia lupa akan siapa dirinya.

Tapi, di dalam kegelapan kamarnya yang sudah beberapa hari ini tak ia tinggalkan, ia kembali ingat. Apa yang dulu terjadi bermain di dalam kepalanya seperti film yang pemeran utamanya adalah dirinya.
Sambil menonton dirinya sendiri, Simbok menatap wajah Lee Min-ho di altar, yang ketampanannya telah menghipnotis dan menjadikannya tak tahu malu. Simbok pun bangkit dan berjalan mendekati altar. Setelah tersenyum pada Lee Min-ho, ia membuka lemari pakaian dan mengambil sebuah kain. Ia lantas menarik kursi, mengikat salah satu ujung kain pada pipa gantung bekas menghubungkan kipas angin ke plafon, lalu mengikatkan ujung lainnya sehingga membentuk celah yang cukup untuk kepalanya masuk.

Ia berpikir, apa yang selanjutnya mesti ia lakukan? Mungkin sudah saatnya ia pindah tempat tinggal lagi sebagaimana yang biasa ia lakukan setiap kali ia ditemukan oleh mantan adik iparnya. Tapi, orang sepertinya memang tak pantas memulai kehidupan baru. Kalau begitu, daripada susah payah melarikan diri, bukankah lebih baik sekalian saja ia pergi meninggalkan dunia?

Dari sudut matanya, Simbok bisa melihat senyum Lee Min-ho yang memesona. Dengan senyum di wajah, ia pun menendang kursi tempatnya berpijak.


Sakit yang tak tertahankan membuat tangan Simbok susah payah mencari pegangan untuk hidup. Sudah jadi insting manusia untuk menyelamatkan diri saat berhadapan dengan kematian sekalipun itu adalah pilihannya sendiri. Tapi, ia sudah kepalang menyebrangi jembatan maut. Ia tak bisa kembali.

Tok. Tok. Tok.

“Mbok?”
Di tengah pergulatannya dengan maut, tiba-tiba Simbok mendengar pintu rumahnya diketuk. Ia masih dapat mengenali suara yang memanggilnya itu. Itu milik mahasiswa yang mengenalkannya drama Korea. Mungkin ia datang untuk memberikan drama baru.

Tok. Tok.

“Simbok? Mbok ada di dalam?”

Simbok mulai merasa seolah ia sedang melayang, dan suara di depan rumahnya terdengar makin jauh. Saat Simbok merasa tubuhnya makin ringan dan yakin ia sudah sampai pada kematian, tiba-tiba ia terlempar ke lantai.

BUK!

Kain yang menggantungnya terlepas dari pipa, mengalirkan udara ke dalam dadanya yang beberapa detik lalu hampir meledak.

Sesaat setelah Simbok jatuh, pintu digedor.

Duk. Duk. Duk.
“Mbok? Simbok?!”
Duk. Duk. Duk.
“Mbok baik-baik saja?! Mbok!”

Simbok yang terkulai di lantai dengan nafas tersengal dan batuk di sela-selanya, terlalu lemah untuk dapat menjawab.
Air mengalir dari sudut matanya dan perasaan malu menyeruak di dalam hatinya. Diam-diam ia bersyukur telah gagal mati.

***

Terima kasih sudah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan sumbangan. Jika kamu suka yang kamu baca dan ingin mendukung penulisnya atau website ini silahkan di share. Jika kamu ingin membantu patungan bayar domain dan server website ini, silahkan klik tombol traktir kopi di bawah ini.

Eksistensialisme, English, Meditasi Tulis, Puisi, Racauan

It’s that time again

It’s that time again when I have become sleepless. And in this state of mind, glimpses of horrendous images comes to mind unexpectedly, triggered by unprecedented scene. I will not give you the context of these images. I just want to share these aesthetically awful memories that will haunt me for the rest of my life.

The body of a friend who got hit by a train.

Strains of hair of an ex girlfriend on the sink.

The scar under the belly of a loved one.

The warm chest of my father who just passed, blood on his lips because he bite his tongue.

Corpse of my uncle, skinny, dark, blood from his mouth, ear, eyes, nose. His body bent and stiffed.

The smell of fresh linen out of my crush uniform in High School.

Her smile while giving me warm milk in morning. The taste of that milk.

The rope on my neck on a failed suicide attempt.

My salty tears, and the wind on my face while driving my motorcycle, after a family tragedy.

That rain when I went home from her house, walking for hours.

The sound of my brother adzan on my father’s grave.

A picture of a woman I love, naked with another man.

These are slide of films, that will bug me for the rest of my life.

And as long as I am alive, my life will always produce it, more and more.

I hope I can be better at editing it.

Baca lebih lanjut
Kontributor, Prosa

Something in the Last

Every Saturday, Anton went to the edge of the lake, where he last spoke with Natasha, his lover. Anton actually didn’t like being in the lake, he despised nature. He leaned against an old oak tree with many scratches on its trunk. Upon that tree, of which invisible remembrances were pinned least to his mind, Anton was taken back to the day, where they last spoke. That afternoon, he had turned down her invitation to go for a hike to the mountains — together. Like they always used to, except that he hated it — nature. Why go to a place where you were never meant to be? Little did he know, this very question, was the reason why he had found himself returning to this very tree.

Three years had passed since the news of Natasha’s disappearance reached Anton’s ears. The guilt and pain in Anton’s heart did not recover, in fact, it got worse. Anton always thought, that maybe it was because he hated nature, that nature responded so cruelly to him. Took his lover. Took his future wife.

But no other year, no other Saturday.

That afternoon, Anton decided to face the very thing he hated. And so he looked upon the lake and saw his reflection atop the cliff where the oak tree sat. A minute’s contemplation passed, yet Natasha was nowhere to be found. Perhaps, thought Anton, if I brave these cliffs, if I brave nature, I might see her again. And so he did. And hoped to see Natasha again. Somewhere, in a better place than nature.