Semua generasi akan punya angst, atau kecemasannya sendiri. Ini masalah krisis eksistensial karena tekanan-tekanan. Dari tekanan keluarga, sosial, politik, psikologi, hingga romantisme. Maka itu, angst adalah perasaan takut dan cemas yang dialami banyak orang, tapi konteks dan hasilnya beda-beda. Untuk saya, Tera, Asep, Kuyut dan Edy, hasilnya adalah Crossing The Railroad. Sebuah album kecil rock and roll tentang kegelisahan generasi kami.
Album ini adalah salah satu titik hidup dari mengolah sakit-sakit yang khas generasi kami: transisi analog ke digital dan masa kini yang tak kami pahami membuat kami berkiblat ke masa yang kami pikir puncak peradaban anak muda: masa beat generation dengan musik blues, rock and roll, dan Psychedelic. Ekspresi menjadi segalanya, dan di atas panggung, berapapun penontonnya, kami bermain dengan ekspresi dan rasa itu. Yang penting ada alat musik dan beberapa orang yang melihat kami.
Setiap lagu adalah hasil kehidupan. Sebagai penulis kebanyakan lagu di Wondebra, saya yang suka mendengar curhat, menulis tentang saya sendiri afau masalah kawan-kawan saya.
Die die baby die adalah lagu tentang kekesalan pada diri sendiri yang sepertinya suka sekali disakiti cinta.
Crossing the railroad ditulis Thera sebagai cara untuk move on, disimbolkan dengan jalan ke kampus, menyebrang rel kereta tanpa palang yang sudah mengambil banyak nyawa kawan kami.
Dig it deep tentang kenyataan dibalik permukaan seorang gebetan yang mengecewakan. Kami memanggil fans kami dulu dengan kata “digger” karena kami ingin kita semua menggali lebih jauh tentang apapun, dan tidak tertipu permukaan.
Ode to Lady Janis, jelas sebuah persembahan untuk Janis Joplin, Dewi Rock and Roll kami.
Obituary persembahan kami untuk Nietzsche dan Tim Burton, tentang kuburan Tuhan yang kita sembah-sembah.
Midnight song, lagu tentang mimpi me jadi bintang rock yang bijaksana, bukan yang selebritas. Menjadi musisi yang mendapatkan pencerahan dengan kabur dari tuntutan hidup yang opresif.
Dan Hell’s kitchen, sebuah deskripsi tentang kacaunya Jakarta waktu itu: pelacuran dimana-mana, macet, panas, tak ada transportasi publik, nyawa murah. Itulah tempat kami hidup.
Angst kami menunjukkan zeitgeist kami: bahwa kini kami semua ada di jalan berbeda-beda, dengan tujuan hidup berbeda-beda, tapi toh masih dalam sebuah kerinduan dan harapan, bahwa kami akan berkumpul lagi sebagai sebuah keluarga senasib sepenanggungan.
***
Terima kasih sudah membaca sampai habis. Semoga kamu sempat mampir dan mendengar musik-musik kami ini.
Website ini jalan dengan sumbangan. Jadi kalau kamu suka yang kamu baca, bolehlah traktir saya kopi dengan menekan tombol di bawah ini:
Saya tidak berani membuat buku, karena saya tidak yakin orang akan bisa mengapresiasi atau memahami karya-karya saya. Namun, melihat umur dan merayakan lebih dari satu dekade menulis, akhirnya saya memberanikan diri membuat buku kumpulan cerpen. Tetap saja, keraguan membuat saya ingin mengetes dulu, dengan kawan-kawan dekat, apakah kumpulan cerpen saya pantas diterbitkan. Maka bersama kawan saya, Selma Nadya, saya mencoba membuat kumpulan cerpen dalam bentuk PDF ini, dan melihat sejauh mana orang akan mendukung saya. Karena ini adalah uji pasar, maka kumpulan cerpen ini belum 100 halaman. Saya membutuhkan uang untuk menyewa editor profesional dan menerbitkan cerpen ini dalam bentuk lebih sempurnanya: sebuah ebook untuk dibaca di HP dan kindle.
Jika kamu mentraktir saya untuk mendapatkan PDF ini, kamu otomatis akan mendapatkan versi kindlenya langsung dari email saya. dengan membeli PDF ini, artinya kamu mendukung buku ini untuk terbit dalam versi kindle. Dan setelah kindle terbit nanti, saya akan membuat cetaknya by request. Karena saya tidak ingin menambah sampah kertas di dunia kita yang sudah krisis lingkungan ini.
Terima kasih sudah membeli dan membaca karya-karya saya. Berikut linknya:
Selama 12 tahun ngajar film, acting, media, nulis, teater dan ngedirect, gue sering ketemu aktor atau orang yang mengaku aktor, yang bikin gue capek banget. Ini konteksnya gue sebagai pengajar, sutradara dan hasil ngeghibah sama temen-temen di industri ya. Kerja bareng aktor-aktor yang nyusahin lumayan sering jadi cukup tahu gimana ngehandlenya, sampe filmnya jadi. Ini 5 macam aktor yang sering ngerepotin gue, dan cara ngehandlenya.
Pertama, aktor yang belajar akting buat jadi bintang atau selebriti. Ini orang-orang menyedihkan yang terpengaruh media atau sosial media soal aktor. Mereka sama sekali nggak paham apa itu akting sebagai seni, dan ingin masuk ke industri sinetron atau apapun yang bisa mewujudkan mimpi glamor mereka. Gue cuma berharap, impian itu cuma jadi pintu masuk untuk menerima sebuah kenyataan bahwa menjadi aktor sama saja seperti pekerjaan seni lainnya seperti melukis, mematung, mengedit, menari, memotret, dll. Tidak ada yang spesial soal seni peran. Ia cuma pekerjaan biasa saja yang perlu bakat dan keterampilan, serta tentunya panggilan hati dan panggilan syuting.
Cara handle: kalo duitnya ga gede, jangan mau kerja sama aktor kayak gini. Kalo duitnya gede, kasih aja apa maunya produserlo. Dan siap-siap tipu-tipu pake kamera aja. Kasih insto buat nangis, siap dubbing, dan siapin astrada buat bacain skrip buat si aktor superstar ini biar dia tinggal ngulang ngomong nggak usah ngehapal. Taik emang, tapi duit, borr.
Kedua, aktor berbakat yang tidak suka membaca. Bisa jadi dia akan jago akting di bawah sutradara yang bagus; bisa jadi dia dapat menyampaikan empati dan perasaan dengan baik, tapi nggak paham subtext naskah, nggak bisa metodologi dalam pendekatan kepada karakter, nggak bisa menjelaskan referensi-referensi yang ia pakai. Sulit kerja sama aktor yang kosakatanya sedikit, susah komunikasi sama dia. Dan metodenya nggak bisa diduplikasi karena banyak yang pake feeling doang, nggak terukur. Terlalu banyak bermain dengan kebetulan. Ga bisa main teknik nafas atau teknik olah tubuh karakter yang bisa mengolah mood dan karakter jadi lebih siap buat di take dan retake.
Cara handle: sediain waktu yang lama buat dia panas. Banyakin ngobrol praporduksi untuk isi kepalanya dengan referensi karena dia biasanya auditory learner, alias males baca seneng ngobrol. Kalo waktunya sedikit, well suruh fake ajalah, pokoknya kelar. Males overtime nungguin doi in the mood. Nggak baca sih, lemot deh.
Ketiga, aktor sotoy metode banyak gaya. Ini ngeselin sih: udah males baca sotoy pula. Dan ini buanyak banget yang gue kenal: dari yang gayanya sok-sok dukun kearifan lokal, gaya orang gila, sampe yang sok rockstar mabok-mabokan di set panggung untuk ngikutin idolanya di jaman orba. Gak jaman bor, kayak gitu. Ini jaman internet, malu lo sama Meissner dan Stanislavski. Brecht muntah di alam kubur gara-gara lo ngomong Verfremdungsteffekt aja ga lancar tapi lo berkoar-koar. Malu lo sama Deadpool yang udah break the fourth wall di bioskop!
Cara ngehandlenya: pecat aja. Suruh suting sama demit atau bikin film art sama Jim Morrison.
Keempat, aktor yang berbakat, tapi nggak mau ngalah demi egonya. Ini aktor yang cuma perduli sama akting dia sendiri tapi nggak sama pertunjukkan atau filmnya secara keseluruhan. Mikirnya akting harus dia yang nikmat sendirian, orang harus ikut dia semua. Self centered actor kayak gini harus kena producer atau sutradara yang bisa nempeleng dia buat ngingetin kalo akting itu proyek tim, bukan proyek sendirian. Dan hubungan antar aktor dengan rekan sekerjanya yang lain seperti hubungan lelaki dengan perempuan: si lelaki harus bekerja keras untuk memberikan kenikmatan pada si perempuan dengan banyak ngalah dan mendengarkan, karena kalau perempuannya orgasme, seksnya berhasil. Tapi kalau lelakinya doang, well, it’s lame bro.
Cara ngehandlenya: ajak ngobrol dan minta tolong buat saling sayang aja sama satu sama lain. Bikin dia ngerti kalo cuma dia doang yang bagus, film ini jadi jelek dan penonton juga males. Kalo dia nggak mau dan ngancem hengkang, lepasin aja. Berarti dia nggak sayang sama elo, lawan mainnya, dan kru yang lain. Tunda aja dulu syuting sampe dapet yang hatinya lebih tulus.
Ke lima, aktor yang ga mau kelihatan aslinya. Akting itu adalah seni kejujuran, bukan seni pura-pura. Karena untuk pura-pura dalam acting, si aktor harus bisa pura-pura dengan jujur sampai semua orang percaya bahwa dia pura-pura. Aktor yang masih punya banyak tembok untuk nunjukkin sisi lemah dirinya, sisi buruk dirinya, adalah aktor yang nggak siap akting. Dia harus selesai dulu menerima diri apa adanya, untuk bisa berkembang. Dan satu-satunya cara untuk menerima diri itu adalah dengan latihan, latihan dan latihan—dengan guru dan sparing partner yang benar.
Cara ngehandlenya: demi filmnya, fake aja udah. Yang penting ceritanya tersampaikan. Habis itu evaluasi, suruh aja latihan lagi. Tapi film yang sudah dishoot, ya sudah. Salah kamu sendiri pilih dia dari awal. JANGAN PERNAH BERUSAHA NGECRACK DI SET! Aktor kayak gini kalo sampe kamu crack emosinya bisa ga terkontrol. Abis itu ga bisa ganti shot atau take ulang. Cracking emosi itu butuh guru yang bagus.
Jadi, kawan-kawan aktor sekalian, gua harap kalian jadi paham ekspektasi gue sebagai director/producer/scriptwriter/mentor kalian. Tapi kalau kalian nggak bisa memuaskan ekspektasi gue, ya nggak apa-apa juga. Toh, banyak aktor yang gue kenal adalah yang 5 di atas. Tapi berharap kalian jadi lebih keren, boleh dong.
Love and peace out lah!
***
Makasih sudah baca sampe habis. Kalau kamu suka sama blog ini, boleh lah nyumbang om yang nulis kopi dengan klik tombol di bawah ini, biar punya motivasi.
EP Pesan-pesan Dari Kamarku Side A oleh Avigayil Enautozoe resmi dirilis dan masuk release radar spotify! Ini EP yang saya produseri dan prestasi ini membuktikan bahwa di usia ke 36 ini, saya berhasil menjadi produser musik. Saya jadi ingin berbagi sedikit tentang pembuatan EP ini, karena usaha yang kami lakukan, walau tidak terasa berat karena kami senang, jika dipikir-pikir panjang juga.
Suatu hari sebelum workshop tiga tahun lalu, Zoe bermain gitar di depan rumah saya. Saya belum benar-benar mengenalnya tapi lagunya begitu akrab dan perih. Komentar pertama saya adalah, “Sakit apa lo, Zo?”
Saya langsung akrab dengan lagunya, dan bukan cuma satu. Dia sudah bikin beberapa lagu. Kebetulan saya punya microphone lumayan bagus yang saya beli untuk VO dokumenter. Dengan itu Zoe merekam beberapa demo. Dan semuanya ajaib. Saya waktu itu memang sudah kepikiran untuk jadi produser musik karena band saya hiatus. Tapi dengan semua kesibukan dan musibah-musibah yang terjadi, niat itu selalu saya urungkan.
Selama menanti ini, Zoe ikut workshop film dan membuat film pendeknya yang pertama dan kedua bersama MondiBlanc Film Workshop. Kedua film soundtracknya dia isi sendiri. Selain filmnya sendiri, Zoe juga membuat soundtrack untuk film kawan-kawan seperti Kalut (sutradara Aka Wiharja) dan Cheap Thrills (sutradara Candra Aditya). Ini adalah soundtrack dari film fiksi pertama Enautozoe, Pergilah Pergi dari film Fiction.
Hingga beberapa bulan sebelum pandemi 2019, saya memutuskan untuk nekat mengajak Zoe, Nando, dan Rojak untuk merekam album Zoe hanya dengan satu gitar, di vila om saya di Banten. Saya ingat di sana ada sebuah ruang serba guna yang akustiknya ajaib. Kami rekaman dengan alat-alat pinjaman dan gitar-gitar yang kondisinya tidak sempurna. Nando merekam semuanya dengan kamera, sementara Rojak menjadi sound recordist yang stres karena walau akustiknya bagus tapi tempat itu punya choir berupa bebek dan soang milik warga sekitar, dan sesekali motor lewat memberikan efek distorsi yang membuat kesal. Saya sempat berkolaborasi dengan Zoe di dua lagu cover.
Tapi itu adalah konsep yang saya inginkan sebagai produser. Sebelumnya saya sudah pernah bekerja dengan Zoe untuk membuat soundtrack film saya bersama WWF Indonesia. Judul lagunya “Sigi” untuk film Sejak Dini. Saya memproduksi lagu itu bersama sahabat saya Avrilla Bayu, seorang arranger profesional. Di situ Zoe berduet dengan mantan murid saya yang lain, Alduri Asfirna. Ini lagunya:
Menurut saya lagu itu dibuat begitu proper dengan teknologi dan teknis yang mumpuni. Namun bukan itu yang ada di kepala saya jika saya ingin merekam album Zoe. Saya merindukan masa-masa muda saya dimana saya dan kawan-kawan band Wonderbra membuat lagu dengan alat alakadarnya, yang penting jadi dan bisa kita bawa ke panggung. Salam merindukan keajaiban kolaborasi dengan keterbatasan, kesalahan-kesalahan manusiawi, dan kenikmatan mencipta, seperti yang kamu dengar di lagu Wonderbra ini yang kami buat di studio kecil kantor ibu saya dulu sekali, hanya dengan gitar dan software jadul komputer.
Setelah rekaman Zoe selesai, saya butuh packaging dan citra yang bisa menyempurnakan rekaman itu untuk dipresentasikan dengan pantas ke khalayak ramai. Musiknya kami buat dengan tidak pantas, maka presentasinya harus bagus. Ada beberapa ide dari Bimo Guntur, salah satu producer dan publicist di EP ini, untuk menyamakan struktur kasar hasil rekaman dengan artworknya. Tapi sebagai produser, saya pikir malah baiknya kita cari penyeimbang, seniman grafis yang karyanya sangat-sangat berkelas. Di kepala saya hanya terbayang satu orang: Jessie Tjoe.
Jessie adalah mantan mahasiswa saya di kelas sejarah seni, dan sampai sekarang tetap menjadi salah seorang seniman lukis yang paling saya kagumi. Sempat ragu, apakah seniman yang sudah pernah pameran dalam Kintsugi ini bersedia untuk berkolaborasi. Ternyata Jessie tetap seorang jenius yang rendah hati. Dia tidak hanya bersedia, tapi juga memberikan effort luar biasa untuk project ini. Sebuah effort yang mengangkat saya dan kawan-kawan untuk memberikan effort yang minimal sama kuatnya, agar hasil kerja kami bisa disandingkan dengan seni mewah ini.
Single pertama, Lagu Panjang Untuk Kisah Singkat, dirilis dengan satu gambar yang sudah jadi dari Jessie dan sudah dipamerkan di IG nya. Setelah itu kami brainstorm dan bekerja lama sekali (karena kami juga masing-masing punya kerjaan lain), untuk menyelesaikan EP side A ini. Maka akhirnya EP ini selesai baik dari mixing mastering, sleeve, art, dan canvas spotifynya.
Bimo Guntur publicist kami bekerja untuk mengajukan EP kami ke release radar spotify dan wow! Kami berhasil masuk! Maka akhirnya dirilislah EP Pesan-pesan dari Kamarku Side A. Dalam release party online, kami berbagi dan mendengarkan album ini bersama kawan-kawan dekat. Sungguh memuaskan. Terima kasih semuanya.
Namun kerja belum selesai. Masih ada Side B. Masih ada rilisan fisik juga yang akan kami lepas dengan sebuah memento: sebuah buku tentang mengolah sakit yang berisi bukan hanya artwork dan lirik, tetapi beberapa life hacks untuk menghadapi penyakit mental ringan yang menguasai banyak penduduk kota. Desember, kami harap pandemi sudah reda, buku bisa dicetak, dan yang terpenting kami bisa manggung live untuk merilis EP side B.
Sementara itu, silahkan menikmati EP side A di spotify. Ini single yang masuk ke release radarnya yang ada di Youtube Topic, untuk sedikit icip-icip.
***
Terima kasih telah membaca sampai habis. Kalau kamu suka yang kamu baca, traktir saya kopi dengan login ke trakteer.id melalui tombol dibawah ini. Traktiranmu memberikan saya motivasi.