Gender, Moral Bengkok, Politik, Racauan

Momentum Pelecehan Seksual dan Kooptasi Oposisi Politik: Dari Sitok sampai @_haye_

Nama pelaku pelecehan  yang disidang massa twitter hari ini, 1 Februari, adalah  Hasan Yahya A (@_haye_) 

Image

Hari ini seorang pelaku pelecehan seksual verbal di twitter dihakimi massa twitter lewat space: digadang, dimaki, dan dihina habis-habisan, setelah ia melecehkan seorang perempuan yang ikut diskusi di Space Twitter di malam sebelumnya. Diskusi yang diikuti adalah tentang ekspedisi, pembuatan film dokumenter, dan aktivisme lingkungan, diadakan oleh orang-orang yang sudah terkenal kritis terhadap rezim, para whistle-blower yang dianggap pahlawan oleh banyak orang. Si peleceh juga adalah orang yang cukup aktif membahas politik dan ia punya lebih dari 20 ribu follower sebagai veteran perang cuitan. 

Ada masa ketika perang cuitan butuh konsentrasi luar biasa, dari kecepatan jari, logika berpikir, dan ketajaman kata makian. Dan si peleceh ini nampaknya adalah Lord of War untuk kata-kata tidak senonoh. Ia tidak punya katup untuk mengendalikan libido dan khayalan joroknya di jagad maya, dan ia pikir semua orang adalah penonton film porno. Rekam jejaknya dalam merendahkan perempuan sudah panjang, tapi kali ini, di tengah kampanye pembelaan sebuah grup aktivis kritis atas misi ekspedisi mereka, si peleceh masuk dan bikin hancur imaji yang sudah rusak. 

Ada pola yang terlihat jelas dalam kasus pelecehan seksual yang melibatkan kelompok politis. Awalnya fokus ke korban, lama-kelamaan akan dibawa menjadi wacana untuk menjatuhkan wacana politik. Dalam kasus Sitok Srengenge dulu, korban cuma jadi pintu masuk untuk merangsek komunitas Salihara dan Gunawan Mohammad. Suara pembelaan dan pendampingan lama-lama hilang dalam makian dan tuduhan-tuduhan kepada komunitas/institusi yang membawahi si pelaku kekerasan seksual. 

Begitupun dalam banyak kasus-kasus lain. Hari ini, peleceh itu mungkin tak akan diadili sedemikian rupa kalau ia bukan bagian dari grup ekspedisi dan berceloteh di situ. Grup yang sejak minggu lalu ‘bacot-bacotan’ di twitter tentang betapa rendah mereka memberi value pada relawan dan betapa kaya nya salah satu dari mereka–konon si peleceh adalah salah satu board dari production house yang hari-hari ini jadi salah satu yang paling produktif dan jadi bagian proyek ekspedisi. Maka ketika kasus pelecehan di twitter ini meledak tadi pagi, makin hancur pula lah reputasi ‘circle’ proyek ekspedisi ini. Banyak korban-korban si peleceh mengambil momentum buat angkat suara, untuk mendukung korban terbaru. Dan ini menyediihkan.

Menyediihkan karena perlu momentum besar hingga pengadilan rakyat net ini bisa terjadi. Perlu proyek besar yang hendak digagalkan biar suara-suara terbungkam jadi keluar, padahal seharusnya satu kasus saja cukup untuk menghukum si peleceh ini. Salah satu keluhan paling menohok secara politik adalah dari Kalis Mardiasih, si mbak feminis muslimah muda favorit saya, yang menjabarkan betapa aktivisme perempuan selalu disuruh mengalah dan ditinggalkan, dibanding aktivisme-aktivisme lain. Hasilnya, lelaki-lelaki hipermaskulin yang tidak bisa mengendalikan congornya (dan anunya) ini membuat gagal proyek kawan-kawannya yang bisa jadi tulus. Menyedihkan sekali bahwa belum sampai kuartal pertama 2022, sebuah film peraih citra, dan sebuah rencana ekspedisi untuk menyelamatkan alam ternoda sampai bau sangit gara-gara satu orang. Dan seandainya misi gerakan perempuan tidak dikesampingkan, orang-orang ini takkan punya congor dan keberanian untuk melecehkan, korban bisa diminimalisir.

Ada orang-orang yang bilang,”Ini konspirasi untuk menggagalkan proyek kritis, ini semua permainan politik.”

Untuk orang-orang semacam ini saya mau bilang dengan tenang: taik lo.

Ini memang politis, tapi jangan mengkhayal ada sebuah kekuatan besar tak terlihat macam Pasukan Mawar atau BIN yang membuat sebuah konspirasi untuk membuat skandal dan menjatuhkan nama filmmaker/aktivis ini. Ini politis karena gerakan aktivismenya membunuh dirinya sendiri ketika dominasi laki-laki dan bahasa patriarki terus menerus digunakan sebagai narasi utama. Jadi tidak perlu rezim atau intel untuk bikin proyek aktivisme terliihat sangat MUNAFIK. Cukup dengan percaya sama teman tanpa recheck dan tanpa memiliki SOP mitigasi kalau kasus seperti ini terkuak. 

Politis di sini personal dan kolektif karena kasus pelecehan seksual sudah sebegitu mengkhawatirkannya hingga satu kasus saja jadi publik, banyak orang akan kesentil. Apalagi kalau kasus yang jadi publik itu dilakukan oleh seorang selebtwit yang mengaku intelektual dan sering bicara buku dan referensi. Maka belajar dari masa lalu, tidak ada salahnya mengambil momentum, tapi kita harus terus fokus pada tindakan pelecehan dan penanganan korban. Jangan sampai momentum yang diambil ini kembali menjadi ajang untuk, “tutup proyeknya, bubarkan PH-nya, cancel filmnya, hancurkan, bakar.” Sebuah proyek atau kantor yang menghidupi banyak orang, yang mengorbankan banyak hal untuk bisa survive dan membantu orang lain, ingin diluluh lantahkan karena ulah satu orang.

Sementara dalam kemarahan dan kekalapan itu, korban ditinggalkan di belakang. 

Jangan jahat. Jadilah manusiawi.

Tabik!

P.S.: Semoga semua institusi belajar untuk membuat SOP mitigasi ketika ada anggota mereka yang terlibat kasus seperti ini, jadi tidak menunda-nunda tindakan atau melakukan pembelaan-pembelaan tidak perlu. Konsolidasi dan cancel secepatnya orang itu sebelum jadi cancer buat orang banyak.


Website ini jalan dengan sumbangan. Kalau kamu suka apa yang kamu baca, boleh traktir penulisnya kopi dengan menekan tombol di bawah ini:

Film, Gender, Kurasi/Kritik, Memoir, Racauan

Quo Vadis, Henricus Pria?

Tulisan ini buat mbak yang komen di IG cinemapoetica. Ya, saya patriarki. Itu ideologi yang dipakai semua orang hari ini. Dan saya feminis, karena saya melawan ideologi itu, termasuk melawan diri dan privilise saya sendiri sebagai lelaki heteronormatif, yang berusaha untuk terus evaluasi diri. Yes, thank you, saya tidak kenal kamu tapi saya menghormatimu. Semoga bahagia dan sehat-sehat, ya.

Ketika rumah produksi Penyalin Cahaya menyebarkan kabar bahwa penulis naskahnya dicoret dari kredit karena menjadi terduga pelaku pelecehan seksual, saya sangat galau. Saya sedang ada di tengah project film panjang pertama saya, 6 film pendek yang saya eksekutif produser sedang jalan post produksi dan satu sedang distribusi, dan saya sudah melabeli diri saya sebagai pembuat film aktivis, arus pinggiran, khusus NGO dan misi humanitarian, plus saya self proclaimed feminist, tapi… Saya anxious dipenuhi rasa bersalah!

Karena faktanya, saya adalah laki-laki heteroseksual yang dibesarkan di dalam budaya patriarki, dan saya belajar soal seksualitas dan feminisme ketika saya kuliah, untuk lebih mengerti ibu saya yang seperti gambarannya Betty Friedan dan gebetan saya yang seperti Helene Cisoux. Itu pun, dalam masa-masa kuliah dan pasca kuliah yang rock and roll (saya punya 2 album rock and roll dan pernah punya groupies), saya bergaul dengan lumayan banyak perempuan. Dan seremnya, saya takut ada yang saya lecehkan tapi saya nggak sadar karena saya bias patriarki. Karena seperti kata Hannah Arendt, kejahatan itu banal. Anwar Congo nggak merasa bersalah membantai Komunis, sampe dia dipersalahkan zaman Baru yang melihat pembunuhan sebagai pembunuhan. Dan kebanyakan boomer yang melecehkan perempuan menganggap bahwa hal yang mereka lakukan normal- normal saja pada masanya. Intinya, banyak pelecehan terjadi karena kebodohan dan kekurangan kemanusiaan. Sejarah seringkali tidak bersifat linear, tapi paralel dan komparatif: seperti ditemukannya perbudakan manusia di jaman ini di rumah Bupati Langkat. Atau pemikiran beberapa aliran puritan Islam yang tidak mau hidup dengan teknologi karena tidak sesuai dengan cara hidup rasul.

Untuk memastikan saya tidak melecehkan mantan-mantan pacar, gebetan atau FWB, saya menjaga hubungan baik dengan kebanyakan dari mereka. Nggak semua soalnya ada yang sudah kawin, beranak, berbahagia dan suaminya insecure, jadi saya nggak hubungi lagi. Anyway, kasus Penyalin Cahaya bikin saya ga bisa tidur dan saya bikin draft tulisan yang isinya nama dan peristiwa dimana saya mungkin saja pernah melecehkan perempuan. Saya berusaha mengevaluasi diri karena takut nanti pas film saya jadi, ada yang mengadukan saya karena saya pernah tolol aja waktu muda. Tapi pas saya tulis, saya malah ketrigger sendiri—secara saya banyak dibikin nangis sama perempuan. Sad boi gitu, tapi mabok dan ngeblues, maklum belom jamannya Emo jadi saya terhindar dari punya poni banting.

Saya sedih diputusin tapi saya nggak pernah dilecehkan. Saya cuma not good enough to be their man. Saya juga nggak merasa melecehkan, karena toh saya bener-bener sayang sama mereka semua, dan saya sangat terbuka untuk tanggung jawab dan minta maaf pada mereka kalau mereka bilang saya menyakiti mereka. Tubuh saya penuh luka yang pantas saya dapatkan karena membuat mereka patah hati. Beberapa ada yang mereka kasih karena mereka kesal saya selingkuh terus jujur, tapi kebanyakan luka saya toreh atau saya pukul sendiri karena saya merasa bersalah menyakiti hati orang yang sayang sama saya. Ah, sudah ah. Sedih.

Akhirnya tulisan itu jadi draft aja yang entah kapan bakal saya keluarkan. Dan saya coba bikin kritik Penyalin Cahaya sebagai filmmaker saja. Tapi setelah saya tonton dua kali, saya langsung bosan dengan filmnya. Filmnya well crafted, bagus banget secara visual dan naratif, tapi nggak mengulik intelektualitas saya kayak film-filmnya Joko Anwar, misalnya. Penyalin Cahaya yaudah gitu aja. Paling kalo mau dikritisi, filmnya ga mengandung keistimewaan feminist secara visual: cewek-cewek di film itu tetap aja tereksploitasi dan jadi fetish buat cowok-cowok yang suka sama cewek feminist. Yes, seperti ada cowok-cowok fetish sama nenek-nenek, orang kerdil, anak kecil, dan perempuan cantik, ada juga cowok-cowok yang fetishnya sama dominatrix atau feminist. Kalau cowok-cowok yang fetish feminist ini adalah masokis, itu lebih baik daripada Penyalin Cahaya. Karena, dan ini simpulan saya sama Penyalin Cahaya:

Penyalin Cahaya secara visual dan naratif memberikan sebuah orgasme pada para lelaki patriarki dominan yang fetish pada feminist, bahwa pada akhirnya para perempuan yang melawan ini mereka kuasai, sistemnya kuasai. Di visual filmnya tubuh, punggung, dan ranah privat sudah diekspos ke penonton, memberikan kenikmatan. Dan cerita-cerita terfotokopi hanya sekedar buang-buang kertas ke jalanan. Secara visual keren, kertas kuning melayang di udara, tapi secara subtansi cuma jadi sampah di jalanan. Long live patriarchy.

Maka kesimpangsiuran kasus Henricus Pria, dan banyak pelecehan lain cuma menambah kuat statement film ini: cerita-cerita pelecehan itu sampah yang buang-buang kertas aja. Toh angka penonton dan penjualan di Netflix tetap tinggi, dan cerita korban berkeliaran seperti gosipan lambe turah saja.

Dan saya tetap tidak bisa tidur. Bukan karena saya merasa bersalah seperti ketika film ini tercekik wacana dan jadi trending dulu, tapi karena kasusnya seperti tulisan di pasir yang tersapu ombak waktu. Saya tidak bisa tidur memikirkan para perempuan yang trauma, terluka, dan melanjutkan hidup seperti veteran perang yang sengaja dibuat kalah dan traumatis. Saya tidak bisa tidur memikirkan, apa yang bisa saya lakukan besok, biar saya, murid-murid saya, generasi masa depan, tidak mengulang pelecehan yang sama. Karena bikin film soal pelecehan seksual, yang menang banyak penghargaan dan sempat bikin Peraturan Menteri no. 30 jadi hits, nggak bisa membuat korban diurus dengan lebih baik. Saya merasa helpless sebagai filmmaker.

Taik kucing semua kertas fotokopian itu. Saya akan bikin pendidikan film gratis aja buat filmmaker perempuan. Jadi mereka ga motokopi cerita, MEREKA SYUTING SENDIRI! Kalau kamu merasa kamu berbakat jadi sutradara, penulis, atau produser perempuan, tapi ga bisa sekolah film, daftar MondiBlanc!


Terima kasih sudah membaca tulisan ini. Website ini jalan dengan donasi. Jika kamu suka dengan yang kamu baca, kamu boleh sebarkan tulisan ini. Dan jika kamu mendukung saya untuk bisa terus konsisten menulis, boleh klik tombol di bawah ini dan traktir saya segelas kopi. Terima kasih.