Politik, Racauan, Workshop

Managemen Konflik part 1: Konflik Hadir dari Cara Orang-orang menghadapi Konflik

Konflik itu tanda kehidupan. Semua orang pasti menghadapi konflik. Tapi justru, karena caranya beda-beda, maka mereka nggak ketemu pemecahanya, komunikasi jadi ancur, hubungan ancur, output… Ya pasti ancur. Jadi ketika terlibat sebuah konflik, kita harus tahu dulu bagaimana cara kita dan orang lain menghadapi konflik, terus kerjasama buat cari cara terbaik untuk mencapai tujuan bersama.

Untuk mengidentifikasi konflik, kita harus paham cara yang sering kita atau orang lain lakukan untuk menghadapi konflik, karena cara-cara inilah yang seringkali justru menghasilkan konflik besar, kalau tidak bisa diatur dengan baik dan tidak dikenali. Ada banyak cara orang menghadapi konflik. Salah duanya adalah kabur, atau mati. Tapi itu ga usah kita itung lah ya. Nggak menyelesaikan masalah. Ini aja, ada 5 cara orang yang cukup berkomitmen untuk tuk menyelesaikan projectnya (bukan masalahnya).

1. Cara kolaborasi

Orang yang menangani konflik dengan cara kolaborasi lebih mementingkan proses daripada hasil, dan cara ini hanya bisa dilakukan kalau prosesnya panjang, intens, dan banyak ngobrol. Tujuannya untuk mencapai hasil terbaik buat semua pihak. Masalah, kalau cara kolaborasi ini dipakai dalam waktu singkat dan terhadap orang-orang yang masih asing. Yang ada bukannya kolaborasi, tapi hasil yang carut marut.

2. Cara Menghindar

Ada orang yang lebih suka menghindari konflik dengan cara mengesampingkannya. Bisa aja ketika dikesampingkan, memang karena ada hal lain yang lebih krusial untuk diurus dulu. Tapi jadi buruk kalau konflik dikesampingkan karena takut untuk dihadapi, atau malas untuk dibahas, terus kamu malah diam aja. Akhirnya akan jadi menumpuk dan sistemnya collapse.

3. Cara Akomodatif

Ada yang ketika mengalami konflik, cenderung lebih mengalah dan memberikan akomodasi terhadap permintaan orang lain. Ini bisa menyelesaikan masalah, tapi bisa membuat masalah lebih besar karena nantinya si orang akomodatif ini bisa tereksploitasi. Cara ini hanya boleh dilakukan  kalau tujuannya bukan hasil, tapi memperkuat hubungan sosial.

4. Cara kompetitif

Ini biasanya dilakukan oleh orang yang berpikir hasil-hasil-hasil. Di sini dia tidak perduli akan orang lain atau grupnya, yang penting hasilnya bagus. Dia bahkan bisa mengerjakan semua sendirian, sangat tidak baik untuk dinamika grup. Konflik tidak diurus, diselesaikan  secara sepihak dengan kekuatannya sendiri. Usahakan jangan pakai cara ini, karena ini merusak hubungan antar personal. Plus, ini bisa bikin gila.

5. Cara Kompromi

Ini biasanya dilakukan oleh people pleaser, untuk memuaskan semua pihak. Biasanya cara ini kita lakukan ketika kita sudah menyerah terhadap hasilnya dan tidak ada waktu lagi. Cara ini efektif untuk bikin konflik dan project kelar. Tapi harus diingat, tidak ada satupun orang akan puas.

Kamu sendiri tipe apa? Jawab dalam hati saja.

**

Nah, kalau kita sudah paham cara-cara orang untuk menghadapi konflik, kita jadi punya mata elang dalam melihat beberapa cara orang-orang dalam menyelesaikan konflik. Sebagai manager/producer/director, kita harus sadar kita cenderung seperti apa, dan bikin jarak: lihat orang-orang di grup kita kayak gimana.

Sekarang mari masuk ke cara mengatur konflik yang mengandung orang dengan cara yang beda-beda dalam menghadapi konflik.

Meta sekali bukan? Konflikception? Hahaha..

1. Peka terhadap konflik

Biasanya kalau saya, selalu mulai dengan apakah ada perubahan-perubahan mood dalam ruang kerja. Itu bisa dilihat dari bagaimana orang-orang ngobrol, gosip-gosip terkini, atau… Bagaimana orang-orang TIDAK NGOBROL. Kalau tidak terbaca, perbanyak komunikasi dengan bertanya soal pendapat mereka soal projectnya. Bisa juga dilakukan dengan japri, biar tahu motivasi tiap orang dan cara-cara orang itu menghadapi konflik.

2. Sans sisbro, ambil jarak
Jangan tegang dulu, ambil jarak dan inget-inget orang kayak apa yang sedang konflik. Kalau kamu yang terlibat dalam konflik itu, minta tolong mediasi aja. Tapi jangan ambil dua pilihan ini: fight or flight. Jangan berantem, dan jangan kabur. Terus gimana? Bikin komunikasi yang dewasa, terstruktur dan berdebat secara bergiliran dengan saling mencatat dan mendengarkan keluhan orang. Jadilah NETRAL dan FOKUS KE FAKTANYA. Dan yang terpenting besarkan hati untuk terima fakta bahwa kamu salah.

3. Selidiki situasinya

Sebelum menghadapi konfliknya, ambil waktu buat menyelidiki dengan bertanya  pada pihak-pihak lain yang terkait. Pastikan tidak ada praduga. Bicara pada orang yang berkonflik secara terpisah dan pastikan kamu paham sudut pandang mereka. Biasanya kalau saya sih, saya tanya balik dengan pernyataan mereka untuk memastikan, “jadi lu ngerasa si anu nggak peduli sama project ini, dan banyakan lu yang kerja?”
Atau “Jadi lu ngerasa si Una susah dihubungin dan ga bilang dia butuhnya apa?”

4. Ambil keputusan cara ngehandlenya.

Coba, setelah masalah teridentifikasi, jawab pertanyaan berikut:

– Ini masalah lebay trivial, atau bisa jadi serius buat keseluruhan project? Lebay trivial tuh kayak, “gue ga suka dia banyak ketombe, geli aja.” Masalah serius kayak, “gue nggak suka dia banyak ketombe, ini kan pabrik coklat dan kerjaan dia ngaduk coklat cair. “

– Harus dibawa ke organisasi atau institusi, apa bisa ditanganin sendiri? Kalo cuma ribut antar orang yang ide kreatifnya clash, mungkin bisa dibicarakan internal. Tapi kalo pelecehan seksual, well hajar bae ke bos-bos.

– Ini masalah di dalam lingkaran kamu sendiri, atau jangan-jangan struktural dan harus dibawa ke atasan? Struktural berarti ada masalah aturan main. Coba dibicarakan apa aturan mainya bisa diubah.

– Ada hubungannya dengan legal nggak? Awas jangan sotoy, hukum harus dibicarakan sama orang hukum.

– Perlu kah diwakili oleh organisasi/serikatmu?

– Apakah kamu harus ambil keputusan prerogatif sendiri, atau harus ngumpulin orang untuk musyawarah mufakat atau voting? Semua kembali ke masalah waktu dan output projectnya.

– Apakah butuh waktu untuk emosi mereda sebelum melanjutkan project?

Jawab semua ini, lalu mulai “kerjakan” Solusi masalahnya. Ya, solusi bukan dicari, dia dikerjain satu-satu sampe beres.

5. Kasih semua orang ngomong tanpa interupsi

Kalo ada waktunya, kasih semua orang waktu buat bicara tanpa ada interupsi. Kalo bisa, ngobrol satu-satu sama semua orang yang terlibat secara privat. Pastikan data yang kamu dapat tidak tersebar atau kamu kasih tahu orang lain.

6. Setelah masalah per individual terkumpul, pertemukan semua orang.

Lihat mana yang mereka bisa katakan secara publik dan mana yang nggak. Emosi boleh ada tapi harus dikontrol. Diskusi harus kamu jalankan, tapi juga harus siap intervensi ketika diskusinya terlalu panas. Selain itu, ekplore alasan-alasan kenapa orang tidak setuju. Minta solusi dari semua orang. Ambil waktu istirahat, lalu berefleksi. Setelah itu ambil keputusan dan minta komitmen tiap orang untuk keputusan itu.

7. Pastikan konsisten dan Evaluasi

Jangan pikir masalah sudah kelar. Terus evaluasi dan peka terhadap konflik baru atau lanjutan. Konsisten pada keputusan yang sudah diambil.

8. Evaluasi diri sendiri untuk mencegah konflik mendatang

Jangan lupa buat evaluasi cara kamu dalam menangani konflik. Apa yang bisa bikin kamu lebih efektif salam menangani konflik itu? Apa saja yang harus kamu pelajari? Mungkin kamu juga perlua training dalam komunikasi, atau ethnografi untuk mengumpulkan data. Perbanyak bergaul, dan selalu belajar dari konflik.

***

Seperti biasa, Terima kasih sudah membaca sampai habis. Blog ini jalan dengan sumbangan, dan saya ingin bisa berusaha konsisten menulis. Kalau tulisan ini membantu kamu, jadilah patron saya dengan mentraktir saya kopi dengan klik di tombol di bawah ini. Thanks for reading.

Adapted from peoplehum.

Buku, Kurasi/Kritik, Racauan, Workshop

5 Produser Yang Bikin Nggak Produktif di Filmmaking

Setelah aktor dan sutradara, kini saatnya bahas soal produser. Produser adalah motornya sebuah film. Film sebagai sebuah barang adalah milik produser–ide nya milik sutradara. Tanpa produser, film hanya akan jadi angan-angan sutradaranya. Semua orang bisa jadi sutradara, tapi jarang yang benar-benar bisa jadi produser, karena dia butuh skill untuk membuat film “terjadi”. Karena kalo produsernya bagus, seringkali tanpa sutradara pun filmnya juga bisa jadi. Tapi tanpa produser, sutradara harus jadi produser biar filmnya jadi.

Tapi kasihan banget kalau sebuah film produsernya nggak produktif. Semua orang jadi susah, komunikasi jadi sulit, dan kalau sampai filmnya jadi, produsernya kemungkinan adalah orang lain atau tenaga gaib di film itu. Berikut adalah 5 produser gak produktif yang sebaiknta kamu hindari kalau diajakin proyekan.

1. Produser Tapi PA

Produser kayak gini sukanya melayani sutradara dan yes-yes aja tanpa bisa jadi sparing partner dalam argumen dan pengembangan ide. Dia nggak punya leadership dan seringkali cuma jadi bonekanya sutradara aja. Dia ga bisa bikin jembatan komunikasi antara sutradara dan kru lain, sehingga kalau dia dapat sutradara yang komunikasinya jelek, atau yang kurang dewasa, produksi filmnya bisa berantakan.

Namanya produser tapi kelakuan kayak PA (production assistant). Padahal tugas dia yang utama adalah mencari jalan supaya dia bisa gabut di set pas syuting karena semua berjalan baik. Perilaku PA-nya ini membuat ketika syuting, bisa jadi dia malah kalang kabut ngurusin semua yang ga keurus karena skala produksi salah perhitungan, atau komitmen kru nggak bisa dijaga.

Etos kerja produser tipe ini dihargai, tapi salah konteks. Mungkin harus belajar lagi ngikut produser lain, atau nyobain jadi sutradara, biar sekali-sekali punya visi.

2. Produser Bossy

Bossy itu berlagak boss tapi ga ada kharismanya. Nggak ngerti konsep, nggak ngerti hierarki, nggak ngerti teknis, terus petantang-petenteng nyuruh orang ini itu. Atau ambil kebijakan yang bakal punya konsekuensi produksi yang bikin rugi banget secara waktu dan uang dan hasil footage.

Hubungan dengan kru nggak terjaga karena komunikasi jelek, dan dia nggak sadar kalau komunikasi jelek karena merasa, well, dia boss. Dia rasa semua baik-baik saja karena dia boss yang maunya tahu beres. Nggak, boy. Produser nggak tahu beres, sebaliknya harus selalu curiga kalau sesuatu beres-beres aja. Minimal jadi punya plan B and plan C sampe Z.

Seringkali ini terjadi karena kurang pengalaman: produser dikerjai oleh sutradara atau kru yang lebih jago jualan daripada dia, sehingga dia terbawa suasana aman dan nyaman, dan nggak bikin planning yang rapih, nggak kritis dalam sebuah produksi. Mungkin cocoknya produser macam ini jadi executive produser saja.

3. Produser nggak gaul

Modal utama produser itu bukan duit tapi pergaulan dan managemen konflik. Dia harus kenal orang banyak yang cukup dekat hingga bisa dia pitch ide-idenya, atau ide sutradaranya. Dia pun harus jago milih teman mana yang mau diajak produksi.

Karena bukan cuma komitmen yang dibutuhkan tapi juga skill, dan skill nggak ada gunanya kalau ga ada komitmen. Produser yang gak gaul biasanya bukan orang yang berkomitmen, karena kalau dia penuh komitmen, maka dia akan punya banyak temen yang ngutang sama dia dan rela bantuin filmnya setengah mati.

Ketidakmampuan managemen konflik dan pergaulan sosial ini jadi masalah sangat besar, karena produksi adalah soal mengatur dan mendesain flow kerja. Produser yang cenderung menghindari konflik, tidak bisa mendamaikan pihak-pihak yang berfriksi, dan tidak bisa menjadi mediator, sebaiknya jangan jadi produser.

Karena kenikmatan produksi film adalah hasil kerja keras pra produksi, ketika semua konflik sudah teratasi, semua orang tersedia, semua fasilitas mencukupi, hingga ketika syuting, semua orang bisa menanggung penderitaan bersama dengan rela dan bahagia.

Syuting yang baik seperti seks yang enak: sakit-sakit-nikmat. Produser keren bisa bikin semua orang orgasme, dan orgasme butuh hubungan dan komunikasi yang enak.

4. Produser sotoy

Sotoy di industri film Indonesia ada di mana-mana. Bayangkan film sebagai media termutakhir saat ini: dia mengandung sastra, teater, seni rupa, seni lukis, seni musik, dan seni-seni lain. Produser yang mau jualan ide dan filmnya harus ngerti luar dalam apa yang dia jual. Tapi kalau dia kalah intelek sama sutradara, production designer, scriptwriter, dll, dia bisa salah jual barang dan ujung-ujungnua dianggap penipu.

Sotoy buat sutradara bisa berujung gak dipake orang lagi, ga ada yang mau kerja sama dia lagi. Tapi sotoy buat produser lebih parah: dia bahkan bisa masuk penjara! Sotoy soal budget, bisa jadi overbudget, sotoy soal konsep bisa dituntut sama eksekutif produser dan investor, sotoy soal seni yang dipakai di filmnya, bisa kena pasal Hak Cipta.

Produser kerjaan yang berat dan kudu teliti dan hati-hati. Orang sotoy di Indonesia punya kesempatan dan tempat buat dipercaya orang lain, tapi hasilnya bisa jadi buruk banget. Jadi produser adalah soal trust dan tanggung jawab. Nama dia akan jelek selama-lamanya kalau filmnya keluar dengan banyak masalah yang membuntutinya.

5. Produser power player

Dia humoris, jago bergaul, jago ngatur budget, jago jualan, tapi dia sering menggunakan posisinya untuk bermain kuasa dengan memeras orang lain baik dengan cara halus, atau dengan modal sosialnya. Dia bisa memeras orang dengan rayuan dan ancaman, dari deal soal harga sampai deal soal seks.

Produser kayak gini baiknya dipenjara saja selama-lamanya. Perilaku patron yang pervert, sudah saatnya hengkang dari muka bumi. Jadi sebelum kerja dengan produser manapun, sejago-jagonya dia, pastikan kalian minta kontrak yang jelas, atau referensi terpercaya sebelum kerja dari kawan-kawan lain kalau memang callingannya harian.

Kalau ketemu produset macam ini, jangan takut untuk cerita dan melawan balik. Cari temen-temen deket dulu, bikin asosiasi, atau masuk asosiasi. Produser kuat dan serem kayak gini harus dihajar dengan persatuan dan kesatuan!

***

Terima kasih sudah baca sampai habis. Blog ini dibiayai oleh sumbangan kalian, lumayan mahal biaya tahunannya. Kuy! Klik tombol di bawah ini:

Racauan, Workshop

5 Cara Menulis dengan Aliran Kesadaran (Automatic writing)

Aliran kesadaran adalah teknik menulis tanpa berpikir. Sang pengarang mengerahkan seluruh imajinasinya secara improvisasi tanpa tahu plotnya akan mengarah kemana dan kapan tulisan itu akan selesai. Ini bukan teknik baru, tapi memang mencapai puncak kejayaannya setelah zaman romantik Eropa, ketika psikologi, psikoanalisis dan naturalisme berkembang pesat sejalan dengan revolusi Industri dan kebutuhan manusia Eropa untuk jadi bebas.

Tulisan ini akan membahas bagaimana caranya menulis dengan aliran kesadaran tersebut, hingga penulis bisa bebas dari writers block, dan bisa produktif dengan tulisan yang tetap berkualitas.

1. Perbanyak referensi

Referensi bisa adalah buku, diskusi, film, seni rupa, seni lukis, seni musik atau apapun yang membuat hidupmu terisi dengan luas. Seleramu harus bisa kamu nomor dua kan, dan kamu harus cukup kepo untuk punya banyak referensi. Semangat belajar dan keingintahuan, bisa membantumu sebagai penulis. Jangan lupa jalan-jalan dan ngobrol dengan banyak orang di perjalananmu.

2. Lupakan referensi

Membaca, menonton, dan diskusi harus jadi keseharian dalam hidupmu, dan dengan itu kamu bisa membawa referensimu ke alam bawah sadar dengan cara melupakannya, lalu membaca/menonton/berdiskusi lagi. Berulang-ulang hingga pemahamanmu utuh. Semakin kamu banyak membaca/menonton, kamu akan sadar bahwa kamu tidak akan pernah membaca karya yang sama dua kali. Karena setiap kali kamu membaca ulang, kamu pun berubah.

3. Mulailah menulis dengan berbagai macam struktur

Sebelum melanggar aturan, kamu harus memahami aturan dengan baik. Maka kamu harus bisa menulis dengan baik dan terstruktur. Kamu harus bisa menulis tanpa banyak berpikir lagi karena kamu sudah biasa dengan cara berpikir struktural. Struktur tulisan sudah banyak rumus dan sumbernya, tinggal kamu pakai terus menerus untuk latihan.

4. Mulailah membuat rencana penulisan

Setelah referensi terkumpul dan kamu pahami, dan struktur pun sudah kamu kuasai, kamu bisa membuat rencana yang berisi daftar bacaan, dan target waktu penulisan. Patuhi bahan bacaan itu, baca semuanya. Lalu kamu buat jadwal kamu akan menulis bebas setiap hari selama satu bulan. Tiga jam per hari.

5. Mulailah menulis

Pastikan jadwalmu kosong dan kamu punya tempat dan logistik makan minum yang cukup. Lalu mulai lah menulis sesuai jadwalmu. Kalau kamu merasa stuck, berarti kamu kurang baca, rekreasi atau olah raga. Tambah bahan bakar diotakmu dan selesaikan targetmu, misalnya, minimal 3 lembar per hari. Dalam 30 hari kamu akan dapat 90 lembar-an. 10 lembar lagi, kamu punya novel.

Btw, website ini ada karena ada yang menyumbang. Jadi kalau kamu suka tulisan ini, traktirlah saya kopi supaya saya bisa tetap berkarya dengan berkualitas. Tekan tombol di bawah ini:

Kamu tentu perlu waktu dan uang untuk bisa tetap menulis dengan baik. Kalau jadwalmu benar, kamu bisa menyelesaikan novel aliran kesadaranmu. Biarkan tokoh-tokoh bertambah dan berkurang, cerita terus berkembang, sampai waktu deadline tiba dan kamu sudah 100 lembar, kamu bisa akhiri novelmu. Akhir tidak harus selalu simpul, ia bisa terbuka biar kamu bisa bikin sekuel. Selamat mencoba!

Film, Racauan, Workshop

5 Sutradara Film/Video yang Kudu Dihindari

Kalau bicara sutradara, ada buanyak banget tipe sutradara yang harusnya dihindari di industri film di Indonesia, karena semua orang bisa jadi sutradara, jadi kayak milih kucing dalam karung. Ini profesi nggak jelas banget di Indonesia, dan ngukurnya jadi sulit karena sutradara film/video adalah pengarah banyak seni dalam satu media. Jadi mari kita batasi dulu kerja sutradara yang kita maksud sebelum kita bahas seperti apa tipe yang harus dihindari.

Sutradara berkuasa atas konsep dan visi sebuah film. Konsep yang dimaksud adalah “pengalihan media dari naskah/cerita/konsep menjadi seni audio visual.” Maka di dalamnya sutradara harus menguasai 2 bahasa: bahasa sastra di naskah/cerita dan bahasa audio visual antara lain: produksi, suara dan musik, acting, mis-en-scene, komposisi visual, sequencing, editing, dan teknologi audio-visual. Sutradara adalah penerjemah dua bahasa ini.

Jika sutradara tidak menguasai, maka tugas pertama seorang sutradara adalah belajar. Belajarlah dari semua orang yang ingin dikombinasikan skill-skillnya, dan belajarnya harus kritis. Sutradara yang bilang, “Gue nggak bisa semua itu, tapi bisanya mengarahkan maunya gue apa,” bukanlah sutradara. Dia baiknya jadi produser eksekutif aja, nggak usah ngedirect. Sutradara nggak perlu mengerti secara keseluruhan, tapi harus bisa mengerti bagaimana bahasa-bahasa itu bekerja, apa saja hukum-hukumnya.

Dari definisi semacam itu, maka minimal ada 5 sutradara yang harus kalian hindari ketika bekerja film/video.

Tapi sebelum lanjut baca, boleh deh kasih gue kopi buat bikin website ini tetep jalan dan kasih gue tanda bahwa tulisan ini ada gunanya dan ada yang baca. Klik dulu tombol di bawah ini:

1. Sutradara yang kepercayaan dirinya tinggi pada semua orang kecuali dirinya sendiri.

Ini banyak banget kita temui ketika sang sutradara bilang, “Gue percaya sama elo,” dan membiarkan kamu kerja tanpa pengarahan yang jelas. Dia cuma ingin kamu yang menyutradarai tapi nama di kredit adalah nama dia. Dan nanti dia akan berdalih, “Memang siapa yang milih elo dan kasih kesempatan buat elo?”

Buat sutradara semacam ini, mari kita sama-sama mengucap, “MasyaAllah… “, karena dia tidak ubahnya sebagai maling yang mencuri hasil kerja orang lain.

2. Sutradara megalomaniak

Semua didikte seakan-akan kamu boneka. Tidak ada ruang untuk kerja sama, kolaborasi. Tidak ada kepercayaan dan pemahaman bahwa film adalah sebuah karya bersama. Walau dia pinter banget dan filmnya bagus banget, nggak nyaman kerja sama orang kayak gini, karena kita ga bisa mengembangkan diri.

Belom lagi kalau dia nyontoh Hitler, sukanya teriak-teriak, lempar-lempar benda, atau ngerendahin kru atau aktornya. Kalau kata seorang anak mondi, “Kayak filmnya paling penting sedunia aja.”

Nah, kalo dia goblok…. duh luar biasa rasanya…. Tapi mari kita bicarakan kegoblokan di tipe ketiga.

3. Sutradara sotoy mampus

Sotoy adalah defense mechanism orang tolol yang ingin menjaga egonya. Tapi tahukah dia, ketika dia bicara hal yang dia gak ngerti-ngerti amat, dia malah akan kelihatan goblok? Tentunya nggak tahu, karena dia jarang mau melihat dari kacamata orang lain. Sutradara macam ini biasanya suka ngemeng, dan ia juga tahu ilmu cuma separo-separo karena malas untuk mencari sumber ilmu itu, malas untuk kritis. Semakin dia nggak ngerti dia akan semakin ngarang.

Apalagi kalau ia punya orang yang diidolakan dan dianggap mentor, tapi sangking idolanya, dia gagal untuk jadi kritis terhadap pemikiran orang itu. Dia pakai kutipan dan kalimat-kalimat orang lain yang ia idolakan, bebas dari konteksnya.

Misalnya, dia suka dengan Bong Joon Ho, dan dia pernah dengar fans Bong lain bilang, bahwa Bong pernah bilang, “Saya tidak suka membuat film berbudget besar, karena kewajiban menghabiskan budget membuat saya tidak fokus pada inti utama dari film yang saya buat. ” Lalu ia beridealisme bahwa dia akan selalu membuat film berbudget kecil (dalam konteks Indonesia, di bawah 1 miliar rupiah). Yang dia tidak tahu, film budget kecil buat Director Bong adalah… 13.5 milyar KRW atau 167 milyar rupiah (Parasite). Budget besar sutradara Bong adalah 50 juta USD atau sekitar 720 milyar rupiah (Okja).

Itu orang yang cinta sama Bong Joon Ho. Bisa diperkirakan orang yang idolanya sutradara Indonesia dan salah kutip atau salah konteks kutipan soal sutradara tersebut soal aktor, misalnya. Ada kasus soal sutradara yang mengelompokkan kelas aktor dengan kemampuan menangisnya. Mungkin sutradara itu idolanya adalah Chefnya Ruben Onsu dan yang dicontek adalah bumbu sambel ayam geprek, bukan filmmaking.

Yang lucu kalo ternyata metode sotoy dia ga berhasil buat bikin produksi filmnya jalan, terus dia break down dan ga bisa gerak. Siapa suruh risetnya ga kenceng. Wkwkwkw… #truestory

4. Sutradara teater di set film

Ketika kalimat, “Saya mau ekspresi wajahmu kuat, keluarkan seluruh emosimu di wajahmu! Matamu harus menunjukkan intensitas rasa! ” Tapi shot yang diambil adalah shot wide yang aktornya cuma kelihatan badannya dari jauh, percuma.

Atau dia selalu mengarahkan aktor dan lupa untuk kembali ke meja monitor untuk cek frame, shot dan sequence, maka… Percuma.

Dia sedang mendirect teater, bukan film. Biasanya dia jebolan teater yang baru masuk ke film, dan gagal alih wahana. Artinya bahasa audio visual film dia juga belom ngerti-ngerti amat, tapi harus ambil peran sutradara seakan-akan produksi ini pementasan teater. Dan biasanya juga kalau cara penyutradaraannya seperti ini, di teater pun dia medioker.

5. Sutradara fix all in post

Ini sutradara nyebelin yang biasanya jago ngedit tapi ga bisa ngedirect aktor dengan baik, dan ga bisa fokus pada produksi visual audio di lapangan; atau bisa juga sutradara yang sedang kejar tayang biar syuting bisa cepet.

Gue bisa deh mentolerir sedikit kalau yang mengedit dia sendiri, atau dia bisa ngedit dan mengarahkan editor. Yang paling nyebelin adalah kalo dia sotoy, nggak ngerti teknik dan teknologi, dan berpikir kalo editing itu bisa memperbaiki semua hal. Sebagai editor yang sering dapat footage jelek, saya mau bilang sama sutradara tipe ini: fuck you.

Film adalah gabungan banyak seni, dan sutradara film harus bisa membuat ruang-ruang yang imbang buat para seniman yang tergabung di produksi filmnya. Maka jangan takut konsultasi, jangan takut bicara, minta tolong, dan persiapkan filmmu dengan baik. Sutradara boleh bodoh hanya pas praproduksi, dan ketika produksi, dia harus jadi yang terpintar di set. Dan pintarnya beneran pintar.