Prosa, Tarung Rahwana

Tarung Rahwana (Part III)

RAMA
JIWA TAK LEBIH DARI PARASIT

“Gue mau nawarin elo kerjaan,” kata pemuda usia belasan bertubuh kekar itu kepada Rama ketika ia membereskan barang-barangnya di kamar ganti sebuah rumah mewah di Bintaro. Ia baru saja selesai bertarung di basement rumah itu, rumah milik seorang pemilik perusahaan minyak global. “Gue Robby,” kata anak lelaki berusia sekitar 20 tahun, berambut cepak dan berbadan agak gempal itu, seraya mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

“Gue tahu lu siapa,” kata Rama. “Gue nggak tertarik jadi bodyguard lu di sekolah.”

Robby tertawa. Rama tersenyum tipis. Ia tahu kalau ada penonton yang terkagum padanya dan sedikit takut. Karena malam itu, Rama baru saja mematahkan rahang lawannya di dalam ring. Robby ada di bangku ekslusif bersama pemilik rumah, yang bisa melihat langsung pertarungan sekaligus ditonton para penonton. ‘Anak pak bos,’ pikir Rama.

“Anjing lo,” kata Robby. “Gue nggak butuh dilindungin. Gue serius nawarin lo kerjaan, jadi security acara bokap gue. Gue butuh orang kayak lo yang siap berantem tangan kosong kalau-kalau ada apa-apa. Gue bayar DP sekarang 20 juta, sisanya 30 juta setelah acara kelar. Dua hari di Karibia, sekalian lo liburan dari semua ini.”

Rama menutup retsleting di backpack berisi celana pertarungan, handuk berdarah dan P3K.

“Tanya manajer gue si Yuda.”

“Udah, dia bilang langsung ke elo aja.”

“Kapan?”

“Minggu depan lo jalan. Kalo lo tertarik gue kirim tiketnya.”

“Kenapa gue? Dan apa yang lo takutin bakal nyerang di pulau itu?”

“Ya karena lo jago lah. Ini pulau pribadi, harusnya sih ga ada apa-apa. Tapi ini pertemuan klub penting. Klub spiritual bokap. Isinya orang penting dan rahasia semua. Gue udah ngomong sama manajer tarung katanya elu juga orang yang banyak rahasia dan nggak banyak cincong. Cocoklah.”

Rama menghela nafas. Mungkin perlu juga istirahat dari semua ini.

“60 juta, DP 50 persen.” kata Rama.

“Deal.”

“Dan itu belum termasuk bagian si Yuda.”

*

Perjalanan ke Pulau St. Barthelemy memakan waktu seharian. Dari bandara Halim Perdana Kusuma, ada pesawat langsung ke St. Barth, perjalanan sekitar 16 jam. Setelah itu naik sebuah shuttle kecil selama dua jam dan sampai lah Rama ke villa yang dimaksud. Di atas gerbangnya tertulis, “Paradiso Perduto.”

Rama sampai di villa Perduto sendirian, karena Yuda tidak boleh ikut. Tiket hanya untuk mereka yang bekerja. Di villa, Rama disambut Albert, seorang kepala pelayan berkulit hitam yang langsung membawa Rama ke belakang rumah, menuju ke satu rumah untuk para pelayan dan para sekuriti, baik pegawai tetap ataupun pegawai sewaan. Tamu-tamu belum ada yang datang di villa itu.

Villa itu sangat luas, Rama dan Albert harus naik mobil golf menuju ke villa para pelayan. Sepanjang perjalanan, Rama melihat lapangan golf, taman, dan tempat landasan helikopter. Ya, tentu saja, para orang kaya ini tidak akan memakai pesawat komersil dan bersusah-susah transit dan ganti-ganti kendaraan.

“Mereka akan naik helikopter semua, pak Albert?” tanya Rama. Dalam hatinya ia bertanya, dari mana ia mulai bekerja, apakah semenjak orang-orang itu turun dari helikopter?

“Sekitar dua kilo dari sini,” kata Albert, “ada pangkalan untuk landasan pesawat jet pribadi. Kebanyakan akan dari situ. Landasan ini cuma untuk Pak Win, keluarga, dan… sahabat terdekat mereka.”

Pak Win adalah bapaknya si Robby, pemilik semua ini, termasuk rumah megah di Bintaro tempat Rama bertarung seminggu lalu.

Rama sampai di villa dan turun bersama Albert. Ia ditunjukkan ke sebuah kamar dengan empat tempat tidur bertingkat. Di kamar itu sudah ada tiga orang lain.

“Ini kamar untuk sekuriti bayaran.” Kata Albert. “Mari saya perkenalkan:

“Yang menjadi kepala sekuriti outsource ini adalah bu Annie,” ia menunjuk ke seorang perempuan yang berambut segi, dan bibir kiri atasnya berbekas luka seperti operasi sumbing. Wajahnya mirip dengan artis Indonesia lama, Yati Octavia, di masa mudanya. Ia memakai kaos abu-abu dengan celana pendek, sedang duduk di pinggir jendela sambil merokok.

“Dan seperti yang sudah saya brief sebelum-sebelum ini,” lanjut Abert,” yang boleh merokok di dalam villa pelayan ini hanya bu Annie.” Annie menghembuskan asap rokoknya ke luar jendela.

“Lalu ada Zack,” Albert menunjuk sebuah ranjang di kanan bawah, nampak seorang lelaki botak sedang tidur menghadap tembok. “Dia ahli senjata di sini, kamu bisa meminta senjata kepadanya nanti. Lemari senjata akan ditunjukkan nanti olehnya.”

“Dan ada Garcia,” kata Albert. “Garcia adalah ahli keamanan cyber, dan akan berkerja jadi koordinator komunikasi kalian di ruang kontrol. Selain kalian, kita juga punya 30 orang sekuriti pekerja tetap, kepalanya bernama pak Juan. Nanti malam ketika briefing kalian akan bertemu dia.” Garcia main HP di tempat tidur kiri atas, ia memakai headset dan tak menyadari kehadiran Rama dan pak Albert di situ.

“Semuanya, ini Rama. Dia bawaan tuan muda kita.”

“Silahkan jalan-jalan di sekitar villa ini, bawa selalu nametag ini supaya kamu tidak dikira penyusup.” Setelah memberikan nametag, Albert keluar dari kamar.

Rama menaruh ranselnya di tempat tidur.

“Laci kamu ada di nomor 4,” kata Annie dengan bahasa Indonesia tanpa melihat ke Rama, hanya menunjuk ke sebuah lemari besar dengan empat laci yang sudah dinomori.

Annie mematikan rokoknya. Ia mengambil sepatu lari dari bawah kursinya dan memakainya. Ia berdiri, tubuhnya kekar dan berisi, kausnya nampak kekecilan menunjukkan otot dan lekukan tubuhnya.

“Kamu bawa sepatu lari?”

“Nggak, mbak.” kata Rama sambil melihat sepati conversenya.

“Ya sudah, pakai saja sepatu itu. kalau kamu tidak bawa baju lain selain yang kamu pakai, temani saya lari sekarang saja.”

Rama bengong, Annie sudah beranjak keluar kamar, lalu kepalanya mendongak lagi ke dalam.

That’s an order. I need to brief you.

Rama menyusulnya.

**

Rama berlari di samping Annie dan ia merasa perempuan itu mengagumkan dalam cara yang lumayan mengerikan. Selain codet di bibir atasnya yang semakin dilihat dekat semakin terlihat bukan karena operasi sumbing tapi karena robek pertarungan, nafasnya ketika berlari sangat stabil. Sepatu kulit Rama sangat tidak nyaman untuk dipakai berlari, tapi ia tetap berusaha mengejar Annie.

“Saya minta pada Robby untuk dicarikan seorang petarung tangan kosong, ” kata Annie. “Kamu akan menyamar menjadi salah satu tamu. Tapi sebelumnya… “

Annie berhenti di sebuah lapangan rumput. “Buka sepatu dan pakaianmu, kita pemanasan sedikit.”

Rama melepas sepatunya, dan ketika ia memasang kuda-kuda, Tiba-tiba tendangan Annie mendarat di dadanya. Ia terlempar ke belakang namun secara refleks, membuat kuda-kuda hingga tidak jatuh. Ilmu pernafasan yang ia pelajari sejak umur 3 tahun tidak percuma: ia bisa membuat bagian tubuh manapun menjadi keras dengan oksigen dan udara, dan instingnya sudah terlatih mendeteksi serangan.

Tidak banyak omong, Annie langsung menyerang dengan kecepatan yang luar biasa. Dan tidak seperti film-film yang koreografinya jelas, pertarungan Annie dan Rama sangat brutal: banyak pukulan Annie yang masuk ke wajah dan tubuh Rama, dan seperti biasa, Rama tidak menyerang dulu sampai ia paham kelemahan lawan. Masalahnya, Rama tidak berhasil melihat kelemahan itu.

Rama berpikir, dengan serangan seintens ini, Annie akan lelah dengan sendirinya. Ia salah, sudah hampir lima menit, dan Annie sama sekali tidak mengurangi kecepatan dan kekuatannya. Rama melihat orang-orang mulai berkumpul melihat sparing mereka.

Setiap hantaman terasa begitu menyakitkan dan pada akhirnya Rama yang roboh. Rama heran, ia belum pernah roboh sebelumnya. Rama selalu berhasil bertahan dan menang karena stamuna dan endurance-nya yang luar biasa. Ia heran kenapa kali ini ia seperti lumpuh, tubuhnya tidak menurut. Ia tiba-tiba roboh tidak bisa bergerak, lalu dibopong ke kamar.

Ketika ia dibopong, Rama berpikir kenapa Annie, kepala keamanan acara ini, menyakitinya sedemikian rupa? Apa salah dia? Apakah ia hanya ingin dipermalukan?

“Don’t worry, bruh, ” Kata Garcia yang membopongnya. “It’s gonna get better. Trust me.”

Dan perlahan kesadaran Rama hilang, ia terlelap.

***

Rama bangun di tempat tidur bawah di kamarnya karena dengkuran seseorang. Zack, si ahli senjata tidur di atasnya. Sementara di tempat tidur lain ada Garcia di tempat tidur atas, sementara tempat tidur bawahnya kosong. Tempat tidur Annie.

Rama sudah lama sekali tidak tidur senyenyak itu. Tanpa mimpi, tanpa gangguan apapun. Dan ia bangun dengan sangat segar. Rasanya, tubuhnua ringan sekali. Tapi ia bau, dan ia tidak suka bau. Ia bangun dan mengambil handuk di tasnya lalu beranjak ke kamar mandi.

Di kamar mandi yang besar dengan barisan shower itu, air hangat mengucur mengaliri tubuh Rama dan kulit gelapnya. Rama memperhatikan bekas-bekas pukulan Annie yang anehnya ada di titik-titik tertentu di dada kiri, kanan, tengah, punggung, kaki bagian belakang, tengkuk. Ia teman-teman bagian dengan darah beku itu dan tidak terasa sakit sama sekali. Ia seperti habis diterapi.

“Aliran Chi kamu banyak penyumbatan, ” Suara perempuan terdengar diantara uap-uap air. Annie masuk dengan tubuhnya yang kekar dan telanjang. Ada bekas-bekas luka di sekujur tubuhnya. “Jangan pernah membiarkan luka membusuk terlalu lama.”

Annie mandi dengan cuek di sebelah Rama, seperti dia tidak ada. Setelah apa yang terjadi, Rama tidak berani melihat kepadanya. “Apa yang kamu lakukan padaku tadi?” Tanya Rama.

“Aku nggak mau mempertaruhkan nyawaku sama orang sakit. Paling nggak, sekarang urusanmu tinggal trauma mental saja. Fisik sudah kubereskan. “

Ia selesai mandi dengan cepat dan pergi begitu saja, meninggalkan Rama di kamar mandi, dalam ereksi.

Bersambung…

Jika kamu suka yang kamu baca, boleh traktir saya kopi biar saya tetap semangat menulis dan bisa menyelesaikan cerita ini.

Prosa, Tarung Rahwana, Uncategorized

Tarung Rahwana (Part I)

http://cdn.fantasiafestival.com/
http://cdn.fantasiafestival.com/

RAMA,
DI ARENA KEHIDUPAN HANYA ADA KESENDIRIAN

Pandangannya kabur. Ia jatuh terjerembab di lantai semen dan ia melihat genangan darah yang mengalir dari wajahnya. Suara orang berteriak-teriak bergaung. Perlahan ia lihat sesuatu melayang dengan lambat semakin cepat ke arah wajahnya: sebuah tendangan.

Dengan sigap ia lemparkan tubuhnya sendiri dengan kedua tangan yang menyentuh lantai, dan ia berdiri. Tendangan lawan gagal mengenai wajahnya. Sulit untuk melihat. Matanya sudah bengkak, dan darah membuatnya kelilipan.

Suara-suara bergemuruh. Ia melihat ke arah penonton yang garang. Semua nampak marah padanya. Ada yang marah karena ia tak juga mati, sisanya marah karena ia hampir kalah. Di arena itu bukan hanya para petarung yang bertaruh nyawa; para penjudi bisa habis ratusan juta bahkan millyaran dan taruhannya nyawa mereka bisa habis oleh lintah darat.

Pukulan mendarat di perut, lalu ketika si lawan hendak memukul wajah, ia menangkisnya tapi tetap terlempar ke belakang. Lawannya kali ini lelaki bertubuh kecil tapi begitu lincah. Pukulan-pukulannya tajam. Mata si lawan mengingatkannya pada diri sendiri ketika ia muda: berapi penuh ambisi. Sesuatu yang tak dimilikinya lagi sekarang. Ia hendak menyerah. Ini semua begitu melelahkan, pikirnya. Ia hanya bergerak dengan insting bertahan, bukan dengan keinginan untuk menang.
Memalukan, pikirnya. Ia yang sudah 10 tahun jadi petarung harus kalah karena seorang perempuan. Ya! Seorang perempuan! Betapa kisah yang picisan! Betapa lucu! Betapa—BHUAAAK!!! Pukulan mendarat di wajahnya dengan keras! Beberapa butir gigi menyembur bersama darah dan ludahnya!

Untuk entah ke berapa kalinya, ia terjerembab. Namun kali itu ia tertawa. Ia tertawa sangat keras dan buliran air mata keluar dari matanya, bercampur darah di wajah. Ia tertawa terbahak-bahak karena dalam sepersekian detik ketika ia menerima pukulan itu ia sadar:

Ini bukan film, bukan juga roman picisan soal seorang petarung. Tidak ada akhir bahagia dalam kisahnya. Karena tidak akan ada perempuan yang berteriak padanya untuk berdiri dan bertarung. Ia takkan datang. Tidak ada kekuatan cinta yang bisa membantunya berdiri dan jadi kuat.
Sekali lagi ia melihat bayangan lambat menujunya: kaki sang lawan hendak menginjak wajahnya…

Ia menahannya dengan kedua tangan. Ia berteriak keras dan melempar kaki itu, membuat lawannya mental ke belakang. Ia berdiri. Ia berlari sekuat tenaga menuju si lawan dan duduk di atasnya, mengunci lawannya. Ia pukul lawannya berkali-kali. Si lawan berusaha menahan dengan tangannya, tapi percuma. Pukulan bertubi-tubi itu tak henti-henti. Ia mukul perut, dada, wajah, tangan, ia mengepalkan tangannya dan memukul ubun-ubun lawannya sangat keras. Lawannya menjadi lemas, dan meregangkan pertahanan. Ia buka tangan yang menutupi wajah si lawan, dan memukulinya lagi dan lagi dan lagi.
Tidak ada wasit dalam pertarungan itu. Tidak ada yang menghentikannya. Wajah si lawan remuk, tapi ia tak juga berhenti. Semua orang berteriak-teriak kegirangan untuk beberapa menit, namun kemudian mereka diam. Mereka mulai menyadari bahwa si petarung gila! Ia tidak henti-henti memukul! Lawannya sudah mati, itu sudah jelas! Tapi pukulan itu terus bertubi-tubi.
Di bangku penonton terdepan, seorang gemuk berkacamata dengan setelan jas berwarna jingga memberi aba-aba kepada beberapa orang yang sepertinya anak buahnya. Sekitar 5-6 orang masuk ke arena pertarungan dan memisahkan si petarung dari mayat itu.

Sempoyongan dan terhuyung-huyung si petarung dibawa ke tengah arena, dan MC yang sedari tadi ketakutan melihat keganasan si petarung berteriak dengan mikrofonnya: “Hadirin Sekalian! Sambutlah! Juara kita dengan rekor menang paling banyak dan lama: Ramaaa!!!”
Sontak penonton berteriak kegirangan dan mengelu-elukan namanya: Rama! Rama! Rama!

Saat itu Rama tidak merasa menang, tidak merasakan kebahagiaan seperti kemenangan-kemenangan sebelumnya. Hari itu Rama kalah total.

Karena Sintanya tidak ada di situ. Ia merasa sendirian dan terasing.

Prosa, Tarung Rahwana

Tarung Rahwana (Part 2)

SINTA
KESUCIAN ITU BUKAN MILIK PEREMPUAN

Lelaki itu mendengkur keras. Perutnya yang gemuk kembang-kempis dan penis mungilnya nya terjepit sembunyi di antara lemak tubuhnya. Sinta terbaring di sebelahnya, telanjang. Matanya terbuka sedari tadi dan ia menunggu sampai laki-laki itu benar-benar tertidur pulas. Lalu ia bangun dan pergi ke kamar mandi.

Ia menyalakan shower, memastikan air cukup hangat dengan tangannya yang lentik. Ia membiarkan air itu mengalir melewati rambut panjangnya yang kemerahan, kulitnya yang halus dan putih dengan bekas-bekas cengkraman tangan dan luka cakaran. Air melewati lekuk sempurna tubuhnya, bibir tipisnya terbuka sedikit dan hembusan nafasnya menggoyahkan uap air dengan sedikit desahan menahan sakit ketika air membasuh luka-luka di leher, payudara, puting susu,punggung dan pantatnya.

Lelaki, pikirnya, semakin tidak perkasa semakin merasa perlu menyakiti perempuan.

Rasa sakit ini tak ada apa-apanya, kata Sinta dalam hati. Kasihnya jauh lebih sakit lagi. Lukanya lebih banyak lagi. Dan adalah tugasnya sebagai pasangan jiwa, untuk menanggung sakit yang sama. Walau kasihnya tidak tahu. Walau kasihnya merasa sendirian. Tidak ada yang perlu tahu. Rahasia adalah milik perempuan.

Ia mengeluarkan sabun dan shampoo dari botol kecil yang disediakan hotel dan menghabiskan isinya, menggosokkannya ke seluruh tubuhnya. Ia kotor. Ia begitu kotor. Dan bau itu, bau lemak terbakar keringat yang asam dan menyengat seperti sampah busuk tidak bisa hilang sama sekali dari tubuhnya. Bau cengkraman, bau keburukrupaan, bau keserakahan… ia terus menggosok-gosok kulitnya hingga lecet. Darah keluar lagi dari luka-lukanya. Bau itu tak juga hilang.

Bau sepuluh lelaki.

Sinta begitu cantik, begitu sempurnanya, hingga sebagai pelacur ia hanya butuh sepuluh lelaki untuk membuatnya kaya raya. Hanya butuh sepuluh lelaki untuk membuatnya menjadi selebriti terkenal tanah air, menjadi model majalah pria dewasa, penyanyi, pemain sinetron, MC infotainment dan memiliki semua yang tak mungkin dimiliki kebanyakan perempuan: kekuasaan dan harta. Sepuluh lelaki membuatnya terlihat suci. Semua orang melihatnya putih, semampai, dan setiap langkah dan harum tubuhnya membuat Sinta seperti malaikat.

Namun kini seluruh pakaian mahal, kemewahan, parfum-parfum rancangan orang-orang ternama kini tak bisa membuatnya harum lagi. Semua karena seorang lelaki yang sentuhan lembutnya, dan ciumannya membuat Sinta merasakan kerinduan yang ia pikir sudah habis dimakan kerasnya hidup. Pada suatu percumbuan, Sinta dan lelaki itu, Sri Rama-nya, menangis bersama. Dan air mata meluruhkan seluruh kesucian palsunya dan membuatnha benar-benar suci.

Sampai sepuluh lelaki kotor mengambilnya kembali.

Sepuluh lelaki kotor dan bau telah menjamahnya. Sepuluh lelaki menjilati kulitnya, vaginanya, anusnya. Sepuluh lelaki menyiramkan sperma-sperma kepadanya, ke setiap bagian tubuhnya. Tubuhnya lengket. Ia kotor. Ia kotor. Ia kotor.

Kotor.

Rama mengecup keningnya dan berkata, “Kau membuatku suci. Kau membasuh semua lukaku, hingga aku ingin hidup. Untukmu.”

Waktu itu Sinta bilang, “Jangan. Hiduplah untuk dirimu sendiri. Kita tidak pernah ada. Kita adalah rahasia dan aku butuh kau sadar itu. Kalau kau mencintaiku, rahasiakan kita.”

image

Air dan sabun dan parfum dan gaun dan emas dan berlian tidak bisa membersihkan tubuh Sinta. Bau itu tidak juga hilang dari tubuhnya. Bau yang muncul ketika ia sadar betapa ia mencintai Rama-nya. Dan di antara sepuluh jenis bau busuk, ia mencari harum kasihnya, harum keringat khas lelakinya yang sulit ia temukan. Ia butuh peluh itu lagi. Ia butuh merasakan tubuh lelaki itu di tubuhnya. Ia butuh kesucian itu lagi. Hanya lelakinya yang bisa mengembalikan kesucian itu.

Kesucian bukan milik perempuan, pikirnya. Ia ingat kesucian itulah yang membuat lelaki-lelaki ingin mengotorinya. Kesucian membuat lelaki-lelaki menjadi gila dan menodai perempuan menjadi tanda kekuasaan. Bukan! Sinta berteriak di dalam hatinya. Itu bukan kesucian!

Kesucian hanya bisa ada ketika seluruh kotoran ini bisa dibasuh. Ketika semua ini luruh dalam pelukan lelaki yang ia cintai. Ia hanya berharap lelakinya tetap hidup. Agar sekali lagi mereka bisa bercinta. Sekali lagi mereka bisa tersucikan. Dan mereka bisa mati dalam kesucian itu.

Sepasang tangan kokoh mencengkram Sinta dari belakang, membuka selangkangannya dan menjambak rambutnya. Memaksanya membungkuk. Memukul pantatnya. Dan air mengalir. Air dari shower terus mengalir seakan memancing air mata Sinta untuk keluar.

Tapi tak akan ada air mata. Tak akan ada erangan. Air mata dan erangan perempuan hanya akan membuat ego babi lelaki semakin buas. Teruskan, kata Sinta dalam hati. Karena sakit ini belum apa-apa.

Lelakiku jauh lebih sakit.