Film, Kurasi/Kritik

Diproteksi: 7 Jebakan Vina Sebelum 7 Hari

Konten berikut dilindungi dengan kata sandi. Untuk melihatnya silakan masukkan kata sandi Anda di bawah ini:

Film, Kurasi/Kritik

Exhuming Siksa Kubur: Agama Yang Mengabur

Satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah kematian, sisanya adalah interpretasi, imajinasi, dan hasil komunikasi. Lebih ekstrim lagi Jacques Lacan, seorang psikoanalis dari Prancis mengatakan bahwa satu-satunya yang nyata adalah kematian sisanya imajinasi.  Seperti kutipan bahasa Inggris lama, ‘A dead man tells no tale’, orang mati tak akan pernah bercerita.

Cerita tentang ada apa setelah mati adalah cerita yang sudah dibuat sejak zaman nenek moyang kita bahkan mungkin pada spesies manusia sebelum kita seperti Neanderthal yang menguburkan sesamanya di tempat tertentu dengan ritual tertentu. Salah satu yang paling terkenal tentunya budaya Mesir kuno yang membuat mumi dari orang-orang yang mati. Suku-suku di pedalaman Amazon atau beberapa suku di peradaban lama memotong kepala orang yang mati dan mengecilkannya menjadi sebuah jimat atau memumikannya untuk dipajang di dalam rumah sebagai kenang-kenangan seperti sebuah foto keluarga.

Semua budaya ini bicara tentang akhirat atau hidup setelah mati dengan cara yang berbeda-beda dan dengan tujuan yang berbeda-beda pula. Ada yang merasa bahwa setelah mati seorang harus dirawat jasadnya supaya ia bisa sampai ke dunia kematian dengan selamat. Ada juga yang merawat jasad atau mumi atau kepala orang untuk bisa selamat di bumi agar yang mati tidak balas dendam. Ada juga mengkremasi jasad yang mati dan menyebarkan abunya supaya si mati bisa kembali dalam lingkaran kehidupan atau samsara atau agar mereka bisa mencapai nirwana. Kurang lengkap juga rasanya kalau kita tidak bicara tentang pemakaman dengan menaruh jenazah di kapal lalu melayarkannya ke tengah danau atau laut lalu membakarnya dengan panah api seperti yang dilakukan oleh orang-orang Viking. Ada juga yang jenazahnya dibuang langsung ke laut supaya jadi makanan ikan seperti yang banyak terjadi di suku-suku pesisir atau nelayan.

Tapi yang paling menarik untuk saya sekarang ini mungkin tradisi menguburkan orang; sebuah tradisi yang didapatkan dari agama-agama semit atau Judeo-Kristiani-Islami yaitu agama-agama yang dibawa oleh nabi-nabi dari daerah Timur Tengah. Konon budaya ini dipelajari anak Adam dari burung gagak yang mengubur gagak lainnya. Tentunya budaya menguburkan jenazah tidak hanya milik agama-agama semit. Di beberapa agama atau kepercayaan di Cina, Jepang, dan Korea misalnya juga ada tradisi menguburkan orang dan bukan mengkremasinya. Di sinilah saya ingin membahas tentang budaya menguburkan di dua film horor fenomenal tahun ini Siksa Kubur (Joko Anwar) dan Exhuma (Jang Jae-Hyun).

Kedua film tersebut bercerita dari sudut pandang konstruksi budaya soal jenazah dan kematian di dalam budaya Indonesia dan budaya Korea. Saya tertarik untuk bicara tentang tiga hal. Pertama saya tertarik untuk bicara tentang tokoh utamanya yang dua-duanya perempuan. Kedua Saya ingin bicara ritualnya tentang pemakaman baik di Islam dan di non Islam, khususnya konteks kuburan di Indonesia dan di Korea. Ketiga saya mau merenung juga bagaimana mayat diperlakukan dalam dua film ini, bahwasanya mayat sakral, namun di luar film ini, mayat menjadi semacam abjeksi atau menjijikan, khususnya ketika ia menolak mati.

Tokoh dan bahasan

Dalam budaya agama semitik, perempuan dan laki-laki dimandikan dan diproses sesuai dengan gendernya masing-masing. Laki-laki akan dimandikan oleh laki-laki dan perempuan dimandikan oleh perempuan. Setelah itu mereka akan dibungkus dengan kain kafan dan diikat. Dalam proses pemakaman ritual dipimpin oleh laki-laki sejak salat mayit sampai penguburan. Ini dilakukan karena agama semit adalah agama patriarkal. Dalam Siksa Kubur, tokoh bernama Adil (Muzakki Ramadhan-Reza Rahadian), adik Protagonis Sita (Widuri Putri-Faradina Mufti), adalah seorang pemandi jenazah yang memandikan jenazah-jenazah laki-laki. Terlepas dari protagonis utama yang adalah seorang perempuan, film Siksa Kubur berusaha bergerak dalam sebuah ranah agamis khususnya Islam untuk tetap setia kepada kebudayaan dominan dari penontonnya.

Sementara itu dalam Exhuma, tokoh protagonisnya juga perempuan Lee Hwa-rim (Kim Go Eun) yang punya sidekick laki-laki, Bong Gil (Lee Doh Hyun). Hwa-rim adalah dukun (Mudang) yang memegang peran penting dalam ritual-ritual pemakaman atau ritual-ritual tolak bala di Korea Selatan. Dukun-dukun perempuan ini cukup dibanggakan oleh budaya Korea dan sudah sering kita lihat di dalam banyak film atau seri Korea. Walau tetap saja yang menggali kubur dan menguburkan adalah laki-laki sesederhana karena ini adalah pekerjaan fisik, yang secara distribusi kerja biasanya dilakukan oleh laki-laki.

Kedua film punya protagonis perempuan yang berhadapan dengan kematian, dengan sidekick laki-laki yang jadi korban (atau berkorban). Buat saya ini menarik karena biasanya ketika kita bilang soal perempuan yang lebih dulu terpikir di kepala orang yang dibesarkan di budaya patriarki adalah peran ibu dan kelahiran bukan kematian. Jika pun dihubungkan dengan kematian, perempuan lebih sering jadi setan jahat yang dendam dengan budaya patriarki yang menyakitinya ketika hidup. Hantu perempuan, sering kali adalah wujud rasa bersalah kebudayaan kepada perempuan, yang menjadi ibu arkaik.

Di Siksa Kubur dan Exhuma, tidak ada tokoh ibu arkaik yang menakutkan seperti Medusa yang membekukan semua yang melihatnya atau tentunya ibu di Pengabdi Setan atau wewe gombel dalam film Joko Anwar yang lain,  A Mother’s Love. Walaupun Pengabdi Setan satu dan dua punya protagonis perempuan tapi film-film tersebut punya antagonis yang juga perempuan.

Sementara itu Exhuma punya musuh yang sangat maskulin: penjajah Jepang, hantu Samurai (atau shogun) dan pembicaraan soal batas wilayah yang diatur dengan pasak, juga soal darah priyayi pengkhianat bangsa, yang kaya sekaligus terkutuk. Exhuma jelas politis, sementara Siksa Kubur filosofis.

Siksa Kubur membicarakan tentang betapa absurdnya kepercayaan tentang kematian, yang interpretasinya macam-macam ini. Karena, seperti kata Hamletnya Shakespeare, kematian adalah daerah yang mana tak ada pengelana yang akan kembali, maka narasi tentang mati dan siksa kubur, serta sequence menuju akhirat jadi ruang imajinasi tanpa batas, berdasarkan cerita, referensi, dan pengalaman (termasuk trauma-trauma kita).

Untuk mereka yang berasal dari kelas terdidik dan senang berdiskusi filsafat, premis Siksa Kubur tentang skeptisisme dan kesombongan manusia akan kepercayaannya sendiri ini, jelas klise dan tak menantang. Tapi coba kasih saya satu saja tiktok atau channel youtube filsafat Indonesia yang membicarakan hal ini dengan viewer 3 juta orang lebih, seperti jumlah penonton Siksa Kubur. Di negeri dimana Bansos bisa membeli suara politik, berapa banyak yang sempat berpikir tentang interpretasi lain soal kematian selain apa yang dicekoki agama? Pertentangan antara protagonis perempuan muda yang kritis, dengan antagonis lelaki tua patriarkis yang juga sama kritisnya, membuat film ini menjadi sebuah essay filsafat yang dibungkus dengan estetika sinematis.

Horor yang menantang penontonnya

Horor konvensional, biasanya berpikir bahwa filmnya komersil dan tidak politis. Bahwa penonton diberikan rasa takut, dan diposisikan sebagai protagonis yang melawan kekuatan jahat. Plot klasiknya seperti protagonisnya orang kota dan hantunya ada di desa atau di rumah tua atau di kuburan. Kepada penonton tidak ada tantangan lain yang secara langsung melibatkan hidup mereka. Tapi di Siksa Kubur dan Exhuma, penonton disandingkan, kalau bukan ditandingkan, dengan isu-isu berat yang sebenarnya ada di kehidupan sehari-hari.

Siksa kubur menantang penonton dengan berbagai macam pemikiran filsafat yang mengganggu kesadaran sehari-hari penonton tentang pertanyaan-pertanyaan dasar filsafat ketuhanan. Sebuah materi yang biasanya didapatkan di kelas dasar-dasar filsafat tapi cukup tabu untuk dibicarakan secara umum. Tokoh Pak Wahyu yang dimainkan dengan apik oleh aktor senior Slamet Rahardjo memberikan performa soliloqui yang luar biasa seperti dalam film Network (1976), di mana hal ini sangat jarang ditemukan atau bisa dimainkan oleh kebanyakan aktor-aktor film Indonesia masa kini–mungkin kita masih bisa menemukan akting semacam ini di teater. Adegan panjang Pak Wahyu adalah sebuah kuliah umum yang mengganggu kenyamanan sistem kepercayaan penonton awam, dengan logika-logika ateisme dan argumen-argumen sosiokultural.

Sementara itu Exhuma memaparkan secara simbolis okupasi Jepang ke Korea sejak abad 16 hingga perang dunia ke-2. Disampaikan dengan misi untuk mensucikan kuburan seorang aristokrat yang berpihak pada Jepang di perang dunia ke-2 di mana di dalam kuburan itu terdapat dua peti mati dan terdapat pula iblis yang berbentuk Shogun atau samurai yang kita bisa sambungkan dengan perang Imjin di abad 16 tadi. Perang Imjin adalah okupasi Jepang ke Korea di tahun 1592 sampai 1598 untuk menguasai Korea dan menjadikannya pertahanan melawan Cina. Beberapa ratus tahun kemudian Jepang kembali mengokupasi Korea di tahun 1910 sampai 1945. Penjajahan ini menyisakan trauma yang besar untuk rakyat Korea karena ada pemaksaan untuk penghapusan budaya Korea juga pemaksaan perempuan-perempuan penghibur yang di Indonesia kita kenal sebagai jugun ianfu, serta banyak pembantaian orang Korea. Menggali kubur seperti sebuah metafora tentang menggali masa lalu dan segala isi traumanya yang sangat menakutkan untuk orang Korea. Kita di Indonesia yang merasakan okupasi Jepang selama 3,5 tahun sudah cukup trauma, sementara Korea telah mengalaminya berabad-abad lamanya.

Maka dengan ini makna menggali kubur di dalam kedua film sama-sama bisa dikaitkan dengan menggali trauma-trauma dan ketakutan-ketakutan akibat opresi serta penderitaan di masa lalu. Dalam siksa kubur neraka bagi tiap orang dikatakan berbeda-beda tergantung pada pengalaman dan konstruksi sosial dalam membentuk nurani seseorang. Sementara dalam Exhuma ada trauma kolektif yang digali keluar karena arwah nenek moyang yang tidak tenang, nenek moyang yang terkutuk dengan dendam dan kerakusan.

Sentimen kelas dan absensi moral

Secara sosial tokoh Sita dan Adil adalah kelas menengah bawah yang terjebak karena orang tua mereka meninggal. Sementara Hwa-rim dan Bong-gil adalah kelas menengah yang disewa oleh golongan atas untuk menyelesaikan masalah mereka. Kedua masalah besar di dalam film ini adalah karena kelas menengah atas yang rakus dan berdosa sehingga membawa banyak korban, termasuk anak dan cucu mereka sendiri.

Jadi menarik untuk membicarakan soal kelas atas dan fleksibilitas moral yang dianut ketika ada keamanan hukum dan finansial dan kebebasan untuk bertindak semaunya. Justifikasi moral tidak lagi diperlukan dalam sebuah keberadaan yang penuh dengan imunitas hukum dan politik. Dalam buku Beyond Good and Evil, bab 9 berjudul What is Noble?, filsuf Nietzsche mengatakan bahwa orang-orang dari kelas atas atau kelas yang memerintah yang mengatur masyarakat adalah orang-orang yang merasa bahwa mereka hidup dengan melampaui nilai baik dan jahat dan boleh hidup tanpa terhubung dengan pertimbangan moral yang universal. Dengan pemahaman ini mereka merasa berhak mengeksploitasi kelas yang lebih rendah atau hal-hal yang asing untuk mereka. Mereka merasa berhak untuk bertindak di luar apa yang baik dan yang jahat bagi kemanusiaan karena mereka bisa melakukannya. Mereka menormalisasi tindakan-tindakan amoral, kecurangan-kecurangan karena mereka merasa mereka punya golongan-golongan yang kuat diantara mereka sendiri dan mereka berhak untuk melakukan semua hal itu karena mereka bisa. Miriplah dengan pemimpin yang dengan enteng menyuruh orang miskin untuk jadi pengusaha, atau tidak ada salahnya nepotisme orang dalam dalam proyek negara. Sekalian saja pakai uang negara untuk sunatan anak.

Ketika berhadapan dengan kaum pengatur ini atau kelas atas ini yang berada di lantai teratas strata sosial, manusia-manusia kebanyakan yang bekerja sehari-hari, yang berjuang dengan eksistensinya karena lahir dari golongan menengah ke bawah atau para budak yang tidak bisa melawan majikan-majikan mereka, atau para buruh yang tak bisa melawan pemilik modal tidak berdaya. Mereka yang terbelenggu hanya punya satu harapan tentang kenyataan yang lebih nyata daripada yang nyata, yaitu akhirat. Maka siksa kubur baik di film Joko Anwar ataupun Jang Jae-Hyun di mana sang penguasa sudah mati dan tidak tenang dalam kuburnya, adalah sebuah harapan dari mereka yang tidak bisa melawan kekuasaan kecuali dengan doa dan kutukan.

Kedua film dengan konteks yang berbeda membawa kembali tren agama dalam horor dengan cara yang lebih inklusif. Siksa Kubur, walaupun berkonteks Islam, tetapi argumen-argumennya sangat tidak islami dan jika siksa kubur adalah sebuah proyeksi dari penderitaan individual maka dia tidak hanya milik orang muslim. Sementara itu di Exhuma kita melihat bahwa tim penggali kubur terdiri dari orang-orang yang menganut paham sinkretisme agama antara Kristen dan kepercayaan lokal Korea yang disebut Musok dan dipimpin oleh seorang dukun perempuan yang disebut Mudang. Jadi setelah pembicaraan panjang tentang dua film ini kita melihat bahwa keduanya adalah film religi model baru di abad ini, di mana dalam kyai atau ustad tidak lagi menjadi solusi masalah dan iblis atau setan bukan milik agama tertentu tapi kumpulan orang-orang berbeda agama yang identitasnya dibentuk dari nasionalisme, yang menggunakan kode-kode kultural kebangsaan untuk melawan hantu-hantu budaya kolonial.


Terima kasih telah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan sumbangan, iklannya tak menghasilkan, dengan lisensi Creative Commons, Atribution, Non commercial. Kamu boleh pakai konten ini selama memberikan link sumber dan bukan untuk tujuan komersial. Kalau kamu suka dengan yang kamu baca, silahkan traktir saya kopi murah.

Film, Kurasi/Kritik, Racauan

Badarawuhi: Teknis terkejar, Budaya tertinggal

Menonton Badarawuhi di Desa Penari (2024), membuat saya berpikir tentang bagaimana budaya Indonesia ada dalam konteks film Indonesia yang memiliki standar teknis yang tinggi. Saya rasa tidak relevan kalau kita mengkritik gambar atau tekniknya yang cukup menangkap perhatian penonton dan menghibur dengan lengkap dari semua elemen cerita horor konvensional. Terlepas dari klisenya film ini, pemahaman teknik sinematografi serta penyutradaraan dari Kimo Stamboel membawa franchise KKN Desa Penari ini ke tingkat yang jauh lebih tinggi. Saya jadi tertarik untuk membahas film ini dari sudut pandang antropologi, sosiologi dan politik.

Badarawuhi ini menarik karena budaya-budaya lokal yang coba dibawa adalah budaya Jawa dan waktu settingnya juga tahun 80-an. Tapi selain kostum dan set, secara keaktoran kita memang punya masalah sama setting waktu yang berbeda dan kebudayaan yang spesifik. jadi selalu berat di film Indonesia untuk bisa membawa representasi waktu dan tempat. Saya jadi sadar bahwa pada tahun 80-90-an ketika banyak aktor-aktor film datang dari daerah ke kota lewat urbanisasi, sangat mudah untuk mencari aktor yang bisa bahasa daerah atau aksen daerah. Yang sulit malah mencari yang Jakarta banget, yang bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.

Tapi kali ini ketika semua aktor dan film itu tumbuh di kota khususnya di Jakarta, jadi susah untuk mendapatkan aktor yang benar-benar bisa bicara bahasa daerah secara spesifik, yang secara natural dan secara kultural benar. Kalaupun ada, tetap akan sulit apalagi kalau lawan mainnya dipilih karena punya popularitas, bukan skill. Namanya juga film, harus balik modal dan untung kan? Intinya tantangan besarnya ke depan di Indonesia secara kultural dan secara penelitian adalah bagaimana bisa berproses untuk riset, latihan dan memakai referensi yang paling dekat dengan waktu dan tempat yang diinginkan. Ini jadi tantangan karena arsip film di Indonesia itu masih susah untuk diakses, banyak yang rusak atau dibawa keluar negeri.

Kostum dan karakter sepertinya ingin mengambil modelnya Nyi Blorong dari pantai selatan yang dulu dimainkan oleh Suzanna atau Yurike Prastika. Ini kelihatan dari bajunya yang warna hijau dan model-model karakter yang mirip sekali dengan lukisan nyi Roro kidul buatan pelukis Basuki Abdullah. Soal akurasi ritual, tentunya banyak film Indonesia horor sekarang berusaha cari aman karena takut dapat blacklist dari netizen atau dari kelompok budaya yang mereka tidak mengngerti bagaimana cara merepresentasikannya. Takut kalau bawa-bawa budaya lain atau bawa-bawa kelompok yang mereka tidak punya referensinya dan tidak ada ahlinya dalam film mereka akan terjadi sebuah perlawanan sehingga filmnya bisa dijual. Bagus juga sih sebenarnya tapi juga menunjukkan kemalasan untuk riset dan membuka hubungan dengan apa yang ada di lapangan.

Lalu bicara horror Indonesia, mau tak mau jadi bicara tentang konsep liyan atau yang ‘lain’ atau pengasingan. Banyak sekali horor Indonesia yang mengasingkan desa dan kota. Biasanya plotnya orang kota datang ke desa dan menemukan hantu atau setan di desa karena protagonisnya orang kota. Sekarang memang sudah ada beberapa film Indonesia yang settingnya di kampung, tokohnya orang kampung setannya di kampung dan semua berkutat di kampung itu, jadi tidak ada orang kota yang menjadi protagonis atau antagonis. Yang jarang sekarang adalah orang kampung yang datang ke kota dan menemukan hantu di kota. Padahal kenyataannya banyak setan di kota ini sebenarnya. Lebih banyak setan di kota daripada di kampung.

Untungnya di film ini kita dikasih penjelasan bahwa ibunya tokoh utama itu datang dari kampung yang sama jadi si tokoh utama sebenarnya pulang kampung. Sayangnya, seperti banyak kampung horor lain di Indonesia kampung tokog utama ini tetap barbar, tidak maju dan tidak manusiaw;i sangat stereotipikal. Tapi saya rasa juga ini suatu hal yang cukup populer secara global ya karena di film Amerika juga banyak hantu yang ada di desa atau di kampung-kampung di selatan. Semoga ke depan lebih banyak lagi film Indonesia yang bisa merepresentasikan desa yang tidak hanya menjadi yang Liyan, atau diasingkan dari narasi film horor Indonesia. Semoga makin banyak film yang membuat desa dan orang desa lebih menjadi tokoh yang lumayan sentral dan hantunya nggak melulu ada di kampung.

Yang agak aneh itu adalah struktur sosial masyarakatnya yang tidak kelihatan. Ada dukun atau laki-laki lalu ada warga. Sudah tidak ada apa-apa lagi selain itu; tidak ada kades, tidak ada aparatur, jadi rasanya seperti background saja warga itu di dalam film. Jadi ini membuktikan lagi tentang bias kota dan kepentingan atau ketidaktahuan film maker terhadap struktur sosial yang harusnya bisa ada di sebuah film.

Sistem nilai yang diperdebatkan pun adalah sebuah kisah lama tentang warga kampung yang mengorbankan warganya untuk bisa tolak bala. Di film ini ritual tolak balanya adalah pemilihan perempuan-perempuan untuk jadi penari yang akan diambil oleh Badarawuhi. Cukup kreatif sebenarnya, mana budaya dan tarian menjadi sebuah seni yang ada di dalam darah tokoh utama kita yang tidak pernah menari.

Protagonis perempuan dan antagonis perempuan juga menunjukkan sebuah trend horor Indonesia yang berpihak pada tokoh perempuan. Biasanya dalam film horor perempuan menjadi antagonis atau korban yang menggerakkan cerita. Namun satu dekade terakhir ini dengan gerakan me too movement dan pengetahuan lebih jauh soal gender dan feminisme banyak filmmaker yang mulai menempatkan perempuan sebagai tokoh Sentral dengan dialog yang lumayan panjang dan punya peran besar untuk menggerakkan cerita sebagai protagonis. Walau kelemahannya adalah kebanyakan antagonisnya tetap perempuan seakan-akan hantu laki-laki tidak valid. Pun ada hantu yang bukan perempuan biasanya gendernya tidak ditunjukkan seperti di film Lampor misalnya, kita tidak tahu apakah si hantu itu perempuan atau laki-laki.

Secara politik, saya tidak melihat adanya tendensi untuk mengkritik atau melawan sebuah sistem selain untuk menunjukkan bahwa mistis dan sistem kampung itu buruk dan menyeramkan. Jadi masih seperti hiburan yang cukup murni. Ini berbeda dengan film-filmnya Joko Anwar atau Timo Tjahyanto, yang seringkali memasukkan elemen politis atau permainan kuasa di dunia nyata ke dalam filmnya. Kimo Stamboel sutradara film ini memang seringkali membuat film-film yang tinggi nilai hiburannya tapi tidak ada transisi untuk membuat filmnya menjadi politis.

Terlepas dari itu semua film ini punya plot yang sederhana tapi treatment yang sangat kompleks dengan berbagai macam teknik cinematography, CGI effect, dan penggunaan binatang yang sangat maju, khususnya untuk film Indonesia. Bisa dibilang bahwa film ini sudah sepantasnya mendapatkan penghargaan dalam apresiasi penonton seperti yang kita lihat hari ini. Sesuatu yang saya rasa tidak pantas didapatkan oleh film pertamanya, KKN Desa Penari.


Terima kasih telah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan sumbangan, iklannya tak menghasilkan, dengan lisensi Creative Commons, Atribution, Non commercial. Kamu boleh pakai konten ini selama memberikan link sumber dan bukan untuk tujuan komersial. Kalau kamu suka dengan yang kamu baca, silahkan traktir saya kopi murah.

Film, Kurasi/Kritik

3 Body Problem dan Tuhan-tuhan kita

Awalnya tulisan ini dibuat bersama dengan ChatGPT, jadi semacam metodologi penulisan baru. Tapi setelah beberapa kali dilihat, ternyata belum ada AI yang bisa mengejawantahkan ide-ide liar di kepala gue. Jadi ini adalah hasil dari menulis ulang esei ini.

3 Body Problem, series Netflix yang dibikin sama orang-orang dibalik Game of Thrones punya ide yang lumayan segar khususnya soal science fiction alien yang gabungin antara game, teori fisika, dan kritik sosial humanis. Gue tertarik bahas ini karena udah lama nggak nonton series yang gayanya jejepangan kayak gini. Yes, menurut gue film ini stylenya jepang banget. Bisa banget jadi anime. Tulisan ini akan bicara lewat jalur paling malas dalam kritikf film: penceritaan. Yang akan lo baca punya posisi lebih rendah dari review. Anggaplah ini genre tulisan kesukaan gue: racauan. Gue akan bahas 3 Body Problem secara tematis, dari masalah kritik terhadap developmentalisme dan alam, kritik terhadap ideologi dan agama, dan penjabaran soal altruisme dan kemanusiaan.

Developmentalisme dan alam

Jadi hari-hari ini gue tergoda sekali untuk pake AI, dari mulai mencari makanan di HP, sampai model bahasa di copilot, open AI, editing video audio, bikin gambar di dall e dan canva, sampai di wordpress yang sedang kalian baca ini. Ini semua adalah perkembangan manusia, dan AI menjadi satu lagi loncatan peradaban, setelah penemuan mesin uap industri di hampir 200 tahun yang lalu yang membuat industrialisasi dan loncatan peradaban: mesin dan perang, lalu industrialisasi dalam ekonomi global. Setiap loncatan dan percepatan peradaban ini efeknya lumayan buruk untuk tempat tinggal kita sendiri. Tapi gue nggak akan bilang bahwa manusia merusak alam atau merusak bumi. Alam tidak rusak atau baik, alam sederhananya adalah keberadaan yang punya jalannya sendiri dan keputusannya absolut, kita semua cuma numpang. Ini adalah bahasan utamanya: 3 Body Problem dimulai dengan usaha untuk menghentikan perkembangan teknologi, pembunuhan para ilmuan yang berpotensi untuk melawan para alien, atau mempercepat kerusakan planet yang ingin dituju para alien ini 400 tahun lagi. Ini masuk akal sekali ketika kita lihat, dalam rentang waktu 200 ribu tahun manusia hidup, kita cuma perlu 200 tahun lebih sedikit untuk bikin planet kita tidak lagi bisa kita tinggali. Dengan pengakuan bahwa kita cerdas, dalam jumlah besar kita benar-benar spesies yang tolol karena sedang pelan-pelan bunuh diri. Dalam 400 tahun, tidak akan ada lagi keseimbangan untuk menopang kehidupan, dan para Alien yang notabene lebih cerdas dari kita, khawatir.

Ideologi dan agama

3 Body Problems, atau dalam terjemahan kerennya, Trisurya, adalah konsep trias yang sering kita pakai. Di struktur cerita ada tiga babak, di agama ada tiga dewa atau tuhan utama, di politik ada trias politica, ini semua jadi masalah besar yang dialami ras alien yang planetnya ada tiga matahari. Mereka mengulang peradaban dengan kiamat yang berkali-kali dalam jangka waktu yang jauh lebih lama dari kita, karena planet dengan tiga matahari, tidak pernah bemar-benar stabil. Seperti sistem trias yang kita anut, yang selalu mengandung tesis, anti-tesis dan sintesis, selalu ada yang diciptakan, dipelihara, lalu dihancurkan.

Gue suka banget kritik terhadap agama dan politik di 3 Body Problem. Ketika alien dengan kekuatan omnipoten Tuhan berjanji akan datang, manusia panik dan terbagi antara mereka yang skeptis yaitu golongan ilmuan, mereka yang menurut yaitu golongan agamawan, dan mereka yang melawan yaitu golongan politikus dan militer. Lagi-lagi, 3 Body Problem. Tentunya berhadapan dengan konflik, seringkali menghasilkan 3 outcome ini.

Dalam menghadapi pandemi, sebagai contoh. Agama mengajarkan doa dan pasrah menunggu, sains berusaha memecahkan masalah tapi butuh dukungan uang dan politik, dan politik sibuk ribut antar sesama, sehingga masalah jadi berlarut-larut. 3 Body Problem merefleksikan sebuah solusi terhadap ketidaksinkronan trias ini: kembalinya kediktatoran yang diceritakan dengan PBB memberikan status absolut untuk tiga orang manusia yang boleh memerintahkan atau meminta apapun, tanpa harus menjelaskan apapun, karena Alien tahu segalanya kecuali isi pikiran orang. Pandemi kemarin pun cepat berakhir dengan munculnya berbagai diktator dan kebijakan ekonomi dan kesehatan yang dipercepat, diberi insentif steroid.

Altruisme dan kemanusiaan

Hal lain yang diperhatikan dari film ini adalah contoh-contoh persahabatan dan altruisme di antara tokoh-tokohnya. Jadi manusia itu terlepas dari keegoisannya masing-masing memiliki ikatan-ikatan sosial yang cukup kuat antar kinship atau persahabatan yang membuat cerita-cerita yang bermakna tentang keberadaan manusia yang sebenarnya sangat pendek dalam umur semesta ini. Maka dari itu gue pikir film ini pada akhirnya adalah film tentang kemanusiaan dan tentang pengorbanan yang masih berjalan hingga hari ini bahwa banyak orang-orang yang berusaha untuk melakukan kebaikan dalam bentuk pengorbanan itu terlepas dari hasilnya nantinya akan seperti apa toh ketika dilakukan sebuah pengorbanan adalah murni keberanian untuk menjadi baik.

Secara estetika series ini punya kualitas yang tinggi aktor-aktor yang kuat dan meyakinkan tentunya. Karena bagaimanapun ini film Netflix dengan modal yang besar. Ada satu hal yang mengganjal buat gue yaitu tentang bagaimana eksklusifnya sebuah modal untuk membuat film atau seri yang sifatnya global. Terlepas dari ceritanya yang sangat peduli pada kemanusiaan dan alam dan ilmu pengetahuan tetap saja produksi film ini menghabiskan banyak dana dan sumber daya yang sangat eksklusif untuk kelas-kelas tertentu. Ini yang lumayan mengganggu gue sebagai seorang filmmaker, bahwasanya seringkali film mengeksploitasi kebudayaan dan kepercayaan kemanusiaan tapi di saat yang sama film ini dirayakan dalam bentuk-bentuk penghabisan dana dan sumber daya serta ketidakadilan sosial untuk membuat filmnya. Semua jadi serba ironis. Ada 3 body problem dalam film making yaitu budget, timeline, dan ide. Untuk membuat sebuah karya yang monumental diperlukan waktu yang panjang, budget yang sangat besar dan ide yang baik. Hampir semua film-film atau seri-seri dengan budget yang besar, timeline yang panjang dan ide yang spektakuler itu tidak efektif karena bicara soal harga dan ekonomi kita bicara tentang psikologi manusia yang sebenarnya tidak bisa dipercaya.

Di sini juga membuat gue seringkali berpikir tentang apa yang harusnya dilakukan untuk bertahan supaya spesies kita ini tidak bunuh diri pelan-pelan seperti yang sering kita bicarakan lewat kapitalisme dan perusakan alam dan eksploitasi sumber dayanya. Tapi ini semua cuma perenungan yang gua harap bisa dibicarakan dan didiskusikan sama-sama supaya ke depannya film akan jauh lebih inklusif atau bahkan sederhana menjadi medium yang bisa dibuat semua orang menggunakan AI. Dari situlah kita kembali berbagi cerita. Karena untuk AI cerita hanya data sementara untuk kita, cerita adalah menjadi manusia.


Terima kasih telah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan sumbangan, iklannya tak menghasilkan, dengan lisensi Creative Commons, Atribution, Non commercial. Kamu boleh pakai konten ini selama memberikan link sumber dan bukan untuk tujuan komersial. Kalau kamu suka dengan yang kamu baca, silahkan traktir saya kopi murah.