Pernah diterbitkan di Jakartabeat.
Saat tulisan ini dibuat, seorang kulit hitam tua di depan sebuah kafe di Washington DC sedang mengais-ngais sampah mencari makanan. Ia berbaju tebal dan membawa kereta dorong berisi seluruh hidupnya. Ia bergumam sendiri, dan saya tidak bisa mendengar dengan jelas gumamannya dari balik jendela kafe. Ironis. Homeless di Washington DC, salah satu kota terbaik di dunia, dengan banyak kelas menengah atas. Kota yang konon paling teratur di Amerika Serikat. Mereka (homeless) ada begitu banyak, dan setiap akhir pekan mereka akan berkumpul di taman-taman di dekat objek-objek wisata untuk mengemis pada turis. Saya pernah bertanya pada seorang kawan, warga negara Amerika, kenapa ada banyak sekali Homeless di kota ini. Ia hanya menjawab, “It’s none of my business, there are people getting paid to take care of that.” Mungkin kalau dia ke Jakarta dan bertanya pada saya tentang gembel-gembel di Jakarta, jawaban saya akan lebih sadis: “Bukan urusan saya. Itu salah mereka sendiri, kebanyakan dari mereka penipu kok.”
Tidakkah kota mengasingkan kita semua? Setiap pagi menjelang, para penduduk kota, para pekerja bagaikan lebah-lebah keluar sarang dengan suara berdengung dengan kendaraan bermotor mereka. Ketika malam tiba, kota terang penuh cahaya-cahaya bagai ribuan bintang yang tak bisa digapai dan ditangkap siapapun. Malam di kota menghadirkan ilusi yang tak habis-habisnya soal kebahagiaan—maklum, semenjak zaman prasejarah, manusia selalu mengagungkan cahaya sebagai representasi kebaikan, Tuhan, kehangatan. “Biarkan ada cahaya,” adalah firman penciptaan Tuhan di Injil.
Namun cahaya kota bukanlah cahaya hangat itu, cahaya kota adalah sebuah kepalsuan yang merangsang urbanisasi, menarik konsumen, menghidupkan klab-klab malam atau pengajian-pengajian di tengah jalan raya. Cahaya kota adalah sebuah polusi yang menutupi bintang-bintang. Tapi cahaya kota tetap menarik begitu banyak laron-laron yang kebanyakan sudah tahu akan mati tertelan cahayanya. Tercatat, tahun 2014, ada 68.100 pendatang baru di Jakarta. Kunang-Kunang (2015), film pendek karya Zidny Nafian, kira-kira bicara soal pencarian cahaya ini.
Film bisu berwarna ini bercerita tentang seorang kakak yang tinggal di gubuk kardus bersama adiknya. Sang kakak secara tak sengaja menghancurkan lampu minyak mereka karena hampir membuat kebakaran, padahal adiknya takut gelap. Latar belakang itu menghasilkan film bisu berpremis sederhana: sang kakak ingin mencari cahaya untuk adiknya, semacam petikan dari adegan tragis kakak-adik di Grave of The Fireflies-nya studio Ghibli. Untuk mencegah spoiler yang bisa berubah menjadi cerpen —karena ini film pendek— saya akan fokus pembacaan simbol-simbol yang coba disajikan film ini.
Film bisu akan memaksa penonton untuk memperhatikan visual sedetil-detilnya. Biasanya film bisu dibuat hitam-putih, dengan suara musik orkestra. Namun dalam konteks pendidikan film, membuat film bisu tanpa warna adalah latihan dasar di banyak sekolah film. Dulu tujuan utamanya adalah memperkenalkan mahasiswa pada kamera film—yang suara dan gambar memang terpisah. Kini, dengan mudahnya kamera DSLR, kurikulum semacam ini masih dipakai untuk membiasakan mahasiswa pada bahasa visual. Kunang-kunang melakukan lebih daripada sarana latihan bahasa visual film bisu. Ia menggunakan gambar berwarna dan kebisuannya benar-benar senyap. Tidak ada ambiens atau musik latar apapun. Secara bahasa visual, dengan premis yang sederhana tadi, Kunang-kunang cukup berhasil menyampaikan plot cerita tanpa bantuan suara ataupun teks yang biasanya kita temui antar adegan dalam film-film bisu.
Kunang-kunang memiliki sajian visual yang cukup nyaman di mata. Kebisuan dalam warna-warni malam memberikan kesan sepi yang dalam. Sepi yang mesti diisi sendiri dengan musik di kepala penonton—yang dikarang sendiri dari referensi-referensi pengalaman mereka. Tata cahaya dan sinematografinya memainkan warna di dalam gelap malam dengan detil setting dan kostum, yang memberikan palette tersendiri pada filmnya: warna hitam, kuning dan hijau diramu dengan proporsional walau terkadang terlihat ada yang belang di beberapa adegan disebabkan perbedaan saturasi antar shot.
Namun dari semua keindahan itu, ada satu hal yang harus dicatat ketika membuat sebuah film dengan treatment ‘berani’ seperti ini. Sebaik-baiknya teknis sebuah film, treatmentnya harus mengakomodir ceritanya. The Artist (2011), misalnya, yang menghadirkan dunia film hitam putih tanpa suara—hanya dengan scoring di luar filmnya, sebenarnya adalah sebuah kisah tentang seorang aktor film bisu. Si aktor secara visual sangat mewakili Hollywood tapi karirnya hancur ketika film bersuara ditemukan—karena ia sebenarnya aktor impor dari Prancis yang tidak bisa berdialog bahasa Inggris tanpa aksen Prancisnya. Itu baru berkenaan dengan suara, lain lagi dengan warna. Wizard of Oz (1939) dan prequelnya Oz The Great and Powerful (2013) memiliki treatment yang kurang lebih sama—dunia biasa berwarna hitam putih, dan dunia Oz berwarna-warni. Warna digunakan sebagai simbol beda semesta. Semua treatment terhadap suara dan warna itu sangat mendukung jalan cerita filmnya.
Lalu bagaimana kita bisa melihat hubungan style dengan cerita di dalam Kunang-kunang?
Cerita dalam Kunang-kunang jelas bukan realisme. Walaupun settingnya menunjukan tempat penampungan sampah dan kota, tapi tokoh-tokohnya karikatural. Ada adik-kakak yang sepertinya realis, tapi ada sekelompok orang dengan kostum lebah yang tidak realis sama sekali. Lalu kota yang sangat sepi, hanya berisi mobil-mobil lewat, infrastruktur dan lampu-lampu kota yang coba digapai si kakak. Nampak bahwa semua elemen di dalam set film dipikirkan cukup serius. Baik penokohan dan setnya cukup mendukung kebisuan filmnya.
Tapi kenapa harus bisu? Di sini saya rasa kita harus membalik logika kita. Daripada melihat apa yang tak ada, kita harus melihat apa yang ada. Ketiadaan suara adalah ke’ada’an dimana tidak ada suara. Disenyapkan. Mute. Dan mari kita akui, di dunia ini keadaan dimana mayoritas membuat minoritas menjadi senyap adalah hal yang umum. Peminggiran (marginalisasi), pembungkaman, adalah kenyataan. Peminggiran adalah kenyataan visual, dimana kita menyingkirkan hal-hal yang tak mau kita lihat. Sementara pembungkaman adalah kenyataan audio, dimana kita tidak ingin mendengar suara-suara parau dari hal-hal yang terpinggirkan.
Jakarta sedang didesain untuk menjadi sebuah kota dengan batas-batas jelas. Dalam waktu beberapa tahun ke depan, jalan-jalan protokol besar akan bersih dari gembel, pemulung, orang gila, dan pedagang kaki lima. Penduduk yang tinggal di bantaran kali pindah ke rumah susun buatan pemerintah, pulang kampung atau menjadi gembel. Daerah-daerah perkampungan perlahan akan mengalami gentrifikasi, yaitu proses pembaharuan daerah-daerah kumuh, pasar-pasar tradisional, usaha-usaha informal. Ini adalah sebuah ekspansi kelas menengah yang meminggirkan masyarakat miskin dengan alasan kemajuan.
Banyak orang membayangkan bahwa seperti itulah kemajuan: keadaan dimana kota menjadi rapih dari visual dan audio orang-orang berpendidikan dan berpenghasilan rendah. Sebagaian kecil mendapatkan rehabilitasi, sisanya yang banyak akan menjadi laron-laron tanpa sayap yang merayap di sudut-sudut kota. Laron yang mengejar-ngejar cahaya kota, hanya untuk kalah dan mati di selokan-selokan jalan atau hidup bagai kecoak. Itulah kenyataannya. Di Jakarta ataupun di Washington DC, akan selalu ada orang yang mengais sampah untuk makan.
Dan film Kunang-kunang adalah sebuah khayalan. Sebuah dongeng yang menceritakan tentang pencarian cahaya yang gagal, namun menghadirkan makna bagi si tokoh utama: bahwa pada akhirnya, ia menemukan kunang-kunang yang membuatnya menjadi bercahaya. Entah kenapa, film ini sedikit banyak mengingatkan saya sebuah film bisu berwarna tentang Yesus, “La vie et la passion de Jesus Christ” (1903), karya Lucien Nonguet dan Ferdinand Zecca. Ia seperti menceritakan tentang sebuah kebangkitan dalam dongeng, tentang orang-orang gagal yang mendapatkan cahaya dalam dirinya sendiri.