Memoir, Racauan

Kebagusan

image

Di tempat ini, Kebagusan, ada rumah mantan presiden perempuan Indonesia yang katanya jadi mami presiden yang sekarang. Konon dia yang pegang tali kekangnya.

Di tempat ini pula banyak orang-orang Papua yang sekolah, kuliah, atau bekerja. Mereka punya komunitas cukup solid yang sering saya temui di angkot M17 ketika mereka pulang kerja atau sekolah.

Tepat di depan rumah ada sebuah jalan yang memisahkan dua kubu. Sebelah kiri adalah perumahan yang tiap Pemilu, PDIP biasanya menang di TPS-TPS nya. Di sebelah kanan, PKS biasanya menang.

Masjid dan remajanya kebanyakan warga yang tinggal di sebelah kanan. Rumah saya sebelah kanan namun berderetan dengan rumah-rumah mewah yang penghuninya dikenal kaya tapi jarang bergaul. Tanahnya besar, rumahnya megah, mobilnya lebih dari dua– walau tak ada yang benar-benar tahu mobil-mobil itu punya siapa, atau berapa hutang si pemilik rumah. Karena pasti ada saja yang datang minta sumbangan, seringkali dengan memaksa karena dimakan imej “keluarga kaya.”

Di antara gang-gang Kebagusan saya pernah tersesat di tempat-tempat ajaib. Sewaktu usia saya 5-9 tahunan, setiap lebaran keluarga besar saya akan datang ke rumah ini untuk sungkem ke Opa-Oma. Saya tidak suka keramaian. Saya-yang-5-tahun itu sering kabur ke sebuah pos ronda usang di bawah sutet besar. Waktu itu rasanya saya berjalan jauh sekali, berjam-jam jauhnya dalam ingatan saya. Sekarang pos ronda itu sudah tak ada digantikan warung yang juga sudah tutup. Hanya ada sutet besar itu yang bunyinya seperti lebah yang tak pernah berhenti kerja kecuali kalau ada pemadaman bergilir. Saya yang sekarang bisa mencapai tempat itu dalam waktu kurang dari 2 menit.

Saya pernah tinggal di sini waktu SMA, dan berakhir dalam sebuah pergumulan sengit dengan om saya dan membuat 17 jahitan di kaki saya. Salah satu jahitannya yang sudah sembuh menjadi kulit keras dibuka lagi oleh ayah sahabat saya Teraya Paramehta, dokter bedah hebat, karena ada sebuah beling sebesar kuku kelingking yang bercokol di situ selama empat tahun lebih.

Saya kembali ke Kebagusan pada usia 27, tepat 10 tahun setelah insiden itu setelah saya sakit keras. Pergi lagi setelah menikah dan kembali lagi 3 bulan kemudian ketika istri saya pergi ke DC.

Misteri Kebagusan masih banyak sekali. Saya suka lari sore hari dan tersesat di gang-gang yang seperti labirin. Saya suka karena saya sering menemukan hal-hal tidak biasa. Seperti sebuah rumah kecil sempit di pinggir parit, pemiliknya membuat taman kecil yang penuh bunga warna-warni dan sebuah kursi panjang kayu. Saya membayangkan betapa enaknya duduk di situ dan ngopi sambil merokok, atau mengobrol dengan istri saya yang sedang jauh tentang hal-hal yang belum kami lakukan.

Belakangan saya tahu, gang itu selalu kebanjiran parah setiap musim hujan karena ada kavling perumahan mewah yang dibangun di jalan Sepat–jalan dibalik gang itu. Saya membayangkan pemilik taman itu pasti kesal karena kena banjir dan harus menanam ulang bunga-bunga di taman kecilnya. Tapi ia terus akan menanamnya–saya pernah ke sana pasca banjir, dan tunas-tunas baru sudah mulai tumbuh di taman yang baru dirapihkan ulang. Semua orang butuh warna di hidupnya, begitupun orang yang tinggal di gang sempit di pinggir parit.

Selain gang parit itu, saya juga pernah tersesat ke kampung aneh. Suatu malam saya pernah pulang kantor naik kereta. Lalu karena saya sedang kesepian, saya memutuskan jalan kaki dari stasiun Tanjung Barat menuju rumah saya. Lalu saya tersesat (lagi). Saya sepertinya masuk gang yang salah. Entah berapa lama saya berusaha mencari jalan keluar dari gang itu. Sepi sekali. Tak ada orang yang bisa ditanyai. Sampai akhirnya saya keluar gang dan menemukan sebuah komplek perumahan yang tak pernah saya lihat sebelumnya.

Komplek itu ramai dengan orang-orang yang sedang menongkrong di depan rumah mereka. Mereka menggunakan baju gamis dan kopia. Ada juga beberapa yang menggunakan t-shirt dan celana pendek. Mereka bicara bahasa Arab, seperti juga ciri-ciri fisiknya: hidung mancung agak bengkok, rambut ikal atau keriting. Saya merasa tidak lagi ada di Indonesia.

Ada sebuah warung di tempat itu. Saya beli rokok dan menanyakan jalan. Seorang pemuda dengan aksen tajwid yang kental bilang, masih lumayan jauh tempat itu dari jalan Kebagusan Raya. Jalan kaki sekitar satu jam. Ia juga kaget waktu saya bilang saya jalan kaki dari tanjung barat.

Mereka tunjukan jalan dan menyarankan saya mencari ojek. Sayangnya sepanjang perjalanan tak ada ojek sama sekali. Tapi saya dapat pemandangan yang tak pernah saya sangka sepanjang jalan itu: toko parfum, toko souvernir haji, serta poster-poster habaib. Benar-benar kampung Arab. Sampai keluar ke Kebagusan Raya saya menemukan juga toko parfum, nampaknya cabang dari yang ada di kampung Arab tadi.

Kebagusan selalu mengingatkan saya pada 100 Years of Solitude milik Gabriel Garcia Marquez. Rumah yang saya tinggali pernah ditinggali kakek-nenek saya. Anak dan cucu juga kini tinggal di sini. Kadang para cicit menginap dan rumah menjadi ramai.

Wa Hepi, anak tertua sekarang hobi memandang rimbunan pohon pepaya yang ia tanam sendiri di belakang rumah. Dicky anak termuda terkulai sakit di depan rumah memandangi jalan dari pagi sampai sore.

Banyak sekali kenangan. Hangatnya rangkulan oma-opa, kenakalan masa kecil, om dan tante yang menikah, cerai, beranak, sakit dan meninggal. Opa Teddy, adik Oma yang juga mengakhiri masa tua di rumah ini. Om kembar Dicky dan Ricky (alm) yang sangat baik pada ponakan-ponakannya ketika sadar dan sangat jahat ketika mabuk.

Semua itu terekam di dinding-dinding yang berlumut, atap yang bocor setiap hujan, bahkan mulai roboh di beberapa tempat dan suara parau dari mesjid Nurul Huda yang rasanya memiliki khatib subuh yang sama dari saya kecil 25 tahun lalu–dulu suaranya bagus sekali sehingga setiap subuh saya akan bangun dan menggoyang-goyangkan kepala saya mengikuti dzikirnya–begitu kata mama saya yang dulu berharap balitanya yg bangun subuh akan jadi anak soleh. Kini suara khatib itu begitu parau dan serak. Begitu mengganggu orang yang lelap dan memaksa untuk membuka mata dari jam 3.30 sampai jam 6 pagi.

Sebentar lagi saya akan meninggalkan rumah ini dalam waktu lama untuk kedua kalinya. Rumah yang sering dianggap sebagai rumah pesakitan, rumah yang mengingatkan kenangan pahit. Namun inilah rumah keluarga yang sebenarnya. Rumah yang menaungi siapapun yang dirundung malang. Rumah yang selalu siap menampung dengan seadanya dan dengan sederhana. Rumah yang menggantikan kasih sayang tak terbatas Oma dan Opa, pada anak-anaknya, cucu-cucunya dan cicit-cicitnya.

Rumah ini akan saya rindukan. Semoga bisa tetap berdiri kokoh dan terus menjadi rumah kita. Kita yang membutuhkannya.

Kebagusan, 28 Maret 2015.

04:46 WIB

Satu pemikiran pada “Kebagusan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.