Ada sebuah drama soal politik tinggi Amerika berjudul “The City of Conversation.” Ceritanya tentang perseteruan dua orang perempuan, mertua dan menantu, selama tiga dekade dari zaman Reagan sampai Obama, yang memecah-belah keluarga mereka. Si mertua adalah istri politisi yang juga menjadi politisi, si menantu adalah gadis desa yang berambisi menjadi politisi dengan menikahi anak orang kaya. Si mertua seorang Democrat yang tentunya liberal dan si menantu seorang Republican yang konservatif. Si mertua marah karena si menantu mempengaruhi anak laki-lakinya yang dididik secara Liberal dari kecil menjadi seorang konservatif. Salah satu adegan keren adalah ketika si mertua mengambil tas si menantu dan merogoh-rogohnya. Si mertua berteriak, “Nah, ini dia!”
Anaknya bertanya, “Apa yang ibu cari?”
“Buah zakarmu! Istrimu yang menyimpannya selama ini!” Jawab ibunya.

Itu adalah sebuah ilustrasi bagaimana hari ini, perempuan dalam politik makro di Amerika begitu berkuasa. Hari ini perempuan bukan hanya teremansipasi, tapi juga, seperti keinginan feminis Helen Cisoux, terepresentasi. Emansipasi adalah penyetaraan hak untuk bekerja dan memilih dalam politik. Namun itu tidak cukup untuk membuat setara karena tanpa representasi, perempuan tidak bisa bicara soal dirinya sendiri. Representasi muncul bukan hanya dari posisi, tapi juga dari teks-teks dan kebudayaan populer. Emansipasi akan menjadi beban, ketika tidak ada representasi dan apresiasi. Seperti Jennifer Lawrence yang merasa direndahkan karena honornya lebih kecil dari aktor Pria, atau seperti tokoh Siti dalam film garapan Eddie Cahyono, yang bekerja mati-matian untuk suami yang lumpuh tapi tak pernah diakui posisi pentingnya.
Maka ketika suara-suara parau emansipasi tanpa apresiasi ini keluar, itulah bagian dari representasi perempuan. Dan semakin hari, ini semakin menakutkan khususnya untuk pria-pria yang merasa jantan. Emansipasi yang dilanjutkan representasi perempuan dalam ranah publik, membuat para pria yang dulunya merasa perkasa, tiba-tiba seperti sedang mengantri untuk dikebiri.
Ini krisis maskulin global. Gerakan neo-maskulinisme hari ini menjelma menjadi gerakan fundamentalisme baru yang meresap kemana-mana. ISIS dan Boko Haram yang menculik dan memperdagangkan gadis-gadis dengan label ‘halal‘ jelas mempromosikan maskulinitas agama semitik; Donal Trump dan pendukungnya jelas menganggap perempuan bukan hanya objek seks, tapi sesuatu yang harus direndahkan ketika ia lebih cerdas dari lelaki; lalu di internet, blogger dengan nama Return of Kings, mempromosikan tuntutan untuk melegalkan pemerkosaan di tanah pribadi lelaki dan ia pun punya pendukung hingga berani untuk membuat tur seminar motivasi neo-maskulinis global—yang untungnya dibatalkan karena dicekal banyak orang.

Feminist-phobia ini tidak hanya melanda individual, tapi juga melanda negara super-kapitalis. Cina beberapa hari lalu mempromosikan kebutuhan akan guru laki-laki, untuk membuat para siswa lebih jantan. Menurut pemerintah Cina, banyaknya siswa yang lemah-gemulai, malas, dan tidak bertanggung jawab adalah karena rasio guru perempuan lebih banyak dari guru lelaki. Siswa jadi tidak bisa mendapat sosialisasi, apa artinya jadi lelaki. Mereka bahkan harus menandatangani perjanjian ke sekolah, bahwa mereka akan “menjadi lelaki sejati,” yang bertanggung jawab, rajin dan melindungi perempuan.
Ini sebenarnya hal yang sangat-sangat lucu dan ironis. Karena salah satu yang membuat Cina berhasil menjadi raksasa ekonomi adalah kelebihan tenaga kerja yang dimungkinkan oleh perempuan. Kemajuan ekonomi sebuah negara adalah efek langsung dari emansipasi warganya, laki-laki maupun perempuan. Contoh lain: menurut ekonom Hae Joon-Chang, Amerika tidak akan menjadi sebesar sekarang jika mesin cuci tidak ditemukan dan suntikan tenaga kerja perempuan tidak masuk bursa kerja di tahun 50-60an. Jadi menyedihkan sekali, ketika Cina berusaha menekan representasi perempuan di sistem pendidikan, tapi mereka mau perempuan tetap menjadi pekerja tanpa representasi, bahkan di kepala murid-murid yang mereka ajar.

Di Indonesia ketakutan ini menjelma jadi homophobia. Dari Menristekdikti, sampai gerakan islam paramiliter di akar rumput, sangat takut ketika laki-laki kehilangan kejantanannya dan menjadi keperempuan-perempuanan. Mereka juga takut ketika perempuan-perempuan berkumpul di dalam satu kamar, dan dengan mudah menuduhnya lesbian. Dalil agama dan konservatisme adalah satu hal, tapi aksi untuk menerapkan dalil itu adalah hal lain. Kawan-kawan konservatif muslim yang saya kenal, cenderung menerapkan dalil tersebut dengan cara-cara yang beretika, dengan kesabaran dan dengan kesadaran bahwa agama tidak bisa dipaksakan.
Sementara itu, jika kita lihat komentar-komentar miring dan keras yang muncul soal LGBT, kita tahu ada ketakutan yang lahir dari mitos-mitos kehilangan kejantanan. Kelompok LGBT dianggap sebagai pasukan setan yang akan menularkan seks anal kemana-mana, dan semua lelaki dan perempuan yang mendekati mereka akan tertular hingga lupa bahwa mereka lelaki dan perempuan. Ini mitos yang sama dengan propaganda komunis dan gerwani, mitos yang sama pula seperti ketakutan kiamat zombie. Maskulinitas, penis, adalah kekuatan dan jika tidak dijaga dengan keras ia akan direnggut! Lelaki akan jadi perempuan dan perempuan akan jadi laki-laki! Pfft!
Padahal kalau mereka yang takut kehilangan kejantanannya ini bercermin, apa yang ingin mereka pertahankan sesungguhnya tidak lagi ada di situ. Kita tidak bisa mengembalikan peran perempuan seperti zaman ketika patriarkal berkuasa penuh; zaman kapitalisme klasik, dan penjajahan Eropa itu. Semua kemajuan yang kita nikmati hari ini adalah karena emansipasi dan representasi perempuan di segala bidang pasca revolusi Industri. Emansipasi dan representasi ini secara wajar akan menghasilkan spektrum seksualitas pada anak-anak kita, karena distribusi kerja yang dulu dibagi berdasarkan gender hari ini sudah mengabur.
Maka ketika kita melihat usaha-usaha untuk mengembalikan lelaki menjadi lelaki lagi, kita bisa tertawa. Karena lelaki yang lelaki itu hari ini tidak akan mendapatkan suara dari mereka yang hidup dalam spektrum multikultural yang sudah terbentuk jadi mayoritas itu: dari perempuan, LGBTQA, dan lelaki-lelaki yang otaknya masih dipakai dalam menghargai perbedaan. Perjuangan masih panjang, buat apa kembali ke zaman kolonial atau zaman batu?

3 pemikiran pada “Krisis Kelaki-lakian Global”