Kali ini kita akan bicara tentang parenting. Saya bukan seorang bapak yang punya anak. Saya punya bapak dan punya ibu dan saya besar di sebuah keluarga yang lumayan solid secara kasih sayang, tapi cukup disfungsional secara pendidikan, sosial, dan politik. Jadi saya besar dalam sebuah lingkungan yang lumayan bercampur-campur. Dan seperti banyak orang lain, saya juga punya apa yang kita sebut trauma masa kecil, yang membuat secara psikologis dan fisik pertumbuhan saya bermasalah. Tapi saya juga tidak bisa menyalahkan orang tua saya karena kehidupan saya adalah kehidupan yang multidimensional. Pola asuh orang tua mungkin hanya berperan sekitar 30% hidup saya dan saya bersyukur pada itu saya pikir itu adalah suatu hal yang cukup ideal daripada pola orang tua yang berpengaruh sampai di angka 70 sampai 90% kehidupan. Jika orang tua sampai menguasai hidupmu sebanyak itu maka kamu tidak akan pernah dewasa.

Tulisan ini akan membahas tentang pengetahuan yang baru saya dapat ketika membaca dan menganalisa teks-teks tentang reparenting (ini artinya kita berusaha untuk menyembuhkan trauma-trauma masa kecil, dalam bentuk sebuah pribadi yang lebih dewasa dalam berkomunikasi dan berperilaku) dan buku Behave karya Robert Sapolsky. Untuk membahas ini saya harus kembali kepada banyak teori-teori dan penelitian-penelitian yang membahas tentang tumbuh kembang seorang bayi menjadi balita menjadi anak-anak menjadi remaja hingga menjadi dewasa. Karena ini adalah blog pribadi, saya tidak akan kasih citation atau sumber bukunya. Kamu bisa cari sendiri teorinya di google atau di buku profesor Sapolsky.
Ketika kita lahir hingga sekitar umur 7 sampai 12 bulan kita ada di tahap yang menurut para psychoanalis disebut pre-oedipal adalah sebuah tahap dimana kita masih merasa menyatu dengan ibu kita, dan bukan dua orang yang berbeda karena kita belum punya yang disebut ego adalah sebuah diri atau kepribadian manusia yang mana ia sudah bisa membedakan antara dirinya sendiri dengan manusia lain. Ia bahkan sudah bisa melihat ke cermin dan mengidentifikasi dirinya sendiri. Ada banyak percobaan-percobaan di awal abad 19 tentang hubungan antara bayi dengan ibunya ada dua mazhab besar yang berusaha menjelaskan ini. Yang pertama adalah mazhab psychoanalysis yang dipelopori oleh Sigmund Freud. Yang kedua adalah masak behaviourism atau masa perilaku yang dipelopori oleh beberapa psikolog lain yang saya lupa namanya. Untuk psychoanalisis, hubungan bayi dan ibunya adalah hubungan yang cukup seksual dan dikendalikan oleh libido juga kebutuhan akan makan. Kebutuhan akan makan adalah segala-galanya bagi seorang bayi yang belum bisa mencari makan sendiri.
Kedua mazhab ini hadir ketika di Eropa banyak orang tua orang tua dari kelas menengah atas yang berpendidikan yang mulai punya ibu susu yaitu orang lain yang menyusui anaknya atau pembantu di rumah para bangsawan merasa bahwa kebutuhan anak bukanlah ibunya semata Dan si ibu berhak dan bisa untuk punya kehidupan sosial setelah bayinya disusui yang terpenting bagi seorang bayi adalah nutrisi dan perawatan yang bisa dilakukan oleh orang-orang yang bukan ibunya analisis ketiadaan ibu di awal-awal perkembangan anak dianggap agak berbahaya karena ada kemungkinan anak itu melewati tahap pre-oediple tidak dengan ibunya tapi dengan pengasuhnya, Maka menurut psychoanalisis, selera dan perilaku si anak ke depan akan seperti pengasuhnya atau dia akan tertarik dengan orang-orang seperti pengasuhnya. Ini tidak salah tapi kurang tepat, karena secara saintifik semua itu adalah kontekstual atau terikat pada konteksnya.
Para ahli perilaku menggabungkan keilmuan mereka dengan para ahli biologi ketika mereka mencoba melakukan sebuah eksperimen dengan monyet. Mereka memisahkan bayi monyet dari ibunya dan menempatkan si bayi di antara dua pilihan patung monyet dewasa. Patung pertama bentuknya seperti kerangka besi dan ada dua botol susu di bagian dadanya.Diharapkan bahwa si anak monyet akan menghisap itu ketika insting laparnya aktif. Kepala bonek berbentuk kepala monyet supaya si anak bisa mengidentifikasi bahwa itu adalah ibunya. Boneka kedua tidak memiliki botol susu, tapi ia memiliki selimut dan bulu-bulu di sekitar tubuhnya. Ketika bayi monyet dilepaskan ke dalam kandang dengan dua patung induk monyet, terjadi hal yang paling mengejutkan: bahwasanya bayi monyet tidak memilih patung monyet dengan susu yang sangat ia butuhkan untuk tidur, tapi ia memilih patung monyet dengan selimut yang bisa memberikan dia kehangatan. Para ilmuwan mulai berandai-andai kenapa ini terjadi dan menunggu siapa tahu dalam beberapa jam si bayi monyet yang membutuhkan susu akan pindah ke induk dengan botol susu. Yang mengejutkan, si bayi monyet yang kehausan dan kelaparan tidak pindah dari kehangatan patung induk monyet yang berselimut, menunggu mati kelaparan dan memilih kehangatan sampai mati, daripada makan untuk hidup.

Apa yang bisa kita pelajari dari sini adalah, bayi mamalia khususnya primata akan berpegang pada instingnya untuk menyatu dengan ibunya; bahwasanya secara insting nutrisi bukanlah sebuah kebutuhan utama. Ketika eksperimen yang sama dilakukan di zaman modern dengan scan otak, kita bisa menemukan bahwa kelenjar kortisoid yang biasanya hadir ketika mamalia lapar di bayi monyet mengecil. Jadi iya tidak memiliki keinginan untuk makan jika ibunya tidak makan. Hal yang sama juga terjadi pada manusia dan bayi manusia. Bahwa tanpa ibu atau makhluk yang menghangatkan, kebutuhan si bayi akan makanan dan bertahan hidup hilang begitu saja. Artinya untuk bisa punya keinginan bertahan atau makan, mamalia harus diarahkan oleh perawatnya. Ini membuat keruntuhan teori perilaku dan teori psikoanalisis tentang libido dan kebutuhan primer mamalia. Bahwasanya apa yang di psychoanalysis disebut sebagai kebutuhan seksual dengan mulut atau oral untuk makan, membutuhkan sebuah pengkondisian sentuhan atau kehangatan dari induk atau perawat bayi tersebut. Sementara itu para ahli perilaku juga salah dalam konteks bahwa tidak bisa meninggalkan bayi tanpa ibunya, karena yang terjadi nanti adalah: dengan hubungannya bersama orang lain yang bukan ibunya, si bayi akan mengidentifikasi ibu dengan cara yang berbeda dan ini akan sangat berpengaruh pada pertimbangan moral si anak ketiga dia bertumbuh.
***
Tulisan ini bebas AGI dan sepenuhnya hasil pemikiran saya. Terima kasih sudah membaca. Jika kamu suka yang kamu baca, silahkan share tulisan ini atau kalau ada tambahan rejeki, bisa traktir yang nulis kopi buat terus baca buku. Klik tombol di bawah ini ya.