Menulis review teater sambil menonton teater, laporan langsung dari pementasan “K” oleh Teater Pandora adalah pengalaman pertama buat saya. Daripada live feed, saya lebih konservatif: bikin esei kilat.
Sejak awal, dengan tergantungnya poster film Reservoir Dogs di dinding di dalam kafe tempat drama penyanderaan berlangsung, lalu para aktor masuk ke panggung, kita ‘hendak’ dibawa ke dunia film kriminal/gangster Hollywood. Rasa Tarantino atau Francis Coppola hadir sekali di pementasan ini. Dialog – dialog comotan drama barat, karakter -karakter serasa film Scarface, tetapi dalam sebuah konsep permainan ruang yang durhaka terhadap konteks: karena di pementasan ini, langit (baca: barat) dijinjing, bumi tidak mau dipijak. Dan kalau bumi tidak mau dipijak, bumi akan melawan.
Saya yang menonton paham masalah permainan ruang. Tapi pementasan yang dilakukan di halaman kafe, seharusnya tidak lupa pada konteks kelas. Ada perseteruan kelas yang sangat parah dalam pementasan ini yang harus kita semua renungkan, khususnya soal Teater Indonesia, bukan hanya soal Teater Pandora. Selama pementasan, ada pertunjukkan lain yang bergema di luar pagar: ondel-ondel dan gerobak dangdut. Pementasan yang tiketnya cenderung mahal (300 ribu rupiah) ini tidak bisa mensterilkan venue dari kecoak-kecoak proletar di luar sana. Sama seperti Jazz gunung yang tiketnya bisa jutaan rupiah, tapi tidak bisa tidak mendengar Jazz tanpa iringan musik reok di luar venue. Salah siapa ini?
Sebagai seorang hipokrit yang kekiri-kirian tapi suka barang-barang mahal, saya bilang ya salah pengampu pementasan! Ada sebuah krisis identitas yang terjadi di banyak Teater Indonesia, yaitu bentuknya guyub, gayanya borjuis. Kita harusnya belajar pada menir-menir Belanda (atau bupati/pejabat desa) yang suka panggil Teater Rakyat main di halaman rumah, dan membiarkan kaum papa ikut menonton gratis.
Sementara, ketika Teater Pandora berusaha bermain ruang, ia mengajak perang pertunjukkan lokal seperti Ondel-ondel atau Gerobak dangdut dalam perebutan ruang publik. Apa lagi ketika konsepnya Teater Barat, kontrasnya jadi begitu terasa. Perebutan ruang ini bisa saja dihindari kalau saja pementasan ini ber konteks Indonesia, sebuah perampokan dan penyanderaan dimana para penonton adalah bystander, dan ondel-ondel serta gerobak dangdut yang lewat menjadi bagian konteks yang disyukuri ketika ada, dan tidak mengganggu ketika tiada.
Sayangnya itu tidak terjadi. Seperti film atau serial kriminal Indonesia macam Brata, yang polisi dan penjahatnya gaya Hollywood, pementasan ini pun gagal total memberi imajinasi baru bagi identitas penontonnya secara khusus dan Indonesia secara umum.
Namun, kita harus (selalu) menghargai hasil kerja keras Seniman kita, khususnya yang kita bisa merasakan kerja keras itu. Bagaimanapun, sangat terasa pementasan ini adalah hasil kerja keras. Dan salah konteks pementasan ini, adalah salah kebanyakan kita di kota yang kurang dekat dengan rakyat di luar gedung pertunjukkan.
Those who know me probably know that 2018 might be one of the heaviest year of my life. In January, I lost my father. I gain some old and new friends. Lost them. Gain some love, lost them. Gain some weight and mental illnesses—Oh, shit they won’t go away. Probably my closest friends now.
I honestly lost the will to tell you my stories, for they are dull, cliches and most of you who knows me already know. People have disappointed me and I have disappointed people. I woke up tonight crying for the words I have said repeatedly to them; words like “I love you”, “please understand”, “I’m Sorry”, “Don’t leave”, and “Why?”
And their words are echoing in my mind, “I refuse your love”, “Don’t make your illness as an excuse”, “You’re the one who left”, “Up to you, whatever”, “Don’t need to apologize if you don’t feel guilty about it.”
You know that phrase YOLO, or do things you want to do before you regret it, whatever. Well, I did what I wanted to do and said what I needed to say and I still regret them. It’s like everything is a mistake (that is depression). So here I am wordless and worthless. For the world around me is working against me. For the people I love either left me, or can’t be with one another therefore can’t be with me, or keep making shits that made me have to do shits for them, or keep saying they love me and expect just too goddamn much by expressing their pain and need to be with me, or expect me to be something that I am not. I keep give a fuck where I shouldn’t have and I don’t know why.
I honestly, from the bottom of my heart, HATE this year because it’s full of love. Because from those love rise jealousy, and hatred, and mental illness, and all sort of problems with no end or solution on sight. The things that love precedes this year are existential terrors. Culture and institutions have made loving to be so fucking demanding, by creating this “either-or” principles in people’s mind, and terrorizing us with the fear of loving or losing love. So fucking complicated. I hate this year for taking so much of my mind and soul.
This is the year of desperation.
And the scariest part of this year, is the tiny hope it gave me, lurking behind those depressions and unrequited love. The hope that we all can find a balance to be with one another, and loving each other without all the commotion of heartbroken drama and social contracts that goes with it. The hope that life is worth living, because deep inside, we are all missing each other.
If love is a verb, it is a painful one. Since in that action I have to be still and accept the fact that stillness is what most people I love wanted from me. The stillness corrodes me, for expressing my love will do nothing but harm. Love is a tyrant that binds me out of you all, lock me inside of my mind.
But if that is what it takes to live this year and the next, shall be it. For I love you, and nothing can stop that. I’m gonna die a masochist.
Berikut adalah laporan 5 pementasan yang saya tonton di Amerika secara gratis. Gratis bukan berarti murahan, karena empat dari lima pementasan ini adalah profesional dan dimainkan oleh aktor-aktor kenamaan, dengan sutradara dan penulis yang kebanyakan menang Tony Award atau minimal masuk nominasinya. Hampir semua tiket pementasan ini didapatkan atas fasilitas Fulbright, jadi tulisan ini juga untuk berterima kasih atas akses ke kebudayaan tinggi Amerika.
William Shakespeare’s The Tempest (Central Park, May 2015)
Sutradara: Michael Greiff
Prospero dan Ariel
Pementasan ini sangat lambat. Tempo tidak terbantu oleh musik ataupun bloking aktornya, padahal soal keaktoran pementasan di Central Park ini tidak main-main. Ada Sam Waterson, nominator Academy Award yang sering kita lihat dalam serial TV Newsroom dan Law and Order. Waterson bermain sebagai Prospero, namun seperti sama sekali tidak ada usaha untuk menghidupkan karakter yang berbeda dari dirinya sendiri.
Stage yang sederhana dan kurang memaksimalkan visual. Foto: NY Times
Panggungnya begitu luas tapi kosong. Tata cahaya yang redup dan kalimat-kalimat Shakespeare yang sangat panjang tanpa dibantu musik yang mumpuni membuat pementasan Shakespeare in The Park tahun 2015 ini jadi salah satu yang bikin saya ngantuk. Apalagi aktor utama seperti Chris Parfetti yang bermain sebagai Ariel (asisten Prospero) benar-benar menjatuhkan tempo permainan. Gaya aktingnya yang agak ‘melambai’ seperti ingin memberikan karakter androgini di tokoh Ariel, alih-alih membuat pementasan kaya makna, malahan membuat intensitasnya jatuh bebas, karena semua kata dipukul rata dengan kelembutan.
Kostum dan treatmaent pementasan bertema Bondage dan Sadomasokisme. Tapi apa artinya tema itu jika dibawakan dengan energi dan nafsu yang rendah. Padahal seandainya ada usaha lebih, tema ini bisa membuat The Tempest jadi sangat aktual.
Sam Waterson dan Francesca Carpanini, dalam The Tempest. Foto: Sarah Krulwich, NY Times
Vanya and Sonya and Masha and Spike
Sutradara: Aaron Posner/ Naskah: Christopher Durang
(L to R) Sherri L. Edelen sebagai Sonia, Grace Gonglewski sebagai Masha, Jefferson Farber sebagai Spike, Rachel Esther Tate sebagai Nina and Eric Hissom sebagai Vanya dalam Vanya and Sonia and Masha and Spike di Arena Stage at the Mead Center for American Theater April 3-May 3, 2015. Foto oleh C. Stanley Photography.
Salah satu pementasan terbaik yang saya tonton tahun kemarin, Vanya and Sonia and Masha and Spike benar-benar drama yang menggembirakan soal orang-orang menyedihkan. Adaptasi drama-drama Chekov oleh Christopher Durang ini diramu seperti sebuah lenong kontemporer yang sesuai perkembangan zaman. Uncle Vanya dibuat menjadi gay kesepian yang tinggal bersama Sonia, saudaranya yang perawan tua. Mereka didatangi adik bungsu mereka, Masha, seorang artis terkenal menjelang masa tuanya, yang membawa pacarnya, seorang berondong bernama Spike. Para aktor bermain sangat baik dalam format teater arena, yang membuat semua penonton tenggelam ke dalam konflik keluarga yang aneh ini.
Sonia, Masha, dan Vanya. Foto: Washington Post
Drama ini sungguh pantas memenangkan Tony Award 2013 sebagai drama terbaik. Kesederhanaan tata panggung dan jumlah aktor yang sedikit, membuat tidak ada satupun elemen drama ini yang terbuang percuma. Perasaan kesepian dan tawa naik-turun dengan sangat dinamis. Keseriusan yang dibangun bisa dipecahkan permainan, dan permainan dan tawa yang kita berikan bisa tiba-tiba membuat kita merasa bersalah karena ikut berbahagia di atas penderitaan orang lain.
Dear Evan Hansen
Sutradara: Michael Greiff/ Penulis Lirik dan Musik: Benj Pasek & Justin Paul
Memang kita tidak bisa menilai seseorang dengan satu karya saja. Saya bertemu kembali dengan karya Michael Greiff (yang tadi menyutradarai The Tempest di New York), di Washington DC. Kali ini ia menyutradarai sebuah drama musikal berjudul Dear Evan Hansen. Drama musikal remaja yang dbintangi oleh salah seorang bintang dari film Pitch Perfect 2, Ben Platt, meninggalkan kesan yang cukup dalam buat saya. Dari segi musik, drama ini luar biasa. Lagu-lagu gubahan Benj Pasek dan Justin Paul ini mengingatkan saya pada lagu-lagu Ben Folds Five, dan Ben Platt adalah vokalis yang sangat cocok membawakan lagu-lagu semacam ini. Anda bisa dengarkan lagunya di soundcloud yang saya cantumkan di bawah ini.
Ben Platt (Evan), Michael Park (Larry), Jennifer Laura Thompson (Cynthia), dan Laura Dreyfuss (Zoe).
Saya pribadi kurang suka akting Ben Platt. Dia mungkin vokalis yang bagus, tapi begitu akting, ia seperti berusaha terlalu keras. Saya malah lebih suka akting Mike Faist, yang bermain sebagai tokoh Connor. Connor adalah seorang anak anti-sosial yang akhirnya bunuh diri karena depresi. Sepanjang drama ia menghantui Evan sang tokoh utama, yang memakai kematiannya sebagai alasan untuk kenal kepada Zoe, adiknya. Evan mendapat simpati banyak orang karena pura-pura jadi sahabat Connor, padahal sebenarnya itu semua bohong. Evan, seperti Connor adalah anak-anak anti-sosial, namun kematian Connor jadi pintu masuk Evan ke dunia pergaulan.
Mike Faist sebagai Connor.
Dear Evan Hansen menjadi istimewa karena musik dan wacananya yang kontemporer. Liriknya yang dalam dan cerita tentang keterasingan remaja di era digital, benar-benar terasa aktual di masa ini, dimana semakin terkoneksi internet, seseorang menjadi tambah terasing. Terakhir, Michael Greiff memiliih tone warna tata panggung dan permainan visual yang sama seperti The Tempest: biru dan merah. Namun yang membuat Dear Evan Hansen menjadi sangat berbeda, adalah bagaimana desainer adegan, lighting, proyektor dan stage manajer membuat campuran antara visual digital dengan pergerakan material dari setiap layarnya. Pementasan ini tidak hanya menggunakan video mapping, tapi juga robot-robot panggung untuk memindah-mindahkan layar proyektor ke berbagai posisi dalam pergantian setting.
Midsummer Nights Dream
Sutradara: Ethan McSweeney
Sarah Tophan (Titania/Hipolita) dan Dion Johnson (Oberon/Theseus). Foto: shakespearetheater.org
Sebagai aktor yang pernah memainkan drama “suka-suka” ini, sungguh tidak sulit buat saya memaparkan konsep dan konteksnya. Drama ini tidak logis dan memberikan kebebasan interpretasi yang sangat luas kepada sutradaranya. Teater Sastra UI, pernah mementaskan ini dengan menggabungkan kreativitas dan konsep suka-suka ini dengan maksimal, membiarkan setiap divisi dalam mengekplorasi dirinya masing-masing, dari mulai memasukan elemen tradisi dalam koregrafi dan tata gerak, pola-pola kain Indonesia dalam kostum, dan musik yang menggabungkan pop, rock dan tradisional. Pementasan oleh Shakespeare Theater Company ini tentu saja jauh lebih bermodal dan lebih mewah. Pemain-pemainnya pun bukan hanya mahasiswa atau anak muda, tetapi banyak pemain senior yang lebih berpengalaman. Namun dengan semua keunggulan itu, dengan sombong saya bisa bilang bahwa pementasan Teater Sastra UI tidak kalah kualitasnya.
Pertengkaran Hermia (Chasten Harmon) dan Helena (Julia Ogilvie) menggunakan props panggung yang disiapkan Puck.
Konsep yang ditawarkan McSweeney adalah penggabungan antara kenyataan yang hitam-putih dengan latar negara Eropa tahun 1930-1940an, dunia kelas bawah tempat para pemain drama rendahan seperti Bottom dan kawan-kawan yang berwarna coklat kusam, dan dunia peri dengan hutan imajiner di dalam sebuah panggung teater yang sudah rusak. Hutan imajiner ini menggunakan properti-properti panggung dari mulai tali tambang, piano rusak sebagai ranjang, ember dan lain-lain. Peri-peri menggunakan kostum zaman Victorian yang memang glamor dan penuh dengan mistisisme. Di satu sisi konsepnya jelas, namun di sisi lalu jadi terlalu jelas dan membunuh imajinasi penonton.
Adam Green sebagai Puck memasuki Panggung dengan Akrobat
Pemeran Puck (Adam Green), yang nampaknya jadi aktor yang paling diistimewakan di drama ini, memang bermain prima. Bersama dengan peri-peri lainnya, ia memainkan atraksi lompat tali sirkus yang menantang. Aktor-aktor profesional ini bukan hanya terlatih akting, bernyanyi dan menari, tapi juga atraksi–sepertinya kebanyakan pementasan Midsummer Night’s Dream di industri teater memang harus menampilkan atraksi. Pementasan ini “aman” dan “pantas” untuk kelas Broadway. Tapi di saat yang sama jadi biasa saja, tidak banyak inovasi baru–karena saya pribadi sudah cukup riset dan mencari-cari model Midsummer Night’s Dream dua tahun lalu. Mungkin ini yang terbaik, karena toh, eksperimen yang terlalu macam-macam seperti yang dilakukan Julie Taymor bisa berakibat fatal.
Pembukaan adegan peri. Foto: Scott Suchman
Akeela and the Bee
Sutradara: Charles Randolph-Wright
NIcole Wildy sebagai Akeela dan James William sebagai Dr. Larabee
Tidak banyak yang bisa saya katakan tentang Akeela and The Bee. Drama ini diangkat dari film anak-anak yang bertujuan membuat komunitas Afrika-Amerika yang lebih terdidik dan suka membaca. Dramanya pun dibuat oleh grup komunitas (campuran antara pemain profesional dan amatir). Kualitasnya kurang lebih sedikit di atas kebanyakan teater sekolah/kampus di Indonesia. Dan penontonnya pun rata-rata punya hubungan dengan komunitas tersebut.
Akeela Lomba Mengeja
Beberapa bagian drama ini cukup melelahkan saya, apalagi karena saya tidak akrab dengan aksen, istilah-istilah dan slang komunitas Afrika-Amerika. Walhasil, saya seringkali tidak tertawa ketika penonton terbahak-bahak, karena saya tidak bisa mengikuti dialog-dialognya. Drama ini mencoba menjadi multikultural, dengan menampulkan tokoh-tokoh berwajah Asia–khususnya Cina–dan memberikan mereka stereotipe “pekerja keras” yang memiliki orang tua yang “ambisius. Lucu juga sebenarnya, ketika orang kulit hitam banyak yang menuntut agar tidak distereotipe, drama ini sangat penuh stereotipe. Bukan hanya pada komunitas lain, tapi juga pada komunitasnya sendiri. Ironis.
A Poem by Darius Simpson on Black Genocide in USA. It seems, not only Indonesian have “Kamisan.” I can’t say much about this poetry and Darius’s performance. It is Awesome!