Ethnography, Kurasi/Kritik, Musik, Politik, Racauan

Agnezmo Takkan Seterkenal Billie Eilish Karena Kita

Saya fans Billie Eilish, dan itu tidak dimulai dari musik. Kesukaan saya pada Eilish dimulai sejak saya menonton film dokumenter “The World’s A Little Blurry,” karya sutradar R. J. Cutler, yang memaparkan proses pembuatan album dan perjalanan Billie dari panggung ke panggung, dan coming of age-nya sebagai seorang superstar. Saya pikir, kenapa anak ini bisa sekeren itu, dalam umur semuda itu punya referensi sebanyak itu, pengetahuan dan filsafat yang dalam, tapi terjebak dengan kebingungan dan masalah hormonal anak seusianya? Sebagai seorang antropolog, ini menarik perhatian saya.

Lalu saya mulai berpikir, siapa di Indonesia yang seperti itu dan bisa mewakili kebudayaan kita? Dari beberapa pilihan, saya memilih Agnezmo yang walau umurnya beda hampir 20 tahun dengan Billie, tapi melalui jalur yang sangat-sangat proper dan berat untuk mencapai ketenarannya. Proper artinya, dia membangun karir dari kecil, dan dari media kita melihat dia cukup didukung keluarga, plus image-nya terjaga dengan baik dari skandal besar. Ini menarik buat saya karena mereka berdua adalah sudah di tingkat yang tinggi sebagai icon kebudayaan Amerika Serikat dan Indonesia, dan mereka sedikit banyak bisa menjadi penanda tidak langsung, sudah sejauh mana kebudayaan kita.

Apa saja persamaan Agnezmo dan Billie Eilish?

Pertama, mereka sejak kecil dididik untuk jadi seniman. Agnes sudah jadi penyanyi dan aktris cilik dari kecil. Waktu remaja, tema pernikahan dini yang sekarang ngetrend lagi karena Dua Garis Biru dan Yuni, sudah duluan dibikin sama Agnes lewat sinetron. Agnes juga sudah berkali-kali ganti imej setiap kali ia melewati fase hidupnya. Sementara Billie Eilish, yang umurnya tentunya jauh di bawah Agnes, hidup di keluarga seniman teater yang memperbolehkannya untuk homeschooling dan belajar merancang kehidupannya sedari kecil. Tidak seperti Agnes yang media exposurenya tinggi dari kecil, Billie mulai dari komunitas dan keluarga. Komunitas ini lah yang menjadi pendengar pertama lagu-lagu yang dibuat kakaknya, Finneas, seorang songwriter/arranger jaman sekarang yang membuat semua rekamannya di rumah.

Kedua, mereka tidak punya skandal besar–besar dalam konteks ini adalah skandal perselingkuhan, video porno bocor, atau apapun itu yang mewarnai infotainment dan lambeturah dengan gibahan keterlaluan. Berarti di balik ketenaran mereka ada korporat dan struktur yang bekerja untuk menjaga image dan asupan media terhadap mereka.

Ketiga, image mereka sangat kontekstual. Agnezmo sudah mendahului Billie bertahun-tahun dan seperti banyak diva pasca MTV yang masih bertahan hingga hari ini, Agnezmo sudah berkali-kali ganti pencitraan dari penyanyi cilik, menjadi gadis remaja yang well behaved, perempuan galau anggun dengan lagu sendu, lalu diva hiphop garang dengan lagu-lagu empowerment (walau duetnya bersama Chris Brown sempet bikin was-was takut dia ditampol kayak Rihanna, tapi sepertinya Agnez lebih berotot dan tampolannya lebih serem). Anyway, dari segala standard industri internasional ke kiblat Amerika, Agnezmo is so far the best. And I don’t think that’s an opinion. Kalau kiblatnya Eropa, Anggun is still my favorite, tapi nanti itu kita simpan untuk tulisan lain. Di sisi lain, Billie baru memasuki fase ke tiganya, perempuan pirang yang elegan, setelah dia jadi anak aneh, anak aneh yang nakal, dan anak aneh yang galau. FYI, anak aneh adalah imaji semangat zaman millenial ini, postmodern banget.

Keempat, mereka nggak modal tampang dan body doang, tapi skillnya gila banget. Waktu saya dengar Billie Eilish di Spotify, saya pikir dia banyak pake vocal effect, karena ada suara serak yang kedengeran double, atau suara autotune yang saya pikir adalah kerjaan sound designer. Tapi waktu nonton dokumenternya dan lihat dia latihan di kamar nggak pake microphone, eh gila, itu bukan kerjaan komputer. Pita suaranya memang bisa menghasilkan suara-suara ajaib itu. Inilah yang kita sebut woman-machine interface ketika komputer mengajarkan manusia teknik vokal baru.

Sementara, sebagai orang yang umurnya cuma beda setahun sama Agnezmo dan tinggal di Indonesia, saya nggak perlu usaha banyak untuk lihat perbedaan vokal dan performance Agnez sejak awal karirnya. Dan perkembangan skillnya kayak belom kelihatan batasnya. Apalagi pasca exposure di US. Saya sempat kecewa dengan single-single awal US nya, apalagi di lagu-lagu yang heavy banget editingnya. Tapi makin ke sini, Agnez berhasil banget ambil kekuasaan di negeri orang dan dia semakin mateng ngatur semuanya sendiri. Muncul vokal aslinya yang damn! Beda banget sama vokal Indonesianya! Sebagai alumni Sastra Inggris, saya tahu banget bahwa bahasa Inggris punya kelebihan bunyi vowel dan konsonan yang jauh lebih beragam dari bahasa Indonesia. Ada kebebasan-kebebasan baru yang Agnes dapat dari nyanyi bahasa Inggris dengan genre yang nggak menye-menye terus untuk kuping Melayu. Topik liriknya pun bisa jauh lebih beragam karena ada banyak hal, konsep, dan ide yang tidak mungkin diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia.

Dan ini membawa kita ke topik tulisan ini, sebuah fakta dimana Agnezmo nggak mungkin ngejar Billie Eilish dalam soal stardom. For starter, Agnez harus kerja ribuan kali lebih keras dan lebih lama dari Billie untuk bisa masuk ke sebuah struktur industri global. Plus, sekaya-kayanya keluarga Agnez, dan sebagus-bagusnya sekolah dia, akses pada informasi dan sistem pendidikan mumpuni agak susah di Indonesia. Buat belajar yang kreatif aja susah banget karena angkatan kami (Agnez dan saya) ada di bawah rezim yang baru reformasi dan galaunya setengah mati–well angkatan kalian juga sih tapi kami lebih parah karena perploncoan banyak banget dan mikir kritis itu dosa.

Soal fandom… well ini saya nggak mau ngomong. Karena kalau bicara soal fandom dari seorang yang sudah besar, ngomong apapun pasti salah. Tapi satu hal yang bisa saya garis bawahi soal perbedaan fandom US dan Indonesia adalah, fandom di Indonesia kurang banyak kajiannya. Fans itu hal penting dalam industri, dan ketika bicara Billie Eilish saya menemukan paper-paper keren soal hubungan fandom Billie Eilish dengan gerakan politik keanehan (Weirdization) yang menggambarkan semangat zaman seperti generasi X yang pemberontak dan membawa kita ke reformasi–fans Billie dikarakteristikan sebagai kaum dengan selera humor yang gelap dan aneh, khususnya soal politik. Atau penggemar K-Pop yang mulai membuat banyak sekali perubahan-perubahan sosial yang besar. Sementara ketika Agnezmo mulai gerakan-gerakan besar empowerment, belum ada kajian soal fanbase yang mengikuti itu dan membawa campaignnya. Agnezmo sering bicara soal mental health/kesehatan jiwa, atau kesetaraan gender. Fansnya yang sangat banyak itu mungkin juga sudah ada yang angkat bicara. Tapi mana kajiannya?

Kajian pop culture dan fandom ini penting sekali untuk membuat sebuah pop icon punya peran besar dalam perubahan peradaban kita. Dan ketika icon-nya sudah bicara, fans-nya sudah ikut, tapi kajiannya nggak ada, kita tidak bisa mereduplikasi metodologi itu ke dalam industri kita, dan hasilnya, bangsa kita nggak maju-maju. Jadi bisa jadi bukan Agnezmo yang tidak bisa mengejar Billie Eilish. Kita saja yang masih berdaya baca rendah, dan lebih sibuk ngambek-ngambek karena nggak dikasih MV baru sama idola kita, misalnya.

Semoga tulisan ini bisa memulai diskusi dan kajian-kajian penting itu. Buat menutup tulisan ini, saya kasih MV Agnezmo sama Chris Brown yang menurut saya, keren.


Website ini dibuat dengan donasi. Kalau kamu suka dengan yang kamu baca, kamu bisa traktir kopi untuk yang nulis dengan menekan tombol di bawah ini:

Musik

Album Wonderbra Crossing The Railroad – Offline Data

Halo pembaca EseiNosa.

Selamat tahun baru 2022.

15 tahun yang lalu, gue dan teman-teman gue bikin band bernama Wonderbra dan dirilislah album ini, Crossing The Railroad.

Crossing The Railroad adalah album Rock and Roll Blues yang berisi 8 lagu soal kegalauan, kemarahan, kemasabodoan dan kenarsisan anak muda di tahun 2000an.

Ada yang bercerita tentang masokisme percintaan (Die Die Baby Die), tribute buat Janis Jopline (Ode to Lady Janice), Horror ala Tim Burton (Obituary), bahkan begahnya hidup di Jakarta (Hell’s kitchen) dan banyak lagi yang lainnya.

Pasang album ini sambil jalan, lari, atau nyetir, gue jamin bikin semangat kalian membara!

Dan album ini bisa menyelamatkan kalian ketika susah sinyal, nggak wi fi dan kuota karena…

Album ini offline.

Yep, kami di Wonderbra mau coba jualan album lagi dengan cara yang setengah lama setengah baru, mendekatkan diri pada teman lama dan berharap punya teman baru. Bentuknya data, hanya untuk device kalian saja.

Dengan beli dan download album ini, kamu langsung support wonder buat semangat dan nabung bikin album ke 3.

Dan kami percaya sama kekuatan komunitas untuk menghidupi senimannya, daripada kekuasaan streaming platform. Musik ini semua dibentuk dari keresahan jadi mahasiswa tahun 2000an, dan ini mewakili zaman kami. Jadi lebih baik kami persembahkan buat teman-teman kami sendiri, yang lama ataupun yang baru.

Yuk ikutan nostalgia!

Kurasi/Kritik, Musik

Membalas Keterasingan dengan Kolase Suara: Tentang Sonic Collage: Beats, Glitches and Digital Noises

Esei Pengantar untuk Album Iman Fattah,  “Sonic Collage: Beats, Glitches and Digital Noises,” ini pertama kali terbit di blog Iman Fattah, 18 April 2014.

imanfattah_1456187919_12

Eksistensi. Betapa mudah kita ada di dunia dan betapa berat proses setelahnya. Proses mengisi. Proses menjadi. Sesungguhnya hidup akan lebih mudah ketika kita lahir di sebuah lingkungan sederhana. Sebuah keluarga yang tinggal di hutan, tanpa koneksi ke keluarga-keluarga lain. Tanpa banjir informasi. Tanpa referensi. Aturan hidup jelas: kita hanya mesti bertahan. Tapi semua jadi ringan namun sulit dipapah ketika kita hidup di dalam masyarakat yang kompleks. Dalam teknologi yang maju, teknologi yang awalnya dimaksudkan untuk membantu hidup kita, kita malah terperangkap. Di gedung-gedung. Di kubikel-kubikel kantor. Di depan TV di rumah. Dalam gubuk kumuh semi permanen di pinggir kali. Dalam bus, angkot dan mobil di kemacetan. Kita, homo Jakartanensis, adalah manusia yang menanggung beban berat. Dimana pun kita hidup, sebagai siapapun: orang kaya, orang miskin, tua, muda, berbagai macam profesi, berbagai macam etnis, berbagai macam perjuangan, kita sulit. Sulit karena kita tidak hanya dituntut untuk bertahan hidup. Kita dituntut untuk kreatif membuat identitas kita, siapa kita, apa yang bisa kita lakukan, apa yang kita bicarakan, apa yang kita tahu, apa yang kita percaya dan apa yang kita beli. Semua itu menentukan identitas kita.

mentawai-3
Suku Mentawai telah hidup di hutan hujan tropis selama ribuan tahun. Kredit foto Sergey Ponomarev untuk The New York Times

Tantangan terbesar bukan bertahan hidup. Tantangan terbesar adalah memaknai hidup. Memaknai diri dan orang lain. Memaknai dunia. Dan semakin banyak informasi, semakin banyak tahu, semakin banyak hubungan maka semakin sulit kita memaknai eksistensi kita. Semakin sulit mencari tujuan. Karena itu kita seringkali lari kepada yang menawarkan kepastian instan: korporasi kapitalis, agama, atau sesederhana menyerah kalah dengan mengerahkan tenaga kita untuk bertahan hidup saja  seperti apapun caranya—halal atau haram. Kota mengajarkan kita untuk menjadi konsumen semata. Menjadi robot yang selalu bekerja. Atau menjadi binatang yang selalu berusaha memuaskan hasrat semata. Di situ kemanusiaan kita diambil. Dalam kekayaan atau kemiskinan material, ketika kita hanya mengonsumsi, kita menjadi miskin. Miskin makna. Miskin keberadaan. Dalam konteks seperti inilah Iman Fattah mengomposisi Sonic Collage: Beats, Glitches and Digital Noises.

Melawan dengan Mengembalikan Suara

Sonic Collage: Beats, Glitches and Digital Noises melawan semua konteks di atas. Direkam dalam medium pita kaset, ia adalah sebuah abstraksi kehidupan posmodern: teknologi baru dalam medium lama. Isinya terdengar baru, namun sesungguhnya ‘hanya’ dibuat dari setitik sisa kemanusiaan dalam peradaban kota kita: setitik elemen manusia yang membaca, memproses dan mencipta hal-hal dari suara-suara keseharian yang seringkali dianggap biasa, mengganggu dan tak ada. Walaupun konsep ini sudah sering dibuat oleh banyak seniman lain baik dalam seni rupa, teater, film dan musik—dalam genre yang kini sering dikenal sebagai Neo-Realisme—namun konsep ini akan jadi selalu baru. Karena manusia adalah makhluk yang selalu unik, tak pernah diciptakan sama. Bahkan anak kembar yang lahir dan dibesarkan oleh keluarga yang sama pun akan melihat dunia dengan cara yang berbeda.

Album ini adalah sedikit permaknaan kehidupan kota. Sebuah bukti bahwa kita yang hidup dalam mesin besar ini adalah manusia, bukan robot atau binatang. Ia adalah kumpulan kolase, bukan montase. Montase adalah gabungan-gabungan elemen yang disatukan tapi memiliki batas sambungan, seperti shot-shot pada sebuah film, seperi Frankenstein, seperti Chimera. Sementara kolase adalah gabungan elemen yang menyatu menjadi satu kesatuan namun masih jelas bentuk aslinya. Seperti komposisi musik dengan suara-suara yang berbeda-beda. Kolase adalah batas abu-abu: ia tidak membuat yang lama lantas hilang jadi yang baru. Ibarat makanan, kolase bukan sup, tapi salad. Bukan sayur asem yang membuat semua bahan didominasi asam, tapi gado-gado yang rasanya khas tapi kita tahu setiap elemen yang kita makan bekerjasama membuat rasa itu.

Saya tidak mampu mendeskripsikan lagu-lagu dalam album ini dengan kata-kata. Saya tidak punya kemampuan untuk mengkotak-kotakkannya, memaknainya dengan pasti. Yang saya bisa lakukan hanya memberikan metafor-metafor untuk mendeskripsikan rasa yang saya dengar. Dan saya yakin, Iman Fattah pun, dengan semua konsep dan penjelasannya mau tak mau harus rela memberikan semua pemaknaan komposisi album ini kepada pendengar. Tapi bukan berarti album ini hadir begitu saja tanpa sebuah proses. Komposisi-komposisi ini adalah abstraksi: hasil perenungan, hasil proses yang diseleksi dan digubah secara sadar yang diambil dari alam bawah sadar. Dari suara-suara yang dihasilkan kota dan diserap oleh senimannya lalu darinya ia ramu sebuah komposisi suara.

Inilah sebuah bentuk perlawanan terhadap semua yang didengar, semua yang dikonsumsi. Suara-suara yang dianggap biasa, mengganggu dan tiada dikombinasikan menjadi sebuah aransemen. Dan bukan sembarang aransemen: seperti mencipta musik Blues, suara-suara mekanik direproduksi dengan alami, melalui proses pengendapan di alam bawah sadar dan dikembalikan ke kenyataan. Inilah perlawanan. Seperti membalas penganiyayan dengan mengembalikannya dalam bentuk pelukan hangat dengan tubuh yang terlanjur rusak. Karena itulah, jika anda merelakan dipeluk oleh kolase-kolase ini, membiarkan setiap suaranya mengalir tanpa anda mencari-cari artinya, niscaya anda akan mendapatkan sebuah katarsis, pembersihan diri, dan hubungan dengan rasa kota. Perlawanan seperti Ahimsa: melawan dengan menyerah.

Homo Jakartanensis Punya Rasa

“Gue selama ini hidup di Jakarta. Kota yang penuh hiruk pikuk manusia dengan semua kehidupan dan suara-suaranya.” Ujar Iman dalam sebuah sesi wawancara via Whatsapp (16/4). “Kenapa Sonic Collage? Karena suara-suara yang setiap hari kita dengar adalah kolase.”

Kolase di kehidupan kota adalah ekses konstruksi kota. Jika anda perhatikan, kota adalah hasil dari modernitas barat yang hadir dengan banyak pengorbanan. Seorang kawan saya pernah mengatakan bahwa Jakarta adalah kanker buat Indonesia. Jakarta menjadi metropolitan, pusat ekonomi dan pemerintahan setelah banyak kejadian berdarah. Dari zaman kolonial, pembantaian PKI tahun 65, pembantaian pemberontakan lokal di seluruh Indonesia, penjualan aset dan sumber daya alam di seluruh negeri, semua untuk memberi asupan kepada kanker ini. Dan kita hidup di dalamnya. Kita makan dari asupan-asupan darah dan penderitaan daerah tertinggal tanpa infrastruktur, dengan korup dari pemerintah lokal yang belajar dari pemerintah pusat. Di sini, di kota ini, Kanker bernyanyi dalam dentuman palu konstruksi gedung, dalam pukulan pada anak-anak jalanan, teriakan tukang bakso, suara pembawa acara infotainment, pidato politik menjual janji, iklan, mal-mal, toa mesjid yang berleleran khotbah benci dan segala keberisikan. Semua ekses ini akan memulu bising dan jahat, jika kita tidak bisa memaknainya.

Manusia Gerobak
Manusia Gerobak di Jakarta. Foto oleh Chelluz Palun (chelluznote.blogspot.co.id)

Maka kolase-kolase ini hadir sebagai sebuah komposisi yang harmonis dalam ketidakharmonisannya. Sebuah Paradoks. Oxymoron. Irasional. Seraya menantang kita untuk memaknainya sesuai dengan pengalaman dan kehidupan kita sendiri. Orang yang tidak tinggal di kota mungkin asing dengan suara-suara ini dan bisa menjadikannya sebuah kebaruan. Sementara kita manusia kota, punya tanggung jawab lebih untuk paham—bukan mengerti, tapi paham. Pengertian perlu penjelasan, namun pemahaman perlu perasaan. Pemahaman perlu kemampuan membaca, mendengar dan merasa. Dan dengan pemahaman itu kita tidak terjebak. Pemahaman membuat kita bermakna dan ada yang bisa kita lakukan dalam konteks kita ini: berproduksi sebagai diri sendiri, untuk diri sendiri dan orang lain. Berbagi pemahaman.

Tanpa pemahaman dan berbagi pemahaman maka yang bisa kita lihat dari kota ini adalah kekosongan makna. Pemuasan hasrat yang tak ada habisnya. Penghabisan umur buat sesuatu yang tidak ada artinya. Tanpa pemahaman, kita akan bergerak tanpa arti atau tujuan. Dan kehidupan menjadi ilusi. Kerja cerdas, pesta keras menjadi prinsip kehidupan kota, tapi untuk apa jika kita tidak paham untuk apa kerja dan ada apa sehabis pesta. Ketika hasil pekerjaan kita hanya uang yang kita hamburkan dalam pesta, sementara kita terasing dari apa-apa yang kita buat dan kita jual sendiri, kita terjebak dalam lingkaran kekosongan ini.

Satu-satunya cara untuk keluar adalah dengan mengekspresikan rasa itu. Rasa senang, muak, sedih, tawa, tangis, bingung dan ketakutan harus keluar dari tubuh kita dan kita bagi. Seni kota kebanyakan adalah ekspresi rasa-rasa itu, termasuk album eksperimen ini. Semua nomor seperti komposisi musik klasik dalam medium baru, medium suara kota. Nuansa industrial, kesepian dalam keramaian, indoktrinasi politik dan agama serta individualisme, hadir dalam komposisi-komposisi yang berbeda-beda. Kolase adalah rasa Jakarta yang sebenarnya, karena sekeras apapun kita berusaha menjadi berbeda, kita ada di dalam konteks yang sama dan mau tak mau harus terima perbedaan-perbedaan itu. Betapapun sakitnya. Betapapun busuknya.

As We Watch in Horror

Saya tidak mungkin membahas semua komposisi dalam album ini satu persatu. Setiap nomor dibuat dalam suasana dan konteks yang berbeda-beda dan membutuhkan pendekatan yang berbeda. Alih-alih membuat artikel pendek, saya malah bisa membuat sebuah disertasi. Jadi saya memilih membahas satu lagu secara singkat, sebuah nomor berjudul As We Watch in Horror. Lagu ini menarik untuk saya pribadi karena nuansa yang ditampilkan, permainan tempo dan kekayaan komposisinya. Pembukaannya terdengar sangat kota, dengan beat yang cepat dan penuh irama ritmik mekanik. Semakin ke tengah, banyak suara-suara asing masuk dan membuat menjadi sangat horor, dan pada akhirnya tempo melambat dan nuansanya menjadi sangat…melankolik.

Lagu ini menurut saya cocok sekali dimainkan di diskotik ketika para dugemers sedang asik joged dengan inex. Karena setelah bagian tengah dan belakang, niscaya mereka akan dilanda paranoia parah dan pulang dengan melankolia. Karena pada akhir lagu ini, saya bisa merasakan sebuah ketidakberdayaan yang sangat perih. Ketidakberdayaan manusia kota terhadap apa yang mereka tahu: bahwa semua kemapanan bisa berakhir dalam kesia-siaan ketika zaman atau Tuhan atau alam memaksa mereka. Pada akhirnya manusia kota adalah manusia.

Sekedar ilustrasi, As We Watch in Horror mengingatkan saya pada sebuah pementasan teater di Amerika tahun 1970 hasil besutan sutradara, komposer dan pianis Ralph Ortiz berjudul The Sky is Falling. Penonton ditempatkan dalam sebuah ruangan dengan sebuah TV besar. Sejak awal penonton telah diberitahu bahwa apa yang mereka saksikan di TV adalah live dari ruangan sebelah. Sementara di ruangan yang lain, aktor memulai pertunjukkan dengan menyiksa dan membunuh ayam-ayam dan tikus-tikus dengan keji. Setelah pementasan, diadakan sesi diskusi. Para penonton protes, marah, dan kecewa, apalagi ketika mereka melihat ayam-ayam dan tikus-tikus yang termutilasi, dengan darah dan jeroan dimana-mana—beberapa binatang itu masih hidup. Mereka tidak bisa memaknai pertunjukan sadis semacam itu, dan menganggap Ortiz seorang sadis dan gila. Menanggapi amarah penonton, Ortiz malah bertanya balik ke penonton: “Anda melihatnya di TV, anda tahu dimana itu terjadi, kenapa anda tidak menghentikannya?”

destruct01
Ralph Ortiz dalam salah satu pementasannya, yang hari ini dikenal sebagai destructivist art.

Pementasan tersebut adalah sebuah bentuk protes terhadap masyarakat Amerika ketika melihat perang Vietnam. Televisi menyajikan hal yang terjadi di belahan bumi yang lain dan yang bisa orang lakukan adalah mengeluh dan marah-marah dari ruang TV nya—menganggap semua yang terjadi adalah sebuah ‘pertunjukan di luar kuasa mereka.’ Zaman ini tentunya sudah berubah. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan demi mendukung atau tidak mendukung suatu kejadian di dunia. Dari sumbangan lewat bank, atau sekedar petisi online bisa digunakan sebagai alat politik. Sayangnya, di Indonesia, orang tidak semudah itu bergerak kritis dan lebih sering menjadi penonton pasif. Semakin maju teknologi dan penyebaran informasi, semakin pasif manusianya. Dan kepasifan itu… sakit.

Itulah yang saya rasakan ketika mendengar keseluruhan komposisi panjang As We Watch in Horror. Iman menjelaskan sedikit tentang lagu itu:

Komposisi itu gue bikin sambil lihat gempa dan tsunami di Jepang. Ibaratnya ada tiga part. Part 1 yang kenceng acak-acakan. Jepang sebagai negara maju dengan sonic collage yang rame, part 2 feedback panjang ketika tsunami datang, dan part 3 kehancuran kota-kotanya setelah bencana. As We Watch in Horror adalah representasi ketika kita lihat TV, media, dan timeline. Betapa menakutkannya hal-hal ini dan gerenasi sekarang bisa melihatnya secara langsung semua kejadiannya.

Lagu itu adalah sebuah narasi panjang soal kesakitan masyarakat kota akan kepasifannya sendiri. Empati bisa kita rasakan, tapi mandeg dalam ketidaktahuan kita dan keterputusan kita untuk memberi bantuan atau berbuat sesuatu. Kita di kota lebih suka mengurus hal-hal yang dekat seperti pembunuh kucing atau etika ABG yang tak memberi duduk ibu hamil di kereta, daripada hal-hal jauh yang lebih parah. Kebanyakan kita mengeluh dan menunggu untuk ada orang yang bisa menyalurkan bantuan kita, alih-alih mencari atau membuat saluran bantuan. Filosofi kota yang kebanyakan kita anut adalah Philosophy of the Bystander, filsafat penonton.

*

Aih, saya bicara terlalu banyak. Sebaiknya kita akhiri saja diskusi ini agar anda bisa mulai mencari tahu bagaimana cara mendapatkan album ini dan merasakannya sendiri. Karena album ini penuh tantangan untuk pendengarnya baik dari konten dan distribusinya. “Gue nggak mau berbentuk album musik yang bisa dijual secara populer, makanya musik yang gue compose itu sebetulnya bukan musik, tapi komposisi,” ujar Iman.

“Telinga manusia sebetulnya punya kemampuan untuk isolasi suara;” lanjutnya. “Kita bisa mengisolasi suara mana yang mau kita fokus. Contoh, kalo kita ngobrol dengan lawan bicara di pinggir jalan yang ramai, kita bisa tahu dia ngomong apa, jadi suara jalanan berisik itu jadi background. Dari hal ini gue punya ide bahwa sebetulnya kehidupan kita ini penuh dengan kolase setiap saat.”

Ya. Kita mestinya bisa fokus. Kita bisa memilih. Bahwa dalam kesemerawutan kota, kebisingan bunyi, kita bisa pilih fokus dan tujuan apa. Album ini berusaha mengingatkan kita akan kebebasan itu, agar kita bisa bergerak dalam arus yang kacau. Kebebasan yang seringkali kita lupakan dan saatnya kita rebut kembali.