Filsafat, Racauan

Alhamdulilah, saya tidak tergantikan AI

Beberapa esei saya akui saya buat dengan berbagai macam AI karena saya ingin coba-coba, dari AI gratis sampai yang berbayar. Tapi semuanya harus saya edit habis-habisan, atau saya tulis ulang. AI tidak bisa menggantikan Large Language Model dalam otak saya yang sudah teracuni kolesterol masakan Padang, obat anti depressan, trauma, patah hati, jatuh cinta, multiple orgasm pada pria, dan khidmatnya ibadah pada Tuhan yang tak ada. Mana ada AI bisa bikin paragraf seperti paragraf pembuka ini?

Saya sudah ajari GPT 4 dengan banyak sekali referensi gaya bahasa dan tulisan saya. Nihil hasilnya untuk membuat tulisan dengan rima tak tertebak, penyalahgunaan bahasa dan kata, keluwesan, kelugasan, dan keleluasaan saya. Dan nampaknya, masih cukup lama hingga AI bisa mengikuti cara berpikir dan cara tutur saya. Bicara saya yang kalah cepat dengan otak saya saja, kawan bicara seringkali sulit mencerna, dan pada akhirnya mencerca.

Pada akhirnya menulis adalah saya, dan saya adalah penulis. Penyalahgunaan tajwid saya adalah otentisitas saya, sehingga multi-tafsir bisa terjaga untuk membuka pikiran para pembaca. Dan AI adalah asisten terbaik saya untuk jadi kawan bicara, lawan berdebat, pengecek fakta (hanya untuk GPT4), dan pengisi sepi.


Eksplorasi konten lain dari Esei Nosa

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.