jurnalistik, Kurasi/Kritik, Politik, Racauan

Selesainya “Hak Politik Mahasiswa”

Saya hanya akan merepost sebuah tulisan saya, yang saya temukan di blog lain dan saya tulis pada tahun 2014, ketika saya baru menjadi dosen sosiologi/antropologi dan mulai melihat akhir dari hak politik mahasiswa. Mari diskusi!

HAK POLITIK MAHASISWA

Nosa Normanda, 7 Oktober 2014

Politik menurut kamus Merriem-Webster adalah ‘aktifitas yang berhubungan dengan pemerintahan sebuah Negara atau area lain, khususnya debat atau konflik di antara individual atau kelompok-kelompok, atau mereka yang berharap mendapatkan kekuasaan.’ Dalam definisi ini, ‘area lain’ dan ‘individu’, ‘kelompok’,’yang berharap…kekuasaan’ bisa siapa saja. Ia bisa jadi seorang bocah yang minta dibelikan eskrim oleh orang tuanya, atau remaja yang ngambek dan mogok makan di rumah karena ingin iPhone 6. Atau seseorang yang mem-friendzone setiap orang yang menggebetnya.

Tapi ketika kita bicara soal “Negara”, atau bahasa kerennya “politik makro,” kita tidak bisa melebarkan definisi politik seperti itu. Untuk bisa masuk ke ranah besar itu, ada banyak syarat yang harus dipenuhi seorang individual. Syarat ini sangat bergantung pada kematangan berpikir sebuah Negara dan penghuninya. Semakin sedikit orang yang mampu berdialog dengan bahasa politik ‘kenegaraan’, atau semakin totaliternya Negara terhadap penduduknya, membuat semakin sedikit orang yang bisa terhubung dalam konteks besar itu. Dan menjadi tidak terhubung artinya menjadi tiada.

Ketiadaan bisa dilihat ketika Negara atau yang lebih tinggi dari Negara (multikorporasi, badan multinasional seperti IMF atau Bank Dunia) dengan instrumennya (legalitas, bantuan luar negeri, dan tentara) bisa dengan semena-mena mengeksploitasi alam dan isinya. Karena alam dan isinya dianggap objek yang pasif, sebuah wilayah kosong yang bisa dijamah seenaknya—toh yang menghuninya tidak dianggap ada. Contohnya bisa anda google sendiri, dari eksploitasi hutan dan tambang di Kalimantan, Sulawesi dan Papua, hingga terpinggirkannya warga kota Depok oleh Mal. Ini semua adalah hasil dari kesenjangan politik-ekonomi yang berujung pada kebisuan publik. Publik yang tak mampu bicara bahasa sang opresor, dan karenanya dianggap tidak ada.

Keberadaan Indonesia sebagai Negara diawali dengan kemampuan bicara bahasa penjajah, kemampuan membaca, menulis, dan berpikir. Indonesia diawali dengan keberadaan mahasiswa-mahasiswa yang mewakili bangsanya. Kekuatan kaum intelektual ini terus ada hingga tahun 1966, setelah itu, pemerintah militer berusaha membungkamnya dengan berbagai kebijakan dan pada akhirnya pemerintahan sipil pasca reformasilah yang ironisnya berhasil mengubah universitas-universitas menjadi pabrik tenaga kerja. Akhirnya konteks pergerakan mahasiswa dan produk-produk politiknya mandeg di kampus. Demonstrasi penuh dengan kekalahan argumen, tidak ada ide baru yang dilempar ke publik (ide seperti nasionalisme, demokrasi atau sumpah pemuda). Ini menjadi tambah menyedihkan, ketika aparatur Negara memberi dan mengambil hak politik seenak udel mereka demi mengabsahkan kekuasaan. Seperti raja-raja zaman dulu yang membuat babad atau buku sejarah yang mengklaim mereka keturunan Nabi atau hasil pilihan parlemen surgawi.

Tulisan ini bukan bermaksud memprovokasi agar mahasiswa “bergerak” atau “peduli.” Tujuan utamanya adalah untuk mengawali sebuah diskusi tentang sebuah hak politik yang hanya dimiliki orang berusia di atas 17 tahun di Indonesia: hak untuk diakui Negara sebagai manusia dewasa (dengan KTP) dan hak untuk bersuara dalam pembentukan Negara atau hak untuk taat dan tak taat terhadap produk hukum Negara—yang harus berdasarkan pada akal sehat. Karena sebagai kaum terdidik, mahasiswa dan civitas akademika punya tanggung jawab yang lebih besar daripada orang awam: kita punya akses informasi yang besar, metodologi kelilmuan dan kita punya kewajiban untuk mengabdi pada masyarakat dengan ilmu yang kita punya. Setiap pengabdian, sekecil-kecilnya, juga adalah tindakan politik, dan setiap tindakan politik dari ranah akademik semestinya bersifat manusiawi (humanistik), yaitu tindakan yang memberi kekuatan tawar pada setiap individu di Negara ini agar tidak mudah tergilas oleh tiran atau tertipu oleh orang yang lebih pintar.

Tulisan di atas menjadi sebuah Term of Reference diskusi Jumat Kelabu, di Kantin Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, di tanggal yang sama. Berikut adalah recapnya.

DISKUSI JUM’AT KELABU

Hari jumat kemarin, tema diskusinya adalah “Hak Politik Mahasiswa.” Diskusi diadakan di kantin sastra FIB UI, di tengah makan sore mahasiswa.

Yang dibicarakan sederhana. Kita saling berbagi tentang pengalaman setiap orang dan politik. Bagaimana politik individual bisa mempengaruhi politik negara, bagaimana gerakan mahasiswa tahun 98, bagaimana gerakan mestinya dilakukan sekarang.

Kesimpulannya sederhana: semua dimulai dari hal kecil. Dari membaca dan sadar wacana politik, hingga mengkritisi melalui diskusi, suray terbuka atau pernyataan di social media.

Para alumni aktivis 98 berbagi tentang peran serta mereka yang dimulai dari kepedulian sosial melalui diskusi akademis di luar kelas, wartawan politik Tika Primandari menceritakan soal pengalamannua sebagai mahasiswa yang mampu mencari dan mengakses informasi sendiri, dan para mahasiswa bercerita tentang sistem pendidikan yang begitu ketatnya, hingga mereka tak sempat berpikir atau bergerak secara politik–demi nilai kuliah dan hidup sehari-hari.

Kesimpulan akhirnya adalah diperlukan sebuah usaha besar untuk melakukan hal-hal kecil, agar bisa ikut berpartisipasi sebagai mahasiswa dan warga negara, khususnya menghadapi pemerintahan dan parlemen yang nampaknya akan bertarung secara sengit 5 tahun ke depan. Mahasiswa sebagai orang-orang yang punya akses terhadap informasi, harus menggunakan akses itu sebaik-baiknya dan mengabdi pada masyarakat sesuai dengan porsinya sebagai civitas akademika. Dengan cara apapun, yang penting berkontribusi.

Karena politik itu PERSONAL.


Eksplorasi konten lain dari Esei Nosa

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.