Dari Tantangan, Prosa, Surreal

Dunia Terkubur

Tidak ada yang peduli pada Sobar ketika ia berteriak, “Saya Islam! Saya Islam.” Sekelompok orang tetap memukulinya hingga ia pingsan. Setengah sadar, ia ditumpuk ke mayat-mayat lain. “Ahmadiyah anjing!” Ia mendengar seorang mengumpat. Ia dilempar ke tanah, di atas tubuh Rohim, sahabatnya. Lalu ia dikubur hidup-hidup.

Entah tenaga darimana, Sobar mengais-ngais dengan tangannya, melewati mayat-mayat. Ia merasakan tanah, dan terus menggali. Nafasnya berat, dan ia merasa akan pingsan lagi, sampai tiba-tiba tangannya menusuk keluar dan merasakan udara. Ada cahaya terang, dan ia kesilauan. Ia keluar dari tanah yang berwarna abu-abu. Ia bernafas. Kepalanya sakit. Matanya tinggal satu..

Seorang anak perempuan kecil berhijab, berkulit putih bermata almond, memperhatikannya. Di perut kirinya, ada bercak-bercak darah, membasahi baju berwarna biru kusam. “أبي! هناك شخص آخر!” Ucap anak itu.

Abdullah Al Katiri menghampiri. Ia pria Arab jangkung berjanggut tebal. Usianya sekitar 30 tahun. Ia mengulurkan tangan pada Sobar. “مرحباً بك أخي.” Katanya. Sobar mengerti artinya, dan dengan bahasa Arab patah-patah, ia bertanya ini dimana. 

Abdullah mengajaknya berjalan, menyusuri kota mati yang berasap. Bersama putrinya, Laila, Abdullah menjelaskan pada Sobar, ini adalah tempat untuk mereka yang terkubur hidup-hidup. Ia bertanya darimana asal Sobar. Sobar menjawab, Indonesia. Abdullah tersenyum, dan bilang, “سأأخذك إلى شعبك.” 

Mereka melewati sebuah padang rumput, ada orang-orang dengan bahasa vietnam, sedang bicara dengan beberapa orang berkulit gelap, mirip orang india. abdullah mengucapkan salam. Lelaki berkulit gelap menyalami balik. Sobar bertanya, siapa mereka. Abdullah menjawab bahwa mereka orang Rohingya. Mereka jalan terus hingga menemukan sebuah sungai, penuh dengan mayat-mayat. Abdullah dan Laila menyebrang sungai dengan menapaki mayat-mayat itu. Sobar ngeri dan ragu. 

Sobar mengikuti Abdullah dan Laila menapaki mayat-mayat yang membentuk jembatan di sungai itu. Tiba-tiba hari berubah malam. Mereka sampai di sebuah kampung, beratap genteng, bertanah merah. Mirip seperti kampung-kampung di Indonesia. “Abdul!” Teriak seseorang. Abdullah menyapa. “Orang Jawa?” Kata orang itu kepada Sobar.  

Pria itu berwajah Tionghoa, berpeci dan berkaus singlet. Umurnya sekitar 43 tahun. Ia menperkenalkan dirinya sebagai Asiong, asal dari Pondok Cina di Depok. Ia dituduh PKI dan dikubur hidup-hidup bersama keluarga dan tetangga-tetangganya. Ia senang bisa bertemu orang Indonesia lagi. Kampung itu ramai dengan orang Indonesia. Ada korban 65, ada juga beberapa aktivis 98, wartawan, dan seniman. Mereka menyambut Sobar dengan gembira.

“Ini adalah persimpangan untuk mereka yang dikubur hidup-hidup. Tapi waktu tidak berlaku kronologis di sini. Mas Wiji itu, baru sampai di sini sebelum kamu.” Kata Asiong, menunjuk pada seorang lelaki kriting tonggos berkulit gelap yang sedang menulis puisi dengan arang di tembok kayu rumah. Sobar menceritakan bahwa kampung pengungsiannya diserbu, ketika terjadi persekusi. Abdullah dan Laila pamit kembali ke kampungnya. Sobar mengucapkan terima kasih dan assalamualaikum.

“Mereka, Abdullah dan Laila, sudah di sini sebelum saya.” Kata Asiong. “Padahal jika kita runut waktu, tanggal terakhir yang saya ingat adalah Januari 1966. Tapi Abdullah, dia ingat kotanya dibom Israel, menguburnya bersama Laila di akhir tahun 2024.”Sobar bertanya, sampai kapan mereka di sini.

“Sampai ada yang menemukan mayat kita, dan menguburkan kita dengan benar.” Kata Asiong. Tiba-tiba langit gelap terbuka dan ada cahaya. “Saya pergi sebentar.” Kata Asiong. “Kemana?” Tanya Sobar. “Kalau nanti kamu melihat ada cahaya dari langit, artinya kamu dipanggil pulang untuk menghantui dunia fana. Saya melihat cahaya itu, saya bisa pulang sebentar. Cahaya itu artinya ada yang sedang meratapi. Cahaya itu artinya tanggal 30 September-1 Oktober di Jawa.” 

Jadi ada yang sedang meratapi Asiong dan golonganya di tanggal segitu. Mereka pulang untuk menghantui. Sobar tak tahu kapan ia bisa pulang menghantui. Wiji melihatnya lalu menyuruhnya datang ke depan rumah kayu itu. “Mas tidak ikut?” Tanya Sobar pada Wiji. Wiji cuma menjawab, “Kami pergi tiap hari Kamis.” Lalu Wiji dan Sobar menyeruput kopi pahit, yang tidak pernah habis dari sebuah cangkir besi berkarat yang usang. “Istirahat dulu, Mas.” Kata Widji.



Terima kasih telah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan sumbangan, iklannya tak menghasilkan, dengan lisensi Creative Commons, Atribution, Non commercial. Kamu boleh pakai konten ini selama memberikan link sumber dan bukan untuk tujuan komersial. Kalau kamu suka dengan yang kamu baca, silahkan traktir saya kopi murah.

Dari Tantangan, Prosa

Menara yang Memanggil Malaikat

Kisah ini dibuat berdasarkan tantangan Amanda Iswan di Thread.net.
Kisah ini fiksi belaka, kesamaan dengan sejarah adalah disengaja.

Bapa Franciscus telah berumur sembilan puluh dua tahun ketika suatu malam musim dingin yang ganjil, Tuhan—atau sesuatu yang menyerupai Tuhan—memanggilnya naik ke menara biara. Udara beraroma lilin dan salju, tangga-tangga batu terasa seperti nadi dingin bumi yang berdenyut pelan. Setiap langkah adalah doa dan penderitaan; sendinya berderit, pandangannya kabur, namun panggilan itu terlalu jelas untuk diabaikan.

Di puncak menara, langit terbelah seakan waktu sendiri menganga. Dua cahaya turun, berputar bagai salib yang mencair di udara. Dari cahaya itu muncul dua bayi bersayap, cahayanya bukan putih tapi hangat seperti madu di bawah matahari sore. Bapa Franciscus menggendong keduanya. Sayap mereka menghilang, dan keduanya tertidur pulas di pelukannya. Ia menamai mereka Augustus dan Pieter.

Para biarawan tak mempercayai kisah itu. Mereka menganggap kepala biara tua itu telah diseret halusinasi menuju akhir hidupnya. Namun keesokan pagi, dua bayi itu benar-benar ada di ruang salib: kulitnya seputih halaman kosong, rambutnya melingkar lembut seperti huruf-huruf Yunani kuno. Maka legenda pun dimulai—dan legenda, sebagaimana dosa, selalu mencari tubuh untuk ditinggali.

Biara dan para biarawan memperhatikan dua malaikat yang sedang bekerja.

Augustus dan Pieter tumbuh tanpa tangis. Mereka berbicara sebelum waktunya, dan berbicara dengan cara yang aneh: seperti berbisik langsung ke batin siapa pun yang mendengarnya. Tak seorang pun di biara kelaparan atau bertengkar lagi; lebah-lebah di peternakan menjadi lebih jinak, hasil madu lebih manis, bir lebih harum. “Kami dan kalian sama-sama pelayan Tuhan,” ujar mereka. Dan kalimat itu menjadi hukum.

Mereka tampan dengan cara yang aneh. Augustus berambut hitam legam, kulitnya pucat, matanya berwarna almond yang menenangkan dan sekaligus menakutkan. Pieter berambut pirang, matanya biru muda, kulitnya secerah fajar. Dalam tiap gerak mereka terselip sesuatu yang bukan manusia—bukan karena keajaiban, melainkan karena ketiadaan cacat. Orang-orang berziarah ke biara, membawa luka, dosa, penyakit, dan pulang dengan kesembuhan atau kematian yang damai. Augustus dapat melihat masa depan; Pieter membaca tabiat. Bersama mereka, dunia menjadi hampir terlalu tenang.

Ketika mereka genap tujuh belas tahun, Bapa Franciscus meninggal dengan senyum samar, seolah ia tahu cerita belum selesai. Dan memang belum.

Suatu sore, seorang lelaki dari Austria datang ke biara. Namanya Al. Ia membawa anak laki-laki kurus berusia enam tahun yang tampak seperti bayangan yang terpisah dari tubuhnya. Kulit anak itu pucat, rambutnya gelap dan lepek, matanya terlalu besar untuk wajah sekecil itu.

“Aku telah kehilangan segalanya,” kata Al. “Tiga kali menikah, tiga kali gagal. Semua anak-anakku meninggal—kecuali dia. Mereka bilang dia pembawa sial. Tapi aku tak percaya anak ini iblis.”

Augustus menatap anak itu lama sekali. Di matanya, ia melihat masa depan yang seperti neraka terbuka: api, barisan manusia berbaris dalam kerapian maut, dunia yang terbakar oleh satu nama. “Tinggallah di sini,” katanya akhirnya. “Belajarlah dari lebah. Anak ini, biar kami yang ajar.”

Selama enam hari, Al belajar merawat lebah dan membaca Kitab. Anak itu belajar menyalin naskah suci, tapi lebih suka menggambar—wajah-wajah, garis-garis tegak, simbol-simbol aneh yang mirip salib terbalik tapi tidak sepenuhnya. Pieter mengajarinya sabar, sementara Augustus semakin sering menatap langit malam seperti menunggu wahyu atau hukuman.

Malam keenam, biara tenggelam dalam tidur. Augustus naik ke menara, seperti dulu Bapa Franciscus memanjat dalam usia renta. Ia membawa anak itu yang tertidur, menaruhnya di atas meja altar. Dari balik jubahnya ia keluarkan sebilah belati perak yang dipakai hanya pada pengusiran setan.

Namun sebelum bilah itu menyentuh dada anak, kilat menyambar. Awan menutup bulan. Pieter muncul, berlari menaiki tangga dengan napas tersengal. “Apa yang kau lakukan, Auggie?”

“Tugas kita jelas,” bisik Augustus. “Anak ini adalah yang ditunggu dunia. Ia akan menyalakan perang, membunuh jutaan manusia. Aku melihatnya.”

“Tapi mungkin kali ini ia berubah. Barangkali iblis di dalamnya dapat ditebus.”

“Tidak ada penebusan bagi api yang sudah menyala, Piet. Aku akan turun ke neraka agar dunia tidak perlu menyalakan neraka di bumi.”

Augustus & Pierre di Menara.

Pieter menahan tangan Augustus, mereka bergulat di bawah cahaya kilat. Belati itu terbalik, menembus dada Augustus sendiri. Darah menetes di altar. Ia tersenyum getir, menunjuk langit yang kini bercahaya emas. “Kita dipanggil pulang,” katanya. Sayap putih muncul dari punggung Pieter; ia mengangkat tubuh saudaranya dan terbang. Semua biarawan, termasuk Al, berhamburan ke menara dan menyaksikan mereka terangkat menuju cahaya.

Pieter menatap anak itu. “Jangan kecewakan aku, nak. Buat dunia lebih baik.” Lalu ia menghilang dalam cahaya, bersama Augustus, meninggalkan aroma madu terbakar di udara.

Bapa Markus, kepala biara, mendekati anak kecil itu. “Anakku, siapa namamu? Kau terberkati.”

Anak itu menatapnya dengan mata kelam yang memantulkan langit yang baru saja kehilangan dua malaikat. “Adolf,” katanya pelan.

Dan pada malam itu, di menara yang sama tempat malaikat turun, lahirlah kembali sejarah yang kelak membuat manusia ragu siapa sebenarnya yang diutus Tuhan—dan siapa yang dibiarkan-Nya untuk menguji seluruh iman umat manusia.

Alois dan Adolf.

Terima kasih telah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan sumbangan, iklannya tak menghasilkan, dengan lisensi Creative Commons, Atribution, Non commercial. Kamu boleh pakai konten ini selama memberikan link sumber dan bukan untuk tujuan komersial. Kalau kamu suka dengan yang kamu baca, silahkan traktir saya kopi murah.