Film, Kurasi/Kritik

Exhuming Siksa Kubur: Agama Yang Mengabur

Satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah kematian, sisanya adalah interpretasi, imajinasi, dan hasil komunikasi. Lebih ekstrim lagi Jacques Lacan, seorang psikoanalis dari Prancis mengatakan bahwa satu-satunya yang nyata adalah kematian sisanya imajinasi.  Seperti kutipan bahasa Inggris lama, ‘A dead man tells no tale’, orang mati tak akan pernah bercerita.

Cerita tentang ada apa setelah mati adalah cerita yang sudah dibuat sejak zaman nenek moyang kita bahkan mungkin pada spesies manusia sebelum kita seperti Neanderthal yang menguburkan sesamanya di tempat tertentu dengan ritual tertentu. Salah satu yang paling terkenal tentunya budaya Mesir kuno yang membuat mumi dari orang-orang yang mati. Suku-suku di pedalaman Amazon atau beberapa suku di peradaban lama memotong kepala orang yang mati dan mengecilkannya menjadi sebuah jimat atau memumikannya untuk dipajang di dalam rumah sebagai kenang-kenangan seperti sebuah foto keluarga.

Semua budaya ini bicara tentang akhirat atau hidup setelah mati dengan cara yang berbeda-beda dan dengan tujuan yang berbeda-beda pula. Ada yang merasa bahwa setelah mati seorang harus dirawat jasadnya supaya ia bisa sampai ke dunia kematian dengan selamat. Ada juga yang merawat jasad atau mumi atau kepala orang untuk bisa selamat di bumi agar yang mati tidak balas dendam. Ada juga mengkremasi jasad yang mati dan menyebarkan abunya supaya si mati bisa kembali dalam lingkaran kehidupan atau samsara atau agar mereka bisa mencapai nirwana. Kurang lengkap juga rasanya kalau kita tidak bicara tentang pemakaman dengan menaruh jenazah di kapal lalu melayarkannya ke tengah danau atau laut lalu membakarnya dengan panah api seperti yang dilakukan oleh orang-orang Viking. Ada juga yang jenazahnya dibuang langsung ke laut supaya jadi makanan ikan seperti yang banyak terjadi di suku-suku pesisir atau nelayan.

Tapi yang paling menarik untuk saya sekarang ini mungkin tradisi menguburkan orang; sebuah tradisi yang didapatkan dari agama-agama semit atau Judeo-Kristiani-Islami yaitu agama-agama yang dibawa oleh nabi-nabi dari daerah Timur Tengah. Konon budaya ini dipelajari anak Adam dari burung gagak yang mengubur gagak lainnya. Tentunya budaya menguburkan jenazah tidak hanya milik agama-agama semit. Di beberapa agama atau kepercayaan di Cina, Jepang, dan Korea misalnya juga ada tradisi menguburkan orang dan bukan mengkremasinya. Di sinilah saya ingin membahas tentang budaya menguburkan di dua film horor fenomenal tahun ini Siksa Kubur (Joko Anwar) dan Exhuma (Jang Jae-Hyun).

Kedua film tersebut bercerita dari sudut pandang konstruksi budaya soal jenazah dan kematian di dalam budaya Indonesia dan budaya Korea. Saya tertarik untuk bicara tentang tiga hal. Pertama saya tertarik untuk bicara tentang tokoh utamanya yang dua-duanya perempuan. Kedua Saya ingin bicara ritualnya tentang pemakaman baik di Islam dan di non Islam, khususnya konteks kuburan di Indonesia dan di Korea. Ketiga saya mau merenung juga bagaimana mayat diperlakukan dalam dua film ini, bahwasanya mayat sakral, namun di luar film ini, mayat menjadi semacam abjeksi atau menjijikan, khususnya ketika ia menolak mati.

Tokoh dan bahasan

Dalam budaya agama semitik, perempuan dan laki-laki dimandikan dan diproses sesuai dengan gendernya masing-masing. Laki-laki akan dimandikan oleh laki-laki dan perempuan dimandikan oleh perempuan. Setelah itu mereka akan dibungkus dengan kain kafan dan diikat. Dalam proses pemakaman ritual dipimpin oleh laki-laki sejak salat mayit sampai penguburan. Ini dilakukan karena agama semit adalah agama patriarkal. Dalam Siksa Kubur, tokoh bernama Adil (Muzakki Ramadhan-Reza Rahadian), adik Protagonis Sita (Widuri Putri-Faradina Mufti), adalah seorang pemandi jenazah yang memandikan jenazah-jenazah laki-laki. Terlepas dari protagonis utama yang adalah seorang perempuan, film Siksa Kubur berusaha bergerak dalam sebuah ranah agamis khususnya Islam untuk tetap setia kepada kebudayaan dominan dari penontonnya.

Sementara itu dalam Exhuma, tokoh protagonisnya juga perempuan Lee Hwa-rim (Kim Go Eun) yang punya sidekick laki-laki, Bong Gil (Lee Doh Hyun). Hwa-rim adalah dukun (Mudang) yang memegang peran penting dalam ritual-ritual pemakaman atau ritual-ritual tolak bala di Korea Selatan. Dukun-dukun perempuan ini cukup dibanggakan oleh budaya Korea dan sudah sering kita lihat di dalam banyak film atau seri Korea. Walau tetap saja yang menggali kubur dan menguburkan adalah laki-laki sesederhana karena ini adalah pekerjaan fisik, yang secara distribusi kerja biasanya dilakukan oleh laki-laki.

Kedua film punya protagonis perempuan yang berhadapan dengan kematian, dengan sidekick laki-laki yang jadi korban (atau berkorban). Buat saya ini menarik karena biasanya ketika kita bilang soal perempuan yang lebih dulu terpikir di kepala orang yang dibesarkan di budaya patriarki adalah peran ibu dan kelahiran bukan kematian. Jika pun dihubungkan dengan kematian, perempuan lebih sering jadi setan jahat yang dendam dengan budaya patriarki yang menyakitinya ketika hidup. Hantu perempuan, sering kali adalah wujud rasa bersalah kebudayaan kepada perempuan, yang menjadi ibu arkaik.

Di Siksa Kubur dan Exhuma, tidak ada tokoh ibu arkaik yang menakutkan seperti Medusa yang membekukan semua yang melihatnya atau tentunya ibu di Pengabdi Setan atau wewe gombel dalam film Joko Anwar yang lain,  A Mother’s Love. Walaupun Pengabdi Setan satu dan dua punya protagonis perempuan tapi film-film tersebut punya antagonis yang juga perempuan.

Sementara itu Exhuma punya musuh yang sangat maskulin: penjajah Jepang, hantu Samurai (atau shogun) dan pembicaraan soal batas wilayah yang diatur dengan pasak, juga soal darah priyayi pengkhianat bangsa, yang kaya sekaligus terkutuk. Exhuma jelas politis, sementara Siksa Kubur filosofis.

Siksa Kubur membicarakan tentang betapa absurdnya kepercayaan tentang kematian, yang interpretasinya macam-macam ini. Karena, seperti kata Hamletnya Shakespeare, kematian adalah daerah yang mana tak ada pengelana yang akan kembali, maka narasi tentang mati dan siksa kubur, serta sequence menuju akhirat jadi ruang imajinasi tanpa batas, berdasarkan cerita, referensi, dan pengalaman (termasuk trauma-trauma kita).

Untuk mereka yang berasal dari kelas terdidik dan senang berdiskusi filsafat, premis Siksa Kubur tentang skeptisisme dan kesombongan manusia akan kepercayaannya sendiri ini, jelas klise dan tak menantang. Tapi coba kasih saya satu saja tiktok atau channel youtube filsafat Indonesia yang membicarakan hal ini dengan viewer 3 juta orang lebih, seperti jumlah penonton Siksa Kubur. Di negeri dimana Bansos bisa membeli suara politik, berapa banyak yang sempat berpikir tentang interpretasi lain soal kematian selain apa yang dicekoki agama? Pertentangan antara protagonis perempuan muda yang kritis, dengan antagonis lelaki tua patriarkis yang juga sama kritisnya, membuat film ini menjadi sebuah essay filsafat yang dibungkus dengan estetika sinematis.

Horor yang menantang penontonnya

Horor konvensional, biasanya berpikir bahwa filmnya komersil dan tidak politis. Bahwa penonton diberikan rasa takut, dan diposisikan sebagai protagonis yang melawan kekuatan jahat. Plot klasiknya seperti protagonisnya orang kota dan hantunya ada di desa atau di rumah tua atau di kuburan. Kepada penonton tidak ada tantangan lain yang secara langsung melibatkan hidup mereka. Tapi di Siksa Kubur dan Exhuma, penonton disandingkan, kalau bukan ditandingkan, dengan isu-isu berat yang sebenarnya ada di kehidupan sehari-hari.

Siksa kubur menantang penonton dengan berbagai macam pemikiran filsafat yang mengganggu kesadaran sehari-hari penonton tentang pertanyaan-pertanyaan dasar filsafat ketuhanan. Sebuah materi yang biasanya didapatkan di kelas dasar-dasar filsafat tapi cukup tabu untuk dibicarakan secara umum. Tokoh Pak Wahyu yang dimainkan dengan apik oleh aktor senior Slamet Rahardjo memberikan performa soliloqui yang luar biasa seperti dalam film Network (1976), di mana hal ini sangat jarang ditemukan atau bisa dimainkan oleh kebanyakan aktor-aktor film Indonesia masa kini–mungkin kita masih bisa menemukan akting semacam ini di teater. Adegan panjang Pak Wahyu adalah sebuah kuliah umum yang mengganggu kenyamanan sistem kepercayaan penonton awam, dengan logika-logika ateisme dan argumen-argumen sosiokultural.

Sementara itu Exhuma memaparkan secara simbolis okupasi Jepang ke Korea sejak abad 16 hingga perang dunia ke-2. Disampaikan dengan misi untuk mensucikan kuburan seorang aristokrat yang berpihak pada Jepang di perang dunia ke-2 di mana di dalam kuburan itu terdapat dua peti mati dan terdapat pula iblis yang berbentuk Shogun atau samurai yang kita bisa sambungkan dengan perang Imjin di abad 16 tadi. Perang Imjin adalah okupasi Jepang ke Korea di tahun 1592 sampai 1598 untuk menguasai Korea dan menjadikannya pertahanan melawan Cina. Beberapa ratus tahun kemudian Jepang kembali mengokupasi Korea di tahun 1910 sampai 1945. Penjajahan ini menyisakan trauma yang besar untuk rakyat Korea karena ada pemaksaan untuk penghapusan budaya Korea juga pemaksaan perempuan-perempuan penghibur yang di Indonesia kita kenal sebagai jugun ianfu, serta banyak pembantaian orang Korea. Menggali kubur seperti sebuah metafora tentang menggali masa lalu dan segala isi traumanya yang sangat menakutkan untuk orang Korea. Kita di Indonesia yang merasakan okupasi Jepang selama 3,5 tahun sudah cukup trauma, sementara Korea telah mengalaminya berabad-abad lamanya.

Maka dengan ini makna menggali kubur di dalam kedua film sama-sama bisa dikaitkan dengan menggali trauma-trauma dan ketakutan-ketakutan akibat opresi serta penderitaan di masa lalu. Dalam siksa kubur neraka bagi tiap orang dikatakan berbeda-beda tergantung pada pengalaman dan konstruksi sosial dalam membentuk nurani seseorang. Sementara dalam Exhuma ada trauma kolektif yang digali keluar karena arwah nenek moyang yang tidak tenang, nenek moyang yang terkutuk dengan dendam dan kerakusan.

Sentimen kelas dan absensi moral

Secara sosial tokoh Sita dan Adil adalah kelas menengah bawah yang terjebak karena orang tua mereka meninggal. Sementara Hwa-rim dan Bong-gil adalah kelas menengah yang disewa oleh golongan atas untuk menyelesaikan masalah mereka. Kedua masalah besar di dalam film ini adalah karena kelas menengah atas yang rakus dan berdosa sehingga membawa banyak korban, termasuk anak dan cucu mereka sendiri.

Jadi menarik untuk membicarakan soal kelas atas dan fleksibilitas moral yang dianut ketika ada keamanan hukum dan finansial dan kebebasan untuk bertindak semaunya. Justifikasi moral tidak lagi diperlukan dalam sebuah keberadaan yang penuh dengan imunitas hukum dan politik. Dalam buku Beyond Good and Evil, bab 9 berjudul What is Noble?, filsuf Nietzsche mengatakan bahwa orang-orang dari kelas atas atau kelas yang memerintah yang mengatur masyarakat adalah orang-orang yang merasa bahwa mereka hidup dengan melampaui nilai baik dan jahat dan boleh hidup tanpa terhubung dengan pertimbangan moral yang universal. Dengan pemahaman ini mereka merasa berhak mengeksploitasi kelas yang lebih rendah atau hal-hal yang asing untuk mereka. Mereka merasa berhak untuk bertindak di luar apa yang baik dan yang jahat bagi kemanusiaan karena mereka bisa melakukannya. Mereka menormalisasi tindakan-tindakan amoral, kecurangan-kecurangan karena mereka merasa mereka punya golongan-golongan yang kuat diantara mereka sendiri dan mereka berhak untuk melakukan semua hal itu karena mereka bisa. Miriplah dengan pemimpin yang dengan enteng menyuruh orang miskin untuk jadi pengusaha, atau tidak ada salahnya nepotisme orang dalam dalam proyek negara. Sekalian saja pakai uang negara untuk sunatan anak.

Ketika berhadapan dengan kaum pengatur ini atau kelas atas ini yang berada di lantai teratas strata sosial, manusia-manusia kebanyakan yang bekerja sehari-hari, yang berjuang dengan eksistensinya karena lahir dari golongan menengah ke bawah atau para budak yang tidak bisa melawan majikan-majikan mereka, atau para buruh yang tak bisa melawan pemilik modal tidak berdaya. Mereka yang terbelenggu hanya punya satu harapan tentang kenyataan yang lebih nyata daripada yang nyata, yaitu akhirat. Maka siksa kubur baik di film Joko Anwar ataupun Jang Jae-Hyun di mana sang penguasa sudah mati dan tidak tenang dalam kuburnya, adalah sebuah harapan dari mereka yang tidak bisa melawan kekuasaan kecuali dengan doa dan kutukan.

Kedua film dengan konteks yang berbeda membawa kembali tren agama dalam horor dengan cara yang lebih inklusif. Siksa Kubur, walaupun berkonteks Islam, tetapi argumen-argumennya sangat tidak islami dan jika siksa kubur adalah sebuah proyeksi dari penderitaan individual maka dia tidak hanya milik orang muslim. Sementara itu di Exhuma kita melihat bahwa tim penggali kubur terdiri dari orang-orang yang menganut paham sinkretisme agama antara Kristen dan kepercayaan lokal Korea yang disebut Musok dan dipimpin oleh seorang dukun perempuan yang disebut Mudang. Jadi setelah pembicaraan panjang tentang dua film ini kita melihat bahwa keduanya adalah film religi model baru di abad ini, di mana dalam kyai atau ustad tidak lagi menjadi solusi masalah dan iblis atau setan bukan milik agama tertentu tapi kumpulan orang-orang berbeda agama yang identitasnya dibentuk dari nasionalisme, yang menggunakan kode-kode kultural kebangsaan untuk melawan hantu-hantu budaya kolonial.


Terima kasih telah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan sumbangan, iklannya tak menghasilkan, dengan lisensi Creative Commons, Atribution, Non commercial. Kamu boleh pakai konten ini selama memberikan link sumber dan bukan untuk tujuan komersial. Kalau kamu suka dengan yang kamu baca, silahkan traktir saya kopi murah.

Film, Kurasi/Kritik

Ibu Arkaik dan Bapak Yang Mati di Pengabdi Setan dan Perempuan Tanah Jahanam

Era pasca Reformasi membawa ide-ide baru, ideologi dan teknologi: MTV, Internet, Friendster, HP tidak cerdas, Oligarki Media, dan kebangkitan film Indonesia. Seperti dijelaskan oleh Kusumaryati (2011), Paramaditha (2012), dan Pangastuti (2019) ada sebuah pergeseran ideologi yang menyebabkan gelombang dalam naratif teks-teks kebudayaan, termasuk dan khususnya, film. 

Pergeseran tersebut ditunjukkan dari bagaimana perempuan direpresentasikan baik di Industri dan dalam isi film. Buktinya adalah munculnya produser-produser dan sutradara-sutradara perempuan dalam sebuah industri yang biasanya didominasi lelaki dan patron-patron pria. 

Perempuan-perempuan ini, seperti Mira Lesmana dan Nan T. Achnas, adalah bagian dari pergerakan sinema baru di Indonesia pasca Reformasi yang menyutradarai film omnibus Kuldesak (1998). Mengutip Intan Paramaditha:

Not only are they privileged with cosmopolitan perspective of the world, but they are also exposed to the global flows of images that started to proliferate in the 1990s with the emergence of satellite TV. This is also the generation that grew up watching mainly Hollywood films… (Paramaditha, 2012, p. 80) 

Mereka tidak hanya diberkati dengan perspektif kosmopolitan dunia, tapi mereka juga terekspos dengan aliran citra global yang muncul di tahun 1990 dengan hadirnya TV satelit. Mereka juga adalah generasi yang tumbuh menonton kebanyakan film Holywood. 

Kosmopolitanisme memainkan peran besar dalam mode produksi dan kolaborasi para filmmaker pasca Reformasi. Ide-ide baru yang dibawa para mahasiswa Indonesia di luar negeri, internet, dan kembalinya film-film cult Indonesia, telah membuka pintu ke deterriteriolisasi global. Deterriteriolisasi adalah “hilangnya hubungan ‘alami’ antara budaya dengan wilayah geografi dan sosial” (Tomlinson dalam Normanda, 2021: hal. 9) atau dengan kata lain, sebuah dunia imajinasi kolektif dalam bentuk teks kultural dalam dunia data. 

Untuk saya pribadi, ada seorang sutradara yang paling menonjol dalam tanah deterritorialisasi di sinema Indonesia pasca Reformasi: Joko Anwar. Menurut kritikus film Ekky Imanjaya, Anwar adalah orang yang “menemukan kembali film-film B secara global” di awal tahun 2000an yang sempat hilang dari lalulintas kebudayaan Indonesia (Imanjaya, 2016, hal 28).

Saya menyebut Anwar sebagai sutradara-aktivis-selebriti. Dengan 1.7 juta follower di twitter, dan 271 ribu follower instagram, Anwar menerbitkan buah pikirannya beberapa kali sehari, mempromosikan filmnya, film kawan-kawannya, tips membuat film, dan aktivisme sosial. 

Dalam wawancara di tahun 2010, Anwar bilang, “… Saya merasa bahwa saya tidak akan diterima di Indonesia karena satu atau dua alasan. Kalau saya kasih tahu kamu alasannya, orang akan mikir saya terlalu self absorbed. Filmmaker di negeri ini merasa mereka hebat, tapi mereka belum pernah keluar negeri dan melihat orang yang lebih hebat… Saya cuma mau tahu posisi saya di sinema global” (Anwar dalam Nurmanda, 2010, hal 238).

Hari ini, dengan 9 film panjang, sebuah serial HBO, sebuah miniseri HBO, dan banyak film pendek, Anwar tidak lagi membayangkan dunia deterritorialisasi Sinema; dia hidup dalam dunia tersebut. 

Saya akan mendiskusikan secara singkat dua film terakhir Joko Anwar: Pengabdi Setan (2017) dan Perempuan Tanah Jahanam (2019). Saya memilih dua film ini karena ide-idenya tentang protagonist perempuan dan tentang keibuan yang dapat dilihat sebagai sebuah tantangan baru terhadap ideologi patriarki dalam film Indonesia, terutama dengan film-film bergenre serupa yang bicara tentang konflik keluarga dan horor. 

Saya berargumen bahwa dua film tersebut menarasikan aparatus global tentang kebenaran politis (political correctness) dalam isu gender dan penolakan terhadap hukum sang Bapak dari teori Freudian/Lacanian–dan dalam konteks Indonesia, sebuah hempasan pada maskulinitas Orde Baru. 

Bapak yang Menghantui

Jacque Lacan, seorang psikoanalis Prancis, menyatakan bahwa bahasa adalah awal dimana seorang anak memasuki Orde Simbolik, dimana ia belajar hukum sang Bapak dan mulai menginternalisasi bagaimana cara berhasrat dalam hukum tersebut, maka memisahkan ia dari ibunya. (Zizek, 2005). Dalam konteks rezim Orde Baru, kita harus bicara tentang Bapakisme dan Ibuisme, dimana relasi gender dikontrol oleh heteronormativitas negara (Paramaditha, 2012, hal 71.) 

Secara sederhana, Orde Baru melihat Bapak sebagai pemimpin rumah tangga dan ibu sebagai pengasuh. Posisi seorang perempuan ditentukan dari posisi suaminya. Dalam sudut pandang Orde Baru, perempuan dewasa adalah perempuan yang menikah, dan perempuan yang tidak menikah atau tidak punya anak dianggap hina (Abject). 

Sedikit penjelasan logika ini dalam film Indonesia, dalam film Ketika Iblis Menjemput (Tjahjanto, 2018) dan Lampor (Soeharjanto, 2019) menceritakan seorang Ayah yang membuat perjanjian dengan setan atau mengerjakan ritual untuk mendapatkan kekayaan, mengorbankan istri dan anak pertamanya, menikah lagi, jadi depresi, bertobat, mati dan dimaafkan oleh istri atau anak perempuan yang dizalimi untuk kesuksesannya. 

Walaupun kedua film punya protagonist perempuan, keduanya juga punya stereotipe perempuan nakal, dalam bentuk pendaki kelas sosial atau pezina. Kedua film membandingkan perempuan baik-perempuan buruk. Perempuan baik: pemaaf, penyayang, altruistik; perempuan buruk: cantik, licik, ambisius. Walau bapak mati, amal baik bapak atau arwahnya menang dan dimaafkan, walaupun masalah yang ia timbulkan sangat banyak. 

Sementara itu, dalam film Joko Anwar, ketika bapak mati, ya bapak mati. 

Hilangnya Kebapakan

Dalam Pengabdi Setan, cerita berputar di sekitar Rini (Tara Basro) dan tiga adik lelakinya yang berjuang untuk hidup mandiri setelah ibunya meninggal. Bapak mereka harus kerja di kota karena mereka terlilit hutang.  

Ibu mereka adalah mantan penyanyi dan semenjak ia sekarat, banyak kejadian aneh terjadi. Setelah ia meninggal, kejadian supernatural makin sering terjadi. Nenek mereka mati di sumur, dan gebetan protagonis meninggal mengenaskan ketika mengantarkan pesan kebenaran kepada sang protagonis. 

Di akhir film, terbuka bahwa ibu mereka telah mengikat janji pasa setan dan sektenya untuk bisa punya anak, dan dia harus memberikan anak terakhirnya kepada setan ketika usia anak itu 7 tahun. 

Yang paling menarik, dalam film yang memecahkan rekor sebagai film horor terlaku dalam sejarah film Indonesia ini, adalah kematian seorang Ustadz–yang adalah bapak dari gebetan si protagonis. 

Pada masa Orde Baru, film horor harus menggambarkan kehadiran agen agama sebagai deux ex Machina dalam memecahkan masalah supernatural. Hal ini hilang semenjak film Jelangkung (Mantovani, 2001) dibuat. (Kusumaryati, 2011:208). Dalam Jelangkung, tokoh dukun mati ketika mencoba mengusir setan. Di Lampor, makhluk Supernatural juga mengambil si Dukun. Walau tidak diakhiri dengan tokoh religius, kedua film tersebut masih sejalan dengan logika Orde Baru untuk menghukum orang kafir yang kepercayaannya di luar kepercayaan yang disetujui Orde Baru. Hanya dalam Pengabdi Setan, seorang Ustadz bisa depresi dan dibunuh oleh zombie. Naratif ini adalah hantaman keras untuk menolak hukum bapak Orde Baru. 

Film terakhir Anwar sebelum pandemi adalah Perempuan Tanah Jahanam (2019), yang bercerita tentang Maya/Rahayu (Lagi-lagi dimainkan Tara Basro), yang, setelah hampir mati, menemukan bahwa ia mewarisi rumah di sebuah kampung bernama Harjosari.  

Bersama temannya, Dini (Marisa Anita), Maya pergi untuk mengambil warisannya. Kampung tersebut dikutuk karena mantan kepala desa yang juga seorang dalang bernama Ki Donowongso, menggunakan ilmu Hitam untuk menyelamatkan anaknya Rahayu, yang lahir tanpa kulit. Semenjak saat itu, semua bayi yang lahir di kampung itu, lahir tanpa kulit. Cerita latar ini agak panjang dan harus diceritakan melalui momen trans si protagonis tentang patriark di kampung tersebut yang semuanya berakhir mati di akhir film. Dan tokoh Nyi Miskin (Christine Hakim) yang bunuh diri demi anak lelakinya, tetap menghantui. 

Protagonis Perempuan VS Ibu Arkaik

Protagonis dalam kedua film itu adalah perempuan dengan karakteristik yang berbeda. Rini hidup di kampung pada tahun 1980-an dan memiliki kualitas keibuan untuk adik-adiknya: melakukan pekerjaan domestik, merawat ibu yang sakit, dan memasak di dapur. Sementara itu, Maya adalah perempuan Urban kelas menengah bawah di tahun  2000an yang berjuang secara finansial. Kontekstualisasinya cocok, ideologinya tidak: dan itu baik ketika kita punya pernyataan politik. 

Kedua perempuan muda itu terjebak dalam situasi sosial yang aneh, dalam setting yang ambigu. Dari awal, Pengabdi Setan dimulai dengan sekaratnya sang Ibu; sementara Perempuan Tanah Jahanam dengan percobaan pembunuhan protagonis. Dalam dua film tersebut kedua protagonis tidak memiliki keistimewaan apa-apa. 

Tapi mereka harus menghadapi Ibu Arkaik; seorang ibu yang menuntut, ambisius, tidak subur, jahat, berkuasa, dan hina (Creed, 1993). Ada tiga jenis ibu dalam Pengabdi Setan: pertama, ibu yang mati, kedua hantu/zombie ibu yang beda karakter dan kesadaran, dan ketiga nenek/hantu sang nenek yang hadir dari sumur/kamar mandi; tempat mengambil air dan buang air.  

Dalam Perempuan Tanah Jahanam, Ibu Arkaik adalah Nyi Misnih, pelayan/dukun yang mau mengontrol anaknya dan melindunginga dari kesedihan, patah hati, dan ketidakberdayaan. 

Konflik di kedua film dimulai dari tekanan sosial. Dalam Pengabdi Setan, Ibu bergabung dengan sekte setan supaya bisa punya anak. Sementara dalam Perempuan Tanah Jahanam, Nyi Misnih terperangkap struktur sosial ketika anak lelakinya berselingkuh dengan istri Tuannya. Ibu Arkaik berjuang untuk mempertahankan kuasa, dan dengan waktu dan kebenaran, kekuasaannya runtuh. 

Kedua film membunuh atau mengesampingkan tokoh bapak, mengangkat perempuan polos yang dengan intuisi dan improvisasinya mampu melawan ibu arkaik. Naratif ini datang dari seorang sutradara laki-laki yang hadir di Indonesia Pasca Soeharto, dengan kesadaran akan trend political correctness global dan gerakan perempuan. Keterlibatan produser perempuan, kru, dan aktor dengan visi yang sama, juga mengubah lanskap film Indonesia untuk menjadi lebih representatif terhadap perempuan, di dalam dan di luar filmnya. 

***

Terima kasih sudah membaca sampai selesai. Blog ini dibiayai dengan donasi, dan nulis butuh waktu dan energi yang banyak. Kalau kalian mampu, boleh traktir saya kopi dengan klik tombol di bawah. Thank you for reading!

Bibliografi

Zizek, S. (2005). Woman is One of the Names-of-the-Father, or How Not to Misread Lacan’s Formulas of Sexuation . Retrieved May 18, 2020, from lacan.com: https://www.lacan.com/zizwoman.htm

Shanty Harmayn, A. L. (Producer), Anwar, J. (Writer), & Anwar, J. (Director). (2019). Impetigore [Motion Picture]. Indonesia.

Gope T. Samtani, S. S. (Producer), Anwar, J. (Writer), & Anwar, J. (Director). (2017). Satan’s Slaves [Motion Picture]. Indonesia.

Creed, B. (1993). The Monstrous Feminine: Film, Feminism, Psychoanalysis. New York: Routledge.

Imanjaya, E. (2016). The Cultural Traffic of Classic Indonesian Exploitation Cinema . Thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy . University of East Anglia School of Art, Media and American Studies .

Kusumaryati, V. (2011). Hantu-hantu Dalam Film Horor Indonesia. (E. Imanjaya, Ed.) Mau Dibawa Kemana Sinema Kita? Beberapa Wacana Seputar Film Indonesia

Nurmanda, N. (2012). Dolanan Globalisasi: Kajian Antropologi Globalisma Seni Gunung. Thesis to be submitted for Master Degree in Anthropology . Indonesia: Universitas Indonesia.

Nurmanda, N. (2011). Tiga Film Pertama Joko Anwar: Kebebasan Kreasi di Perfilman Indonesia Pasca-Soeharto. (E. Imanjaya, Ed.) Mau Dibawa Ke Mana Sinema Kita? Beberapa Wacana Seputar Film Indonesia .

Poernomo, J. (Producer), & Mantovani, R. (Director). (2001). Jelangkung.

Pangastuti, A. (2019). Female Sexploitation in Indonesian Horror Films: Sundel Bolong (A Perforated Prostitute Ghost, 1981), Gairah Malam III (Night Passion III, 1996), and Air Terjun Pengantin (Lost Paradise – Playmates in Hell, 2009). A thesis submitted to Auckland University of Technology in partial fulfilment of the requirement for the degree of Master of Communication Studies . Auckland, New Zealand: Auckland University of Technology.

Paramaditha, I. (2012). Cinema, Sexuality, and Censorship in Post-Soeharto Indonesia. (T. Baumgartel, Ed.) Southeast Asian Independent Cinema .

Soeharjanto, G. (Director). (2019). Lampor [Motion Picture].

Tjahjanto, T. (Director). (2018). May The Devil Take You. Indonesia: Netflix.