Gender, Politik, Racauan

Fadli Zonk sebagai Red Herring

Mari kita luruskan dulu satu hal: kaga ada orang yang waras yang seneng memperdebatkan tragedi. Terutama kalau perdebatan itu bukan untuk mencari keadilan, tapi untuk nyari panggung.

Beberapa hari terakhir, Menteri Kebudayaan Fadli Zon rajin menegaskan bahwa perkosaan massal 1998 nggak bisa disebut “massal”. Katanya, datanya tidak cukup. Katanya, ini beda dengan Bosnia atau Nanjing. Dan katanya lagi, kalau memang ada, tunjukkan siapa korbannya.


Padahal laporan Tim Gabungan Pencari Fakta yang dibentuk negara sendiri sudah memuat angka yang cukup bikin leher tercekat: 52 korban perkosaan, 168 kasus kekerasan seksual. Di tengah kekacauan rasial, rumah-rumah dibakar, warga etnis Tionghoa diteror, dan perempuan diseret dari tempat aman mereka ke dalam gelapnya kekerasan. Tapi entah kenapa, ini dianggap belum layak disebut “massal”.

Mari kita potong basa-basi: yang sedang terjadi bukan sekadar perdebatan definisi. Ini strategi. Ini pengalihan. Ini red herring.



Bayangin aja: alih-alih ngomong soal PHK massal yang terus terjadi, harga pangan yang makin menggila, eksploitasi tambang yang merusak lingkungan,  konflik agraria, pelanggaran HAM yang belum dituntaskan, atau soal program semacam MBG yang terus bermasalah—pemerintah justru menyodorkan debat sejarah versi resmi dan “kebenaran” soal 1998.

Proyek buku sejarah nasional itu sendiri adalah teka-teki. Mengapa negara tiba-tiba ingin jadi penulis tunggal masa lalunya sendiri? Sejarah, kalau jujur, pasti gaduh. Tapi sejarah versi kementerian? Bisa tenang banget. Isinya disaring. Konfliknya disusun ulang. Fakta dimampatkan sesuai selera kekuasaan.

Dan ketika masyarakat mulai mengkritik narasi tunggal itu, muncul lagi isu lama dibuka ulang: benar nggak sih ada perkosaan massal waktu itu? Valid nggak sih datanya? Ini pola lama: tenggelamkan masalah besar dengan kontroversi terkontrol.

Sementara publik sibuk debat apakah “52 korban” layak disebut “massal”, perusahaan tambang jalan terus. Alih-alih minta maaf atau membela korban, pejabatnya justru tampil percaya diri, meragukan data, dan melempar beban pembuktian pada warga yang traumanya bahkan belum sembuh.

Ini bukan soal sejarah. Ini soal siapa yang berhak menguasai cerita. Dan lebih jauh lagi, soal siapa yang berhak memilih topik apa yang harus kita pikirkan.

Yang terjadi di sini adalah penguasaan atensi. Saat semua sedang memelototi kata “massal” sambil buka-buka arsip lama, krisis hari ini dibiarkan lewat begitu saja. Saat kita sibuk memverifikasi tragedi dua dekade lalu, tragedi hari ini—PHK, perampasan tanah, ketimpangan ekonomi—tidak ditulis, tidak dibicarakan, tidak dibela.

Red herring bekerja dengan cara itu: ia tidak bohong, tapi ia membuatmu sibuk dengan yang bukan prioritas. Ia tidak menolak tragedi, ia hanya mengalihkan lensa ke arah yang lebih aman buat penguasa.

Dan dalam dunia di mana perhatian adalah komoditas paling mahal, strategi ini jitu sekali. Sorot lampu diarahkan ke isu-isu lama yang gampang diatur, sambil isu-isu baru yang tidak nyaman dibiarkan tumbuh dalam gelap.

Sejarah yang tidak berpihak pada korban adalah propaganda. Dan negara yang mengatur cerita tanpa mengurus luka hanya sedang menulis ulang buku—bukan untuk dibaca, tapi untuk menutupi halaman-halaman yang tidak mereka sanggupi hadapi.


Kalau kamu ngerasa obrolan ini terasa absurd, memang begitulah cara pengalihan bekerja. Dan jika Anda merasa mulai lelah, itu artinya strategi ini sedang berhasil.


Terima kasih telah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan sumbangan, iklannya tak menghasilkan, dengan lisensi Creative Commons, Atribution, Non commercial. Kamu boleh pakai konten ini selama memberikan link sumber dan bukan untuk tujuan komersial. Kalau kamu suka dengan yang kamu baca, silahkan traktir saya kopi murah.