Menonton Badarawuhi di Desa Penari (2024), membuat saya berpikir tentang bagaimana budaya Indonesia ada dalam konteks film Indonesia yang memiliki standar teknis yang tinggi. Saya rasa tidak relevan kalau kita mengkritik gambar atau tekniknya yang cukup menangkap perhatian penonton dan menghibur dengan lengkap dari semua elemen cerita horor konvensional. Terlepas dari klisenya film ini, pemahaman teknik sinematografi serta penyutradaraan dari Kimo Stamboel membawa franchise KKN Desa Penari ini ke tingkat yang jauh lebih tinggi. Saya jadi tertarik untuk membahas film ini dari sudut pandang antropologi, sosiologi dan politik.
Badarawuhi ini menarik karena budaya-budaya lokal yang coba dibawa adalah budaya Jawa dan waktu settingnya juga tahun 80-an. Tapi selain kostum dan set, secara keaktoran kita memang punya masalah sama setting waktu yang berbeda dan kebudayaan yang spesifik. jadi selalu berat di film Indonesia untuk bisa membawa representasi waktu dan tempat. Saya jadi sadar bahwa pada tahun 80-90-an ketika banyak aktor-aktor film datang dari daerah ke kota lewat urbanisasi, sangat mudah untuk mencari aktor yang bisa bahasa daerah atau aksen daerah. Yang sulit malah mencari yang Jakarta banget, yang bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Tapi kali ini ketika semua aktor dan film itu tumbuh di kota khususnya di Jakarta, jadi susah untuk mendapatkan aktor yang benar-benar bisa bicara bahasa daerah secara spesifik, yang secara natural dan secara kultural benar. Kalaupun ada, tetap akan sulit apalagi kalau lawan mainnya dipilih karena punya popularitas, bukan skill. Namanya juga film, harus balik modal dan untung kan? Intinya tantangan besarnya ke depan di Indonesia secara kultural dan secara penelitian adalah bagaimana bisa berproses untuk riset, latihan dan memakai referensi yang paling dekat dengan waktu dan tempat yang diinginkan. Ini jadi tantangan karena arsip film di Indonesia itu masih susah untuk diakses, banyak yang rusak atau dibawa keluar negeri.
Kostum dan karakter sepertinya ingin mengambil modelnya Nyi Blorong dari pantai selatan yang dulu dimainkan oleh Suzanna atau Yurike Prastika. Ini kelihatan dari bajunya yang warna hijau dan model-model karakter yang mirip sekali dengan lukisan nyi Roro kidul buatan pelukis Basuki Abdullah. Soal akurasi ritual, tentunya banyak film Indonesia horor sekarang berusaha cari aman karena takut dapat blacklist dari netizen atau dari kelompok budaya yang mereka tidak mengngerti bagaimana cara merepresentasikannya. Takut kalau bawa-bawa budaya lain atau bawa-bawa kelompok yang mereka tidak punya referensinya dan tidak ada ahlinya dalam film mereka akan terjadi sebuah perlawanan sehingga filmnya bisa dijual. Bagus juga sih sebenarnya tapi juga menunjukkan kemalasan untuk riset dan membuka hubungan dengan apa yang ada di lapangan.

Lalu bicara horror Indonesia, mau tak mau jadi bicara tentang konsep liyan atau yang ‘lain’ atau pengasingan. Banyak sekali horor Indonesia yang mengasingkan desa dan kota. Biasanya plotnya orang kota datang ke desa dan menemukan hantu atau setan di desa karena protagonisnya orang kota. Sekarang memang sudah ada beberapa film Indonesia yang settingnya di kampung, tokohnya orang kampung setannya di kampung dan semua berkutat di kampung itu, jadi tidak ada orang kota yang menjadi protagonis atau antagonis. Yang jarang sekarang adalah orang kampung yang datang ke kota dan menemukan hantu di kota. Padahal kenyataannya banyak setan di kota ini sebenarnya. Lebih banyak setan di kota daripada di kampung.
Untungnya di film ini kita dikasih penjelasan bahwa ibunya tokoh utama itu datang dari kampung yang sama jadi si tokoh utama sebenarnya pulang kampung. Sayangnya, seperti banyak kampung horor lain di Indonesia kampung tokog utama ini tetap barbar, tidak maju dan tidak manusiaw;i sangat stereotipikal. Tapi saya rasa juga ini suatu hal yang cukup populer secara global ya karena di film Amerika juga banyak hantu yang ada di desa atau di kampung-kampung di selatan. Semoga ke depan lebih banyak lagi film Indonesia yang bisa merepresentasikan desa yang tidak hanya menjadi yang Liyan, atau diasingkan dari narasi film horor Indonesia. Semoga makin banyak film yang membuat desa dan orang desa lebih menjadi tokoh yang lumayan sentral dan hantunya nggak melulu ada di kampung.
Yang agak aneh itu adalah struktur sosial masyarakatnya yang tidak kelihatan. Ada dukun atau laki-laki lalu ada warga. Sudah tidak ada apa-apa lagi selain itu; tidak ada kades, tidak ada aparatur, jadi rasanya seperti background saja warga itu di dalam film. Jadi ini membuktikan lagi tentang bias kota dan kepentingan atau ketidaktahuan film maker terhadap struktur sosial yang harusnya bisa ada di sebuah film.
Sistem nilai yang diperdebatkan pun adalah sebuah kisah lama tentang warga kampung yang mengorbankan warganya untuk bisa tolak bala. Di film ini ritual tolak balanya adalah pemilihan perempuan-perempuan untuk jadi penari yang akan diambil oleh Badarawuhi. Cukup kreatif sebenarnya, mana budaya dan tarian menjadi sebuah seni yang ada di dalam darah tokoh utama kita yang tidak pernah menari.
Protagonis perempuan dan antagonis perempuan juga menunjukkan sebuah trend horor Indonesia yang berpihak pada tokoh perempuan. Biasanya dalam film horor perempuan menjadi antagonis atau korban yang menggerakkan cerita. Namun satu dekade terakhir ini dengan gerakan me too movement dan pengetahuan lebih jauh soal gender dan feminisme banyak filmmaker yang mulai menempatkan perempuan sebagai tokoh Sentral dengan dialog yang lumayan panjang dan punya peran besar untuk menggerakkan cerita sebagai protagonis. Walau kelemahannya adalah kebanyakan antagonisnya tetap perempuan seakan-akan hantu laki-laki tidak valid. Pun ada hantu yang bukan perempuan biasanya gendernya tidak ditunjukkan seperti di film Lampor misalnya, kita tidak tahu apakah si hantu itu perempuan atau laki-laki.
Secara politik, saya tidak melihat adanya tendensi untuk mengkritik atau melawan sebuah sistem selain untuk menunjukkan bahwa mistis dan sistem kampung itu buruk dan menyeramkan. Jadi masih seperti hiburan yang cukup murni. Ini berbeda dengan film-filmnya Joko Anwar atau Timo Tjahyanto, yang seringkali memasukkan elemen politis atau permainan kuasa di dunia nyata ke dalam filmnya. Kimo Stamboel sutradara film ini memang seringkali membuat film-film yang tinggi nilai hiburannya tapi tidak ada transisi untuk membuat filmnya menjadi politis.
Terlepas dari itu semua film ini punya plot yang sederhana tapi treatment yang sangat kompleks dengan berbagai macam teknik cinematography, CGI effect, dan penggunaan binatang yang sangat maju, khususnya untuk film Indonesia. Bisa dibilang bahwa film ini sudah sepantasnya mendapatkan penghargaan dalam apresiasi penonton seperti yang kita lihat hari ini. Sesuatu yang saya rasa tidak pantas didapatkan oleh film pertamanya, KKN Desa Penari.
Terima kasih telah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan sumbangan, iklannya tak menghasilkan, dengan lisensi Creative Commons, Atribution, Non commercial. Kamu boleh pakai konten ini selama memberikan link sumber dan bukan untuk tujuan komersial. Kalau kamu suka dengan yang kamu baca, silahkan traktir saya kopi murah.
