Prosa, Tarung Rahwana

Tarung Rahwana (Part 2)

SINTA
KESUCIAN ITU BUKAN MILIK PEREMPUAN

Lelaki itu mendengkur keras. Perutnya yang gemuk kembang-kempis dan penis mungilnya nya terjepit sembunyi di antara lemak tubuhnya. Sinta terbaring di sebelahnya, telanjang. Matanya terbuka sedari tadi dan ia menunggu sampai laki-laki itu benar-benar tertidur pulas. Lalu ia bangun dan pergi ke kamar mandi.

Ia menyalakan shower, memastikan air cukup hangat dengan tangannya yang lentik. Ia membiarkan air itu mengalir melewati rambut panjangnya yang kemerahan, kulitnya yang halus dan putih dengan bekas-bekas cengkraman tangan dan luka cakaran. Air melewati lekuk sempurna tubuhnya, bibir tipisnya terbuka sedikit dan hembusan nafasnya menggoyahkan uap air dengan sedikit desahan menahan sakit ketika air membasuh luka-luka di leher, payudara, puting susu,punggung dan pantatnya.

Lelaki, pikirnya, semakin tidak perkasa semakin merasa perlu menyakiti perempuan.

Rasa sakit ini tak ada apa-apanya, kata Sinta dalam hati. Kasihnya jauh lebih sakit lagi. Lukanya lebih banyak lagi. Dan adalah tugasnya sebagai pasangan jiwa, untuk menanggung sakit yang sama. Walau kasihnya tidak tahu. Walau kasihnya merasa sendirian. Tidak ada yang perlu tahu. Rahasia adalah milik perempuan.

Ia mengeluarkan sabun dan shampoo dari botol kecil yang disediakan hotel dan menghabiskan isinya, menggosokkannya ke seluruh tubuhnya. Ia kotor. Ia begitu kotor. Dan bau itu, bau lemak terbakar keringat yang asam dan menyengat seperti sampah busuk tidak bisa hilang sama sekali dari tubuhnya. Bau cengkraman, bau keburukrupaan, bau keserakahan… ia terus menggosok-gosok kulitnya hingga lecet. Darah keluar lagi dari luka-lukanya. Bau itu tak juga hilang.

Bau sepuluh lelaki.

Sinta begitu cantik, begitu sempurnanya, hingga sebagai pelacur ia hanya butuh sepuluh lelaki untuk membuatnya kaya raya. Hanya butuh sepuluh lelaki untuk membuatnya menjadi selebriti terkenal tanah air, menjadi model majalah pria dewasa, penyanyi, pemain sinetron, MC infotainment dan memiliki semua yang tak mungkin dimiliki kebanyakan perempuan: kekuasaan dan harta. Sepuluh lelaki membuatnya terlihat suci. Semua orang melihatnya putih, semampai, dan setiap langkah dan harum tubuhnya membuat Sinta seperti malaikat.

Namun kini seluruh pakaian mahal, kemewahan, parfum-parfum rancangan orang-orang ternama kini tak bisa membuatnya harum lagi. Semua karena seorang lelaki yang sentuhan lembutnya, dan ciumannya membuat Sinta merasakan kerinduan yang ia pikir sudah habis dimakan kerasnya hidup. Pada suatu percumbuan, Sinta dan lelaki itu, Sri Rama-nya, menangis bersama. Dan air mata meluruhkan seluruh kesucian palsunya dan membuatnha benar-benar suci.

Sampai sepuluh lelaki kotor mengambilnya kembali.

Sepuluh lelaki kotor dan bau telah menjamahnya. Sepuluh lelaki menjilati kulitnya, vaginanya, anusnya. Sepuluh lelaki menyiramkan sperma-sperma kepadanya, ke setiap bagian tubuhnya. Tubuhnya lengket. Ia kotor. Ia kotor. Ia kotor.

Kotor.

Rama mengecup keningnya dan berkata, “Kau membuatku suci. Kau membasuh semua lukaku, hingga aku ingin hidup. Untukmu.”

Waktu itu Sinta bilang, “Jangan. Hiduplah untuk dirimu sendiri. Kita tidak pernah ada. Kita adalah rahasia dan aku butuh kau sadar itu. Kalau kau mencintaiku, rahasiakan kita.”

image

Air dan sabun dan parfum dan gaun dan emas dan berlian tidak bisa membersihkan tubuh Sinta. Bau itu tidak juga hilang dari tubuhnya. Bau yang muncul ketika ia sadar betapa ia mencintai Rama-nya. Dan di antara sepuluh jenis bau busuk, ia mencari harum kasihnya, harum keringat khas lelakinya yang sulit ia temukan. Ia butuh peluh itu lagi. Ia butuh merasakan tubuh lelaki itu di tubuhnya. Ia butuh kesucian itu lagi. Hanya lelakinya yang bisa mengembalikan kesucian itu.

Kesucian bukan milik perempuan, pikirnya. Ia ingat kesucian itulah yang membuat lelaki-lelaki ingin mengotorinya. Kesucian membuat lelaki-lelaki menjadi gila dan menodai perempuan menjadi tanda kekuasaan. Bukan! Sinta berteriak di dalam hatinya. Itu bukan kesucian!

Kesucian hanya bisa ada ketika seluruh kotoran ini bisa dibasuh. Ketika semua ini luruh dalam pelukan lelaki yang ia cintai. Ia hanya berharap lelakinya tetap hidup. Agar sekali lagi mereka bisa bercinta. Sekali lagi mereka bisa tersucikan. Dan mereka bisa mati dalam kesucian itu.

Sepasang tangan kokoh mencengkram Sinta dari belakang, membuka selangkangannya dan menjambak rambutnya. Memaksanya membungkuk. Memukul pantatnya. Dan air mengalir. Air dari shower terus mengalir seakan memancing air mata Sinta untuk keluar.

Tapi tak akan ada air mata. Tak akan ada erangan. Air mata dan erangan perempuan hanya akan membuat ego babi lelaki semakin buas. Teruskan, kata Sinta dalam hati. Karena sakit ini belum apa-apa.

Lelakiku jauh lebih sakit.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.