
Jika perpeloncoan adalah sebuah tindakan kejahatan oleh yang kuat kepada yang lemah, sebuah pelecehan dengan menggunakan kekerasan fisik dan mental yang berujung pada luka psikis bahkan kematian, maka perpeloncoan adalah masalah yang perlu dihilangkan dari muka bumi ini. Tapi masalahnya definisi barusan bukanlah perpeloncoan. Menurut KBBI Daring:
pelonco 1/pe·lon·co / Jw 1 v pengenalan dan penghayatan situasi lingkungan baru dng mengendapkan (mengikis) tata pikiran yg dimiliki sebelumnya;2 a gundul tidak berambut (tt kepala);
memelonco/me·me·lon·co/ v 1 menjadikan seseorang tabah dan terlatih serta mengenal dan menghayati situasi di lingkungan baru dng penggemblengan: para mahasiswa senior sedang ~ mahasiswa baru; 2 menggunduli (tt rambut di kepala);
Kalau kita melihat Surat Edaran Mendikbud Anies Baswedan No. 59389/MPK/PD/TAHUN 2015 tentang pencegahan perpeloncoan kepada orientasi peserta didik baru, kita boleh curiga, jangan-jangan Bapak Mendikbud yang senyumnya hangat dan retorikanya mantap itu belum cek KBBI ketika ia membuat surat edaran itu, atau bisa juga KBBI yang tak pernah memperbaharui kata ‘pelonco’ yang sudah mengalami peyorasi yang parah di realitas kita sehari-hari.
Jika definisi perpeloncoan adalah, “Pengenalan dan penghayatan situasi lingkungan baru dengan mengendapkan, mengikis tata pikiran yang dimiliki sebelumnya,” maka ia tidak bisa disejajarkan dengan “pelecehan, kekerasan terhadap peserta didik baru”, seperti dalam Surat Edaran Mendikbud. Karena dari definisi KBBI, jelas bahwa tujuan Perpeloncoan bukanlah melecehkan; lebih mungkin membuat kepala jadi botak.
Di sisi lain, jika perpeloncoan adalah ‘menggunduli’, maka semua instansi yang memerlukan anak didik/calon pegawainya untuk gundul, harus stop total. Artinya dalam dua tiga bulan ke depan, kita akan melihat siswa/kadet STPDN, Secaba, AKPOL, TNI dll, penuh dengan orang gondrong. Tapi nampaknya itu tidak akan terjadi. Toh surat edaran itu untuk sekolah dasar dan menengah, bukan untuk sekolah militer. Tapi sepertinya Pak Anies juga tidak tahu kalau pelonco artinya menggunduli. Pemerintahan Presiden Jokowi ini memang sudah punya rekam jejak dalam membuat peraturan sembarangan yang suka berbenturan dengan aturan lain—kali ini berbenturan dengan KBBI. Untuk memudahkan pembahasan, mari kita tulis definisi pertama sebagai Pelonco dengan ‘P’ huruf besar; dan definisi kedua dengan pelonco dengan ‘p’ huruf kecil.
Mendikbud diikuti oleh Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Mohamad Nasir, yang mengurus Pelonco di pendidikan Tinggi. Beliau sudah menggandeng TNI untuk masuk ke institusi pendidikan. Sebentar lagi kita akan melihat bagaimana oknum-oknum korban perpeloncoan (alias pencukuran rambut) di barak itu melatih mahasiswa untuk ‘bela negara’ dengan cara memperkenalkan ‘wawasan kebangsaan’. Mereka jamin, mahasiswa akan bebas Pelonco dengan cara mengikuti sebuah program Revolusi Mental, yaitu menjadi seorang yang memiliki nilai-nilai kewargaan, bisa dipercaya, kemandirian, kreatif, gotong royong dan saling melengkapi. Itulah nilai-nilai yang akan diterapkan ke kepala siswa sehingga siswa dapat menghayatinya, mengendapkan dan mengikis tata pikiran yang ada sebelumnya—dengan kata lain mahasiswa akan di-Pelonco di bawah pengawasan tentara.
Hari ini Pelonco di intitusi pendidikan dianggap sebuah cara siswa/mahasiswa untuk menggertak, melecehkan, menyakiti mahasiswa baru demi kepentingan kuasa segolongan senior. Padahal jelas itu salah. KBBI tidak punya kata untuk mewakili definisi tersebut. Bahasa Inggris punya: bully. Bully jelas berbeda dengan Pelonco karena tidak ada penghayatan di situ, tidak ada katarsis atau kesadaran baru apalagi status baru yang dituju. Tujuan bully cuma satu: mempertahankan kekuasaan yang kuat dalam menindas yang lemah. Seperti kata David Mitchell dalam novel Cloud Atlas, “Yang lemah adalah daging yang dimakan yang kuat.”
Kenapa kata bully tidak ada bahasa Indonesia-nya? Kenapa justru kata Pelonco yang dipeyorasi hingga titik paling menjijikan, paling banal? Dijadikan mitos dan dilepaskan dari sejarahnya sebagai bagian penting dari peradaban dan kebudayaan universal manusia? Mungkin sebelum membahasnya, kita perlu tahu dulu apa sebenarnya arti kata Pelonco yang dizalimi ini.
Dalam bahasa Inggris, kata yang paling mendekati definisi Pelonco, “pengenalan, penghayatan, pengendapan…dst,” adalah initiation. Menurut kamus Merriam Webster, initiation artinya proses untuk diterima secara formal sebagai bagian dari sebuah grup atau organisasi. Ini berbeda dengan KBBI yang menyerap kata itu jadi ‘inisiasi’ dan menyempitkan maknanya menjadi,”Upacara atau ujian yang harus dijalani orang yang akan menjadi anggota suatu perkumpulan, suku, kelompok umur, dsb.” Untuk memperkuat argumen, kalau kita buka google translate, terjemahan bahasa Inggris untuk perpeloncoan juga initiation.
Dalam kajian antropologi, Pelonco adalah sebuah bagian dari Rites of Passage, sebuah terma yang dipakai antropolog Arnold van Gennep dan Victor Turner untuk menggambarkan ritual-ritual pendewasaan seseorang. Ritus pendewasaan akan mengubah status seseorang, dari seorang anak menjadi dewasa, dari seorang gadis menjadi perempuan, dari bujangan menjadi suami, dari dara menjadi istri, atau dari anak SMA menjadi mahasiswa. Pelonco adalah proses di tengah-tengah perubahan itu, yang disebut proses liminal, dimana seseorang bukan anak-anak tapi belum dewasa, seorang perempuan sudah bukan gadis tapi belum jadi istri, seorang lulusan SMA sudah masuk kampus tapi belum jadi mahasiswa. Ketika memasuki sebuah ranah baru, maka ada ujian-ujian atau cara-cara yang dibuat oleh sebuah komunitas untuk menerima seseorang. Ketika seseorang sudah melewati tahapan Pelonco maka statusnya akan berubah di masyarakat.
Cara-cara Pelonco berbeda dari satu komunitas ke komunitas lain di dunia ini. Komunitas di Mentawai menggunakan tato sebagai medium kenaikan status, komunitas di Ndembu seperti bangsa Sparta Yunani Kuno, melepaskan remaja di hutan selama beberapa waktu untuk bertahan sendirian dan pulang sebagai lelaki dewasa, suku Huaulu di Ambon menempatkan gadis yang pertama kali mens di gubuk posune sampai mens-nya selesai dan ia bisa menjadi seorang perempuan dewasa yang boleh dinikahkan.
Di masyarakat modern, Pelonco terjadi setiap hari. Dari pembabtisan di agama Katolik, sunat anak lelaki yang menjadikannya remaja di Islam, sampai pernikahan dua orang bujang dara; Dari OSPEK SD, sampai wisuda mahasiswa. Masing-masing memiliki kadar kesulitan yang berbeda-beda, dari yang bentuknya abstrak seperti ujian atau penulisan skripsi/tesis/disertasi, hingga yang bentuknya sangat fisik seperti sunatan atau uji fisik untuk kadet baru militer di barak.
Guna utama sebuah Perpeloncoan adalah untuk regenerasi: meluluskan satu generasi dan menerima yang lain. Yang melakukannya adalah senior kepada junior, dan ini tidak dilakukan demi melanggengkan kuasa semata. Sebaliknya, Perpeloncoan idealnya adalah memberikan kuasa kepada yang berhak: yaitu mereka yang siap dan mau menerima sistem dalam struktur yang hendak mereka masuki. Itu sesuatu yang biasa saja dalam kebudayaan manusia, ketika sebuah struktur kebudayaan hendak mempertahankan sistemnya dan menurunkan nilai-nilai primordial komunitas tersebut.
Lalu kenapa Perpeloncoan bisa menjadi begitu negatifnya hari ini? Kenapa Perpeloncoan dianggap sebagai sebuah kegiatan bully yang penuh intimidasi, kekerasan, dan pelecehan? Apakah kita begitu asingnya dengan kata bully hingga kita mengidentifikasinya sebagai perpeloncoan? Sebenarnya ada kata-kata yang sering kita pakai, tapi tidak masuk kamus. Konotasi kata ‘digencet’ atau bahasa anak sekolah ‘dikeme’, sama artinya dengan di-bully. Ketika sebuah kata tidak ada di kamus, padahal sudah sekian lama dilakukan oleh banyak orang, dari siswa hingga tentara, berarti kata itu dikontrol oleh penguasa. Seperti Dia-Yang-Tak-Boleh-Disebut dalam dunia Harry Potter JK Rowling. Atau isu SARA di jaman Orba, ketika, mengutip Seno Gumira Ajidarma dalam roman Negeri Senja, ‘tembok-tembok punya telinga.’
Saya punya kecurigaan besar, ketiadaan bullying dalam bahasa Indonesia karena penguasa seringkali melakukannya kepada subjek yang ia kuasai. Kata bullying menghilang dari bahasa Indonesia karena ia dengan sengaja dihilangkan rezim dengan cara membuatnya jadi positif: atas nama rakyat. Seperti kata Foucault ketika membahas Governmentality: ketika sebuah kekerasan dilakukan untuk melanggengkan kekuasaan, itu disebut (rezim) sovereign. Ketika sebuah kekerasan dilakukan atas nama rakyat, itu disebut (pemerintah) government. Bully tidak ada dalam bahasa Indonesia karena ia negatif. Yang diakui adalah: normalisasi, DOM, penegakan hukum dan Perpeloncoan. Itulah warisan rezim yang paling peduli dengan propaganda: Orde Baru.
Kini kata itu, Perpeloncoan, disalahkan atas dosa sebuah rezim. Surat Edaran Mendikbud dan Kerjasama Menristek dengan TNI ini sedikit mengingatkan kita pada Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) tahun 1978, dimana tentara bisa keluar-masuk kampus untuk me’normalisasi’ kehidupan kampus agar mahasiswa tidak melawan rezim. Tentunya sekarang bukan itu yang ditakuti dari kampus. Pemerintah kita takut kampus menyakiti dirinya sendiri ketika melakukan Perpeloncoan. Mahasiswa dianggap sudah sebegitu jongkok IQ-nya hingga mereka harus dilindungi dari dirinya sendiri. Sekolah dan kampus diminta tunduk dengan nilai-nilai yang hendak diturunkan negara kepada para subjeknya. Sebenarnya ini wajar-wajar saja, semua negara sudah selayaknya menurunkan nilai-nilai di sekolah negeri yang mereka punya, bahkan sampai batas tertentu di kampusnya. Tapi jika tentara sudah masuk kampus, maka bukan bukan Pelonco yang akan hadir, melainkan bully. Karena tidak ada yang bisa mengajarkan bully lebih detil dan lebih efektif daripada militer.
Menyedihkan.
Tapi apapun kita tidak akan berhenti memelonco junior kita. Perpeloncoan itu universal dan manusiawi. Kita tidak akan berhenti ikut campur dalam pernikahan sunatan saudara kita, pernikahannya, pembaptisan anaknya. Kita juga tidak akan berhenti untuk membuat acara ‘pengakraban’ dan menurunkan nilai-nilai komunitas kita. Perpeloncoan itu tidak bisa dilarang sampai Bapak-bapak Menteri Yang Terhormat mengoreksi surat edarannya, atau menggunakan segala daya upaya untuk mengubah KBBI, seperti membelah cermin atas keburukan muka sendiri.