Pagi saya sekitar sekitar 140 hari yang lalu, dimulai dengan teriakan Mama di tangga di bawah kamarnya. Mama menangis meraung-raung dan memulai kepanikan besar. Ia mendapat telepon dari keponakannya, bahwa kakak pertamanya, perempuan yang paling dekat dengan Mama, Hj. Ratu Happy Komala Dewi, meninggal dunia di rumah sakit.
Sekitar 6 jam sebelumnya, Mama masih bertemu dan mengobrol dengan almarhum. Wapi, panggilan akrab para ponakan kepada almarhum, sempat meminta Mama untuk menginap di rumahnya. Mama sudah sering menginap di rumah Wapi, dan mungkin karena itu ia menolak–ditambah lagi saya dan istri sedang menginap di rumah Mama, keluarganya sedang berkumpul lengkap. Beberapa jam setelah Mama pulang, ketika pembantu Wapi ada di kamar atas, sedang tidur, nampaknya Wapi kesakitan dan berusaha naik tangga memanggil pembantunya. Ia meninggal tersungkur di lantai di bawah tangga. Sampai tulisan ini dibuat, tidak jelas penyebab meninggalnya wapi. Tidak ada bekas luka, ataupun tanda penyakit dalam. Dan karena Wapi paling anti ke dokter, tidak ada catatan kesehatan yang cukup bisa dijadikan referensi menginggalnya wapi.
Ia pernah sekali diopname ketika ia mengeluh tidak bisa bangun dari tempat tidur. Kami, anak dan ponakan, menggotongnya ke rumah sakit sambil ia marah-marah minta dipijat atau dikerok saja, dan jangan dibawa ke rumah sakit. Sekitar sehari di rumah sakit, ketika ia bisa berdiri dan jalan, ia kabur. Belakangan ketika saya tanya kenapa ia kabur, ia bilang, “Mendingan gue mati di jalanan daripada mati di rumah sakit. Gue udah biasa di jalanan. Tapi di rumah sakit… ih serem. Pokoknya kalo mati gue gak pengen ditahan-tahan, ngerepotin. Mati ya mati aja.”
Dan benar, meninggalnya Wapi sama sekali tidak merepotkan. Sangat tiba-tiba, tidak ada perlawanan yang terlihat dari tubuhnya yang utuh. Matanya tertutup dan bibirnya pun tidak terbuka. Mayatnya pucat tapi seperti orang tidur, tidak putih seperti kehabisan nafas.
Mama menyalahkan dirinya sendiri sampai saat ini, itu yang saya tahu dan saya rasakan. Tapi ini bukan pemandangan baru untuk saya. Papa saya juga mengalami trauma yang sama ketika adiknya meninggal di bawah pengawasannya. Ketika baru sembuh dari penyakit jantung dan strokenya, om Mamat, adik Papa, ikut kerja bakti di RT tempat ia tinggal di Pamulang, dan meninggal tiba-tiba setelah mencabut pohon pisang. Jantungnya kumat. Ditinggal orang terkasih pasti akan meninggalkan trauma, tapi ditinggal tiba-tiba dan melewatkan kesempatan pilihan yang bisa menentukan hidup-matinya, tidak hanya akan menimbulkan trauma kehilangan, tapi rasa bersalah yang tidak tertahankan. Mama-Papa saya tak punya cahaya mata dan semangat hidup yang sama setelah itu.
Beberapa hari sebelum meninggal, Wapi memang mengeluh masuk angin. Kami yang sudah mengenalnya puluhan tahun akan menganggap itu penyakit kambuhan. Ketika masuk angin, Wapi akan minta dikerok, dan tidak tanggung-tanggung, kerokannya akan meliputi seluruh tubuh hingga ke wajahnya. Ketika ia duduk di kursi singgasananya di rumah Kebagusan, rumah keluarga besar saya yang sekarang ditinggali Mama-Papa, sambil merokok dan dengan secangkir kopi di sampingnya, saya seperti melihat kepala suku Mentawai yang penuh tato hingga di wajah–tato kerokan.
Wapi di keluarga besar kami memang seperti dukun suku atau shaman. Dalam kebudayaan-kebudayaan kuno, atau di beberapa budaya dayak, shaman atau dukun suku selalu perempuan dan kedudukannya seringkali ada di atas kepala suku. Shaman ini punya kedekatan spiritual dengan roh nenek moyang, sehingga semua wejangannya dipercaya sebagai sebuah tuah yang tak boleh diacuhkan begitu saja. Tapi sebenarnya, tidak ada yang gaib soal hubungan Wapi dan roh nenek moyangnya. Secara, sebagai anak tertua, ia selalu jadi yang paling kenal dengan orang tua-tua di keluarga Antawidjaja. Jadi saya pribadi tak heran jika ia bisa mengaitkan anak, ponakan, saudara, atau cucunya dengan saudara-saudara yang berada di satu-dua generasi di atas mereka, lalu dengan bercanda ia akan berkelakar: “Elu kena arwah nenek moyang si anu…” ketika ponakan atau anaknya sedang curhat soal masalah-masalah mereka.
Salah satu kelakarnya pada saya adalah, “Nosa, elu kayak si anu (menyebut nama tetua), ntar lu mati gara-gara anak lu.” ‘Mati gara-gara anak’ bukan semacam bapaknya Oedipus yang dibunuh anaknya sendiri, tapi maksudnya saya akan menderita karena terlalu sayang pada anak saya–jikalau saya punya anak nanti. Latar belakang pembicaraan itu tidak jelas; Wapi tiba-tiba saja bicara seperti itu ketika kami sedang menonton serial Turki bersama-sama. Well, saya rasa benar-tidaknya wejangan itu akan kita lihat di masa depan. Haha.
Satu lagi kata-kata yang paling kami ingat dari Wapi adalah slogan hidupnya: FREEDOM. Freedom versi Wapi bukanlah seperti yang diterikan Mel Gibson dalam Braveheart. Freedom versi Wapi adalah kemerdekaan dalam mengambil keputusan dan belajar dalam kehidupan. Pasca perceraiannya di tahun 90-an, ia mulai mencari makna hidup kemana-mana: dari diskotik sampai pesantren. Dan cara belajarnya tidak tanggung-tanggung. Dia mencatat dengan tekun interpretasi ayat suci dan hadis, al-qurannya penuh stabilo dan coretan. Ia punya beberapa guru agama–yang memastikannya bisa kroscek dan tidak terjebak dengan kiai karbitan macam Aa Gatot. Sementara itu dalam bisnis, ia sudah memakan asam, garam, terasi dan cabainya–lengkap sudah sambal hidup itu; ibarat kata, semua suka duka, kena tipu, menang banyak dan kalah banyak telah membuatnya jadi pedagang yang handal tapi tetap jujur. Tanyalah pada pedagang-pedagang Rawa Bening soal dia, dan Anda akan menemukan fakta-fakta semacam itu.
Karena itu, adiknya, Tubagus Djody Rawayan Antawidjaja, mengatakan dalam obituari di film dokumenter saya, bahwa kakaknya adalah ahli kitab. Inilah yang mungkin bisa kita anggap sebagai keajaibannya–karena sebagai Muslim, kita kudu percaya bahwa Al-Quran adalah mukjizat. Tanpa jilbab atau atribut agama, dengan rokok di tangan, saya pun berani bilang bahwa ilmu agama Wapi tak kalah dengan Mama Dedeh, malah lebih kaya dengan referensi-referensi kehidupan yang luas. Maklum, Wapi bukan hanya pernah berhaji, ia juga pernah keliling dunia di masa mudanya. Ia pernah menjadi sangat kaya, sangat miskin, socialite dan ibu-ibu kampung. Kehidupannya sangan Multidimensional.
Mungkin yang paling mengesankan buat saya adalah caranya mengajar anak-anak perempuannya. Saya belajar feminisme dari S1, dan lucunya, semua teori dan praktik aktivisme feminis sudah dilakukan oleh Tante saya ini. Ia selalu mengajarkan anak-anak perempuannya (ia punya empat anak perempuan dan satu laki-laki), untuk tidak bergantung kepada suami, tidak bergantung pada lelaki. Ia selalu menyemangati anak-anak perempuannya untuk menjadi terdepan soal ekonomi keluarga, untuk menjadi wanita yang berdigdaya dan berdaya. Dan ia selalu geram pada ibu-ibu yang menyemangati anak perempuannya untuk mencari suami yang kaya raya. “Elu aja yang kaya. Ngapain cari laki kaya terus bisa ngontrol-ngontrol elu. FREEDOM DONG!”
Freedom buat Wapi kadang juga bikin deg-degan. Suatu hari Jakartabeat menugaskan saya untuk meliput Jazz Gunung di Bromo. Di sana sudah janjian bertemu Arman Dhani yang waktu itu anak kampung yang skripsinya tak kunjung rampung–bukan selebriti seperti sekarang. Saya akan naik bus ke Probolinggo dari Lebak Bulus, dan rencananya saya akan backpacking dari Jawa Timur ke Jawa Tengah, mengunjungi kawan di Jember, Yogja, dan Muntilan. Saya bertemu Wapi di restoran Mama yang waktu itu ada di Lebak Bulus. Tanpa ba-bi-bu, Wapi memutuskan untuk ikut, dengan pakaian seadanya dan tanpa persiapan sama sekali.
Kami naik bus belasan jam dari Lebak Bulus ke Probolinggo. Selama di bus, Wapi bahkan sempat digoda oleh seorang bapak-bapak–bahkan di usianya yang setengah abad, ia tak pernah berhenti menjadi perempuan menarik untuk lelaki seangkatannya. Tentunya ia menolaknya dengan jijik. Kami turun di Probolinggo sekitar jam 9 malam dan saya bingung kemana harus mencari hotel. Sementara akomodasi saya sebenarnya sudah dijamin di gunung Bromo di rumah warga, saya tidak mungkin membawa Wapi ke atas gunung malam-malam dan menginap di rumah warga bersama saya dan beberapa remaja bau kencur dari Jakartabeat dan Gigsplay. Dengan penuh percaya diri, Wapi duduk-duduk di teras hotel paling bagus setelah kami turun bus. Hotel itu sudah full booked. Akhirnya saya berjalan kaki keliling jalan besar Probolinggo untuk mencari hotel. Ketika menemukan hotel dengan kamar kosong, saya kembali ke tempat Wapi nongkrong untuk menjemputnya dan menemukannya sedang asik merokok dan minum kopi.
Ia bilang kita sudah mendapat kamar di hotel bagus itu, karena ia menyuruh seorang bapak-bapak yang ia kira pelayan untuk membuat kopi. Bapak itu adalah pemilik hotel. Mereka mengobrol dan dengan ajaib Wapi dan saya dapat kamar mewah: kamar si pemilik hotel yang malam itu jadi entah tidur dimana.
Masih banyak kenangan dan wejangan yang ingin saya tulis, tapi kalau saya teruskan maka tulisan ini tidak akan habis-habis. Karena banyaknya kenangan-kenangan itulah saya membuat film dokumenter soal Wapi setelah kematiannya ini. Tidak banyak bahan yang bisa saya dapat, tapi untungnya om Jody, adik Wapi, menyimpan banyak sekali foto-foto dan beberapa video tua yang bisa saya masukan ke film ini. Adik saya, Gilang, juga punya beberapa video wapi yang selalu bahagia, bernyanyi dan berjoget dangdut. Sayangnya tidak banyak video wejangannya–padahal wejangan itu bisa jadi sangat berharga. Wapi pemalu soal intelektualitasnya, tapi kalau nyanyi dangdut, urat malunya sudah putus.