English, Memoir, Racauan, Workshop

Experience Expectations Ecstasy

Rezeki di tangan Tuhan, produksi di tanganmu.

Melihat ke belakang, saya tiba-tiba sadar bahwa saya orang yang cukup produktif dan kadang saya heran apa yang memacu produktivitas itu. Saya ingat saya mulai menulis cerpen sejak umur 7 tahun, ketika saya baru bisa belajar baca-tulis. Saya pernah menderita ADHD sejak balita, jadinya saya late bloomers—saya baru bisa baca-tulis ketika umur yang lumayan tua, dengan bantuan guru privat.

Sebelum saya bisa baca tulis, selalu ada energi besar di diri saya untuk mencari tahu, membuat, atau merusak sesuatu. Saya selalu kehilangan konsentrasi pada hal-hal yang saya tidak suka, tapi begitu saya suka pada sesuatu, saya akan terobsesi. Produksi-produksi saya tidak bisa dibilang bagus atau berguna (bahkan hingga sekarang). Saya tidak bisa membedakan motivasi saya membuat karya, dengan seorang gila yang menyusun batu-batu kerikil di rumah sakit jiwa.

Dan seperti orang gila itu, saya bebal terhadap orang yang menyuruh saya berhenti dan bilang kalau produksi saya tidak ada gunanya. Bedanya dengan orang gila, saya senang ketika ada kawan atau lawan yang mengkritik karya saya, memberi masukan, dan membuat produksi selanjutnya lebih baik. Paling tidak mereka melihat dan memerhatikan apa yang orang gila ini sedang buat.

Dalam keadaan apapun, saya berproduksi. Bahkan ketika tidak ada uang yang cukup ketika kuliah dulu, saya berusaha bikin teater, film dari handphone, puisi, atau cerpen. Namun dari semua itu, harus saya akui saya belum punya “notable works”, atau karya yang diakui orang lain sebagai sesuatu yang baik. Kecuali mungkin beberapa tulisan di blog atau di webmagazine. Sebagai penulis, saya cukup puas karena tak pernah mengirimkan tulisan ke media, tapi diminta beberapa media untuk menulis. Lucu, seperti menulis, dalam hal pekerjaan pun saya tidak pernah melamar. Saya selalu dilamar. Bukannya sombong, saya cuma tidak berbakat menjual diri saya pada orang. Tidak pernah sekalipun dalam hidup saya, saya berhasil dapat kerjaan dengan melamar, atau mendapatkan proyek dari pitching. Ujung-ujungnya saya selalu ditunjuk orang.

Mungkin ada orang-orang yang kebetulan melihat produk-produk saya yang medioker itu. Soal pekerjaan, saya juga dikenal murah, tapi (semoga) tidak murahan. Saya tidak pernah berpikir soal uang ketika ditunjuk proyek. Saya hanya memikirkan apakah proyek ini sejalan dengan idealisme saya, dengan apa yang saya percaya. Kalau tidak sejalan, saya akan tolak dari awal.

Bicara soal itu, saya akan berganti profesi utama tahun 2020, setelah 4 tahun menjadi produser dokumenter video. Mau jadi apa? Gampang. Di usia ini saya tak banyak pilihan lagi. Saya jadi yang saya sudah jadi: videographer, penulis, pengajar, seniman. Mungkin coba-coba jadi pengusaha rendah resiko.

Semoga semesta mendukung.