Aku berpikir tentang orang-orang yang kusayang, yang bahkan tanpa himbauan isolasi diri, telah ku isolasi dari diriku sendiri. Dan sampai saat ini, beberapa di antara mereka tak juga ku hubungi. Banyak ketakutan bahwa hubungan akan membawa ke hal-hal yang diinginkan untuk tidak diinginkan. Seperti paradoks ekspresi cinta hari ini yang harus disampaikan dengan jarak.

Tentu saja, aku memilih bicara pada kertas atau layar komputer, daripada pada manusia. Pikiranku lebih dari cukup untuk membuat kompleksitas individual yang berkembang sendiri di alam metafisik, mengambil langkah yang berbeda dengan mereka yang nyata di kenyataan. Maka jika sahabat baik, saudara, atau cinta ku yang kubuat di dalam kepalaku ini keluar, mereka bukanlah orang yang ada di kenyataan semirip apapun itu. Karena indra ku, perasaanku, dan interpretasi ku terhadap mereka terjebak membeku dalam waktu, lalu mencair dan mengalir di syaraf-syaraf otakku yang bagai roller coaster manik depresi.
Tapi pilihanku tak banyak. Tidak ada yang produktif dari usaha memperbaiki sesuatu yang sudah rusak permanen dan sudah menjadi entitas baru, yang identitasnya tidak lagi kukenal. Mungkin lebih aman bicara pada hantu-hantu di dalam kepala, daripada orang hidup yang bisa ku sakiti atau menyakitiku. Lagipula, jalan telah bercabang dan masing-masing telah memilih. Walau bumi bulat, kota tidak pernah bersahabat buat pecinta yang patah arang. Bahkan di ruangan yang sama, kita bisa jadi orang asing, apalagi dengan social distancing.
Berjarak fisik, berjarak sosial. Lengkap sudah kerinduan takkan terobati. Maka aku cuma akan tertawa sambil menulis buat dibaca terapis ku, tentang hantu-hantu yang mengganggu kesadaranku. Hantu dari mereka yang sudah mati, dan mereka yang masih hidup tapi kuanggap mati.