Konsensual secara sederhana artinya suka sama suka. Secara etika dan moral, kehidupan kita diatur oleh hukum universal ini. Kita minta sesuatu, dan menerima atau ngasih sesuatu berdasarkan kehendak bebas kita sendiri dan orang lain. Kalau ini dilanggar, kita berhak melawan atau membawa ke pengadilan.

Tapi konsensual hanya mungkin dilakukan dalam konteks yang benar. Ada 5 konteks dimana konsensualitas tidak mungkin dilakukan, dan hanya kemanusiaan kita yang bisa membuat kita menjadi beradab.

Pertama, sama-sama bocah, atau satu bocah satu dewasa, tidaklah konsensual. Ada bocah 16 tahun bilang “I love you om, ” Kepada om-om usia 30an, walau tuh bocah jago banget ML karena kebanyakan nonton bokep, tetep aja kita sebut perkosaan. Si bocah belum punya hak legal, belum punya KTP, dan yang paling serem, bisa jadi organnya belum berkembang dan bisa rusak permanen. Hal yang sama kalau ada guru cewek seksi umur 27, ML sama murid ganteng ketua club basket umur 15. Mau dia segede Hanamichi Sakuragi, dan super horny, tetep aja di situ si guru memperkosa muridnya. Kalau ada dua bocah umur 12 ML, orang tua mereka berdua harus dipenjara, bukan anaknya dinikahkan dini. Karena anak masih tanggung jawab orang tua sampai dia umur 18, bahkan 21.

Kedua, yang satu tahu, yang lain nggak tahu, itu juga nggak konsensual. Tejo balik dari kota ketemu Surti dan ngajak ML. Surti mau aja, lalu di pematang sawah, Tejo mengeluarkan kondom, dan Surti mengeluarkan HP. Yang satu mau Making Love, yang satu mau main Mobile Legend. Kalau mereka sudah sama-sama dewasa, mereka harus memutuskan mau ML yang mana.
Masalah besar dan seriusnya adalah ini: kebanyakan hal yang kita tahu soal seksualitas berasal dari film porno, atau mitos-mitos lokal, dan tidak diajarkan secara akademik dan saintifik. Apalagi, ini yang harus digarisbawahi, soal tubuh perempuan. Kompleksitas tubuh perempuan hari ini bisa kita baca di banyak media sahih dan buku-buku. Para dokter ginekologi, psikiater dan psikolog banyak yang sudah jadi selebriti dan kalau kita tidak malas, tidaklah sulit untuk tahu bagaimana memperlakukan tubuh perempuan (oleh laki-laki, atau perempuan itu sendiri).
Namun trend ini tidak berhasil dikejar sistem pendidikan, apalagi sistem hukum dan perundang-undangan yang masih melihat homoseksualitas sebagai penyakit, perkosaan sebagai penetrasi semata atau fakta sains sebagai opini. Maka jangan heran kalau banyak kasus pelecehan seksual menimbulkan trauma yang luar biasa karena baik yang melakukan atau korbannya tidak punya kata atau cara untuk mendeskripsikan apa yang terjadi pada diri mereka. Contoh paling menohok: tidak ada bahasa Indonesia untuk “catcalling“. Panggilan kucing? Jadi tidak mengherankan kalau korban atau bahkan pelaku tidak bisa bicara kenapa pelecehan tersebut terjadi.

Ketiga, yang satu dikasih kuasa institusi, yang lain diambil haknya. Pelecehan dari bos terhadap anak buah, atau dari suami kepada istri, atau dosen kepada mahasiswa, atau produser/sutradara kepada aktor, atau aktor senior kepada aktor junior atau bapak kepada anak adalah sebuah penyalahgunaan kekuasaan yang diberikan oleh institusi sosial. Tekanan dengan iming-iming atau ancaman posisi profesi, atau hukum, dan ketiadaan pakta integritas internal membuat orang rentan untuk dilecehkan.

Keempat, yang satu waras yang lain sakit jiwa. Ketika berhadapan dengan orang yang sedang depresi, bipolar manic, atau anxious, maka keputusan konsensualnya tidak bisa dianggap sebuah pilihan sadar. Maka ketika berhubungan dengan orang dengan gangguan jiwa, walaupun orang itu nampak menikmati hubungan seksual, atau kecanduan terhadap seks, hubungan tersebut tetap bisa dianggap perkosaan.

Kelima, yang satu sadar, yang lain mabuk. Ini jelas perkosaan atau pelecehan. Orang mabuk tidak mampu untuk mengambil keputusan sadar, maka siapapun orang sadar yang menemaninya harus bertanggung jawab terhadap keselamatan dirinya. Tapi kalau bikin mabuk orang jadi modus operandi untuk eksploitasi, maka di situ terjadi pelecehan dan bisa jadi perkosaan. Kalau dua-duanya mabuk dan salah satu memaksa yang lain, terus pas bangun pagi dua-duanya sudah telanjang? Well, ini sulit. Makanya jangan mabuk sama orang yang juga mau mabuk kalau tujuannya mau mabuk doang tanpa buntutnya. Pastikan minum alkohol dengan bertanggung jawab dengan orang yang dipercaya dan rela ga minum.
Jadi konsensualitas nggak sesederhana nawarin teh atau kopi, atau nusukin jari buat ngambil upil orang. Ada konteks-konteks dimana konsensualitas tidak dimungkinkan, dan di saat itulah kita harus benar-benar jadi beradab untuk tidak ambil keuntungan dari orang lain yang lebih muda, lebih bodoh, lebih lemah, lebih gila, dan lebih mabuk.
***
Terima kasih sudah baca sampai habis, semoga tulisan ini membantu kamu mengerti lebih jauh caranyanjadi manusia beradab. Kalau menurutmu tulisan ini membantumu, bolehkan bantu saya untuk mempertahankan website ini dengan mentraktir saya kopi? Karena saya butuh motivasi supaya tidak merasa sendirian.
Scan untuk traktir go food
