Anthropology, Ethnography, Filsafat, Kurasi/Kritik, Memoir, Politik, Racauan

Keniscayaan Komunitas | Bagian 1: Ritual ke Institusi

Ringkasan

  • Setiap institusi besar hari ini berakar dari sesuatu yang jauh lebih sederhana: ritual kecil manusia purba yang mencoba bertahan hidup.
  • Ketika pertanian melahirkan surplus, solidaritas berubah menjadi struktur; kuil menjadi birokrasi pertama umat manusia.
  • Sejarah menunjukkan pola yang sama: iman menjadi administrasi, spontanitas menjadi hierarki, dan makna digantikan oleh efisiensi.
  • Institusi tidak runtuh secara tiba-tiba; mereka membusuk perlahan, dimulai dari saat mereka berhenti berevolusi.

Sejarah manusia adalah sejarah tentang organisasi emosi menjadi sistem.

Dari kelompok pemburu di Afrika Timur hingga korporasi global abad ke-21, manusia bertahan bukan karena kekuatan fisiknya, tetapi karena kemampuannya membangun jaringan kepercayaan di antara orang-orang yang tidak saling mengenal. Setiap komunitas, lembaga, atau perusahaan yang kita kenal hari ini lahir dari upaya yang sama: mengubah rasa kebersamaan menjadi struktur. Namun di balik keberhasilan itu, tersimpan benih dari kegagalannya sendiri — stagnasi.

Kegagalan, sebagaimana disinggung dalam Freakonomics: How to Succeed at Failing, bukanlah satu kejadian tunggal. Ia adalah rantai panjang kesalahan kecil yang dibiarkan, keputusan yang tidak dikaji ulang, dan keyakinan lama yang dipertahankan dalam dunia yang sudah berubah. Dalam konteks evolusi sosial, kegagalan muncul ketika ekosistem nilai berhenti beradaptasi terhadap lingkungan yang ia ciptakan sendiri.

Untuk memahami fenomena ini, kita perlu mundur puluhan ribu tahun, ke masa ketika komunitas manusia belum mengenal konsep “lembaga.” Saat itu, kekuasaan dan moralitas bersumber dari ritual — tindakan kolektif yang mengikat emosi individu menjadi harmoni sosial. Di suku-suku awal Homo sapiens, kepercayaan terhadap roh, alam, dan leluhur menjadi dasar solidaritas. Tak ada gaji, tak ada struktur manajemen; hanya rasa saling bergantung.

Namun seperti dicatat Jared Diamond dalam Guns, Germs, and Steel, kompleksitas sosial tumbuh seiring dengan pertanian dan kepemilikan lahan. Saat manusia berhenti berpindah, mereka harus menciptakan mekanisme baru untuk mengatur produksi, penyimpanan, dan distribusi hasil panen. Dari sinilah muncul bentuk pertama lembaga: kuil, lumbung, dan sistem kasta. Ritual masih ada, tapi kini dijaga oleh kelas administratif — para imam, juru tulis, dan pejabat. Apa yang dulu spontan berubah menjadi institusional.

Transformasi ini membawa kemajuan besar: stabilitas, surplus pangan, kota, dan ilmu pengetahuan. Namun ia juga membawa konsekuensi: kehilangan fleksibilitas.Kehidupan sosial yang dulu cair menjadi hierarkis. Nilai yang dulu diikat oleh rasa tanggung jawab bersama berubah menjadi kontrak sosial yang kaku. Para imam dan pejabat yang awalnya melayani masyarakat kini menjadi penjaga status quo. Ketika ritual berubah menjadi prosedur, makna pun menipis.

Kehidupan sosial yang dulu cair menjadi hierarkis. Nilai yang dulu diikat oleh rasa tanggung jawab bersama berubah menjadi kontrak sosial yang kaku. Para imam dan pejabat yang awalnya melayani masyarakat kini menjadi penjaga status quo. Ketika ritual berubah menjadi prosedur, makna pun menipis.

Biara dan para biarawan memperhatikan dua malaikat yang sedang bekerja.

Fenomena yang sama terjadi di hampir setiap fase sejarah sosial manusia. Gereja Katolik di abad pertengahan dimulai sebagai komunitas spiritual yang hidup dalam kemiskinan dan kesetaraan, tetapi seiring bertumbuhnya kekayaan dan kekuasaan, ia berubah menjadi birokrasi megah yang sering kehilangan hubungan dengan moralitas awalnya. Universitas, yang lahir dari biara, bermula sebagai tempat mencari kebijaksanaan; namun ketika ia menjadi institusi nasional dengan sistem akreditasi, ia mulai lebih sibuk mempertahankan reputasi ketimbang menumbuhkan pengetahuan.

Setiap lembaga besar pernah lahir dari gerakan idealis kecil. Tapi begitu ia menemukan sumber daya — tanah, uang, status — ia menghadapi dilema evolusioner: apakah akan terus beradaptasi, atau mengabadikan bentuk lamanya? Sebagian besar memilih yang kedua, dan di situlah proses entropi sosial dimulai.

Kita bisa melihat pola yang sama di komunitas modern: organisasi nirlaba, gerakan budaya, hingga ekosistem kreatif yang dimulai dari semangat kolektif. Mereka lahir dari kelangkaan dan semangat berbagi — sekelompok orang ingin menciptakan ruang alternatif di luar pasar. Tapi ketika ruang itu berhasil menarik perhatian, mendapatkan sponsor, bahkan membentuk badan usaha, ia mulai memikul beban baru: akuntabilitas, profesionalisme, dan efisiensi. Idealisme bertemu realitas birokrasi. Dan seperti yang sering terjadi dalam sejarah, banyak yang gagal menjembatani keduanya.

Seorang antropolog mungkin menyebut ini sebagai transisi dari moral economy ke market economy. Di dalam moral economy, hubungan antar manusia dijaga oleh rasa malu, rasa syukur, dan reputasi sosial. Di dalam market economy, hubungan itu digantikan oleh kontrak, target, dan gaji. Tidak ada yang lebih baik atau buruk — keduanya adalah sistem adaptif. Tapi ketika sebuah komunitas gagal mengenali momen transisi itu, ia akan terjebak di antara dua dunia: tidak cukup spontan untuk disebut komunitas, tidak cukup efisien untuk disebut perusahaan. Di sanalah kegagalan struktural tumbuh diam-diam.

Sejarah memberi kita banyak contoh. Ketika biara-biara Eropa memasuki masa kemakmuran di abad ke-14, mereka mulai membeli tanah dan mempekerjakan petani. Namun karena tetap menganggap diri mereka “pelayan spiritual,” mereka tidak menyesuaikan sistem pengelolaan ekonominya. Korupsi dan penurunan moral merajalela, memicu gelombang reformasi Protestan yang menghancurkan struktur lama. Begitu pula pada awal abad ke-20, banyak koperasi buruh di Eropa yang gagal bertahan setelah memperoleh modal besar, karena para anggotanya masih berpikir dengan mentalitas komunitas — bukan lembaga bisnis.

Semua pola ini menunjukkan hal yang sama: evolusi sosial tidak hanya membutuhkan visi, tetapi juga kemampuan untuk melepaskan bentuk lama ketika ia tak lagi fungsional.
Kegagalan bukan akibat niat buruk, tapi hasil dari kesetiaan berlebihan terhadap masa lalu.

Manusia, seperti yang dikatakan Harari, adalah spesies yang hidup dari fiksi-fiksi bersama. Kita membangun perusahaan, yayasan, dan negara di atas cerita: “kita bekerja untuk kebaikan bersama,” “kita menciptakan ruang bagi generasi muda,” atau “kita berbeda dari sistem korporasi.” Namun begitu fiksi itu tak lagi didukung oleh perilaku konkret — oleh kerja nyata, etos, dan kompetensi — ia menjadi sekadar mitos nostalgia. Seperti agama yang kehilangan mukjizatnya, organisasi pun kehilangan daya cipta spiritualnya.

Dan mungkin di sinilah kita harus mengakui sesuatu yang menyakitkan:
tidak semua komunitas layak tumbuh.
Beberapa hanya lahir untuk membuktikan kemungkinan, bukan untuk menjadi institusi.
Yang lain bisa bertahan, tapi hanya jika mereka berani berevolusi secara moral — mengganti solidaritas pasif dengan tanggung jawab aktif.Tapi apakah bisa menjaga kemanusiaan dalam sebuah lembaga yang saling kelindan antara orientasi kapitalisme dan sosialisme?

Tapi apakah bisa menjaga kemanusiaan dalam sebuah lembaga yang saling kelindan antara orientasi kapitalisme dan sosialisme?

Bersambung ke bagian 2: Anatomi Stagnasi: Dari Solidaritas ke Ketergantungan


Terima kasih telah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan sumbangan, iklannya tak menghasilkan, dengan lisensi Creative Commons, Atribution, Non commercial. Kamu boleh pakai konten ini selama memberikan link sumber dan bukan untuk tujuan komersial. Kalau kamu suka dengan yang kamu baca, silahkan traktir saya kopi murah.

Berlangganan

Masukan email kamu untuk dapatkan update. Gratis.

Memoir, Politik, Racauan

17+8+Nadiem

Saat sudah muak melihat sosial media, sudah lelah membaca dan bekerja, sudah capek berdebat, mungkin ini saatnya menulis racauan. Halo kawan-kawan pembaca yang budiman semoga tidak sujatmiko. Karena integritas adalah hal yang paling kita butuhkan hari-hari ini.

Kita bisa lihat tuntutan 17+8 tidak berjalan dengan baik tanggapannya. Waktu ini ditulis, baru 3 tuntutan yang ditanggapi dengan tindakan. Tak ada maaf dari presiden karena ia merasa tidak salah informasi atau salah mengangkat orang atau salah kebijakan.

Lalu Nadiem Makarim ditangkap korupsi–yang saya yakin seperti Tom Lembong, tidak mengandung mens rea. Di Thread saya diajak ribut beberapa guru atau orang tua murid yang benci sekali sama mas Nadiem dari mulai soal penghapusan UN, hingga soal zonasi.

Saya sih paham mas menteri kemarin itu maunya apa, dan saya bias sih mendukung beliau, karena saya pendidik yang pendidikannya tinggi, sudah belajar critical pedagogy, dan pernah ngajar di sekolah-sekolah mahal. Tentunya jadi debat kusir ketika bicara dengan guru entah dari mana yang bilang “Gadget tidak ada hubungan dengan kurikulum,” atau “tanpa kompetisi murid tidak bisa pintar, kurang motivasi.”

Ini orang-orang yang salah paham dan terbawa doktrin pendidikan orde baru. Tapi saya malas ribut, maka di sini saja, di website saya sendiri saya akan jelaskan.

Pertama soal UN. Saya pernah dapat project bikin UN waktu kuliah. Waktu kuliah, guys! Belum lulus! Disuruh bikin soal UN dengan goreng-goreng sal tryout gitu. Dibayar 5 juta, dan nama saya tidak masuk ke tim penulisan juga (yang isinya Drs, Dr, prof) whatever. Gak saya ambil kok. Bau pesing. Terus saya ingat polemik menteri waktu itu bahkan bikin standard UN karena dapet bisikan waktu Umroh apa. Ghokil.

Selain itu soal kompetisi. Ujian itu harusnya bahan assesmen guru dan sekolahnya, untuk mengetes kemampuan pendidik, bukan kemampuan peserta didik! Kalau siswa nilainya jatuh, atau tidak lulus, siswa itu harus jadi pusat perhatian untum diteliti, dicari cara ajarnya biar lulus, dan dievaluasi cara mendidiknya, biar bisa diperbaiki terus sistem pendidikannya. Bukan malah marah-marah ketika muridnya bodoh, bodoh!

Ini juga menyangkut zonasi. Dulu ada sekolah unggulan, sekolah rendahan, buat apa itu? Kompetisi lagi? Bangga-banggaan anak masuk negeri atau swasta? Tambah gagal dong, sistem kayak gitu mempermalukan sekolahnya. Kalau anaknya masuknya pintar keluarnya pintar, lalu apa kerjaan sekolah? Harusnya masuknya bodoh keluarnya pintar. Masuknya pintar keluarnya bijaksana.

Terus ada yang mengeluh, “Murid saya kelas 1 SMP belom bisa baca. Kok bisa masuk SMP?”

Saya tanya, bisa pake gadget nggak? Dia jawab bisa. Lah bisa baca dong! Terus dia bilang ada bapak-bapak tetangganya bodoh tapi bisa pake HP. Iya bisa baca dong pak gurru!!!

Mungkin depan bapak aja malas ketahuan bisa baca nanti dikasih PR. Haha.

Dia nanya, “Apa hubungannya Gadget dengan kurikulum?”

Bapak guru, gadget itu guru mutakhir, lebih canggih dari bapak. Karena dia punya UI/UX yang ngajarin orang make gadget tanpa frontal diajarin gadget. User Interface artinya tampilannya menarik. User experience artinya pengalamannya asik. Dua-duanya syarat ngajar yang penting. Mungkin bapak UI/UX nya masih sistem DOS atau windows 3.11. Keren pada jamannya.

Lagian bikin kurikulum dan LMS sekarang kan udah pake gadget semua pak. Ampun! Saya ini yang salah. Saya bias.

Banyak guru seperti bapak itu, banyak murid yang akan jadi bodoh karena Nadiem Makarim berusaha bongkar-bongkar sistemnya yang sudah lama sekali bobrok. Ya buat saya, Nadiem adalah awal untuk membuka satu persatu masalah pendidikan kita. Bahwa masalah itu ada dan harus kita tanggulangi.

Ah, jadi panjang racauan ini. Tapi sudah lah. Minimal saya jadi tak usah balas thread saya yang sedang viral itu. Bangsat lah.

Ini silahkan kalau mau cek sendiri polemiknya. Sa mau tidur saja.

Thread:

Menurut gue sebagai pendidik dan yang pernah tahu bagaimana cara kementrian sebelom mas Nadiem bikin Ujian Nasional (pake wangsit anjir), Nadiem Makarim adalah salah satu menteri pendidikan terkeren sepanjang sejarah negeri ini.

Kementrian pendidikan separah itu selama ini, maka harus banget diobok-obok. Di jaman Nadiem jauh lebih jelas permasalahan dan usahanya untuk mengejar ketinggalan.
                

Link thread ribut.

Filsafat, jurnalistik, Kurasi/Kritik, Memoir, Politik, Racauan

Gerakan Sosial Indonesia: Dari Tritura ke Era Algoritma

Sejarah Indonesia setelah 1945 bisa dibaca bukan hanya sebagai sejarah negara, tetapi sebagai sejarah rakyat yang berulang kali mengguncang fondasi kekuasaan. Gerakan sosial besar pasca-kemerdekaan selalu lahir dari pertemuan antara aktor, ideologi, medium, dan kebudayaan. Dari pamflet dan spanduk hingga hashtag dan AI generatif, cara rakyat berorganisasi terus berevolusi.

Yang berubah adalah bahasa zamannya. Yang tetap sama adalah kerentanan negara menghadapi energi sosial yang tak bisa dipetakan.


1950–1965: Era Kaum Ideologi

Indonesia muda diisi oleh partai-partai besar yang menguasai ruang publik: PKI dengan Lekra-nya, PNI dengan nasionalisme Sukarnois, serta HMI dan NU dengan Islam politik. Mahasiswa adalah aktor penting, menjadi perantara antara elite partai dan masyarakat kota.

Medium utama gerakan adalah pamflet, koran partai, dan radio. Imajinasi kolektif dibentuk lewat sastra realisme sosialis, lagu rakyat, dan retorika revolusi. Pada masa ini, ideologi diperlakukan seperti algoritma manual: diyakini bisa memetakan jalan revolusi dengan pasti.


1966: Tritura dan Gerakan Moral Mahasiswa

Ketika inflasi melambung dan kepercayaan publik pada Sukarno runtuh, mahasiswa kota tampil dengan Tri Tuntutan Rakyat: bubarkan PKI, rombak kabinet Dwikora, turunkan harga.

Gerakan ini sederhana, moralistik, dan mudah ditangkap. Tiga tuntutan yang mereduksi kompleksitas bangsa menjadi format yang ringkas—sebuah bentuk awal “datafikasi politik.” Mahasiswa menjadi wajah moral bangsa, meskipun hasil akhirnya adalah naiknya Orde Baru yang kemudian membungkam mereka sendiri.


1998: Reformasi

Tiga dekade kemudian, krisis moneter menghancurkan legitimasi Orde Baru. Mahasiswa kembali jadi aktor utama, tetapi kali ini mereka tak sendirian. Buruh, LSM, jurnalis, dan jaringan internasional ikut menopang.

Mediumnya berubah: bulletin fotokopian, radio kampus, telepon rumah, hingga televisi swasta yang menyiarkan mahasiswa menduduki gedung DPR. Budayanya pun bergeser: jeans belel, musik indie, forum kos-kosan. Ideologi tak lagi dominan; tuntutan lebih pragmatis: demokratisasi, anti-KKN, dan mundurnya Soeharto.

Hasilnya jelas: rezim jatuh. Namun oligarki lama tetap berakar, hanya berganti wajah dalam demokrasi liberal.


2019–2020: Reformasi Dikorupsi & Omnibus Law

Dua dekade setelah Reformasi, generasi baru turun ke jalan. Isunya: RUU bermasalah, pelemahan KPK, dan Omnibus Law.

Aktor kali ini adalah mahasiswa, aktivis digital, dan influencer. Mediumnya: Twitter, Instagram, meme, livestream. Budayanya: kopi susu literan, totebag, sneakers, ilustrasi digital. Gerakan ini bersifat interseksional—menggabungkan feminisme, lingkungan, anti-oligarki, dan hak minoritas.

Namun, fragmentasi isu membuat tuntutan sulit dipadukan. Negara beradaptasi dengan cara baru: buzzer, framing media, dan UU ITE. Solidaritas lahir, tapi algoritma platform ikut menentukan siapa yang viral dan siapa yang tenggelam.


2025: Gerakan Algoritmik

Hari ini, protes kembali mengguncang. Dipicu oleh isu tunjangan DPR yang dianggap berlebihan, dan tragedi Affan Kurniawan—pengemudi ojek yang meninggal tertabrak kendaraan taktis polisi.

Aktor gerakan meluas: mahasiswa, pekerja kreatif, sopir ojek online, ibu-ibu pengguna WhatsApp. Simbolisme organik muncul: palet warna hijau–pink, hijab pink Bu Ana, angka “17+8” sebagai mnemonic tuntutan. Estetika digital menjadi bahasa solidaritas.

Di sisi lain, negara pun tidak tinggal diam. Dari PAM Swakarsa kini bertransformasi menjadi buzzer, influencer sewaan, hingga cyber troops dengan analisis sentimen otomatis. AI bukan lagi sekadar alat, tapi aktor politik.

Di pihak gerakan: AI dipakai untuk membuat poster, infografik, voice-over, dan strategi kampanye.

Di pihak negara: AI dipakai untuk pengawasan, disinformasi, dan framing digital.


Arena politik bukan lagi sekadar jalan raya, tetapi server dan model AI yang saling berkompetisi.



Kesimpulan: Dari Ideologi ke Algoritma

Jika ditarik garis panjang, gerakan sosial Indonesia berevolusi:

1950–1965: ideologi sebagai algoritma manual.

1966: moralitas mahasiswa dengan tuntutan sederhana.

1998: pragmatisme kolektif menjatuhkan rezim.

2019–2020: estetika digital, solidaritas algoritmik.

2025: AI sebagai aktor baru, mengubah format tuntutan dan cara represi.


Negara tetap konsisten dengan satu hal: represi, propaganda, dan adaptasi setengah hati. Rakyat pun tetap konsisten dengan satu hal: menemukan bahasa zamannya untuk menuntut perubahan.

Hari ini, bahasa itu adalah algoritma dan AI. Bukan lagi Tritura, bukan lagi bulletin fotokopian, tetapi perang antar-narasi yang dipercepat mesin.

Dan pola paling logis dari semua ini bukan revolusi instan, melainkan tekanan berulang yang menghasilkan koreksi kelembagaan. Demokrasi Indonesia akan dipaksa menyesuaikan diri, bukan oleh satu manifesto tunggal, tapi oleh jutaan sinyal, hashtag, dan citra digital yang dikurasi algoritma—dan kini, ikut ditulis oleh AI.

Memoir, Perlawanan, Politik, Puisi

Selamat

Selamat untuk yang naik gaji,
Yang dapat bintang penghargaan,
Yang bebas dari pidana korupsi,

Selamat untuk yang bangga
Pada angka Makan Beracun Gratis
Dan pencapaian bohongan
Dari kabinet bagi-bagi kue

Selamat untuk keluarga dinasti
Yang naik jet pribadi
Yang mengakali konsitusi

Selamat untuk para orang dalam
Yang aman setelah merusak alam
Yang dapat jatah kue, kursi dan saham

Selamat untuk anggota yang berhasil
Diamankan untuk disidang
Lalu mendekam sebentar
Untuk naik pangkat ketika keluar nanti.

Selamat menikmati uang pajak kami
Selamat menikmati penderitaan kami

Foto oleh CNN Indonesia



Selamat tinggal akal sehat,
Selamat tinggal demokrasi,
Dan..

Selamat tinggal Affan Kurniawan,
Dan kawan-kawan lain
Yang ditindas dan dilindas
di hari Kamisan.

Selamat datang hari berapi
Hari ini kita berjuang lagi

Selamat berduka cita.

***

Feature image oleh @luthfihinelo