Dulu, ketika saya masih menjadi jurnalis internasional, dua kali saya mengedit liputan musibah di Sumatra Barat. Yang terakhir—kalau ingatan saya betul—adalah banjir bandang sekitar tahun 2024, dengan visual yang nyaris sama: rumah hanyut, jalan putus, relawan berjibaku, narasi “bencana alam” yang masuk ke ruang tamu melalui layar ponsel. Hari ini saya kembali melihatnya—hanya saja posisi saya berubah. Tak lagi ikut mengedit tulisan reporter, melainkan menjadi penonton yang menua bersama pola kerusakan yang tidak ikut berubah.
Dalam salah satu liputan dulu, seorang aktivis lingkungan berkata dengan suara pelan, seolah takut terdengar heroik: “Yang nebang pohon itu warga lokal juga.” Kalimat ini masih terngiang karena menolak simplifikasi. Hutan yang gundul bukan hanya akibat investor dari kota; mata pencaharian warga di desa ikut berada dalam pusaran yang sama. Di antara keduanya berdiri negara yang menyediakan surat izin, menaungi transaksi, dan meminjamkan bahasa pembangunan untuk menenangkan hati semua pihak. Semacam perkawinan gelap yang berlangsung lama sekali.
Governmentality: Seni Mengatur Melalui Keinginan dan Ketakutan
Michel Foucault—seorang filsuf Prancis yang membedah cara kerja kekuasaan modern—menyebut fenomena ini governmentality. Istilah itu ia uraikan dalam kuliah Security, Territory, Population (1977–78) dan The Birth of Biopolitics (1978–79). Governmentality merujuk ke cara negara mengatur manusia dengan membentuk keinginan mereka, ketakutan mereka, dan orientasi hidup mereka. Foucault menyebutnya conduct of conduct—bagaimana perilaku diatur bukan melalui paksaan langsung, melainkan melalui cara hidup sehari-hari.
Dalam logika ini, pembangunan bekerja sebagai kompas moral. Orang diajak percaya bahwa hidup “layak” berarti punya rumah tembok, kendaraan bermotor, dan pemasukan stabil. Jika itu hanya bisa dicapai lewat tambang, ladang sawit, atau pembangunan resor, maka jalan itulah yang dianggap paling masuk akal. Tidak ada perintah untuk merusak hutan, tetapi negara menciptakan situasi yang membuat pilihan itu tampil sebagai satu-satunya langkah rasional.
Gesekan yang Tidak Pernah Usai
Antropolog Anna Lowenhaupt Tsing menulis Friction: An Ethnography of Global Connection (2005), sebuah studi etnografis tentang bagaimana perusahaan logging, aparat negara, aktivis, dan komunitas lokal bersinggungan dalam proyek kayu di Kalimantan. Yang ia temukan bukan benturan dua kekuatan, melainkan gesekan berlapis-lapis. Janji pembangunan, tawaran kerja, tekanan aparat, bahasa konservasi, dan kalkulasi ekonomi keluarga bercampur membentuk keputusan yang rumit. Hutan tumbang bukan karena konspirasi tunggal, tetapi karena rangkaian negosiasi yang tidak pernah simetris.
Celia Lowe, antropolog lain yang meneliti konservasi di Kepulauan Togean dalam Wild Profusion (2006), melihat pola serupa. Konservasi hadir sebagai wacana mulia, tapi dampaknya sering berupa pengaturan ulang hidup masyarakat lokal—cara mereka memancing, menebang, merawat keluarga. Negara menghadirkan dirinya sebagai penjaga biodiversitas, padahal akses terhadap perubahan struktural tetap dimonopoli pusat. Dalam kasus Sumatra Barat, konservasi adalah lahan yang boleh dieksploitasi oleh yang diberi ijin; yang dijaga adalah akses, bukan demi alam dan masa depan warganya.
Keduanya memperlihatkan bahwa persoalan lingkungan selalu bergantung pada relasi sosial dan ekonomi yang jauh dari sederhana. Yang tumbuh bukan sekadar kerusakan, melainkan rasa tak berdaya yang diproduksi ulang dari generasi ke generasi.
Ketika Politik Ditutup Rapat-Rapat
James Ferguson, dalam The Anti-Politics Machine (1990), membongkar bagaimana proyek “pembangunan” di Lesotho mengubah isu ketimpangan, kolonialisme, dan politik tanah menjadi sekadar persoalan teknis. Tanah dirampas dengan bahasa “manajemen sumber daya”. Kemiskinan dipetakan sebagai masalah “keterampilan”. Struktur sejarah yang melahirkan masalah dianggap terlalu rumit untuk dibahas; yang ditawarkan hanyalah workshop dan rekomendasi proyek.
Pola ini terasa akrab di Indonesia. Banjir bandang dibahas dalam bahasa mitigasi. Deforestasi ditimbang sebagai hambatan investasi. Izin tambang diterjemahkan sebagai kebutuhan energi nasional. Dan di atas kertas, semuanya tampak sah. Politik diluruhkan menjadi administrasi.
Saat menonton liputan Sumatra Barat hari ini, saya merasa sedang menyaksikan versi lokal dari anti-politics machine itu. Semua pihak sibuk dengan tugasnya: pejabat membahas SOP, perusahaan menawarkan CSR, warga mendambakan pemasukan stabil. Pertanyaannya tentang siapa yang memperkaya diri sering tersingkir oleh diskusi teknis yang lebih “aman” dan lebih mudah dicerna publik.
Dalam konteks global yang lebih baru, Naomi Klein melalui This Changes Everything (2014) mengurai bagaimana kapitalisme dan krisis iklim tidak pernah bisa dipisahkan. Krisis ekologis global adalah hasil dari sistem ekonomi yang memaksa bumi bekerja tanpa istirahat demi pertumbuhan tanpa batas. Klein mencatat bahwa negara-negara kaya, perusahaan, hingga lembaga finansial internasional turut menyandarkan struktur kekuasaan mereka pada eksploitasi alam negara-negara seperti Indonesia.Kate Raworth, lewat Doughnut Economics (2017), menekankan bahwa pembangunan yang mengejar pertumbuhan tak terbatas selalu melampaui batas ekologis. Dan ketika itu terjadi, beban terberat jatuh pada masyarakat di pinggiran: petani, pekerja tambang, nelayan, dan warga yang tinggal di bantaran sungai—mereka yang gambarnya selalu muncul kembali dalam liputan bencana.
Jika ditambah laporan-laporan terbaru dari IPCC (2021–2023), jelas bahwa kerusakan ekologis bukanlah insiden; ia adalah hasil langsung dari arah pembangunan global yang tidak berubah sejak revolusi industri.
Siapa yang Masih Berdaya Mengubah Ini?
Pertanyaan “siapa yang bersalah?” sering membuat kita berjalan berputar-putar. Yang mungkin lebih penting adalah “siapa yang masih punya daya untuk mengubah arah pembangunan ini?”
Beberapa titik daya tampak jelas:
1. Kelas pekerja dan masyarakat lokal
Mereka yang paling terdampak justru memiliki posisi tawar paling kecil. Namun sejarah menunjukkan bahwa perubahan besar banyak dimulai dari gerakan mereka—ketika tuntutan ekonomi sehari-hari bertemu dengan kesadaran ekologis. Gerakan tani, gerakan anti-tambang, dan solidaritas desa–kota membuka kemungkinan itu.
2. Kelas menengah urban yang menikmati hasil eksploitasi
Sering berada di zona nyaman, tetapi sesungguhnya memiliki modal sosial, jaringan, dan kemampuan untuk mendorong perubahan politik. Kesadaran bahwa gaya hidup kota ditopang perusakan desa adalah langkah awal untuk membangun solidaritas lintas kelas.
3. Para pekerja kreatif dan intelektual—film, media, seni, riset
Mereka yang mengolah narasi publik memiliki peran strategis. Mereka dapat menyingkap struktur yang membuat bencana tampak alamiah, padahal merupakan hasil pilihan ekonomi-politik.
4. Negara dan pejabat publik
Meski sering menjadi penghulu dalam perkawinan gelap tanah dan modal, mereka tetap memegang kunci: kebijakan tata ruang, izin tambang, pajak karbon, perlindungan masyarakat adat. Tanpa perubahan kebijakan, perubahan sosial hanya akan berjalan separuh.
5. Investasi
Sumber modal adalah mesin pembangunan; mengubah arah modal berarti mengubah arah masa depan. Kesadaran soal “uang dari mana”—mulai dari CSR hingga capital venture—membantu kita melihat bahwa lingkungan tidak hanya rusak oleh perilaku individu, tetapi oleh arsitektur ekonomi yang mengatur seluruh gerak masyarakat.
6. Bayangan tentang kemajuan
Selama kemajuan didefinisikan sebagai pertumbuhan tanpa batas, hutan akan terus digunduli dan sungai akan terus sesak. Mengubah wawasan tentang masa depan—dari pertumbuhan ke keberlanjutan, dari ekstraksi ke perawatan—adalah kerja politik dan budaya sekaligus.
—
Ketika Sumatra Barat kembali diterjang banjir bandang, saya tidak melihat bencana itu sebagai peristiwa alam yang berdiri sendiri. Ia bagian dari kisah panjang relasi kuasa, gosokan kepentingan, dan mimpi-mimpi yang diarahkan oleh negara dan pasar. Tidak ada pahlawan dalam cerita ini, tetapi selalu ada orang-orang yang mencoba bertahan dan mencari jalan lain. Dan mungkin, dari sanalah sebuah perubahan perlahan dimulai—dari mereka yang berani membayangkan masa depan yang tidak mengulang bab lama yang sama.
Kate Raworth, lewat Doughnut Economics (2017), menekankan bahwa pembangunan yang mengejar pertumbuhan tak terbatas selalu melampaui batas ekologis. Dan ketika itu terjadi, beban terberat jatuh pada masyarakat di pinggiran: petani, pekerja tambang, nelayan, dan warga yang tinggal di bantaran sungai—mereka yang gambarnya selalu muncul kembali dalam liputan bencana.
Jika ditambah laporan-laporan terbaru dari IPCC (2021–2023), jelas bahwa kerusakan ekologis bukanlah insiden; ia adalah hasil langsung dari arah pembangunan global yang tidak berubah sejak revolusi industri.
Siapa yang Masih Berdaya Mengubah Ini?
Pertanyaan “siapa yang bersalah?” sering membuat kita berjalan berputar-putar. Yang mungkin lebih penting adalah “siapa yang masih punya daya untuk mengubah arah pembangunan ini?”
Beberapa titik daya tampak jelas:
Kelas pekerja dan masyarakat lokal
Mereka yang paling terdampak justru memiliki posisi tawar paling kecil. Namun sejarah menunjukkan bahwa perubahan besar banyak dimulai dari gerakan mereka—ketika tuntutan ekonomi sehari-hari bertemu dengan kesadaran ekologis. Gerakan tani, gerakan anti-tambang, dan solidaritas desa–kota membuka kemungkinan itu.
Kelas menengah urban yang menikmati hasil eksploitasi
Sering berada di zona nyaman, tetapi sesungguhnya memiliki modal sosial, jaringan, dan kemampuan untuk mendorong perubahan politik. Kesadaran bahwa gaya hidup kota ditopang perusakan desa adalah langkah awal untuk membangun solidaritas lintas kelas.
Para pekerja kreatif dan intelektual—film, media, seni, riset
Mereka yang mengolah narasi publik memiliki peran strategis. Mereka dapat menyingkap struktur yang membuat bencana tampak alamiah, padahal merupakan hasil pilihan ekonomi-politik.
Negara dan pejabat publik
Meski sering menjadi penghulu dalam perkawinan gelap tanah dan modal, mereka tetap memegang kunci: kebijakan tata ruang, izin tambang, pajak karbon, perlindungan masyarakat adat. Tanpa perubahan kebijakan, perubahan sosial hanya akan berjalan separuh.
Investasi
Sumber modal adalah mesin pembangunan; mengubah arah modal berarti mengubah arah masa depan. Kesadaran soal “uang dari mana”—mulai dari CSR hingga capital venture—membantu kita melihat bahwa lingkungan tidak hanya rusak oleh perilaku individu, tetapi oleh arsitektur ekonomi yang mengatur seluruh gerak masyarakat.
Bayangan tentang kemajuan
Selama kemajuan didefinisikan sebagai pertumbuhan tanpa batas, hutan akan terus digunduli dan sungai akan terus sesak. Mengubah wawasan tentang masa depan—dari pertumbuhan ke keberlanjutan, dari ekstraksi ke perawatan—adalah kerja politik dan budaya sekaligus.
Ketika Sumatra Barat kembali diterjang banjir bandang, saya tidak melihat bencana itu sebagai peristiwa alam yang berdiri sendiri. Ia bagian dari kisah panjang relasi kuasa, gosokan kepentingan, dan mimpi-mimpi yang diarahkan oleh negara dan pasar. Tidak ada pahlawan dalam cerita ini, tetapi selalu ada orang-orang yang mencoba bertahan dan mencari jalan lain. Dan mungkin, dari sanalah sebuah perubahan perlahan dimulai—dari mereka yang berani membayangkan masa depan yang tidak mengulang bab lama yang sama.
Terima kasih telah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan sumbangan, iklannya tak menghasilkan, dengan lisensi Creative Commons, Atribution, Non commercial. Kamu boleh pakai konten ini selama memberikan link sumber dan bukan untuk tujuan komersial. Kalau kamu suka dengan yang kamu baca, silahkan traktir saya kopi murah.



