Ethnography, Racauan

Keniscayaan Komunitas | Bagian 2: Anatomi Stagnasi dari Solidaritas ke Ketergantungan

Ringkasan

  • Generasi pertama membangun; generasi kedua sering hanya menikmati. Itu pola antropologis universal, bukan sekadar psikologis.
  • Solidaritas komunitas yang dulu membebaskan berubah menjadi zona nyaman yang menumpulkan etika kerja.
  • Nilai “kita bekerja bersama” merosot menjadi “orang lain akan mengerjakan ini.”
  • Ketergantungan yang dilembutkan oleh bahasa idealisme membuat komunitas tampak hidup, tetapi secara moral mati.
  • Tanda stagnasi paling jelas: kerja menjadi simbolik, bukan kontribusi nyata.

Setiap komunitas lahir dari kebutuhan — dan kebutuhan adalah bentuk paling murni dari kecerdikan manusia.

Ketika sumber daya langka, manusia menemukan cara untuk berbagi. Ia menciptakan sistem barter, ritus gotong-royong, atau lembaga patronase untuk bertahan hidup bersama. Solidaritas adalah inovasi paling awal manusia. Namun sejarah menunjukkan bahwa begitu kebutuhan itu terpenuhi, solidaritas perlahan berubah bentuk. Ia kehilangan daya dorongnya dan menjadi kebiasaan, bahkan candu.

Fenomena ini berulang dalam hampir setiap fase peradaban manusia. Setelah Revolusi Neolitik, manusia tidak lagi bergantung pada perburuan, melainkan pada hasil pertanian yang stabil. Surplus pangan memungkinkan terbentuknya struktur sosial baru — pemimpin, imam, pengrajin, dan birokrat. Tapi seiring meningkatnya keamanan, lahirlah generasi yang tak lagi memahami penderitaan pendahulunya. Mereka lahir dalam kenyamanan yang dibangun oleh orang lain, lalu menganggap sistem itu akan menopang mereka selamanya. Seperti anak bangsawan yang tumbuh di istana, mereka menikmati buah kerja keras masa lalu tanpa merasa perlu menanam lagi.

Dalam bahasa antropologi, kita menyebut ini sebagai kemerosotan fungsional dalam sistem sosial stabil. Jared Diamond menulis dalam Collapse bahwa peradaban yang paling berisiko bukanlah yang miskin sumber daya, tetapi yang sukses — karena kemakmuran menciptakan ilusi keberlanjutan.

Bangsa Maya, misalnya, mengembangkan sistem irigasi dan arsitektur yang luar biasa, tapi gagal menyesuaikan diri dengan perubahan iklim dan tekanan populasi. Mereka menganggap sistem lama yang telah menyelamatkan nenek moyang mereka akan selalu cukup. Dalam setiap lapisan sejarah, pola ini sama: manusia menjadi korban dari stabilitas yang mereka ciptakan sendiri.

Bangsawan Maya: Detail lukisan dinding yang menggambarkan elit Maya dengan pakaian upacara yang rumit, dikelilingi oleh hieroglif.

Kita bisa melihat pola serupa dalam bentuk yang lebih kecil — komunitas modern yang lahir dari idealisme. Banyak organisasi nirlaba, lembaga budaya, atau kolektif seni dimulai dari solidaritas sejati: beberapa orang berkumpul karena frustrasi terhadap sistem industri yang tertutup. Mereka menciptakan ruang alternatif di mana nilai kemanusiaan, kolaborasi, dan pendidikan menjadi inti. Namun setelah beberapa tahun, ketika ruang itu mulai mapan dan fasilitas tersedia, idealisme yang dulu mengikat mulai melemah. Mereka tidak lagi berjuang bersama melawan kelangkaan; mereka mulai bernegosiasi atas kenyamanan.

Solidaritas berubah menjadi ketergantungan moral. Yang dulu disebut gotong-royong kini bergeser menjadi pembenaran untuk tidak bekerja keras:

“Kita semua setara, jadi tak perlu ada hierarki.”

Yang dulu dimaknai sebagai kepercayaan berubah menjadi kelonggaran:

“Kita saling memahami, jadi tak perlu disiplin.”

Dan yang dulu dimulai sebagai gerakan belajar bersama, kini menjadi tempat berlindung bagi mereka yang takut diuji dunia luar.

Pada titik ini, nilai-nilai luhur seperti kolektivitas dan kesederhanaan kehilangan dimensi etisnya. Ia menjadi alat pembenaran stagnasi.

Manusia adalah makhluk adaptif, tetapi juga rasionalisasi terbaik bagi kemalasannya sendiri. Dalam konteks komunitas kreatif, banyak anggota yang meyakini bahwa “tidak mencari uang” adalah bentuk kemurnian moral, padahal di balik itu tersembunyi ketidakmampuan mengelola tanggung jawab. Mereka lupa bahwa etos non-profit bukan berarti bebas dari etika profesional.

Yuval Noah Harari pernah menulis bahwa yang membedakan Homo sapiens dari spesies lain bukan hanya kemampuan berimajinasi, tetapi kemampuan berimajinasi bersama. Kita bisa menciptakan fiksi kolektif seperti “negara”, “agama”, atau “komunitas kreatif” — dan percaya padanya seolah nyata. Namun di saat fiksi itu tidak lagi dihidupi oleh tindakan nyata, ia berubah menjadi ritual kosong. Kita bisa terus berbicara tentang “semangat awal”, “tujuan bersama”, atau “keluarga besar”, padahal di bawah permukaannya hanya tersisa rutinitas tanpa produktivitas.

Inilah tahap kedua dalam rantai kegagalan sosial: ketika nilai-nilai yang dulu menyelamatkan sistem, kini justru menghambatnya berevolusi.

Antropologi mengenal fenomena serupa dalam masyarakat pasca-kolonial. Banyak negara yang merdeka dengan idealisme anti-imperial justru gagal membangun sistem pemerintahan modern karena terlalu lama hidup dalam narasi perjuangan. Para pemimpinnya tetap berbicara tentang “perlawanan” bahkan setelah mereka sendiri menjadi penguasa. Mereka lupa bahwa menjaga kemerdekaan membutuhkan bentuk baru dari perjuangan — bukan lagi melawan penjajah, tetapi melawan kemalasan dan ketidakefisienan internal.

Begitu pula dalam organisasi modern. Ketika komunitas yang dulunya menentang sistem akhirnya menjadi bagian dari sistem, mereka harus berani mengubah bahasa moralnya. Jika tidak, solidaritas berubah menjadi nostalgia; nostalgia menjadi penghalang; dan penghalang menjadi alasan kegagalan.

Kita sering mengira kegagalan terjadi karena kurangnya dana, koneksi, atau bakat. Tapi sebenarnya, sebagian besar kegagalan sosial berasal dari ketidakseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab. Kebebasan tanpa tanggung jawab melahirkan anarki lembut — bentuk di mana semua orang merasa punya suara, tapi tak ada yang mau bekerja. Dan tanggung jawab tanpa kebebasan melahirkan birokrasi — struktur yang rapi tapi mati rasa.

Di antara dua kutub itulah komunitas modern sering terjebak: terlalu bebas untuk disiplin, terlalu takut untuk menjadi profesional.

Jika kita kembali ke kerangka Freakonomics, stagnasi semacam ini adalah rantai kegagalan mikro: satu orang tidak menyelesaikan tugasnya; orang lain tidak menegur karena takut konflik; koordinasi memburuk; kepercayaan berkurang; dan akhirnya sistem berhenti berfungsi. Tak ada ledakan, tak ada bencana besar — hanya erosi perlahan dari kepercayaan dan kompetensi.

Namun tidak semua stagnasi harus berakhir dengan kehancuran. Dalam sejarah, ada fase di mana masyarakat berhasil keluar dari kebuntuan dengan cara mengganti mitosnya. Eropa abad ke-18, misalnya, mengganti mitos teologis dengan mitos rasionalitas. Gerakan koperasi pada abad ke-19 mengganti mitos kapitalisme individual dengan solidaritas produktif. Dan revolusi digital pada abad ke-20 mengganti mitos industri dengan inovasi dan kolaborasi global. Setiap kebangkitan besar dimulai ketika manusia berani mengubah narasi tentang dirinya sendiri.

Artinya, ketika sebuah komunitas modern gagal, bukan karena para anggotanya jahat, malas, atau bodoh — tetapi karena cerita lama yang dulu mempersatukan mereka tidak lagi relevan. Dan di sinilah dilema paling tragis muncul: mereka mencintai cerita itu terlalu dalam untuk melepaskannya. Tapi, seandainya pun sebuah komunitas modern bisa berkembang menjadi korporasi mapan, kegagalannya juga bisa lebih parah.

Bersambung ke bagian III: Rantai Kegagalan: Evolusi Moral yang Mandek. Terbit Senin.


Terima kasih telah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan sumbangan, iklannya tak menghasilkan, dengan lisensi Creative Commons, Atribution, Non commercial. Kamu boleh pakai konten ini selama memberikan link sumber dan bukan untuk tujuan komersial. Kalau kamu suka dengan yang kamu baca, silahkan traktir saya kopi murah.

Berlangganan

Masukan email kamu untuk dapatkan update. Gratis.

Anthropology, Ethnography, Filsafat, Kurasi/Kritik, Memoir, Politik, Racauan

Keniscayaan Komunitas | Bagian 1: Ritual ke Institusi

Ringkasan

  • Setiap institusi besar hari ini berakar dari sesuatu yang jauh lebih sederhana: ritual kecil manusia purba yang mencoba bertahan hidup.
  • Ketika pertanian melahirkan surplus, solidaritas berubah menjadi struktur; kuil menjadi birokrasi pertama umat manusia.
  • Sejarah menunjukkan pola yang sama: iman menjadi administrasi, spontanitas menjadi hierarki, dan makna digantikan oleh efisiensi.
  • Institusi tidak runtuh secara tiba-tiba; mereka membusuk perlahan, dimulai dari saat mereka berhenti berevolusi.

Sejarah manusia adalah sejarah tentang organisasi emosi menjadi sistem.

Dari kelompok pemburu di Afrika Timur hingga korporasi global abad ke-21, manusia bertahan bukan karena kekuatan fisiknya, tetapi karena kemampuannya membangun jaringan kepercayaan di antara orang-orang yang tidak saling mengenal. Setiap komunitas, lembaga, atau perusahaan yang kita kenal hari ini lahir dari upaya yang sama: mengubah rasa kebersamaan menjadi struktur. Namun di balik keberhasilan itu, tersimpan benih dari kegagalannya sendiri — stagnasi.

Kegagalan, sebagaimana disinggung dalam Freakonomics: How to Succeed at Failing, bukanlah satu kejadian tunggal. Ia adalah rantai panjang kesalahan kecil yang dibiarkan, keputusan yang tidak dikaji ulang, dan keyakinan lama yang dipertahankan dalam dunia yang sudah berubah. Dalam konteks evolusi sosial, kegagalan muncul ketika ekosistem nilai berhenti beradaptasi terhadap lingkungan yang ia ciptakan sendiri.

Untuk memahami fenomena ini, kita perlu mundur puluhan ribu tahun, ke masa ketika komunitas manusia belum mengenal konsep “lembaga.” Saat itu, kekuasaan dan moralitas bersumber dari ritual — tindakan kolektif yang mengikat emosi individu menjadi harmoni sosial. Di suku-suku awal Homo sapiens, kepercayaan terhadap roh, alam, dan leluhur menjadi dasar solidaritas. Tak ada gaji, tak ada struktur manajemen; hanya rasa saling bergantung.

Namun seperti dicatat Jared Diamond dalam Guns, Germs, and Steel, kompleksitas sosial tumbuh seiring dengan pertanian dan kepemilikan lahan. Saat manusia berhenti berpindah, mereka harus menciptakan mekanisme baru untuk mengatur produksi, penyimpanan, dan distribusi hasil panen. Dari sinilah muncul bentuk pertama lembaga: kuil, lumbung, dan sistem kasta. Ritual masih ada, tapi kini dijaga oleh kelas administratif — para imam, juru tulis, dan pejabat. Apa yang dulu spontan berubah menjadi institusional.

Transformasi ini membawa kemajuan besar: stabilitas, surplus pangan, kota, dan ilmu pengetahuan. Namun ia juga membawa konsekuensi: kehilangan fleksibilitas.Kehidupan sosial yang dulu cair menjadi hierarkis. Nilai yang dulu diikat oleh rasa tanggung jawab bersama berubah menjadi kontrak sosial yang kaku. Para imam dan pejabat yang awalnya melayani masyarakat kini menjadi penjaga status quo. Ketika ritual berubah menjadi prosedur, makna pun menipis.

Kehidupan sosial yang dulu cair menjadi hierarkis. Nilai yang dulu diikat oleh rasa tanggung jawab bersama berubah menjadi kontrak sosial yang kaku. Para imam dan pejabat yang awalnya melayani masyarakat kini menjadi penjaga status quo. Ketika ritual berubah menjadi prosedur, makna pun menipis.

Biara dan para biarawan memperhatikan dua malaikat yang sedang bekerja.

Fenomena yang sama terjadi di hampir setiap fase sejarah sosial manusia. Gereja Katolik di abad pertengahan dimulai sebagai komunitas spiritual yang hidup dalam kemiskinan dan kesetaraan, tetapi seiring bertumbuhnya kekayaan dan kekuasaan, ia berubah menjadi birokrasi megah yang sering kehilangan hubungan dengan moralitas awalnya. Universitas, yang lahir dari biara, bermula sebagai tempat mencari kebijaksanaan; namun ketika ia menjadi institusi nasional dengan sistem akreditasi, ia mulai lebih sibuk mempertahankan reputasi ketimbang menumbuhkan pengetahuan.

Setiap lembaga besar pernah lahir dari gerakan idealis kecil. Tapi begitu ia menemukan sumber daya — tanah, uang, status — ia menghadapi dilema evolusioner: apakah akan terus beradaptasi, atau mengabadikan bentuk lamanya? Sebagian besar memilih yang kedua, dan di situlah proses entropi sosial dimulai.

Kita bisa melihat pola yang sama di komunitas modern: organisasi nirlaba, gerakan budaya, hingga ekosistem kreatif yang dimulai dari semangat kolektif. Mereka lahir dari kelangkaan dan semangat berbagi — sekelompok orang ingin menciptakan ruang alternatif di luar pasar. Tapi ketika ruang itu berhasil menarik perhatian, mendapatkan sponsor, bahkan membentuk badan usaha, ia mulai memikul beban baru: akuntabilitas, profesionalisme, dan efisiensi. Idealisme bertemu realitas birokrasi. Dan seperti yang sering terjadi dalam sejarah, banyak yang gagal menjembatani keduanya.

Seorang antropolog mungkin menyebut ini sebagai transisi dari moral economy ke market economy. Di dalam moral economy, hubungan antar manusia dijaga oleh rasa malu, rasa syukur, dan reputasi sosial. Di dalam market economy, hubungan itu digantikan oleh kontrak, target, dan gaji. Tidak ada yang lebih baik atau buruk — keduanya adalah sistem adaptif. Tapi ketika sebuah komunitas gagal mengenali momen transisi itu, ia akan terjebak di antara dua dunia: tidak cukup spontan untuk disebut komunitas, tidak cukup efisien untuk disebut perusahaan. Di sanalah kegagalan struktural tumbuh diam-diam.

Sejarah memberi kita banyak contoh. Ketika biara-biara Eropa memasuki masa kemakmuran di abad ke-14, mereka mulai membeli tanah dan mempekerjakan petani. Namun karena tetap menganggap diri mereka “pelayan spiritual,” mereka tidak menyesuaikan sistem pengelolaan ekonominya. Korupsi dan penurunan moral merajalela, memicu gelombang reformasi Protestan yang menghancurkan struktur lama. Begitu pula pada awal abad ke-20, banyak koperasi buruh di Eropa yang gagal bertahan setelah memperoleh modal besar, karena para anggotanya masih berpikir dengan mentalitas komunitas — bukan lembaga bisnis.

Semua pola ini menunjukkan hal yang sama: evolusi sosial tidak hanya membutuhkan visi, tetapi juga kemampuan untuk melepaskan bentuk lama ketika ia tak lagi fungsional.
Kegagalan bukan akibat niat buruk, tapi hasil dari kesetiaan berlebihan terhadap masa lalu.

Manusia, seperti yang dikatakan Harari, adalah spesies yang hidup dari fiksi-fiksi bersama. Kita membangun perusahaan, yayasan, dan negara di atas cerita: “kita bekerja untuk kebaikan bersama,” “kita menciptakan ruang bagi generasi muda,” atau “kita berbeda dari sistem korporasi.” Namun begitu fiksi itu tak lagi didukung oleh perilaku konkret — oleh kerja nyata, etos, dan kompetensi — ia menjadi sekadar mitos nostalgia. Seperti agama yang kehilangan mukjizatnya, organisasi pun kehilangan daya cipta spiritualnya.

Dan mungkin di sinilah kita harus mengakui sesuatu yang menyakitkan:
tidak semua komunitas layak tumbuh.
Beberapa hanya lahir untuk membuktikan kemungkinan, bukan untuk menjadi institusi.
Yang lain bisa bertahan, tapi hanya jika mereka berani berevolusi secara moral — mengganti solidaritas pasif dengan tanggung jawab aktif.Tapi apakah bisa menjaga kemanusiaan dalam sebuah lembaga yang saling kelindan antara orientasi kapitalisme dan sosialisme?

Tapi apakah bisa menjaga kemanusiaan dalam sebuah lembaga yang saling kelindan antara orientasi kapitalisme dan sosialisme?

Bersambung ke bagian 2: Anatomi Stagnasi: Dari Solidaritas ke Ketergantungan


Terima kasih telah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan sumbangan, iklannya tak menghasilkan, dengan lisensi Creative Commons, Atribution, Non commercial. Kamu boleh pakai konten ini selama memberikan link sumber dan bukan untuk tujuan komersial. Kalau kamu suka dengan yang kamu baca, silahkan traktir saya kopi murah.

Berlangganan

Masukan email kamu untuk dapatkan update. Gratis.