Ethnography, Filsafat, Memoir, Politik, Racauan

Keniscayaan Komunitas | Bagian 6:  Mengembangkan Imajinasi Bersama

Ringkasan

  • Mengikuti Benedict Anderson, komunitas hanya hidup sejauh kita mampu membayangkannya bersama—bukan sebagai struktur, tetapi sebagai hubungan yang terus diperbarui.
  • Tanpa iman, lembaga mengecil menjadi mesin administrasi; dengan iman, ia menjadi ruang imajinasi masa depan.
  • Komunitas berkelanjutan memandang dirinya sebagai cerita tanpa akhir; tidak ada puncak, nabi terakhir, atau generasi pamungkas—hanya rantai kontinuitas.
  • Etos kerja hidup dari kesadaran naratif: setiap tindakan kecil adalah kalimat dalam cerita panjang yang kita tulis bersama.
  • Komunikasi adalah syarat regenerasi; tak ada pembaruan jika imajinasi tidak dibagikan dan visi tidak disuarakan.
  • Tantangan terbesar bukan menjaga masa lalu, tetapi membuat diri kita layak dibayangkan oleh mereka yang akan datang.
  • Komunitas bertahan bukan karena besar atau mapan, tetapi karena mencintai cara mereka bekerja—dan membuka ruang bagi sesuatu yang belum pernah dibayangkan.

Baca dari Bagian 1: Ritual ke Institusi


Benedict Anderson menulis bahwa bangsa—sebuah entitas sebesar itu—hanya bisa berdiri karena ia diimajinasikan bersama. Keberadaannya ditopang oleh kesadaran kolektif yang tidak pernah sepenuhnya kasat mata: kesediaan saling percaya pada orang yang tidak pernah kita temui, kesediaan merasa terhubung dengan masa depan yang belum kita lihat.

Gagasan itu relevan bukan hanya untuk negara, tetapi untuk setiap komunitas, lembaga, atau ekosistem sosial yang ingin bertahan lebih dari satu generasi. Pada akhirnya, komunitas hidup bukan karena struktur, tetapi karena cara orang-orang di dalamnya membayangkan diri mereka dalam hubungan dengan orang lain, dengan masa lalu, dan dengan masa depan. Dan di sinilah krisis banyak komunitas modern bermula: mereka berhenti membayangkan diri mereka bersama.

AT-AT Melawan Manusia Purba, dengan gaya Rembrant. Komunitas masa lalu melawan masa depan yang fiktif.

Dalam dunia yang bergerak cepat, identitas pekerjaan makin rapuh. Namun cara bekerja—etika, imajinasi, disiplin moral—justru semakin penting. Sebab yang memberi keberlanjutan bukanlah daftar tugas, tetapi cara tugas itu dilaksanakan. Menjadi kompeten dan profesional adalah fondasi sebuah institusi yang sehat; untuk itu perlu ada batasan yang jelas tentang cara belajar dan cara bekerja, dan bagaimana cara berdiskusi ketika sebuah kebijakan diambil. 

Imajinasi kolektif masa depan tidak membutuhkan pahlawan tunggal, tetapi kebiasaan orang biasa yang bekerja dengan cara yang benar. Itulah iman baru: bukan percaya pada jabatan atau gelar, tetapi percaya bahwa tindakan yang dikerjakan dengan integritas selalu membuahkan masa depan yang layak dihuni. Anderson mengingatkan: komunitas bertahan karena ia bersedia menjadikan dirinya ruang bagi generasi yang belum lahir. Ini bukan sekadar regenerasi. Ini adalah kesediaan untuk diubah.

Peradaban, kata Harari, selalu bertahan karena fiksi kolektif. Tetapi yang menentukan masa depan bukan fiksi itu sendiri—melainkan keyakinan pada fiksi itu. Iman, dalam pengertian ini, bukan religius semata: ia adalah keberanian mempercayai sesuatu yang belum terbukti, dan bekerja demi mewujudkan ide itu.

Tanpa iman, lembaga mengecil menjadi ruang administratif. Dengan iman, ia menjadi ruang imajinasi masa depan.

Komunitas yang berkelanjutan memahami dirinya sebagai cerita yang tidak selesai. Tidak ada generasi yang menjadi “puncak” atau “penutup”; semuanya menjadi penghubung. Tidak ada “Nabi terakhir,” atau “Pemimpin penutup zaman.” Yang ada adalah kemungkinan-kemungkinan untuk menjadi relevan bersama lewat struktur yang memastikan bahwa pemegang kebijakan adalah orang-orang kompeten. Yang ada adalah reinkarnasi dalam Samsara. Imajinasi kolektif inilah yang menjaga etos kerja tetap hidup: ketika seseorang membersihkan ruang, menutup pintu, mengajar satu murid, atau memperbaiki sistem, ia sadar bahwa tindakannya akan menjadi bagian dari cerita yang lebih panjang. Tapi untuk itu pula, ia harus belajar untuk bicara dan mengkomunikasikan cerita yang ia bayangkan atas kerja yang ia lakukan. Sehingga tidak ada yang tertinggal dan terasing dalam narasi kebungkaman dan keenganan. 

Tantangan terbesar bukan mempertahankan masa lalu, tetapi membuat diri kita layak dibayangkan oleh mereka yang datang kemudian. Pertanyaannya adalah: bagaimana kita bekerja hari ini agar mereka ingin melanjutkannya besok?

Masa depan diimajinasikan bersama. Komunitas yang bertahan bukanlah mereka yang paling besar, paling kaya, atau paling tua, tetapi yang paling mampu mencintai cara mereka bekerja—dan dengan itu, terus membuka ruang bagi orang lain untuk menambahkan sesuatu yang belum pernah dibayangkan.

Dan dengan itu, segala perubahan dan rintangan bisa dihadapi bersama. Karena kita ingin bersama, kita cinta untuk bersama, dan kita tidak bisa membangun peradaban yang kita bayangkan, tanpai kolaborasi di imajinasi kita.


Terima kasih telah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan sumbangan, iklannya tak menghasilkan, dengan lisensi Creative Commons, Atribution, Non commercial. Kamu boleh pakai konten ini selama memberikan link sumber dan bukan untuk tujuan komersial. Kalau kamu suka dengan yang kamu baca, silahkan traktir saya kopi murah.

Berlangganan

Masukan email kamu untuk dapatkan update. Gratis.