Ethnography, Filsafat, Memoir, Politik, Racauan

Kekhawatiran Massal atau mengapa gelar, privilege, dan ilmu tinggi tidak cukup menyelamatkanmu dari kemiskinan dan kecemasan kolektif

Kita hidup dalam era penuh kekhawatiran. Orang menyebutnya psikotik massal, krisis kolektif, atau epidemi mental. Tapi istilah-istilah itu sering menutupi sesuatu yang lebih struktural. Dunia memang tidak pernah benar-benar baik-baik saja, tapi sekarang, bahkan mereka yang punya privilege pun ikut gelisah. Mereka yang katanya “berhasil”—lulusan universitas unggulan, bekerja di sektor formal, tinggal di kota besar—mulai merasakan absurditas yang sebelumnya hanya dialami oleh mereka yang termarjinalkan: rasa tak cukup, takut miskin, takut gagal, takut tak relevan. Bahkan takut “sekadar ada.”

Tapi dari mana asal rasa takut ini? Jawaban kasarnya: dari kebohongan sistemik yang kita telan sejak kecil—bahwa ilmu tinggi pasti menyelamatkan, bahwa kepintaran adalah jaminan hidup layak.

Kegagalan Pendidikan Tinggi dan Elitisme yang Tak Mendidik

Saya dulu percaya pada meritokrasi. Saya kira jadi pintar, jadi alumni UI, dan jadi orang “berpengetahuan” adalah jalan keluar dari kemiskinan. Tapi saat saya jatuh ke titik paling rendah di umur 25-an dulu—tidak bisa makan, tidak bisa bayar sewa, tidak punya pemasukan—saya mulai menyadari bahwa struktur sosial tidak pernah bekerja sesederhana itu.

Pierre Bourdieu menyebut ini sebagai ketimpangan dalam kapital—bukan hanya modal ekonomi, tapi juga modal budaya dan sosial. Kita, para lulusan universitas, sering memiliki kapital budaya: tahu teori, bisa debat, paham wacana. Tapi ketika modal itu tidak terkoneksi dengan medan (arena sosial) yang memberi nilai tukar konkret, kita jadi seperti orang asing dalam struktur ekonomi. Pintar, tapi tidak berguna. Terdidik, tapi miskin. Dan karena kita tidak pernah diajarkan bagaimana mengubah kapital budaya menjadi kapital ekonomi secara strategis, kita terjebak dalam ilusi simbolik: bahwa pengetahuan itu cukup.

Dan di saat yang sama, kita nyinyir terhadap mereka yang tidak punya kapital budaya seperti kita. Nyinyir pada pendukung Trump, Prabowo, atau siapa pun yang kita anggap “tidak kritis.” Padahal yang gagal bukan mereka. Yang gagal adalah kita: kaum elit yang tidak pernah benar-benar menjembatani ilmu dengan kehidupan sehari-hari.

Slavoj Žižek dan Kekosongan Simbolik Kelas Menengah

Slavoj Žižek pernah menyebut bahwa salah satu sumber kecemasan paling dalam dalam masyarakat modern bukanlah ketertindasan langsung, tapi kegagalan simbolik. Kita dibesarkan dengan simbol-simbol kesuksesan: gelar, bahasa Inggris, seminar internasional, LinkedIn, karya tulis ilmiah. Tapi simbol-simbol itu akhirnya runtuh ketika kenyataan material menampar: kita tetap miskin. Kita tetap gagal bayar. Kita tetap gelisah.

Dan karena sistem terus-menerus memproduksi ilusi bahwa kegagalan adalah kesalahan individu, bukan struktural, kita merasa bersalah karena lapar. Kita malu karena tidak mampu. Padahal, seperti kata Žižek, ideologi paling berbahaya bukan yang datang dari luar, tapi yang kita internalisasi sebagai kebenaran. Dalam hal ini: meritokrasi sebagai agama baru.

Sahlins dan Praksis: Belajar dari Ekonomi Moral

Marshall Sahlins, lewat studi antropologisnya, pernah menunjukkan bagaimana masyarakat tradisional sering kali lebih stabil secara ekonomi bukan karena mereka lebih kaya, tapi karena mereka tidak terobsesi dengan akumulasi. Mereka bekerja secukupnya, berbagi seperlunya, dan menilai keberhasilan bukan dari konsumsi, tapi dari keberlanjutan hidup bersama.

Praksis ini, jika ditarik ke kehidupan kita hari ini, menawarkan alternatif: bahwa ilmu dan pendidikan harus kembali pada fungsi dasarnya—bukan untuk akumulasi simbol, tapi untuk menjawab kebutuhan dasar: makan, tinggal, merawat, terhubung. Jika ilmu tidak bisa menjawab itu, maka ilmu itu gagal sebagai praksis.

Penutup: Dari Kekhawatiran ke Kesadaran

Saya menulis ini bukan untuk menyalahkan siapa-siapa, tapi untuk mencatat sesuatu yang penting: bahwa mungkin kita harus berhenti mengejar validasi simbolik dan mulai belajar ulang dari hal-hal yang praktis. Bahwa kita perlu menyusun ulang relasi kita dengan pengetahuan, dengan kerja, dengan masyarakat.

Kekhawatiran massal yang kita alami hari ini bukan soal mental saja. Ia adalah gejala dari kegagalan sistemik dalam menyambungkan ilmu, kerja, dan hidup. Dan barangkali, satu-satunya jalan keluar bukanlah naik kelas, tapi keluar dari kelas sosial yang penuh kepalsuan ini—dengan cara membangun praksis hidup baru, yang lebih rendah hati, lebih kolektif, dan lebih berguna.