Tidak semua orang yang pergi jauh akan kembali dengan cerita yang menggembirakan. Sebagian tidak pernah kembali. Sebagian pulang namun justru kecewa pada tempat asalnya, karena kampung halaman telah berubah atau justru karena dirinya sendiri telah berubah. Sebagian lagi pulang dengan rasa trauma akan dunia luar, dan berusaha hidup nyaman di dalam batas rumah sendiri.
Namun dari sekian banyak jenis pengelana, ada satu kelompok yang mengagumkan: mereka yang pergi jauh, belajar banyak, membangun jejaring lintas batas, lalu kembali ke komunitas asalnya bukan untuk meninggalkannya, melainkan untuk membangunnya. Mereka yang tidak sekadar membawa oleh-oleh atau gelar, tetapi membawa cara pandang baru, struktur sosial baru, dan alat untuk menafsirkan ulang realitas lokal. Tidakkah ini yang kita impikan saat pergi ke luar negeri? Bahwa pengalaman itu tidak hanya untuk status, tapi untuk perubahan?
Perjalanan Sebagai Gerbang Mobilitas Kelas
Kemampuan untuk melakukan perjalanan bukan hanya tentang jarak tempuh fisik, tetapi juga tentang mobilitas sosial. Orang yang mampu menjelajah dunia, kerap punya akses lebih luas terhadap modal sosial, pengetahuan, dan jejaring. Mereka memasuki ekosistem baru, belajar dari sistem yang berbeda, lalu—jika cukup reflektif—dapat memetakannya untuk konteks lokalnya sendiri.
Namun, akses terhadap perjalanan itu tidak merata. Masih banyak yang terhalang oleh faktor ekonomi, birokrasi, dan stigma sosial. Dalam dunia yang katanya semakin terhubung ini, justru banyak yang tersisih dari peluang karena tidak memiliki paspor, tidak tahu cara mengakses beasiswa, atau takut menginjak tanah asing karena rasa minder yang ditanamkan sejak kecil.
Romo Yoso dan Visi yang Dibawa Pulang
Dalam penelitian saya bertajuk Dolanan Globalisasi, saya menelusuri jejak seorang tokoh yang berhasil menjadikan perjalanan sebagai lompatan budaya dan sosial bagi komunitasnya. Namanya Romo Yoso Soedarmo, seorang patron keluarga tani dari Jawa Tengah yang melakukan perjalanan ke luar Jawa di era 1920–1930. Di tengah pergolakan kolonial dan dinamika agraria pemerintah Belanda, ia bekerja sebagai agen tenaga kerja, belajar tari, silat, membaca, dan membangun jaringan sosial.
Yang luar biasa, Romo Yoso tidak hanya menjadikan perjalanan itu sebagai pengalaman pribadi. Ia pulang, lalu membentuk Padepokan Seni Tjipta Budaya—sebuah institusi kebudayaan yang kini menjadi salah satu pusat kesenian paling berpengaruh di Jawa Tengah. Lewat wayang orang, ia tidak sekadar membawa pertunjukan, tapi juga sistem nilai dan struktur komunitas yang inklusif, berakar, dan berkembang.
Tidak Semua Orang Pulang dengan Uang, Tapi Bisa Pulang dengan Misi
Mereka yang sukses merantau kerap dipuji karena berhasil “mengangkat derajat keluarga”. Tapi sesungguhnya, yang lebih layak dirayakan adalah mereka yang membawa pulang visi. Mereka yang tak hanya berpikir soal keuntungan personal, tapi juga soal kemajuan kolektif.
Tentu, tidak semua orang bisa seperti Romo Yoso. Diperlukan kepekaan sosial, kecerdasan politik, kerendahan hati untuk belajar, dan ya—sejumlah keberuntungan. Tapi jalan ini nyata. Dalam sejarah, kita mengenal tokoh seperti Hannibal, yang setelah belajar dari Roma, kembali ke Kartago dan menjadikannya satu-satunya bangsa yang pernah mengancam eksistensi Kekaisaran Romawi. Pulang dari belajar, bukan untuk jadi seperti yang dijajah, tapi untuk menciptakan alternatif yang setara.
Ketika Jalan ke Luar Negeri Terbuka Lebar…
Hari ini, akses untuk keluar negeri terbuka lebih lebar dari sebelumnya. Ada beasiswa, program magang, konferensi internasional, bahkan remote work yang membuat batas negara jadi kabur. Tapi pertanyaannya: untuk apa kita pergi?
Apakah hanya untuk menambah nama universitas di bio media sosial? Atau untuk membawa pulang cara pandang baru, jejaring kerja lintas batas, dan strategi membangun komunitas sendiri?
Kita perlu mengingat bahwa kemampuan Ketika Jalan ke Luar Negeri Terbuka Lebar… hanya pada seberapa jauh kita melangkah, tapi seberapa banyak yang bisa kita bawa maju bersama kita.
Penutup: MondiBlanc dan New York
Saya akan menutup tulisan ini dengan sebuah disclaimer bahwa ini bukan tulisan himbauan untuk yang pergi agar kembali ke Indonesia. Saya pribadi hampir jadi residen di Amerika, karena memang jika kita punya skill yang mumpuni, luar negeri bisa lebih menghargai kita. Saya harus mengakui bahwa saya terpaksa pulang karena Trump menang periode 1, dan April lalu, saya kehilangan pekerjaan, dilanggar kontrak kerjanya, dan tak bisa menuntut apa-apa karena Trump menang periode 2. Saya pun khawatir pada sahabat-sahabat diaspora saya di Amerika hari ini. Walau Indonesia susah, tapi Amerika jauh lebih susah, sebuah negara maju yang terbelakang.
Kita mencari tempat terbaik untuk diri kita, dan ketika kita tidak mendapatkan tempat itu, tidak ada pilihan lain, kita bangun sendiri tempat yang bisa menghargai dan menerima kita. Saya membangun ekosistem MondiBlanc untuk orang-orang seperti saya; saya merasa banyak referensi, terbuang, dan ingin membuat cerita dan terus belajar.
Jadi, saya kembali ke sini dan bersyukur bahwa saya tidak tinggal di luar negeri. Karena di sini masih banyak yang bisa diberi, dibangun, dan diperbaiki.
Terima kasih telah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan sumbangan, iklannya tak menghasilkan, dengan lisensi Creative Commons, Atribution, Non commercial. Kamu boleh pakai konten ini selama memberikan link sumber dan bukan untuk tujuan komersial. Kalau kamu suka dengan yang kamu baca, silahkan traktir saya kopi murah.
Film porno yang halal adalah film porno makan, dan dua film ini adalah film porno makanan hardcore, BDSM, dengan darah dimana-mana: The Menu dan Hunger. Di The Menu, seorang chef menciptakan hidangan yang aneh dan membunuh pelanggannya satu per satu. Sementara di Hunger, seorang koki jalanan bergabung dengan tim Chef Paul, pemilik catering mewah Hunger, tetapi merasa tidak puas dengan pelanggaran etis yang dilakukan Chef Paul. Dalam esai ini, akan digunakan kerangka teoritis dari Marx, Foucault, Adorno, dan Sahlins, para filsuf yang kepalanya terlalu sering menghadap serong ke kiri, untuk membahas masalah kelas sosial, budaya konsumerisme, dan makanan. Yang dibahas: cerita dan plot filmnya karena saya malas bahas treatment dan visual di luar workshop MondiBlanc. Semoga essay ini bisa membuka diskusi lebih luas, khususnya soal gaya dua film tersebut yang keduanya memiliki keindahan visual dan simbolik yang sangat kaya.
Dalam The Menu, chef dan timnya merencanakan balas dendam dengan menciptakan menu aneh dan membunuh klien super kaya mereka satu per satu. Protagonis dari film ini, Margot yang diperankan oleh Anya Taylor-Joy, adalah orang kelas menengah bawah yang merasa asing dalam acara kuliner sadis yang dipimpin oleh Chef Slowik yang diperankan oleh Ralph Fiennes. Di akhir film, Margot bertahan dan berhasil lolos dari acara itu sambil makan burger, menu terakhir yang dibuat sang Chef, yang merupakan makanan untuk kelas bawah. Para karakter kapitalis dibunuh, kelas bawah tetap jadi kelas bawah.
Di sisi lain, dalam Hunger, Aoy yang diperankan oleh Chutimon Chuengcharoensukying adalah seorang koki berbakat dari restoran jalanan yang bergabung dengan tim Chef Paul yang diperankan oleh Nopachai Jayanama. Setelah belajar selama beberapa waktu, Aoy tidak bisa terima pelanggaran etis Chef Paul, khususnya soal memasak hewan eksotis. Di berhenti kerja dan dengan bantuan investor, dia membuka restoran sendiri, hanya untuk merasa kecewa dan kembali menjadi koki di restoran jalanan keluarganya. Kelas bawah lagi-lagi kembali ke kelas bawah.
Terdapat perbedaan signifikan dalam cara dua film ini menggambarkan gambaran kesenjangan sosial dan budaya.
Pertama: Barat melihat kesenjangan kelas dengan perlawanan fisik dan balas dendam, sementara Asia (baca: timur) melihat masalah sistemik yang diperjuangkan dengan menjadi diri sendiri dan bangga dengan budaya dan tradisi kelas menengah bawah yang kekeluargaan.
Kedua: The Menu, yang mengambil tempat di sebuah pulau pribadi dengan sumber makanan sendiri, tidak mencoba menjelaskan kelas sosial yang direpresentasikan melalui visual di dapur dan restoran, sementara Hunger menunjukkan kesenjangan sosial yang dalam di Thailand, yang mewakili Asia Tenggara. Bahan makanan diambil dari kelas menengah bawah, dirangkai dan dipresentasikan sebagai kemewahan denhan nilai tambahan ratusan kali lipat untuk kelas atas. Nilai tambahan tersebut adalah modal simbolik yang kita sebut prestige.
Ketiga: The Menu menyederhanakan masalah dengan representasi karikatur dan gambar sadis untuk melambangkan konflik kelas, sedangkan Hunger memiliki representasi kesenjangan sosial yang lebih realistis. The Menu terjadi dalam kerangka sempit, sementara kerangka luas muncul dalam simbol-simbol foto lama dan cerita latar. Sementara Hunger secara frontal memaparkan kesenjangan sosial di Thailand, yang mewakili Asia Tenggara, dengan UMKM-UMKM jalanan yang tak bayar pajak dan tanpa aturan sanitasi dan memberi akses makanan kepada orang-orang miskin.
Dari kedua film ini, kita dapat melihat bagaimana kultur barat dan timur memandang masalah kelas dan kesenjangan sosial. Representasi kesenjangan sosial dalam industri kuliner juga menjadi cerminan dari representasi kesenjangan sosial di masyarakat secara keseluruhan.
Sekarang mari kita coba otak atik film The Menu dan Hunger dengan perspektif teori kritis klasik yang diusung oleh Karl Marx, Michel Foucault, Theodore Adorno dan Marshall Sahlins. Keempat pemikir ini bicara panjang lebar soal politik, kekuasaan, dan media; pemikiran mereka masih sangat relevan, bahkan beberapa baru relevan, ketika kita mengalami masa dimana kesenjangan kelas bukannya menghilang malah semakin terasa hari ke hari, terlepas dari naiknya PDB sebuah negara, atau semakin modernnya teknologi. Mereka adalah para pemikir besar yang membuat fondasi dari seluruh kritik dunia modern dan kapitalisme kita.
Karl Marx dalam bukunya Das Kapital menekankan tentang kelas dan konflik kelas, dimana buruh sebagai kelas proletariat selalu dieksploitasi oleh pemilik modal sebagai kelas bourgeoisie. Dalam The Menu, karyawan restoran yang mayoritas berasal dari kelas pekerja berkonflik dengan chef yang mewakili kuasa kelas atas. Dan chef yang kelas atas, stres dengan kelas atas lain yang harus ia layani–chef Slowik, berasal dari kelas menengah bawah dan memulai karirnya dengan membuat burger, merasa sentimen dan tidak aman karena posisinya, meskipun ada di atas angin, tetap rentan oleh kritikus masakan dan kelaparan tak terbatas kaum 1% itu. Sementara dalam Hunger, konflik terjadi antara koki jalanan yang mewakili kelas pekerja dengan chef yang juga berada di atas. Sentimen dan pengkhianatan terjadi di struktur kuasa dua film–dari para juru masak kepada koki, hingga koki kepada customernya. Ada hierarki dan moda produksi yang bisa jadi skripsi Marxist di dua film tersebut.
Michel Foucault dalam bukunya Power/Knowledge menekankan pada kekuasaan sebagai suatu hal yang terdapat pada segala aspek kehidupan manusia, termasuk dalam dunia kuliner, dan didasarkan pada pengetahuan dan produksi pengetahuan. Dalam The Menu, chef memegang kendali penuh atas hidangan yang disajikan dan memiliki kekuasaan yang sangat besar atas karyawan yang bekerja di bawahnya. Sedangkan dalam Hunger, chef juga memiliki kekuasaan dalam menentukan hidangan dan memperlihatkan perilaku otoriter dalam memimpin timnya. Kedua film mengangkat betapa naif, jahat dan borosnya nya orang-orang kaya yang membeli prestise. Mengutip Chef Paul yang menjadi koki karena miskin dan ingin mencoba caviar, serta menemukan bahwa caviar serasa “seperti tahik.”
Teori lain dari Foucault yang bisa dipakai untuk melihat dua film ini adalah teori Panopticon. Dalam konteks dapur industri kuliner dalam The Menu dan Hunger, teori panopticon Foucault dapat diterapkan sebagai bentuk pengawasan yang terus-menerus dan tak terlihat pada karyawan dapur. Dalam teori panopticon, kekuasaan bukan hanya terbatas pada orang yang memiliki kekuasaan langsung, tetapi juga terkait dengan kontrol dan pengawasan yang berkelanjutan. Dalam kedua film, kontrol didapat dengan penempatan setiap karakter dalam sebuah ruang dimana semua orang dapat melihat semua orang. Di situ kebudayaan dan kekuasaan dibentuk, melalui interaksi saling memandang satu sama lain.
Dalam kedua film, chef dapat melihat dan mengawasi semua aktivitas di dapur, sementara karyawan tidak dapat melihat chef karena sibuk dengan tugasnya. Sehingga karyawan merasa selalu dalam pengawasan dan terus-menerus menyesuaikan perilaku mereka dengan harapan untuk memenuhi standar yang telah ditetapkan. Hal ini dapat dilihat dalam adegan-adegan di mana karyawan dapur bekerja dengan cepat dan sangat disiplin, seolah-olah mereka selalu dalam pengawasan yang ketat.
Namun, di sisi lain, teori panopticon juga dapat diterapkan pada bagaimana chef dan hidangan mereka dipertontonkan kepada penonton sebagai bagian dari sebuah pertunjukan. Dalam kedua film, dapur adalah pusat dari pengalaman kuliner, di mana penonton bisa melihat langsung kegiatan di dapur. Chef dan hidangan mereka dipertontonkan sebagai bintang utama dalam sebuah pertunjukan, di mana penonton menikmati makanan sebagai hasil akhir dari sebuah proses yang rumit dan menarik.
Dalam hal ini, teori panopticon dapat dilihat sebagai bentuk kontrol sosial di mana penonton secara tidak sadar merasa terlibat dalam pengawasan dan pemantauan terhadap kegiatan dapur dan chef, yang pada gilirannya mempengaruhi persepsi mereka terhadap hidangan yang disajikan. Dengan memanfaatkan kekuatan pertunjukan dan pengawasan, dapur industri kuliner dalam The Menu dan Hunger menciptakan pengalaman kuliner yang sangat terkontrol dan terstruktur.
Jika kita melihat lebih jauh lagi dengan mata elang, kita akan menemukan bagaimana teori Adorno bisa dipakai dalam membongkar struktur hierarki semacam ini. Theodore Adorno dalam bukunya The Culture Industry: Enlightenment as Mass Deception menyoroti tentang industrialisasi budaya sebagai suatu bentuk kontrol sosial atas masyarakat. Dalam konteks film The Menu, industri kuliner dianggap sebagai industri budaya yang menghasilkan produk yang dikonsumsi oleh masyarakat kelas atas. Hal ini tercermin pada kisah di dalam film dimana para elit bergantung pada pengalaman gastronomi yang disajikan oleh restoran. Sedangkan dalam Hunger, industri kuliner dianggap sebagai suatu bentuk penghasilan yang berasal dari tradisi masyarakat kelas bawah. Namun, film ini juga menunjukkan bagaimana investor dapat mengambil keuntungan dari industri kuliner dan mengubah pandangan asli terhadap hidangan menjadi suatu komoditas yang dijual ke masyarakat kelas atas.
Pemikiran Marshall Sahlins, profesor sosiologi dan antropologi dari Universitas Chicago dapat digunakan untuk menganalisis tema kuliner di film The Menu dan Hunger. Dalam kedua film tersebut, terlihat jelas bahwa jenis makanan yang disajikan dapat memperlihatkan moda produksi kelas sosial yang ada. Kedua chef dan kelompoknya memasak untuk kaum yang makannya sedikit tapi serakahnya tak ada ujung. Dalam hunger, kaum 1% ini mengeksploitasi habis-habisan orang lain hanya untuk bisa makan dengan prestise tadi, yang semuanya tak lebih dari tampilan dan gaya. Sementara di Hunger, Aoy berusaha memperkenalkan masakan keluarganya dan narasi cinta kasih dalam masakahn sederhana kelas bawah di hadapan orang-orang kaya. Ini berhasil untuk sementara, tapi kalah dengan narasi sup Chef Paul yang menyindir, “hilangkan minyak yang terlalu banyak dari masakan sebelumnya.” Di adegan awal, ketika pertama kali Chef Paul bertemu dengan Aoy, ia juga menyinggung bau badan Aoy yang disebabkan oleh makanan dan tempat kerjanya—sesuatu yang kita temukan dalam film tentang kelas pemenang Oscar yang lain, Parasite karya Boon Joong-Ho.
Dalam kedua film tersebut, makanan jelas dipandang sebagai suatu tanda atau simbol yang merepresentasikan status sosial seseorang atau kelompok tertentu. Dalam The Menu, konsumsi makanan menjadi suatu bentuk konsumsi budaya, dimana makanan menjadi alat untuk menunjukkan kekayaan dan status sosial. Sedangkan dalam Hunger, makanan menjadi suatu bentuk identitas budaya, dimana makanan menjadi alat untuk memperlihatkan jati diri daerah tertentu–khususnya Thailand. Kedua film punya makanan kelas miskin: The Menu dengan Cheese burger, dan Hunger dengan Pad-thai. Tapi Padthai bukan hanya bicara kemiskinan, ia adalah makanan khas Thailand. Sementara cheseburger adalah makanan franchise kapitalis barat untuk orang kelas menenga bawah di barat. Di Barat Padthai makanan eksotik orang menengah atas, di Asia tenggara, Cheese burger makanan kelas menengah atas (walau kini sudah banyak yang murahan). Ini masalah lain yang bisa kita kaji sendiri, soal konteks makanan, kelas dan kebudayaan. Dari sini kita bisa melihat bahwa yang dijual oleh kedua chef bukan makanan, tapi identitas. Yang nikmat bukan rasa, tapi identifikasi bahwa diri sang konsumen punya daya dan kuasa untuk menjadi serakah dan lapar tanpa ujung.
Sebagai kesimpulan, kedua film The Menu dan Hunger dapat dianalisis dari perspektif teori kritis yang menyoroti tentang kelas, kekuasaan, dan industri budaya. Konflik antara kelas dan kekuasaan dalam kedua film tersebut dapat dipahami sebagai refleksi dari realitas sosial di dunia kuliner yang sebenarnya, di mana kekuatan ekonomi, politik, dan budaya berperan dalam menentukan siapa yang memiliki kekuasaan dan kontrol atas industri makanan dan minuman.
***
Terima kasih sudah membaca sampai habis. Jika kamu suka tulisan ini, jangan lupa traktir yang nulis kopi murahan biar dia semangat. Klik tombol di bawah ini untuk menuju ke laman trakteer-nya.