Dulu saya memilih Jokowi di periode pertamanya, karena ia adalah the lesser of two evils. Sebagai mantan mahasiswa, saya tidak tertarik untuk milih Prabowo sama sekali, simply karena dia muka lama dan dia anak orang kaya. Sementara Jokowi dengan citra blusukan yang ia bangun, dan kebanggaan pada wajah ndesonya, saya lihat lebih dekat dengan saya (dan saya rasa kebanyakan orang Indonesia proletar yang saya kenal.) Tapi kini dengan kasus MKMK dan semua jegal-jegalan dan penggunaan nepotisme, orang dalam, dan lain-lain, Jokowi menunjukan muka aslinya sebagai borjuis baru di antara borjuis lama. Borjuis baru, seperti OKB-OKB lainnya, tidak tahu malu dan asal seruduk saja.
Pilpres kedua Jokowi di 2019, saya golput, karena negara ini begitu terbelahnya. Islam yang minoritas yang membentuk paramiliter akhirnya dimakan sama yang mayoritas, ketika wakil presidennya dari golongan agama. Saya sudah punya perasaan buruk, jika Jokowi terpilih untuk periode 2, maka ini semua akan terjadi. Ini semua adalah singularitas parlemen, ini semua adalah pelemahan KPK agar proyek bisa jalan, ini semua adalah pengusiran NGO dari hutan lindung, ini semua adalah orang lama orba di pemerintahan baru. Ini semua adalah mahkamah keluarga, dan melipir ke Prabowo.
Mungkin maksudnya Jokowi ingin menyatukan Indonesia setelah Pilpres yang penuh pecah belah. Saya rasa siapapun yang memimpin negeri ini adalah orang yang punya rasa cinta besar pada Indonesia, terlepas dari cara mencintainya. Saya rasa Gibran pun jadi cawapres karena Ganjar tak mau (atau tidak boleh oleh partai) untuk jadi cawapres Prabowo, dan memilih untuk setia pada partainya, institusinya. Dan Jokowi mungkin sudah trauma ada di bawah bayang-bayang Mama Soekarnoputri, karena Kratingdaeng kebanyakan energi dan bikin sport jantung.
Toh, jika proyek- proyek developmentalisme Jokowi ini mau tetap jalan di bawah kontrolnya, siapa lagi selain Gibran yang bisa jadi jaminan? Maka pemenangannya harus diikhtiarkan sedemikan rupa dalam cara-cara munafik: khianati partai, dustai konstituen, ingkari konstitusi. Dan kemunafikan ini diturunkan ke anak-anak muda, macam PSI, yang harus jilat ludah sendiri dan mengakui ketika mereka kasih piagam tukang bohong ke Prabowo, mereka masih muda dan bodoh. Sekarang, melihat Grace Natalie membela Prabowo gila-gilaan pasca debat capres, PSI jadi nampak tua dan bodoh. Sukses suksesi status quo parpol Indonesia yang tidak dipercayai publik.
Belajar dari kemenangan dua periode Jokowi, prinsip kampanye Prabowo-Gibran menurut saya ada dua. Ke menengah bawah mereka gemoy dengan visi misi sesederhana makan siang gratis. Dipikir dengan goyang gemoy, Prabowo bisa mengurangi keningratan dan bias kelasnya yang bossy itu. Ke menengah ke atas, mereka menormalisasi pelanggaran etika, politik orang dalam, dan nepotisme. Hal-hal yang biasanya disembunyikan sebagai momok, kini diumbar seperti meme troll yang tahu sama tahu dalam konspirasi jahat. Lalu mereka yang masih menjunjung idealisme kepatutan dianggap polos bahkan bodoh. Serendah itukah bangsa ini om Prabowo lihat?

Kembali ke Jokowi, dengan dinasti seumur jagungnya. Apa dia belum belajar dari tante Puan Maharani yang “nggak ngangkat” popularitasnya? Pada akhirnya tante Puan jadi pahlawan apa adanya, sebagai perempuan yang meresmikan UUTPKS. Atau Om AHY, yang makin hari makin cool aja dengan tahu diri bahwa dia nggak sepopuler bapaknya. OOT, Demokrat juga kelihatan banget nggak setuju sama Gibran, buktinya baliho demokrat kebanyakan dukung om Prabowo, nggak ada mas Gibran di situ. Baru setelah beberapa podcast ngomongin itu, ada beberapa Baliho yang ada Gibrannya. Mkmkmkmk… (Yes, ketawa di esei kali ini akan make mkmkmkmk…).
Saya cukup yakin mas Gibran nggak jadi cawapres hanya karena bapak dan keluarga. Mereka pasti juga cek ombak dengan suwun kemana-mana, lihat data, lihat kesempatan kiri-kanan, dan bikin strategi dengan memakai loyalitas ASN dan AK yang dibangun hampir satu dekade ini. Politik yang dibayangkan oleh tim family 100 ini adalah politik Machiavellian klasik, dimana tidak ada moral dan etika dalam politik, yang ada hanyalah kalah menang.
Zaman super modern ini, dengan banyaknya referensi baik keilmuan dan hoax dari internet, atau AI yang sudah mampu membuat kitab suci, kebanyakan kita yang punya akses informasi, atau lebih tepatnya kalian, pembaca esei saya, sudah tahu soal dagelan politik 5 tahunan ini. Dagelan karena siapapun yang menang, semua dapat kue, entah sebagai menteri atau kepala BUMN, atau jika masih berkoar setelah pemilu berakhir setahunan, akan masuk penjara sebentar, dan pas keluar dapat jabatan.
Jadi tulisan ini tidak berpihak pada siapapun, tapi menyalahkan semuanya. Semua yang ikut dalam pilpres ini adalah bagian dari pemerintahan Jokowi, kawan-kawan baik, yang sok beda pendapat. Track recordnya pasti ada cela, dan pada akhirnya kita akan memilih bukan yang terbaik, bukan yang paling baik dari yang buruk, tapi yang paling mewakili kita, terhubung sama kita, seperti Jokowi di periode pertamanya.
Kalau tidak ada yang terhubung? Ya, saya mungkin akan golput saja seperti 2019. Biarkan semesta bekerja sendiri sampai suatu hari ada capres, cawapres, atau caleg yang punya kebijakan secara spesifik soal pekerja kreatif, jaminan kerja di industri film, dan pendidikan gratis berdasarkan meritokrasi dan CSR industrinya.
Terima kasih telah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan sumbangan, iklannya tak menghasilkan, dengan lisensi Creative Commons, Atribution, Non commercial. Kamu boleh pakai konten ini selama memberikan link sumber dan bukan untuk tujuan komersial. Kalau kamu suka dengan yang kamu baca, silahkan traktir saya kopi murah.
