Filsafat, Racauan

Siap-siap Indonesia Tamat

Beberapa bulan terakhir ini, khususnya menjelang dan setelah pemilihan umum presiden, politik Indonesia menjadi semakin tidak menarik untuk saya. Semakin mudah tertebak, pola oligarki tidak berubah, janji perubahan tidak ditepati, lanjutan pembangunan infrastruktur yang meminggirkan orang terus berlangsung, papua begitu-begitu saja, pelanggaran HAM terjadi tiap hari dan ditumpuk karena yang lama juga tidak pernah diselesaikan, kebakaran hutan lagi dan lagi, izin lahan keluar lagi dan lagi.

Lalu akhirnya mau nulis apa lagi soal politik? Bahan sudah habis diulang-ulang buzzer. Perjuangan toh seperti pekerjaan sehari-hari saja, dan mulai membosankan–padahal perjuangan saya toh cuma membuat berita yang akurat, video yang cukup imbang dan tidak memihak. Tetap saja jadi gemas dan tidak menarik untuk dibicarakan lagi. Apakah karena saya sudah jadi terlalu nyaman? Mungkin saja. Tapi ya bagi-bagi kue di elit politik ini kan biar pada diem tuh, jadi agenda pemerintah bisa jalan. Jadi muak aja sih.

Hari ini facebook saya menunjukkan satu postingan lama soal seorang mahasiswa tajir yang mau membayar saya tiga juta untuk membuat tugas kuliahnya. Saya sarankan pada dia untuk cari pisau yang tajam dan bunuh diri saja. Saran itu tak mungkin ia laksanakan, dan ia cuma akan cari orang lain yang mau membuat tugasnya dan membuatnya lulus. Ketika dewasa dia mungkin akan jadi anggota DPR, atau pejabat–orang pragmatis gini biasanya karirnya lulus. Dan fuck banget saya akan berhadapan dengan produk-produk hukum dan politik buatan dorang.

Jadi saya sedang berpikir untuk bikin rencana apokaliptik: apokaliptik dalam artian, bagaimana kalau semua sistem di Indonesia turn off–seperti lampu mati Jawa-Bali beberapa bulan silam. Saya jadi berencana untuk membeli diesel, membeli back pack kiamat, yang isinya persediaan makanan dan minuman, dan duit cash beberapa juta cuma buat dipake sementara sebelum semua collapse. Terus saya mau ambil kursus pramuka dan kemping lagi deh. Kabur ke gunung atau kemana gitu.

Serem banget masa depan bangsa ini. Camping di kolong jembatan layang Jokowi kayaknya asik juga, siapa tahu proyeknya mangkrak kan. Kayak jaman-jaman waktu sistem ngedrop dulu di jaman orba. Tapi ya nyambi kerja biasa, ngajar semau saya, dan bikin-bikin film deh. Sambil nyicil persediaan.

Photo by Heorhii Heorhiichuk on Pexels.com
Politik, Racauan

Jokowi, Mudik, dan Jalan Tol

Banyak berseliweran di media sosial akhir-akhir ini, tentang “jalan tol Jokowi” yang dikritisi sebagai sebuah hal yang tidak seharusnya dibangga-banggakan. Alasannya ada dua: pertama jalan Tol adalah milik negara dan bukan milik Jokowi, dan kedua jalan tol tidak diperuntukkan untuk orang miskin. Kritik kencang lain adalah, penggunaan jalan tol yang baru dibangun itu untuk colongan kampanye pilpres 2019. Apa iya?

Apa iya tol milik negara? Saya pernah melalui tol-tol milik swasta; milik Bakrie, misalnya. Tol jelas bukan milik Jokowi, tapi di bawah administrasinya lah, jalan tol banyak sekali dibangun dengan cepat–terlepas bagaimana kualitasnya nanti, semoga kita tidak mati karena jalan tolnya tiba-tiba nyungsup.

Jalan tol bukan untuk orang miskin? Yeah jelas, kalo nggak punya mobil nggak boleh masuk tol. Kalo punya mobil tapi ga punya duit buat isi kartu tol, juga ga usah masuk tol. Tapi masa sih orang miskin nggak punya keuntungan dari jalan tol? Kan tol bukan cuma untuk traveling tapi juga mengirim barang, mendistribusikan produk, dll. Bukannya kita sering melihat orang miskin yang ga punya mobil di jalan tol: di mobil-mobil pengangkut sayur, misalnya.

Image result for gif poor people

Kampanye colongan? Lah, setiap presiden terpilih pasti colongan dengan kinerja yang sudah tercapai dong. Masa dengan yang belum tercapai? Itu hak prerogatif dia sebagai administratif. Tapi benar juga sih pendapat kawan-kawan, harusnya pendukung Jokowi tidak mengclaim itu sebagai tol Jokowi, tapi diperjelas, “Tol ini dibangun di bawah administrasi Jokowi.” Jadi lebih etik lah, nggak ngeclaim kayak negara punya nenek moyang lo–padahal iya sih negara punya nenek moyang kita kan haha.

Dandhy Dwi Laksono bicara soal budaya konsumen di tol, di laman facebooknya. Balik lagi, kita hidup di zaman kapitalis. Kalau tol gratis semuanya namanya bukan tol, tapi jalan raya. Tol membuat sekat kelas? Iyalah. Terus kenapa? Toh juga, seperti yang saya bilang, tol juga dipakai untuk distribusi barang kebutuhan sehari-hari. Memang motor yang dibeli bung Dandhy gimana datengnya kalo bukan dari truk besar yang lewat tol?

Anyway, saya tidak membela Jokowi. Saya pun kesal dengan jalan tol sebagai alternatif dari kemacetan. Kalau tidak mau macet, ya angkutan publik diperbanyak lagi, instal aja sekalian mesin barunya Elon Musk yang di bawah tanah bisa cepat kemana-mana itu. Tapi kan duitnya belum ada, dan Indonesia sudah ngutang cukup banyak buat bangun insfrastruktur itu. Pakai jalan tol saja masih sering macet, membuktikan tingginya daya beli masyarakat Indonesia pada mobil dan kartu tol. Kenapa dipermasalahkan?

Memang idealnya pada akhirnya kita harusnya punya jalan yang lancar, dimana semua jalan adalah jalan tol bebas biaya. Tapi apa kita perlu itu sekarang, ketika kebanyakan sebab kemacetan adalah orang-orang egois yang suka nyalip–membuat jarang sekali kita mendapatkan sebab jelas kemacetan. Tapi sampai saat itu datang, nikmati dulu lah mudik tahun ini dengan lebih khidmat, seperti misalnya, piknik di beberapa jalan tol yang belum selesai karena pegawai pada cuti bersama.

Filsafat, Politik, Racauan, Uncategorized

September Tak Beradab

Civilization bukan hanya berarti peradaban, tapi juga lebih dalam lagi, ia berarti “membuat orang jadi beradab.”

Apa itu adab? Menurut KBBI artinya “kehalusan dan kebaikan budi pekerti; kesopanan; akhlak:”

Sejarah membuktikan bahwa Civilization, per-adab-an, dibentuk oleh dua institusi besar: Agama dan Negara. Negara lahir ketika Agama berkembang menjadi kelompok-kelompok yang berbeda, yang saling bersaing dan berkonflik, sehingga dibutuhkan kekuatan besar lain yang bisa menengahi konflik tersebut. Per-adab-an adalah masalah ada atau tidaknya pihak ketiga, wasit, sang Leviathan, dalam sebuah pertarungan politik.

Sang Leviathan mensponsori kekerasan untuk menundukan konflik politik. Perdamaian seringkali didapatkan dari opresi berbagai bentuk hasrat kuasa dalam masyarakat. Di masa Orde Baru, termin yang terkenal adalah SARA, Konfik kepentingan harus ditekan oleh satu kepentingan besar, kepentingan negara.

Sejalan dengan opresi negara untuk membuat perdamaian, ideological state apparatus juga berjalan melalui pendidikan. Inilah yang hari ini jadi masalah besar di Indonesia. Pendidikan yang diberikan pada masa orde baru, menuai bencana: ketika informasi bocor kemana-mana, negara masih sibuk untuk menyangkal sejarah yang senyata-nyatanya BOHONG BESAR. Salah satu dari banyak kebohongan itu adalah fitnah terhadap orang-orang yang dituduh PKI. Main tuduh Komunis menjadi budaya yang inheren di masyarakat menengah bawah, yang sudah terdidik untuk menjadi tidak beradab (De-civilize).

Dengan kata lain, negara Indonesia sejauh ini tidak berhasil, malahan memperparah peradabannya sendiri. Ketidakberadaban dapat dilihat dari mudahnya orang terprovokasi, mudahnya massa digerakan oleh sesuatu yang abstrak dan tidak bersifat material/nyata, seperti ketika agamanya tercoreng. Orang tidak bergerak ketika diopresi, ketika haknya diambil, tapi cepat naik pitam ketika agamanya atau pemuka agamanya dihina. Orang cepat marah dan manut ketika hantu masa lalu (Baca: PKI), menggerayangi layar handphonenya.

Maka tingkat kekerasan tidak kunjung turun. Hukum positif negara sering selingkuh dengan kekuatan politik akar rumput. Hari ini melarang diskusi sejarah, besoknya melindungi orang-orang yang sudah terjebak oleh massa otak tumpul yang kemarin difasilitasi polisi. Kan absurd?

Yang paling menyebalkan, ini isu basi yang selalu ditiupkan menjelang September, semenjak Jokowi naik. Biasanya isu ini punya agenda lain di bawahnya, sedang ada teater lain yang dimainkan secara sembunyi-sembunyi, entah itu misi pembangunan, atau taktik manipulasi politik. Saya tidak sedang berteori konspirasi; saya hanya melihat sebuah pola. Saya dan kalian akan terkejut ketika Oktober datang, membawa sebuah berita buruk yang sebenarnya bisa dicegah kalau kita tidak terlalu sibuk melindungi diri September ini dari fitnah-fitnah keji hasil Wawasan Wiyata Mandala dan P4.

Kembali ke soal per-adab-an. Presiden kita hari ini dulu disukai karena ‘kurang beradab’ sebagai presiden. Melanggar protokoler, menjadi ‘pejabat yang berbeda.’ Tapi setahun belakangan ini, kita melihat ketidakberadabannya semakin menjadi-jadi. Seperti lawan politiknya, ia sekarang tidak malu-malu ketika menjilat kiri-kanan-atas-bawah. Pendukungnya pasti selalu bisa mengambil hikmah bahwa presiden sedang berjuang untuk menggolkan misi politiknya–apapun itu–dengan menjilat ludahnya sendiri. Yang anti-presiden tidak punya banyak argumen lain selain kebencian akut, dan kekesalan karena presiden yang dulu difitnah sebagai komunis, hari ini jadi anti-komunis. Capek kan mencari bahan fitnahan baru.

Sementara itu, masyarakat yang tidak beradab dibuat semakin tidak beradab. Karena Negara bahkan seperti tidak ada niat sama sekali untuk melindungi Demokrasi, tidak ada niat untuk mengukuhkan nilai, ketika LBH, sebuah lembaga yang netral dan salah satu elemen terpenting demokrasi, dinafikan dengan mudahnya. Ketidakberadaban dikasih makan dengan plin-plannya.

Betapa mengecewakan. September hampir berakhir, linimasa masih akan penuh bahasan merah. Sepertih darah Jendral, yang cuma ada di filmnya Arifin.

Filsafat, Politik, Racauan, Uncategorized

Politik Kebodohan

Dalam politik, seringkali tidak diperlukan fakta, ilmu pengetahuan atau logika; namun fakta, ilmu pengetahuan dan logika memerlukan politik untuk bisa memajukan masyarakat.

Itu adalah hal yang saya pelajari ketika melihat bagaimana politik bekerja di banyak masyarakat di dunia. Politik adalah sebuah seni, dan seni selalu melebihi kenyataan, fakta atau logika. Seni memerlukan imajinasi, kreatifitas, dan kecakapan dalam menggunakan peralatannya: kostum, media, dll. Seni politik, sementara itu, adalah seni yang tujuannya hanya satu: kuasa.

Kuasa sendiri memiliki makna yang luas, dari yang sederhana dengan menggunakan kekuatan fisik semata, sampai yang kompleks dengan kekuatan simbolik seperti bahasa, referensi, hubungan sosial dan modal. Permainan kuasa, karenanya, menghalalkan apa saja, dari tipuan sampai manipulasi kenyataan. Dari membunuh satu orang martir, sampai membantai jutaan orang dalam sebuah genosida. Yang terpenting adalah tujuannya tercapai, dan tujuan ini tidak pernah sesederhana ‘menguasai dunia’.

 

insides-of-pinky-and-the-brain-80356

Tujuan politik, bahkan yang paling sederhana sekalipun, bergantung pada konteks yang lebih besar dari tubuh individual itu sendiri. Sebuah tindakan pembunuhan dalam masyarakat sederhana, macam Qabil membunuh Habil, mewakili sebuah perebutan kuasa atas tubuh perempuan dan kuasa akan lahan. Setiap individu membawa dalam dirinya representasi-representasi. Keempat anak Adam, misalnya, membentuk oposisi biner dalam budaya agama semit.  Habil sebagai lelaki ideal yang baik dan altruistik, Qabil sebagai lelaki jahat dan egoistik, Lubuda sebagai perempuan buruk rupa, dan Iqlima sebagai perempuan cantik. Di sini lelaki dinilai dari kualitasnya, dan perempuan dinilai dari kuantitasnya.

Representasi-representasi ini adalah imajinasi politik. 

Kuasa politik didapat dengan cara membuat imajinasi politik menjadi kenyataan. Caranya dimulai dengan berbagi imajinasi dengan masyarakatnya. Imajinasi yang pertama kali dibagi adalah melalui bahasa. Bahasa mengajarkan posisi diri sendiri dan orang lain. Ketika seorang bayi belajar menyebut bapak dan ibu, ia pun belajar posisinya sebagai seorang anak yang tidak boleh memanggil bapak atau ibunya dengan sebutan nama langsung, khususnya dalam budaya timur. Dalam keluarga konvensional anak akan belajar bahwa bapak adalah kepala rumah tangga dan ibu adalah ‘milik bapak.’ Bapak adalah imam dan anak istrinya adalah makmum.

Ketika masyakarat menjadi lebih kompleks dan teknologi media berkembang dengan ditemukannya tulisan, mesin cetak, lalu media elektronik, imajinasi-imajinasi semakin dinamis berbenturan satu sama lain, berebut tempat dalam kenyataan. Agama yang pada awalnya hanya dikuasai segelintir orang pemilik kitab suci, tiba-tiba mendapat perlawanan dengan cara-cara yang berbeda dalam menafsirkan firman Tuhan. Mashab-mashab bermunculan, perang saudara, perang agama, masa kegelapan berlangsung hanya demi mewujudkan imajinasi soal Tuhan dan dunia Tuhan yang ia percaya. Dunia dijalankan oleh para psikopat delusional. Masa-masa itu tak pernah berakhir, kita masih bisa melihatnya di Timur Tengah hari ini.

isis-2_2591265a
ISIS. Sumber gambar: The Sun

Imajinasi politik non-agama juga tidak kalah mengerikan. Sejarah mencatat Hitler sebagai salah satu diktator paling parah yang ingin mewujudkan dunia ras Arya. Dia berpikir ke depan dengan cara yang sangat-sangat salah. Efeknya tidak main-main: imajinasi Hitler yang telah membantai jutaan orang, membuat sekelompok ras/agama Yahudi mengamini imajinasi mereka yang lain soal negara bernama Israel. Itu jadi masalah kita hari ini, di mana mereka yang sekuler dan konon ras paling cerdas ini, menduduki Palestina dengan alasan Agama dan janji Tuhan mereka akan tanah Perjanjian. Kelindan antara sekularisme dan agama ini membingungkan, saya tahu. Tapi seperti pembukaan tulisan ini, politik tidak pernah masalah logika, tapi kuasa.

Raving_mad_Hitler.gif

Lalu kita bertemu dengan ilmu pengetahuan, sains, yang logis, matematis, eksakta, dan konon, tidak pernah bohong. Banyak orang atheis atau agnostik berharap bahwa ilmu pengetahuan tidak akan mengkhianati mereka; bahwa Tuhan tidak ada kecuali jika bisa dibuktikan ada secara rasional dan empiris. Selama seratus tahun belakangan ini, banyak dari kita percaya bahwa teknologi dan ilmu pengetahuan adalah mesin anti-politik (anti-political machine). Bahwasannya banyak masalah di dunia ini bisa diselesaikan dengan teknologi dan ilmu pengetahuan, karena itu objektif.

Tapi bisa jadi masalah terbesar kita di abad ini adalah karena ilmu pengetahuan dan sains. Seratus tahun belakangan ini, terjadi banyak revolusi. Dan kerusakan terbesar datang bukan dari revolusi politik, tapi dari revolusi industri dan Iptek. Perang memang membunuh banyak orang, tapi perang-perang seratus tahun belakangan ini bukan semata-mata karena Tuhan. Imajinasi akan negara dan industrialisasi menimbulkan perang-perang akan sumber daya alam. Lalu ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangan seratus tahun belakangan ini juga berpusat pada eksploitasi terhadap alam dan manusia. Sepanjang sejarah planet ini, sumber daya yang dibentuk ratusan juta tahun, benar-benar dikuras dalam jangka waktu kurang dari seabad. Global warming yang terjadi abad ini adalah yang tercepat dan yang terparah sepanjang sejarah homo sapiens tinggal di bumi.

tumblr_n48sxopo1z1sjwwzso1_500

Pola pikir sains dan Iptek yang seperti mesin ini butuh sentuhan perempuan, sentuhan seorang ibu yang memelihara dan membesarkan alam. Bukan sentuhan seorang bapak yang membentuk alam seperti apa maunya seperti yang selama ini dilakukan. Sains pun ternyata butuh untuk belajar pada suku-suku pedalaman yang memperlakukan alam seperti ibu mereka, termasuk dalam membuat energi terbarukan menggunakan tenaga matahari, tenaga air atau tenaga surya. Film dokumenter “This Changes Everything,” memaparkan perlawanan-perlawanan orang-orang di seluruh dunia terhadap ekspansi sains dan teknologi Industri yang merusak alam dan penghidupan banyak orang lokal. Argumen film tersebut sangat kuat: bahwa sains dan teknologi selama ini dibawa ke arah yang salah, arah eksploitasi sumber daya alam.

Namun tentunya, isu Climate Change juga mengalami perlawanan dari kaum pengusaha konservatif yang penghasilannya dari sumber daya alam. Semua perang yang telah terjadi untuk perebutan sumber daya alam bisa percuma kalau semua konsumen mengkonversi kebutuhan energinya pada matahari, air, atau angin. Teknologi-teknologi baru tersebut harus tetap dibuat mahal dan tak terjangkau, hingga teknologi lama yang eksploitatif tetap bisa laku. Inilah hubungan haram antara politik-ekonomi-teknologi yang harus kita kritisi tanpa lelah. Sudah saatnya sains lebih membuka diri pada apa yang mereka anggap ‘tradisional’, seperti budaya-budaya teknologi lokal, dan mengembangkannya untuk membuat teknologi yang lebih ramah lingkungan dan accessible untuk masyarakat luas. Namun lagi-lagi kita akan mentok pada kebodohan. Di sini saya akan mulai masuk ke Politik Kebodohan.

 

Politik kebodohan adalah sebuah cara menunjukkan kuasa dengan membuat pernyataan yang jelas-jelas salah secara faktual dan logika sederhana, jauh dari bukti atau argumen sahih, tapi toh tetap dimajukan sebagai argumen dan, ironisnya, seringkali dimenangkan.

Biasanya politik kebodohan bisa memungkinkan karena ada yang salah dalam sebuah institusi politik, atau representasi yang diwakili oleh seorang individual yang mengeluarkan pernyataan tersebut. Individualnya salah, namun institusinya memungkinkannya untuk bisa memberikan pernyataan salah tersebut. Contoh yang paling mendunia saat ini adalah Donald Trump.

trump-article-header

Bagaimana mungkin seorang pengusaha yang bukan politikus karir, dengan pernyataan-pernyataan yang seringkali seksis dan rasis, bisa menjadi satu-satunya calon dari partai Republican dan memiliki jutaan pendukung? Untuk itu, kita tidak harus membicarakan Donald Trump. Kita harus membicarakan institusi yang ia wakili: rakyat kulit putih konservatif Amerika dan partai Republican.

Rakyat kulit putih konservatif Amerika, yang sebutan stereotipenya adalah kaum Red Neck, mendukung Donald Trump karena alasan-alasan yang sederhana: ketakuan kehilangan kuasa atas tanah dan pekerjaan. Dalam perjalanan saya ke beberapa desa di Amerika, saya menemukan hal-hal yang luar biasa menakutkan untuk saya sebagai pendatang dari Asia: ada sebuah restoran yang menempatkan papan besar, “White people only,” (hanya untuk kulit putih). Ada juga sebuah gubuk kayu besar (Shack) dengan tulisan, “Guns available,” yang menandakan bahwa gubuk itu menjual senjata api secara bebas. Restoran dan gubuk senjata itu berada di dua desa yang berbeda yang tidak perlu saya sebutkan dimana. Toh, jikapun Anda ke sana, seperti saya, kemungkinan Anda tak sudi mampir, kecuali jika ingin merasakan panasnya peluru di pantat Anda. Kesamaan di dua desa ini adalah, banyak di halaman rumah mereka terpampang papan: “TRUMP: MAKE AMERICA GREAT AGAIN.”

12289674_865102096941936_1974828997264139924_n1

 

Sementara itu, politisi partai Republican kalang kabut mendapati Trump menang sebagai calon mereka. Ini membuktikan betapa hancurnya pengkaderan kepimimpinan partai sayap kanan tersebut. Pasca Bush dan 9-11, lalu krisis ekonomi Amerika tahun 2008, partai yang beranggotakan banyak orang Kristen kaya raya ini tidak berhasil membuat kader-kader yang berkualitas. Menurut saya ini terjadi karena cara politik mereka adalah Politik Kebodohan itu: dengan modal hubungan sosial dan modal, mereka tidak perduli apakah pembenaran mereka soal perang Timur Tengah, atau tuduhan merka bahwa Global Warming adalah propaganda itu salah. Mereka hanya perduli pada ‘kepentingan’ (interest) bahwa perang Timur Tengah menguntungkan pengusaha  dan industri senjata, dan jika Global Warming adalah propaganda, maka mereka bisa terus mengeksploitasi sumber daya. Imajinasi inilah yang mereka tekankan terus-menerus, dan akhirnya Trump masuk mengambil momentum. Karena dari semua capres Republican, Donald Trump adalah yang paling TIDAK PERDULI.

Trump tidak perduli kalau ia seringkali tidak konsisten dalam memberi pernyataan. Ia tidak perduli soal partai politik, ia tidak perduli soal ekonomi Amerika, atau politik luar negerinya. Trump adalah entertainer/entrepreneur sejati yang benar-benar mengenal penontonnya: orang kulit putih konservatif, atau orang yang punya ‘interest’ dalam usahanya. Pengalamannya di televisi membuatnya paham bahwa kontroversi menjual, dan media selalu akan membuat orang tolol semakin terkenal, jika orang tolol itu punya kuasa. Seperti anjing menggigit orang, Donald Trump tidak biasa karena dia orang tolol yang sangat kaya, dengan brand yang dekat dengan kata Triumph (menang). Ia ahlinya periklanan ilusi–propaganda industri dan pembangunan brand. Di sini kita bisa melihat satu lagi karakteristik Politik Kebodohan:

Politik kebodohan mengambil kuasa dari memperbodoh orang lain, dengan cara manipulasi informasi, propaganda, dan menghilangkan orang-orang yang memprovokasi massa untuk berpikir. Politik kebodohan berpegangan pada satu prinsip: menjadi bodoh adalah berkah (ignorant is a bliss).

Dalam politik kebodohan, kesederhanaan adalah segalanya. Pesan untuk massa rakyat harus sepopuler mungkin, dan sepopuler mungkin artinya sesingkat dan seklise mungkin. Masyarakat tak perlu tahu tujuan si politikus, tapi masyarakat hanya harus merasa berbagi imajinasi. Imajinasinya harus mendasar dan sederhana, seperti ketakutan akan kehilangan pekerjaan, atau iming-iming uang, atau  (ini yang akan selalu populer) ketakutan akan neraka.

Di Indonesia, politik kebodohan selalu bekerja dengan baik. Dalam pilpres Prabowo vs Jokowi tahun 2014 lalu, kedua kandidat sesungguhnya memiliki dua sisi tim kampanye: tim kampanye untuk elit politik, dan tim kampanye untuk massa rakyat. Tim kampanye untuk massa rakyat adalah tim yang menggunakan politik kebodohan itu. Prabowo menjual imej pemimpin keras, tegas, galak. Cocok dengan massa rakyat yang maskulin. Sementara itu Jokowi menjual sosok pemimpin yang wajahnya seperti petani, kurus, dan dekat dengan rakyat. Soal politik kebodohan, keduanya sama-sama. 50-50. Seandainya Demokrasi Indonesia diserahkan pada Rakyat sepenuhnya, tidak ada yang akan menang di antara Prabowo dan Jokowi.

14027988871694362327

Yang memenangkan Jokowi adalah politik elitnya. Pecahnya Golkar dengan merapatnya Jusuf Kalla ke Jokowi, serta diikatnya beberapa petinggi militer dan kepolisian dalam perjanjian politiklah yang memenangkan Jokowi. Belum lagi dukungan dari luar negeri seperti Amerika Serikat dan Australia–yang terus terang menentang Prabowo. Dari sisi Prabowo sendiri, kita melihat KMP yang isinya orang-orang oportunis dengan politik dua kaki: celup ke ember manapun yang menguntungkan. Seperti banyak pendapat para ahli, politik Koalisi ini takkan tahan lama begitu tidak dikasih makan kuasa.

Apakah ini artinya politik untuk rakyat adalah politik kebodohan dan politik untuk elit adalah politik sebenarnya? Ya dan tidak.

Pada negara-negara yang demokrasinya sudah maju, setiap rakyat adalah elit. Setiap rakyat sudah punya daya baca dan daya kritis untuk memilih dan paham konsekuensi pilihan politiknya. Kalau mau contoh, kita bisa melihat beberapa negara Eropa, dari pemilihan walikota di London, sampai negara-negara dengan sistem pendidikan dan demokrasi mutakhir seperti Finlandia, atau Islandia yang Perdana Menterinya langsung mundur begitu didemo soal Panama Papers. Tapi kalau daya baca rakyat dan elitnya rendah, dan hubungan antara pemerintah, rakyat dan militernya lebih banyak konflik daripada kerjasama, maka Politik Kebodohan akan mendominasi.

Maka itu muncullah imajinasi-imajinasi yang dipaksakan macam kebangkitan PKI. Imajinasi yang dipaksakan ini adalah sebuah delusi, yang ironisnya banyak dipercaya orang-orang dengan ketidakberdayaan intelektual yang sama. Orang-orang pengidap Phronemophobia akut, yang kebanyakan tidak bisa disembuhkan. Mereka hanya bisa menang lewat penipuan besar-besaran atau kekerasan. Dan ketika kalah argumen, mereka tidak akan mengaku kalah, tapi langsung menuduh dizalimi secara politik atau menuduh orang yang benar sebagai orang yang terdoktrin pihak lain. Kuliah umum Kiki Syahnakri soal Marxisme-Aristotelian, misalnya, jelas-jelas salah dan dihujat habis-habisan di Media Sosial. Tapi toh, nampaknya dia cuek saja.

Kiki Syahnakri tidak sendirian. Di Amerika, seorang pendukung Donald Trump garis keras yang masih misterius namanya, pernah melakukan hal yang sama di tahun 2013 ketika ia protes untuk melengserkan presiden Obama. Politik kebodohan ini adalah masalah universal, dan sesuatu yang terus-terusan dipakai dimana-mana.

mtm2njq0odk5njuzotuzmte5
Orang misterius yang protes melengserkan Obama dengan alasan bahwa Obama adalah Muslim dan Muslim adalah Marxist. Dia muncul lagi dalam kampanye Donald Trump tahun ini untuk mendukung sentimen anti-Islam.

Akhirnya, jika kita mau jadi orang baik, perjuangan utamanya adalah mencerdaskan bangsa. Membuat seluruh rakyat jadi elit yang berdigdaya, yang daya bacanya tidak hanya seperti anak kelas 4 SD jaman Orba. Membuat kesadaran dunia-akhirat, bahwasannya dunia tidak kalah penting dibanding akhirat. Warisan utama yang harus ditinggalkan adalah cara berpikir untuk bisa hidup menjadi manusia unggul yang bisa berfungsi baik secara sosial dan politik, dan mendasarkan hidupnya pada rasio dan empiris yang tidak terlepas dari kenyataan sosial yang ada. Warisan itu hanya bisa dilakukan dengan memenangkan politik kebodohan ini, dengan segala cara.