Hari ini om saya, Ramlan Mardjoned, meninggal dunia. Ia adalah seorang bapak, kakek, suami, ustad, om, dan guru. Ia juga seorang akademisi, penulis, penceramah dan aktivis.

(Foto: Instagram)
Saya adalah keponakan yang selalu dengan sabar dinasihatinya, terlepas betapapun nakalnya saya. Dan saya tidak bisa tidak menurut kepadanya, tanpa ia perlu marah atau keras. Dari semua orang di dunia ini, hanya Om Lan, yang bisa suruh saya Shalat tanpa saya melawan atau argumen.
Intelektualitasnya tidak dapat diragukan, ia mantan aktivis Islam yang pernah mengalami opresi langsung di zaman Bung Karno dan Soeharto. Argumennya tajam, lugas tegas dan praktis. Sebagai intelektual, ia tidak mengincar bahasa-bahasa sulit akademis, atau pembaca-pembaca yang hidup di menara gading. Ia menulis dari sejarah, biografi ulama, hingga pengaturan rumah tangga dan tata cara hidup yang praktis.
Saya menganggapnya ayah kedua saya, sejak kecil, karena ayah saya pun menganggapnya abang besar. Dia menjadi wali nikah orang tua saya, dan entah sebesar apa hutang keluarga kami kepadanya yang tidak akan pernah dibalas. Ketika Papa meninggal, saya dan adik saya yang berusaha menahan tangis, tak dapat menahan air mata kami ketika om Lan datangdatang melayat.
Dan hari ini, ketika masa PSBB, kami tidak bisa keluar rumah untuk menghadiri pemakaman guru besar kami ini, ayah kami ini. Sungguh kesedihan yang luar biasa.
Om Lan pernah bekerja dengan pak Mohammad Natsir, pendiri partai Masyumi dan mantan Perdana Menteri ke-5 Indonesia. Tentang pak Natsir dalam sebuah ceramah, ia bilang, “Natsir di manapun engkau berada, engkau ada di dalam hati.”
Hal yang sama saya haturkan untuk Om Lan. Dimanapun engkau, Om ku, guruku tersayang, Engkau ada di dalam hatiku.