Filsafat, Politik, Racauan

PBB, nunggu aja kau. Pasang badan lah.

Apa gunanya ada PBB kalau tiap kali dunia keos, dia cuma gelar rapat darurat, sambil bilang “kami prihatin,” terus pulangnya makan malam, update press release, dan tidur nyenyak di hotel bintang lima, sementara Gaza gosong, Ukraina beku, Rohingya hanyut, Sudan meledak, dan dunia…


Ah dunia, dunia cuma nonton, karena yang punya veto adalah lima kepala negara brengsek yang kepentingannya kayak gede-gedean k*ntl.


PBB itu mirip bapak-bapak RT yang kaget warganya digrebek warga lain.
Waktu udah ribut, baru dateng terus bilang “tenang dulu, musyawarah,”
Terus mundur teratur pas tahu pelakunya punya backing, punya duit, punya senjata,
dan korbannya cuma gak punya apa-apa. Tokai.

PBB bahkan ga punya hak untuk ikut campur, bahkan lebih keren aktivis yang ditangkep Israel dan dibuang atau dibunuh. Greta Thunberg dipaksa pulang naik pesawat yang ia sumpah gak mau naik.


Yang bisa kita andalkan cuma sistem yang diciptakan untuk gagal,
dirancang untuk diam, dibentuk oleh trauma kolonial dan kepentingan kapital,
tapi dibungkus bendera biru biar kelihatan netral.


Mereka bilang: “PBB itu peacekeeper, bukan peacemaker.”
Wah, canggih bener main katanya.
Jadi kalau ada perang, dia jagain garis, bukan nyetop peluru.
Dia kasih tenda, bukan nyetop rudal.
Dia kirim pasukan dari negara-negara miskin,
suruh jagain konflik yang diciptakan negara-negara kaya.

Terus negara-negara miskin (baca: Indonesia) bangga gitu ngirim pasukan perdamaian yang damai beut.


Dan lucunya, gue masih berharap, lagi.
Masih nonton youtube Sidang Umum kayak sinetron politik.
Masih tepuk tangan pas pidato Palestina digoreng jadi puisi.
Padahal besoknya, veto mendarat dari Washington,
karena senjata yang ngebom anak-anak itu buatan Boeing dan Lockheed Martin.
Dan AS, sobat lama Israel, bilang: “Kami mendukung hak membela diri,”
padahal yang mati semua belum 10 tahun giginya masih susu.

Dan di situ PBB berdiri.
Kayak guru PKN yang tahu siapa yang mukul duluan,
tapi nggak bisa ngasi nilai merah karena anaknya donatur sekolah, anjir.


Apa lo kira PBB bakal nyelametin kita kalau besok meledak?
Kalau Indonesia diganyang, paling kita bikin live tiktok aja.


PBB baru kirim tim investigasi kalau jumlah mayat udah melebihi standar empati.
Kalau ada drone bom, minyak, sorotan kamera dan proyek rekonstruksi.


Tapi gue juga bingung sih. Kita hina PBB, tapi kalau dia bubar, siapa yang ganti?
NATO? BRICS? ASEAN yang sibuk ngurus kuliner dan kutuk mengutuk Israel?

PBB dia nggak pernah diniatkan berhasil, bangsa-bangsa yang mau disatukan ini kek mana? Egois semua. Jaman covid aja lama beut kerjasamanya. Tapi yaudah ditunggu aja bantuan makanan sama infrastrukturnya. Tukang nyebokin aja dia orang, sama kayak USAID yang dibubarin Donal Bebek.


Terima kasih telah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan sumbangan, iklannya tak menghasilkan, dengan lisensi Creative Commons, Atribution, Non commercial. Kamu boleh pakai konten ini selama memberikan link sumber dan bukan untuk tujuan komersial. Kalau kamu suka dengan yang kamu baca, silahkan traktir saya kopi murah.

Kurasi/Kritik, Politik, Racauan

3 Hal Yang Membuat Pengungsi Rohingya tidak akan menjadi seperti pengungsi Yahudi di Palestina

UN Women/Allison Joyce

Pengungsi Rohingya tidak akan menjadi seperti pengungsi Yahudi di Palestina karena tiga hal.

Pertama, ketidakmampuan mereka untuk membentuk sebuah jejaring diaspora yang memiliki kekuatan ekonomi dan intelektual secara global membedakan mereka dari pengungsi Yahudi di Palestina. Diaspora Yahudi telah mampu memainkan peran krusial dalam memobilisasi dukungan internasional dan memberikan kontribusi signifikan dalam berbagai sektor ekonomi di seluruh dunia.

Kedua, perbedaan dalam budaya dan agama di antara pengungsi Rohingya menciptakan tantangan tambahan dalam membentuk identitas bersama dan solidaritas yang kuat. Sebaliknya, pengungsi Yahudi di Palestina sering kali dapat mengandalkan faktor-faktor ini untuk memperkuat ikatan mereka.

Ketiga, perbedaan dalam kepemimpinan politik juga menjadi faktor kunci yang memisahkan pengungsi Rohingya dengan pengungsi Yahudi di Palestina. Sementara pengungsi Yahudi dapat mengandalkan dukungan dari individu yang memegang kekuasaan di beberapa negara pasca-kolonial, pengungsi Rohingya kurang memiliki akses terhadap sumber daya politik tersebut. Oleh karena itu, melalui perbandingan ini, dapat dilihat bahwa pengungsi Rohingya memiliki tantangan yang berbeda dan mungkin memerlukan pendekatan yang unik dalam menanggapi kondisi mereka.

Kondisi yang hari ini terjadi adalah, akibat perang yang terjadi di Ukraina dan Gaza, serta banyaknya bencana kemanusiaan di berbagai belahan dunia, pengungsi Rohingya di Cox’s Bazar, Bangladesh menjadi terbengkalai. Mereka kekurangan bantuan kemanusiaan berupa makanan, air bersih dan tempat tinggal. Mereka juga terjebak oleh kekejaman geng-geng perdagangan manusia, narkoba dan senjata, serta perseteruan dua kelompok militan Arakan Rohingya Salvation Army dan Rohingya Solidarity Organization, yang menurut para UNHCR dan Human Rights Watch, membuat hidup di kemp pengungsian menjadi begitu berbahaya. Mereka tidak bisa berkerja dengan legal di sana, dan mencari uang dengan menjadi pekerja ilegal, untuk ditabung lalu membayar penyelundup untuk membawa mereka kabur dari pengungsian, mencari harapan baru dan bertahan hidup–dengan sasaran terdekat adalah Aceh, Indonesia. Harapannya, bisa mendapatkan kemanusiaan mereka kembali. Sebuah hal yang sangat sulit, apalagi ketika mereka dianggap “binatang di pekarangan orang.”

Jumlah pengungsi yang datang sejak November hingga hari ini mencapai 1684 orang, dan tentunya, Serambi Mekah tidak akan mampu menanggung mereka. Kini, usaha jejaring global dan kepiawaian pemerintah (yang sekarang dan akan datang), menjadi kunci untuk mencari cara mengatur gelombang pengungsi yang hadir. Pengungsi yang jauh sekali dari bangsa Yahudi, pengungsi yang tidak terdidik dan hidup terombang ambing di laut dan di darat.