Semua mata menatap bengis Isi kepala memendam kebencian Nurani tak lagi jernih Jiwa tak berhati Mengapa harus tak rela? Sedang aku sempat mendaki saat kau mendayung Mengapa tuan tak ikhlas? Sedang kau berkidung syahdu saat aku beriak, memohon, dan menyembah Merpati terbang menuju bulan Cahaya surga mendampingi “Hai, apa kabar?” katanya Terlalu melampaui sayapnya mengepak Hingga patah berhamburan
ISMI, 2022
Ismi Budiawan adalah seorang Perempuan Matahari dan Broadcaster of Happiness. follow dia di @ismibudiawan (instagram)
Semua yang kenal atau pernah mendengar minimal 3 cerita tentang Andi Bachtiar Yusuf (sutradara Love for Sale, Romeo-Juliet dan The Conductor) pasti setuju bahwa Ucup (nama panggilannya) adalah orang yang straightforward, suka bercanda kasar, dan berenergi besar. Sikap itu sudah lama ada padanya sehingga ketika ada kasus kekerasan di set film, sulit untuk membelanya, seakan semua orang tinggal menunggu ia melakukan sesuatu yang bisa menyakiti orang lain sedemikian rupa. FYI, saya orang yang tidak kenal dekat dengan Ucup, tapi tidak sulit untuk tahu dua tiga cerita soal kepribadiannya yang cukup nyentrik–saya rasa dia sendiri juga tidak pernah menyembunyikan itu. Dia cenderung mengglorifikasi kekasaran itu secara publik.
Sebagai seorang penulis opini, saya tidak berniat membela tindakan Ucup. Saya cuma ingin melihat secara lebih objektif, apa yang sebenarnya terjadi di Industri film kita. Sesuatu yang seringkali tersembunyi dari mata orang umum: sebuah kekerasan sistemik yang mendominasi produksi film kita.
Kekerasan sistemik artinya kekerasan berbasis cara kerja sebuah struktur. Ia ada karena dalam konteks kurang uang, kurang waktu dan kurang perhitungan, untuk membangun sebuah sebuah hierarki struktur (baca: produksi film), diciptakanlah kekerasan dan opresi pada pekerja. Secara mudah, kekerasan sistemik ini terjadi karena film adalah sebuah karya kapital yang didalamnya terdapat relasi-relasi kuasa antara pemilik modal, pengambil kebijakan, dan kru. Klasik Marx lah, menyedihkan bicara teori ini hari gini.
Sutradara atau produser ngamuk di set, bukan hal yang tidak biasa. Kepanikan terjadi, jam kerja mulur sampai dua tiga kali lipat, bahkan orang meninggal di set sudah beberapa kali terjadi. Ini karena tekanan syuting begitu besar karena seringkali perhitungan brief ide, modal, dan waktu tidak dikerjakan dengan baik. Janji-janji pada investor, atau ketakutan kehilangan pekerjaan, membuat pekerja film sering tersiksa tapi terus kerja karena kebanyakan mereka freelancer.
Kekerasan ini tidak hanya terjadi secara fisik dan verbal. Ia paling sering terjadi dengan cara simbolik, melalui aturan kontrak tidak adil, atau dengan dalih solidaritas yang melanggengkan eksploitasi tenaga kerja, atau dengan tekanan-tekanan penyalahgunaan kekuasaan, ancaman black list, dan sebagainya.
Kekerasan simbolis juga bisa berwujud cinta, baik pada persona atau kepada filmnya sendiri yang abstrak: yang penting filmnya jadi. Banyak pekerja film yang berusaha mengerti masalah produser atau sutradara atau astrada, karena mereka teman senasib sepenanggungan. Mereka rela dieksploitasi sedemikian rupa untuk membereskan kebodohan orang lain. Setelah itu hubungan dijaga baik dengan party-party setelah syuting (kalau ada uang tersisa), atau sekedar halal bi halal minta maaf. Syuting sudah seperti sebuah neraka yang harus dilewati untuk mencapai surga. Neraka yang tak terukur dan tidak adil. Karena neraka Tuhan lebih adil: Hitler ditusuk besi panas dari pantat hingga mulut karena apa yang ia lakukan pada Yahudi. Sementara kru salah apa sampai harus merasakan neraka diteriaki, dimaki, tidak tidur, dan kecelakaan tanpa asuransi? Orang film seperti punya lebaran beberapa kali setahun karena sering maaf-maafan, tanpa banyak evaluasi diri.
Dan ini membuat nilai kekerasan jadi relatif. Ucup susah dibela karena perilakunya kasar dan dia mengglorifikasinya, tapi ada yang lebih parah lagi: orang yang perilakunya baik, tapi pas syuting jadi iblis dan semua orang berhasil dimanipulasi biar ikut maunya dia secara konsensual. Mungkin di set tidak marah-marah; mungkin juga terlihat pusing dan menderita seperti kru yang lain, tapi keputusan idealisme dan artistiknya bikin syuting sangat tidak manusiawi: jam kerja panjang, tidak ada safety, tidak ada asuransi, dan memaksa overtime atau pick up shot dalam waktu sangat dekat, sering terjadi. Belum lagi kontrak yang sangat tidak manusiawi, seperti memaksa seorang pekerja untuk mau menerima kontrak project berikutnya tanpa kenaikan upah sesuai inflasi atau profit. Bangsat.
Ada juga yang meremehkan kru lain yang sakit hati atau depresi. Begini ya, kawan, sakit hati itu relatif. Bisa jadi kebanyakan orang tidak sakit hati, tapi jika ada satu dua orang yang tiba-tiba hilang karena depresi dan jadi suicidal maka jelas ada masalah. Ingat, ini orang bukan angka. Satu dua orang depresi karena kebijakan buruk adalah sebuah tanda kegagalan dalam menjaga lingkungan kerja yang baik.
Lalu ada juga yang masokis dan ngajak-ngajak, tanpa sadar bahwa tidak semua orang masokis seperti dia. Tidak semua orang seambisius dia untuk film dia. Akhirnya, perlahan tim collapse, dan seperti domino, yang repot di post produksi yang harus beresin kesalahan produksi dari mulai sound yang buruk hinggal shot yang tidak punya continuity karena script cont-nya tidak tidur. Ada lagi yang sudah sakit masih maksa syuting, karena mikirin kru dan budget. Udah kayak Jendral Sudirman dibawa-bawa pake tandu ke hutan. Ini efek kebalik tapi sama bahayanya, semoga nggak keulang lagi cinta yang membunuh semacam ini.
Kita menuju ke kemajuan di industri kita: UU perfilman, BPI, Sertifikasi kerja, kucuran dana pemulihan ekonomi, dana abadi kebudayaan dan lain sebagainya memastikan kita bisa produksi film dengan jauh lebih nyaman dan aman dibanding zaman orde baru. Maka baiknya perbaikan terus dilakukan, khususnya soal aturan untuk pekerja film.
UU perfilman yang dibikin, menurut banyak orang, belum berpihak pada pekerja tapi lebih pada pengusaha film. Karena kepentingan pekerja dari mulai jam kerja yang manusiawi sampai jaminan sosial belum tersurat. Terlebih lagi fleksibilitas yang membuat eksploitasi terus jalan, dan akibatnya kata-kata kotor dan konflik kekerasan fisik, verbal, dan simbolik kerap terjadi di set yang stress karena memaksakan budget, timeline, dan ide yang tidak cocok satu sama lain.
Jangan bilang bahwa itu biasa dalam syuting, atau tidak ada syuting yang akan beres 100 persen! Jangan menormalisasi syuting sakit! Itu cuma ocehan kaum budak proletariat yang harusnya sudah punah bersama hantu-hantu Marx. Ada kok yang sudah mempraktekan syuting sehat, tapi mereka belom sempat berbagi ilmu pada banyak tim produksi lain. Mereka belum berhasil mereduplikasi cara mereka untuk bisa, misalnya, jogging sama keluarga di tengah-tengah syuting film panjang, tanpa ganggu jadwal syuting. Sempat menjadi manusia sehat jiwa raga, di tengah kerja keras yang teratur baik, karena manajemen yang rapih dan prioritas yang logis: film nomor dua, kesehatan fisik, mental dan keluarga yang utama.
Nggak mungkin juga mereka yang sehat-sehat ini sering sharing-sharing sebuah ilmu ke semua tim produksi yang sakit di luar sana. Terlalu banyak tim yang sakit daripada yang sehat. Salah-salah mereka yang sehat bisa jadi ikut sakit, karena mereka kan kerjaannya syuting, bukan advokasi. Maka tidak ada cara lain selain memohon perubahan UU menjadi lebih berpihak pada pekerja. Agar persaingan jadi sehat dan tidak memungkinkan pekerja ditekan sedemikian rupa dari atas ke bawah.
Kasihan banget melihat asosiasi film seperti ICS, IFDC, atau ACI jadi seperti kelompok paramiliter atau anarko yang bikin hukum sendiri, padahal mereka harusnya ada di bawah lindungan NKRI. Mereka asosiasi pekerja, pak, bukan Ormas agama yang biasa ngeluarin fatwa.
Penting kita untuk sadar kekerasan yang kita lakukan, sengaja atau tidak sengaja, karena cinta atau benci–semua adalah kekerasan, dan itu harus dihentikan.
Filmmu TIDAK PENTING. Karena film Indonesia belum bisa menjadi penting, jika orang-orangnya yang membuatnya tidak dipentingkan.
Terima kasih sudah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan donasi. Kalau kamu suka yang kamu baca, silahkan traktir penulisnya kopi biar semangat nulis lagi. Thanks.
Sebuah review terbalik tanpa spoiler dari buku “Aku Bikin Film Pendek, Sekarang Aku Harus Ngapain Cuk?” Tulisan Clarissa Jacobson.
“Semua orang bisa bikin film, tapi nggak semua orang bisa bikin film bagus.”
“Film yang bagus adalah film yang jadi.”
“Semua film ada penontonnya.”
Semua jargon di atas cuma omongan saja, dan terlalu abstrak buat dilakukan. Itu sama sekali nggak jelasin apa itu film bagus, nggak ada rumus pastinya. Belum lagi mereka yang ngomong,”ngapain bikin film bagus kalo ga laku?” Atau yang sebaliknya, “film yang bagus nggak harus laku!”
Ah! Kenapa kita nggak bikin film bagus yang laku sih?
Karena susah. Perlu proses, metodologi, pengukuran, penelitian, peer review, development, nyari modal, dan lain-lain. Semua yang susah itu ada di buku “Aku Bikin Film Pendek, Sekarang Aku Harus Ngapain Cuk?” Tulisan Clarissa Jacobson. Ini buku soal distribusi film pendek yang lengkap, lugas, padat, mudah dimengerti, dan susah dikerjakan.
Kalau kalian niat jadi filmmaker dan suka penderitaan yang lebih efektif, kudu baca banget buku ini, tapi nggak harus. Karena saya udah satu dekade lebih jadi filmmaker tanpa buku ini, bisa-bisa aja. Bisa gila. Nggak ada arah, disorientasi, kebanyakan eksperimen, sampai mental saya campur aduk penuh tempe dan ramen. Jadinya temperamental. Jangan, ya. Kalau mau menderita, rencanakan dengan baik. Karena penderitaan yang cukup, adalah sumber kenikmatan, kata para psikonalisis dan peneliti seksual.
Saya nggak akan kasih bocoran bukunya di artikel ini, biar kalian punya pilihan soal penderitaan panjang tanpa buku ini. Sebaliknya, saya cuma akan kasih 8 hal yang mudah, yang bisa kamu lakukan kalau kamu ingin “bikin film aja”, dan menuju ke masa depan suram filmmaker yang saya dan banyak teman-teman saya alami–kebanyakan dari kami gagal, karena kami nggak ada buku kayak gini dulu. Untungnya saya masih bertahan, karena cinta. #eaaa
Inilah, 8 Cara delusional bikin film pendekmu gagal dan membuatmu menyiksa diri dengan kegagalanmu:
1. Bikin dulu baru mikir
Jangan dipikirin. Ada kamera, ada temen. Bikin aja. Bikin apa? Yah apa kek. Yang kita pengen aja. Ajak aja temen-temen. Ada tugas kuliah, ya bikin. Galau, ya bikin. Bikin aja dulu. Niscaya nanti kebanyakan akan jadi sampah di harddisk.
2. Pilih temen yang ga bisa komit.
Masih mending punya temen. Daripada nggak. Pelacuran sosial ada kunci kekecewaan dan pembullyan publik. Nggak usah milih-milih temen. Ujungnya nanti di credit title banyakan nama kamu daripada nama kru, karena trust issue.
3. Nggak usah diukur, hajar bae
Males baca, males riset, nggak ngerti. Cuma mau bikin film aja. Gampang tinggal record. Edit belajar dari youtube. Nggak usah workshop. Kan cinta itu buta. Bikin film yang penting jadi, kayak nikah ta’aruf. Bisa-bisa aja, mungkin aja berhasil, bisa aja ada keajaiban. Toh, dari 7 milyar orang di Bumi, nabi cuma 25. Dapatkan mukzizat syuting. Kurangi kerja dan riset, perbanyak ibadah.
4. Bikin film aja, nggak perlu skill lain
Iya dong. Kan filmmaker, bukan anymaker. Jadi ga perlu bisa copywriting, ga perlu bisa graphic design, nggak perlu bisa bikin press kit, apa itu canva? Mainan anak magang itu. Pitching ke investor? Showcase? Ah itu tugasnya agen. Serahkan semuanya pada semesta, karena kalau filmmu bagus, niscaya akan di pick up, mungkin nanti 3000 tahun lagi, oleh para alien yang sedang riset arkeologi, dan menemukan filmmu teronggok di sebuah artefak Harddisk berisi 30 persen filmmu dan 70 persen pornografi.
5. Riset bikin mumet, kan ada pengalaman hidup, ngapain riset lagi?
Curhat! Saya cuma mau curhat! Penonton harus lihat curhat saya. Gak perlu riset, saya ngerti banget hidup saya. Hidup orang? Hidup karakter? Meh! Semua mesti berpusat pada diri sendiri saja. Kan director, filmmaker, harus dong punya ego gede. Kalau sampe kalah di festival, yang salah festivalnya, meminggirkan saya.
6. Kata Sartre, orang lain itu neraka, jadi jangan banyak gaul
Nggak suka ke festival, nggak suka nongkrong sama filmmaker lain. Sirik lihat kawan di sosmed yang filmnya jelek tapi official selection. Saya mah introvert. Terus kalo dikritik marah, terus berhenti deh bikin film. Gampang sakit hati. Gampang depresi biar ada alasan buat healing. Rasakan sensasinya.
7. Nggak boleh gagal, jangan sampai kecewa! Harus sempurna! Tapi kirim ke semua festival gratis, ga usah dicek.
Nggak harus tahu penonton yang diincer siapa, ntar juga ada yang nyangkut. Tapi entah dimana nyangkutnya, mungkin di festival abal-abal. Bodo amat festival sembarangan, bodo amat filmnya diapain. Ah, kalah terus di festival. Pasti karena film saya terlalu impactful.
8. Buatlah film paling sempurna!
Jangan dibikin. Pikirin aja. Kata Plato kesempurnaan ada di pikiran.
Jadi penderitaan mana yang mau kau dustakan?
***
Data Buku
“Aku bikin film pendek sekarang aku harus ngapain cuk”
Tulisan ini diterbitkan pertama kali di Jakartabeat.net dengan judul “Tentang Mitologi Ariel Peterpan dan Jim Morrison.” Diedit ulang setelah diupload tanpa atribusi ke saya sebagai penulis asli di sebuah blogspot yang saya jadi nggak mau sebut. Terima kasih karena membajak tulisan ini, lain kali boleh lah sebut nama saya. Saya malas untuk mengedit tulisan ini lagi menjadi seperti bentuk yang semula. Jadi saya akan biarkan banyak kesalahan kontekstual di sini, di mana si teng unggah mengganti Ariel Peterpan menjadi Ariel Noah. Sesungguhnya ini kesalahan konteks yang cukup fatal karena tulisan ini dibuat ketika Ariel masih ada di band Peterpan dan sedang terjebak kasus pornografi. Semoga kalian yang membaca tulisan ini, bisa bijak menyikapi bahwa tulisan ini tidak lagi kontekstual dan hanya berlaku sebagai data yang ingin saya simpan sebuah jejak penulisan saya titik karena ini adalah tulisan yang pertama kali saya terbitkan di Jakartabeat.net. atas permintaan kawan saya, Pry, maka saya taruh tulisan ini di blog ini. Terima kasih sudah sedih untuk membaca ulang
They don’t want me, they want my death” —Val Kilmer as Jim Morrison in Oliver Stone’s The Doors
Yesus mengorbankan dirinya: daging dan darahnya dipersembahkan untuk murid-muridnya sebagai representasi dari umatnya dalam perjamuan terakhir. Inilah sebuah metafor purba tentang selebriti, tentang idolisasi (idolatry) dan tentang bagaimana manusia yang memakan daging dan darah-Nya adalah konsumen tanda. Yesus adalah selebriti. Begitupun para pahlawan terkenal, para nabi dan para figur publik. Dan selebriti adalah: Mitos.
Roland Barthes (1982), pakar semiotik dan strukturalisme, mengatakan bahwa mitos adalah bagian dari sistem tanda yang sudah tidak bisa (atau tidak diperdulikan) lagi asal-muasalnya. Dengan kata lain, ia tidak dianggap lagi sebagai manusia yang mampu berdialog dan mempertahankan posisinya, tetapi hanya dianggap sebagai teks. Teks yang permaknaannya tergantung publik.
Mitos terbentuk dari idolisasi. Herkules, Achiles, Perseus, dan dewa-dewa Yunani Kuno dibentuk dengan cara yang sama. Imaji tentang Tuhan-pun dibentuk dengan cara yang sama. Ada dakwah, ada pesebaran propaganda, informasi, berita, cerita-cerita, narasi, dan pada akhirnya dongeng atau, dalam bentuk paling ekstrim, agama yang terinstitusi. Mitos membentuk identitas dan perilaku masyarakat, kata Levi-Strauss (1955), dan inilah yang selalu terjadi dalam peradaban manusia. Mitologi, karenanya, dalam masa sekarang kita bisa sebut sebagai media.
Roland Barthes, ahli semiotika asal Prancis
Idolisasi adalah bagian dari sistem bermasyarakat yang universal. Ia ada di semua masyarakat dari suku bangsa manapun dari waktu manapun. Sang Idola biasanya tidak melawan ketika dimaknai—karena dia hanya teks. Idola ini (atau orang-orang di belakangnya—dan ini yang penting) berusaha membuat kesan dan tanda untuk dikonsumsi agar ia bisa tetap hidup sebagai teks di dalam masyarakat. Para penganutnya setia dalam memaknai sang idola. Mereka menolak persepsi baik pada idola yang jahat (misalnya setan) dan menolak persepsi buruk pada idola yang baik (misalnya Tuhan atau Nabi). Begitu diterbitkan, tanda bisa diinterpretasi secara bebas. Para Idola yang memaksakan kehendaknya di masyarakat akan menjadi tiran dan pada akhirnya akan dianggap negatif. Diktator macam pak Harto, misalnya, harus rela dianggap jahat ketika kekuasaannya mempertahankan imej hilang.
Narasi-narasi dalam mitologi membentuk identitas dan kesadaran manusia. Marx dalam Fuerbachian Criticism of Hegel (1967) membahas bagaimana tuhan adalah proyeksi/karya manusia yang teralienasi dari manusia sendiri. Tuhan adalah buatan manusia yang disembah-sembah dan menimbulkan fetisisme seperti halnya seorang tukang sepatu yang tak mampu membeli sepatu dan menganggap sepatu yang dibuatnya sebagai bukan karyanya. Adorno (2004) mengembangkan teori Marx untuk memberikan definisi tentang seni rendah-seni tinggi di mana seni rendah adalah seni komoditas yang dicopy dan diperjualbelikan untuk mengatur kelas pekerja, sementara seni tinggi adalah seni otentik dengan kerumitan dan kekhususan yang sulit untuk ditiru. Keduanya—agama dan seni rendah—dianggap sebagai cara untuk ‘membodohi’ kelas pekerja dengan kesadaran palsu agar tidak melawan. Jika ‘media’ adalah kata modern untuk ‘mitos’, maka Noam Chomsky (1977) berkata hal yang sama:
The real mass media are basically trying to divert people. Let them do something else, but don’t bother us (us being the people who run the show). Let them get interested in professional sports, for example. Let everybody be crazed about professional sports or sex scandals or the personalities and their problems or something like that. Anything, as long as it isn’t serious. Of course, the serious stuff is for the big guys. “We” take care of that.
Media massa yang sebenarnya berusaha untuk mengalihkan orang-orang. Membiarkan mereka melakukan hal-hal lain, asal jangan memperdulikan kami (kami yaitu orang yang menjalankan acara). Biarkan mereka tertarik dengan olahraga profesional, contohnya. Biarkan semua orang tergila-gila dengan olahraga profesional atau skandal seks atau kepribadian dan masalah-masalah mereka atau apapun itu. Apapun, selama itu tidak serius. Tentu saja, yang serius-serius untuk orang-orang besar. “Kami” mengurus itu.
Dari sini kita bisa melihat bahwa beberapa kritikus budaya yang memandang nyinyir mitologi atau folklore—dua wacana yang sangat diakrabi ilmu antropologi klasik—sebagai akar pembagian kerja dan alienasi, kontra-revolusioner, dan penipuan publik. Idola-idola menjadi narasi yang menanamkan kepercayaan tentang hierarki dan posisi oleh karena itu menjaga sistem kelas seperti semestinya; seperti sejarah yang diklaim dan dibentuk penguasa untuk menguatkan kekuasaannya.
Namun kadang-kadang, ada idola-idola yang menjadi anomali. Idola-idola yang dengan merusak bentuknya sebagai tanda, sebagai mitos, mampu merusak sistem; mengekspos kemunafikan dan membongkar penyakit sosial di dalam sistem yang banal. Itu adalah saat sang idola mengeluarkan sisi kemanusiaannya, sisi individualitas dan kebebasan absolutnya sebagai seorang manusia. Di situ sistem akan goyah dan dipaksa mencari titik keseimbangan baru. Sebagai contoh, tulisan ini akan mencoba menghadirkan dua idola/mitos : Ariel ‘Noah’ dan Jim Morrison.
Sebelum lebih jauh membahas hal ini, saya perlu tekankan bahwa Ariel ‘Noah’ sebagai seorang individu tidak bisa dibandingkan dengan Jim Morrison dari segi pemikiran filosofis dan intelektualitas karena mereka berasal dari kebudayaan dan masa yang benar-benar berbeda. Mereka saya pilih untuk dibahas karena ada satu hal yang menurut saya sama: mereka berdua pernah menjadi ‘the ultimate Barbie doll’ dari dunia entertainment, dunia banalitas budaya pop, pada konteks waktu dan tempatnya sendiri-sendiri. Perbandingan kedua orang ini sebagai wacana saya rasa adalah contoh yang baik untuk melihat fenomena budaya populer dan sebuah usaha melihat dua kebudayaan secara horizontal.
The Ultimate Barbie Doll adalah sebuah fenomena penting di dalam perkembangan kebudayaan modern Amerika dimana seorang idola dipandang sebagai objek seksual. Yang menarik dari Ariel dan Morrison adalah sebuah keterbalikan jender: maskulinitas yang biasaya subjek seksual, diobjektifikasi sebagai sesuatu yang indah dan menggairahkan. Jim Morrison muda dengan celana kulit ketatnya dan sifat kekanak-kanakkannya atau Ariel ‘Noah’ yang sering telanjang dada di panggung untuk menunjukan dadanya yang bidang dan ototnya yang mengkilat karena keringat, juga dengan celana ketat. Tidak semua idola bisa menjadi begini. Hal ini tergantung pada konteks dan imej yang dibangun. Contohnya Iwan Fals Muda yang telanjang dada, brewokan, dan menunjuk ke aparat sambil berteriak ‘Bongkar!’ lebih menjadi provokator daripada objek seks karena saat itu yang dilawan adalah tiran politik.
Media membuat Ariel dan Morrison menjadi bintang. Keduanya adalah penulis lirik-lirik lagu yang kaya metafora dan menjadi hits. Dan, yang perlu ditekankan, keduanya adalah pemain cinta. Ketika Ariel ‘dikatakan konon’ telah memproduksi 32 video seks pribadi dengan perempuan-perempuan selebriti yang berbeda-beda, Jim Morrison telah berhubungan seks dengan lebih dari 40 orang perempuan (Stone, 2000). Secara lebih ekstrim, buku berjudul Sex Revolt (1996) bahkan pernah mengutip sebuah gossip di media tentang Jim yang ‘diperkosa’ oleh beberapa perempuan, salah satunya ratu musik soul kenamaan Janis Joplin.
Indonesia sekarang (hampir) mirip sekali dengan Amerika Serikat pada akhir 1960-an dan awal 1970-an secara sosial-ekonomi. Konsumerisme tinggi, pemerintah penuh dengan korupsi, politik bisa dibilang stabil (karena tidak ada kudeta ekstrim meski sistemnya busuk—mungkin banyak orang Indonesia nyaman dengan kebusukan ini) dan kaum konservatif-fundamentalis-ekstrimis menjamur. Kehadiran Ariel ‘Noah’ di tengah-tengah industri hiburan adalah sebuah fenomena langka: dia tampan, menebarkan keseksiannya, bisa bernyanyi dan mencipta lagu, dan seorang penghibur yang komunikatif. Banyak fansnya tidak terlalu memperhatikan arti lirik-lirik yang ia ciptakan karena ia telah menjadi mitos. Persis Jim Morrison pada masa kejayaannya yang digilai penggemar cuma karena fisik dan imej-nya.
Ariel dan Jim muda tidak mengubah apa-apa meski mereka telah menjadi mitos. Di Indonesia, ‘Noah’ adalah salah satu band yang memprakarsai kejatuhan musik mainstream Indonesia. Band-band baru pop melayu meniru-niru teknik vocal Ariel, chord lagu, gaya dan beberapa kata-kata di dalam lirik seperti ‘bintang’ atau ‘menunggu’, tapi tidak bisa mencipta kedalaman metafora dan refleksi perenungan seperti “Apa yang kuinginkan tak pernah jadi kehidupan, apa yang kulakukan menjauh dari kenyataan….melihat di balik awan.” Jim Morrison muda pun tidak bisa memperbaiki sistem Amerika Serikat yang ia kritik pada saat itu ketika masyarakatnya menghabiskan pengeluaran untuk minuman alkohol dan narkotik jauh lebih besar daripada untuk pendidikan. Padahal lirik-lirik lagunya sudah memperingatkan tentang kematian kemanusiaan, dan neo-kolonialisme (lihat lirik The End) atau kekhawatiran yang terbentuk dari kebingungan masyarakat kapitalis dan budaya konsumerisme (lihat lirik Soft Parade). Media dan fans (atau umat) tidak memperdulikan kemanusiaan dan individualitas idolanya, tapi terus menerus mengelukan imej mereka, mitos mereka. Lalu yang terjadi adalah sebuah perlawanan, sebuah kenyataan pahit bahwa mereka berdua adalah manusia yang memiliki sisi abnormalitas tinggi.
Ariel kehilangan imejnya sebagai bintang berwajah melankolis, pencipta lagu hits yang nampak seperti pria baik-baik, ketika video seksnya bebas diunduh secara mudah. Karirnya hancur karena skandal ini dan ia dinyatakan bersalah hingga harus masuk bui. Di sisi lain, Jim Morrison sempat lelah dengan ketenarannya. “Girls want my dick, not my words,” ucap Jim dalam rekaman An American Prayer. Ketika skandalnya terbuka: beberapa perempuannya hamil dan minta tanggung jawab, ia juga masuk ke penjara dan diadili akibat perbuatan tidak senonoh (kencing di panggung Miami dan membuat kerusuhan); kebebasannya sebagai manusia terkekang sama sekali dan awal tahun 1970 ia harus masuk rehab karena ketergantungannya pada narkoba dan depresi yang akut.
Sampai tulisan ini ditulis, Ariel masih dipenjara dan dari dalam bui mengeluarkan satu single. Di waktu dan tempat yang lain, menjelang akhir 1970, Jim Morrison kembali dari pengasingannya. Umurnya 26 tahun namun fisiknya seperti pria 65 tahun. Ia masih minum-minum namun ada dalam tahap yang menurut saya paling sempurna di hidupnya: seorang tua yang bahagia bagai sang Buddha yang diangkat ke Nirwana. Di sini pamornya sebagai Ultimate Barbie Doll sudah jatuh. Ia tidak lagi seksi, tapi gemuk. Tidak lagi tampan tapi berewokan. Para penggemarnya berkurang, tapi yang tersisa benar-benar mendengarkan liriknya, puisinya. Jim telah membuat imej yang ia inginkan sendiri, bukan aturan korporat atau sistem.
Yang pasti, Ariel dan Jim telah membuat keseimbangan sistem dan struktur masyarakat menjadi goyah. Sebagai idola, mereka telah membuat skandal. Efeknya adalah sebuah masyarakat yang sudah sepatutnya merenungi etika dan moral yang telah pudar dan hancur dimakan keserakahan akan konsumsi akan idola/mitos. Sebuah kenyataan bahwa seks dan konsumerisme sudah begitu bebasnya hingga nilai-nilai hancur, nihilisme berkuasa, tujuan hilang, institusi kemapanan goyah dan imej hierarki kapital runtuh. Sudah seharusnya masyarakat mencari keseimbangan baru.
Jim dan kawan-kawan flower generation-nya telah membuka mata masyarakat Amerika tentang kebobrokan sistemnya. Masa Beat-generation adalah salah satu turning point tertajam Amerika. Sistem pendidikan mulai diperbaiki, segala hal yang tabu seperti seks dan kritik sejarah, mulai dibuka aksesnya ke ranah pendidikan wajib. Kebebasan diberikan dengan pemantauan dan pengembangan. Pemerintah dan pengkaji budaya bisa membaca apa yang bisa dilakukan masyarakatnya melalui skandal selebriti-selebriti ini: sadomaskisme, homoseksual dan biseksual mulai diakui keberadaannya, narkoba semakin dipersempit geraknya, dan media mulai menyadari bahwa mereka sudah benar-benar membunuh mitos-mitos yang mereka besarkan sendiri. Ini juga bisa diinterpretasikan kenapa perlahan-lahan para raja entertainment mati tanpa ada regenerasi—Michael Jackson adalah yang terakhir. Era para Raja dan idola sudah berakhir di Amerika.
Hal yang serupa tidak terjadi di Indonesia. Ruang privat selebriti yang secara ekstrim dibuka skandal Ariel, alih-alih membuka topeng kemunafikan, malahan memberikan semacam reality-by-proxy atau ‘kenyataan-yang-dekat’ dengan para fansnya. Kedekatan semacam ini bertransformasi secara simbolik dalam bentuk infotainment yang menguasai 70% acara televisi nasional dari pagi sampai malam dan membahas secara berulang-ulang narasi kehidupan privat para selebriti—bukan produk mereka. Dominasi infotainment di televisi nasional menjadi bahasan penting karena dari situ kita bisa melihat sebuah kebanalan tanpa pilihan yang membuat mitos dianggap sebuah kenyataan yang dekat. Pembicaraan tentang figur publik dari internet sampai dapur pribadi tak jauh beda seperti pembicaraan tentang skandal tetangga, kawan atau saudara dekat yang menjadi bahasan sehari-hari. Narasi-narasi ini begitu populer saat ini dengan kebanalannya: seorang musisi menikah secara besar-besaran dan mantan istrinya datang dengan suami barunya, seorang pengacara membelikan anak perempuannya mobil seharga miliaran padahal anaknya cuma minta martabak, seorang kekasih selebriti memalsukan identitasnya, dan seterusnya.
Gosip difabrikasi dan kenyataan diverifikasi dalam sebuah siklus pabrik semiotis artifisial citraan-citraan. Bukannya kemunafikan berusaha diredam, tapi malah diumbar dengan usaha untuk membuat citraan yang baik dengan cara yang sangat buruk dan menghasilkan performance yang absurd. Seperti narasi tentang seorang penyanyi dangdut yang menikah dengan ‘janda kaya’ yang dirangkai dengan musik horror, narasi mencekam, dan gaya investigasi kriminal pembunuhan berantai. Sangat postmodern, sangat bebas dan semaunya, sangat banal, dan sangat tidak masuk akal. Dalam mitologi seperti inilah kebudayaan dominan Indonesia kontemporer sedang dibangun.
Di negara-negara kapitalis lain, media memiliki banyak cabang dan fungsi. Orang bisa memilih berbagai macam acara yang tidak melulu infotainment. Tapi tidak di negeri ini. Jika TV dikuasai infotainment, kemana larinya wacana politik? Kemana perginya kasus-kasus lama yang belum terkuak? Siapa yang masih peduli akan Widji Thukul, mahasiswa-mahasiswa yang diculik dan dibunuh sebelum 1998, Munir, atau Prita yang kasusnya masih mengambang? Nampaknya kalau tak sedikit, tak ada. Toh, Trending topic twitter tertinggi di Indonesia tahun 2011 hingga sekarang tak jauh-jauh dari wacana-wacana selebriti dari Briptu Norman hingga Lady Gaga. Apakah pendapat Marx, Adorno dan Chomsky masih relevan di negeri ini, bahwa hal remeh temeh dan tidak penting diciptakan untuk kelas pekerja? Apakah Ariel benar-benar jauh dari Jim Morrison sehingga efek filosofis Morrison tidak mungkin terjadi di negeri ini? Benarkah dominasi acara tak penting di TV nasional adalah manipulasi kelas penguasa? Saya tidak ingin menjawab semua itu. Saya memilih untuk menutup tulisan ini dengan sebuah cerita fiksi dan membiarkan anda menyimpulkan sendiri:
Jeany adalah seorang anak SMU dari keluarga menengah kelas atas Indonesia. Ia sekolah di sekolah internasional dan sering jalan-jalan ke luar negeri dengan orang-tuanya Ia adalah anak salah satu pengusaha paling kaya di Indonesia yang juga seorang pejabat pemerintah dan pembesar partai. Suatu hari ia pulang ke rumah, menyalakan TV kabelnya dan memilih saluran. Tentunya tayangan TV nasional (dua di antaranya milik ayahnya) yang berisi infotainment ia lewatkan. Ia berhenti menekan remote dan mulai menonton sebuah program international E! Entertainment yang membahas pita pink yang dipakai Miley Cyrus dalam sebuah acara. Pita pink dibahas hampir satu jam, dan ia tidak melewatkannya semenit-pun. Untuk Jeany, pita Pink Miley Cyrus jauh lebih penting daripada nonton stasiun TV ayahnya yang membahas Saipul Jamil yang ingin bangun mesjid. Jeany adalah masa depan kaum menengah atas yang akan mengurus hal-hal ‘penting’ di negeri kita. Ia hanya menonton ‘yang penting-penting saja’ sebelum nanti malam dugem bersama kawan-kawannya.