Film

Konspirasi Yahudi di Film Senyap: Teknis, Teater dan Konspirasi

Senyap

Tulisan ini pernah dimuat di Jakartabeat.

Screen Shot 2015-07-12 at 1.31.32 AM

Mohon maaf karena saya menjadi bangsat terkutuk yang mengutip status FB kawan tanpa izin sebagai pembuka naskah. Saya kutip karena saya rasa pertanyaanfilmmaker Sidi Saleh di atas adalah pertanyaan yang sangat penting. Apa motivasi dibalik pembuatan film Jagaldan Senyap oleh Joshua Oppenheimer? Siapa para pemaku kepentingan serta pemilik modalnya? Dengan tujuan apa? Jika film-film ini ingin memberikan daya kritis untuk kita, dan membantu rekonsiliasi antara Negara dengan para korban tragedi pembantaian Komunis 1965, kita pun harus berusaha kritis dulu. Karena tidak ada hal gratis yang dibuat manusia di dunia ini. Kalau kita percaya Lacan, bahkan tindakan paling tulus pun adalah sebuah bentuk narsisisme.

Secara retrospektif, seperti tema Jakartabeat kali ini, kita harus terima kenyaataan bahwa yang disebut kebaikan saat ini bisa jadi kejahatan di masa depan. Itu hal penting yang bisa diambil dari kehidupan Anwar Congo dan para pembantai: jadilah skeptis. Jangan terlalu yakin. Curigalah. Kalau tidak, di kemudian hari bisa-bisa kita yang menari chacha dan minum… apa itu namanya? Inek.

Saya menulis ini sebagai salah seorang bangsat yang menyebarkan film Senyap ini dan memutarnya di kampus-kampus —termasuk di kelas yang saya ajar sendiri. Ya, bangsat terkutuk yang gampang dituduh penyebar komunisme baru, antek Oppenheimer si Yahudi, dan bibit-bibit pemecah NKRI. Saya, seperti banyak kawan-kawan lain, bisa selalu dituduh sebagai bagian dari kebangkitan Dajjal Komunis dari kuburan-kuburan massal para pendosa tak beragama, tukang senggama bebas yang menari telanjang dalam iringan lagu Genjer-genjer sambil jilat-jilat darah merah para Jendral Revolusi.

Sebagai bangsat, saya juga si oportunis yang berlindung di balik kelas sosial-ekonominya. Oportunis skeptis yang mempertanyakan, kalau ini untuk HAM, kenapa kami? Kenapa Indonesia? Apa kabar Rwanda dan genosida besar-besaran di sana? Apa kabar Armenia yang dibantai di Turki? Dari pertanyaan-pertanyaan ini saja kita bisa melihat bahwa keberadaan film Jagal dan Senyap adalah sebuah tebang pilih. Efek yang dihasilkan seperti kepastian diadakannya pengadilan tribunal internasional baru-baru inii dan gerakan-gerakan sosial lain dalam kerangka tragedi 1965 sebagai efek domino juga adalah hasil dari sebuah konspirasi yang akan saya jelaskan di bagian akhir esei ini sebagai Konspirasi Yahudi.

Dari preambule di atas, maka tulisan ini akan membahas tiga hal. Pertama, melihat dengan kritis film Jagal dan Senyap sebagai sebuah karya seni media audio-visual—yang memakai realisme dan merepresentasikan kenyataan, tapi bukan kenyataan. Dan kedua, melihat kedekatan (proxy) film Senyap dengan pentonnya sebagai sebuah alih wahana dari film ke pertunjukan teater. Ketiga, konspirasi Yahudi untuk mengguncangkan NKRI, dan memecahbelah kita dengan mengincar dua hal yang paling penting di ideologi kita: Nasionalisme dan Agama (dalam hal ini, Islam).

Jagal & Senyap: Sebuah Dokudrama Rekayasa Kolaboratif

…[without these we will] never be able to get into the field, into people’s lives, which I think is an amazing phenomenon…. I’ve somehow taken advantage of their misery or tragedy in those cases and used it to my benefit on a personal level. Sometimes that’s a little thing I have trouble wrestling with. Not that we coerced them or forced them to do it . . . I think oftentimes people who are sort of disenfranchised, who are poor, who live in trailer parks—sort of the leftover people that people don’t usually give airtime to or even ask their opinions—are usually people that are not anxious and want to be filmed or want to be involved in the film because, in many ways, it’s their fifteen minutes. I know for a fact that if any tragedy ever happened in my life, I can promise you I would never let anybody like myself in my own home.ii

Begitulah kata Bruce Sinofsky, seorang filmmaker Verite di Amerikaiii. Eksploitasi atas kehidupan subjeknya dijustifikasi untuk menampilkan sebuah ‘kebenaran’ yang dipercayafilmmakernya dan tentu saja untuk kepentingan pasar. Bagaimana Jagal dan Senyap dibuat juga demi pasar. Karena kalau ia tidak laku dijual, tidak kontroversial, maka efek massifnya tak akan ada dan ia tidak akan menjadi film ‘festival oriented’ yang baik. Bagian ini akan membahas bagaimana film Jagal dan Senyap saya baca sebagai film dengan pendekatanExperiential (pengalaman) dimana filmmaker berkolaborasi dengan subjek untuk membuat sebuah karya seni realisme (seperti kenyataan) dan dikonstruksi sebagai produk yang mewakili kenyataan tersebut. Sebuah paradoks yang bertolak belakang, dalam sebuah produk yang sama.

Senyap (The Look of Silence) adalah sebuah film dokumenter kolaboratif arahan Joshua Oppenheimer dan Anonim asal Indonesia yang menceritakan proses rekonsiliasi yang coba dilakukan Adi Rukun (44), adik seorang pemuda bernama Ramli yang dibunuh karena dituduh PKI di Medan, Sumatra Utara di tahun 1965-1966. Dokumenter kolaboratif artinya sang filmmaker bekerja sama dengan subjeknya dalam membuat film tersebut. Kerja sama ini bisa terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari penentuan isi dan wacana film, artistik, sampai mencari data dan merekonstruksi adegan. Dalam hal ini Adi Rukun adalah pusat dari film ini, sang protagonis, yang mencari kebenaran tentang kematian kakaknya dari lingkaran terdekat sampai terluarnya; dari keluarganya hingga orang-orang yang membunuh kakaknya dan orang-orang yang secara struktural bertanggung jawab atas pembunuhan itu.

Film ini adalah salah satu dari rangkaian film yang dibuat Joshua Oppenheimer di Indonesia. Film sebelumnya yang menurut banyak orang lebih fenomenal, adalah Jagal (Act of Killing). Di film ini fokus utamanya adalah Anwar Congo, seorang pembantai yang pernah menjadi kepala preman di Medan dan memiliki banyak koneksi dengan petinggi Medan. Sama sepertiSenyap, Jagal juga sebuah film dokumenter kolaboratif. Namun walaupun kolaboratif, pendekatannya cukup jauh berbeda. Dalam Jagal, Oppenheimer membantu Anwar untuk membuat sebuah film fitur yang mengangkat kisah pembunuhan-pembunuhan yang ia lakukan. Dokumenter tersebut adalah sebuah bentuk dokumentasi dibalik layar (Behind The Scene) dari produksi film “Arsan dan Aminah” yang sampai hari ini kita tidak tahu hasilnya ada atau tidak. Pada akhirnya, Anwar mengaku dalam berbagai kesempatan bahwa ia ‘ditipu’ Openheimer dan film tersebut keluar tidak seperti harapannya.

Berbeda dengan Jagal, nampaknya Senyap sesuai dengan harapan Adi Rukun. Itu juga yang membuat Adi bisa ikut keliling pemutaran film di banyak tempat di Indonesia dan bicara pada banyak orang tentang pengalamannya membuat film tersebut. Ini semua karena Anwar adalah antagonis yang merasa dia pahlawan, dan Adi adalah protagonis yang teropresi. Ide asalnya sebenarnya sederhana dan sudah dibilang Nietzsche dalam Beyond Good and Evil, bahwa pihak yang kalah bisa selalu menempatkan diri mereka sebagai pihak yang benar, meskipun si menang dengan kekuasaannya bisa mempromosikan kebenaran versi mereka—sebuah formula yang menjadi dasar pemikiran agama-agama semitis yang mengangkat kelas budak sebagai ‘yang baik’ dan kelas penguasa sebagai ‘yang buruk’, calon penghuni neraka.

Diktum Nietzsche ini tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang dangkal. Ia bisa dilihat secara luas sebagai akar-akar revolusi. Bahwa dendam (resentment), adalah sebuah kekuatan besar —apalagi dendam yang sudah kehilangan objek. Dendam yang sudah tak mungkin lagi dibalas secara fisik karena objeknya sudah meninggal atau perbuatan pembunuhan itu pada awalnya tidak disadari si pembunuh karena menyangkut faktor-faktor struktural yang melebihi hubungan sosial antar manusia dalam konteks lokal. Karena itulah Widji Thukul dan Munir tak pernah mati; mereka korban struktural. Pembalasan kematiannya hanya akan terjadi kalau struktur dan sistem kehidupan kita berubah. Perubahan struktur ini bisa terjadi bukan dengan kematian orang secara fisik, tapi dengan mengubah cara berpikir, kemampuan kognitif manusia. Perubahan ini hanya dimungkinkan lewat sebuah karya seni, dalam hal ini film. Namun tidak sembarang film—film itu harus membuat orang percaya bahwa kejadian di film itu adalah kenyataan, dan ia harus memberikan tidak cuma informasi pada penontonnya tapi juga pengalaman. Di sinilah pendekatan kolaboratif antara pembuat film dan subjek masuk dalam bentuk experiential filmaking (pembuatan film pengalaman).

Jagal dan Senyap memiliki pendekatan kolaboratif yang sama. Filmmaker bekerjasama dengan subjek dalam memproduksi filmnya, dan subjek dibiarkan ikut membuat filmnya dari berbagai segi. Ini tentunya sebuah pelanggaran, khususnya bagi para pengikut ‘pure documentarian’ (pembuat dokumenter murni). Metodologi ini melanggar batas-batas dokumenter konvensional dimana filmmaker seharusnya tidak ikut campur pada proses dokumentasi, dan subjek tidak ikut campur pada pembuatan film. Ilusi objektivitas benar-benar dihajar dalam produksi film cinema verite seperti ini.

Dalam hal ini, perlu disadari bahwa Jagal dan Senyap sama sekali tidak ada niat untuk membuat filmnya menjadi terkesan “objektif”. Secara gamblang, filmmaker membuat pengadeganan bersama subjek. Pengadeganan ini bisa terjadi dalam pengkondisian, misalnya subjek disajikan sebuah film untuk ditonton, dan selama menonton mimik dan gerak subjek direkam untuk melihat reaksinya. Dalam Senyap, pengkondisian juga dilakukan ketika para subjek dibawa ke sungai ular, tempat pembantaian. Ketika Adi dan Kamal—kawan kakak Adi yang selamat dari pembunuhan—mengunjungi sungai Ular, sangat terlihat bahwa kameramen sudah hafal dan kenal jalur berjalan mereka, hingga bisa didapat shot medium close up kedua orang subjek berjalan menuju sungai tersebut.

Pengadeganan juga bisa didapat dengan cara provokasi. Dokumentarian festival film Sundance, Leonard Retel Helmrich, menyebutnya “Congkelan.”iv Dalam pembuatan filmnya,Shape of The Moon (2004), ia bercerita bahwa ia pernah memberitahu subjeknya (simpatisan PDIP) bahwa ibu si subjek menerima sembako dari partai Golkar. Tindakan ini memicu pertengkaran dan ia merekam pertengkaran keluarga itu sebagai representasi carut-marut perpolitikan Indonesia. Untuk banyak filmmaker Verite, provokasi ini sah-sah saja dilakukan karena masih dalam kerangka kebudayaan subjeknya, bahwasannya sebuah adegan bisa terjadi karena masalah-masalah yang spesifik. Pengadeganan semacam pengkondisian dan congkelan ini juga membuktikan kepiawaian si filmmaker dalam mengenal subjeknya dan konteks dimana subjek itu hidup, karena si subjek sudah terbiasa melihat filmmaker sebagai “the man with the camera,” dan karenanya tidak lagi ragu ketika sadar atau tak sadar direkam oleh si pembuat film. Dalam film Senyap, ‘pencongkelan’ jelas dilakukan ketika Adi bertemu dengan aktor-aktor yang terlibat dalam pembantaian dan Adi mengakui bahwa ia adalah adik salah seorang korban yang mati akibat tindakan mereka.

Selain pengkondisian dan congkelan, teknik pengadeganan yang lazim dilakukan adalah rekonstruksi—ini biasanya dilakukan dalam dokumenter investigasi kriminal TV dengan menggunakan aktor atau pelaku yang memperagakan tindakannya di masa lalu. Di Jagal danSenyap, jelas teknik ini sering sekali dilakukan dengan bangga oleh para pembantai. Rekonstruksi pembunuhan ini adalah salah satu nilai jual tinggi dalam kedua film tersebut. Ini adalah teknik penting dalam experiential filmmaking. Karena kamera bisa bicara jauh lebih banyak dari sekedar rekaman pengakuan dalam wawancara. Kamera dibuat untuk merekam gerakan dan ini dimaksimalkan dengan rekonstruksi adegan.

Dari sini kita bisa melihat bahwa Jagal dan Senyap adalah film yang ‘diatur’. Ia bukanlah ‘dokumenter murni’ yang membuat frame objektif dalam filmnya. Ia bukan film yang mengklaim bebas rekayasa. Rekayasa-rekayasa yang dilakukan dalam produksi adalah demi memberikan efek dramatis dan informasi audio visual yang lebih kompleks pada penonton agar yang sampai pada penonton bukan hanya informasi dan pengertian, tapi juga pengalaman dan pemahaman. Sampai hari ini, inilah cara paling efektif untuk menyampaikan pengalaman kompleks dalam film dokumenter. Karena di masa posmodern ini, kita semestinya sudah sadar bahwa tidak ada objektifitas. Apalagi dalam film, dengan keterbatasan frame kamera dan teknik editing, rekayasa adalah sebuah kepastian. Walau begitu, ada tekanan moral yang akan dibawa oleh si filmmaker setelah memakai teknik-teknik ini :

Now, is that crossing the line? Pure documentarians, I think, would say so, and we’ve been criticized very loudly by the International Documentary Association. Frankly, our films have never really been embraced by pure documentarians, who somehow feel that the films, as good as they are, as entertaining as they are, can’t have been done without some sort of collusion with our subject. We’ve always sort of pissed on their parade because it’s just not the case. There are certain documentarians who believe you can only make films in a certain way. And if that were the case we would have just biographies with stills, classic interviews with the wilted palm tree or the wilted potted plant behind the person with a badly lit slash across the back, and that’s all we’d have.v

Jadi di sini jelas sudah: Jagal dan Senyap bukan dokumenter murni. Dua film itu adalah hasil karya seni dari Joshue Oppenheimer, Anonim, dan subjek-subjeknya. Dari sini, saya ingin anda menyingkirkan pikiran bahwa apa yang ditampilkan oleh kedua film tersebut adalah ‘sejarah yang akurat.’ Karena metodologi pembuatan kedua film, walau beririsan dengan metodologi wawancara sejarah, namun ia bukan sejarah. Ia adalah konstruksi multinarasi antar subjek dengan, ini penting untuk saya tekankan, dengan bias sang filmmaker yang bukan pelaku sejarah atau orang Indonesia. Dan sang filmmaker juga tidak bisa dibilang sebagai akademisi sejarah, karena yang ia lakukan adalah ‘menyutradarai’ dari pre-produksi, produksi, hingga post-produksi film tersebut. Ia membuka pintu-pintu interpretasi sejarah tersebut, tapi hanya pintu. Kita belum mulai masuk ke sejarah kelam kita yang sebenarnya.

Film sebagai Pertunjukan: Sebuah Alih Wahana

Kita kembali ke pertanyaan penting Sidi Saleh: kenapa tidak di-youtube-kan saja? Kenapa mesti diputar di secara umum hingga memicu kericuhan?

Jawabannya sederhana: karena Youtube dan internet menghilangkan kedekatan (proximity). Kedekatan antar penonton dan pembuatan event ini adalah hal yang tidak kalah penting dengan produksi film itu sendiri. Pertunjukan (performance) adalah ranahnya penonton dan hanya dari pertunjukanlah maka akan terjadi perubahan sosial yang langsungvi.

Kericuhan adalah hal yang sangat diharapkan oleh si pembuat film dan para pemangku kepentingan serta investor film tersebut. Semakin diributkan maka rencana semakin berjalan baik. Dengan kericuhan terjadi konflik sosial, dengan konflik sosial terjadi dialektika, dan dengan dialektika terjadi usaha rekonsiliasi, baik dengan cara keras ataupun lembut. Dan hal ini hanya bisa dilakukan jika ada banyak kelompok-kelompok kecil menjadi event organizer dimana-mana. Di sinilah terjadi alih wahana: dari film menjadi teater.

Teater macam apa? Drama sosial! Invisible Theater, kalau kita meminjam frasa Augusto Boal. Siapa pemainnya? Para panitia, penonton film, dan perusuh. Siapa penontonnya? Mereka juga! Ya, inilah spect-actor! Penonton sekaligus aktor. Dalam diskusi setelah film dan dalam kericuhan yang terjadi kita mengalami sebuah ritual. Seperti orang shalat berjamaah, misa, wisuda, atau pernikahan; setiap pemutaran menjadi semacam ritus pendewasaan. Ada degup jantung yang kencang di situ karena menonton film dengan drama yang melankoli, sambil deg-degan apa akan ada yang grebek. Seperti seks pertama mahasiswa di kos-kosan muslimah pacarnya.

Menonton Senyap adalah Ritual yang berbahaya.

Dengan ini, maka ada tujuan-tujuan gerakan sosial yang, meminjam sabda Om Prabs favorit saya, massif terstruktur dan sistematis. Ini baru awalnya saja. Seperti saya bilang, Jagal danSenyap hanya pintu masuk ke sejarah atau karya-karya tematis sosialis-humanis selanjutnya oleh orang-orang yang berbeda.

Konspirasi Yahudi

Beberapa minggu terakhir saya memutar film Senyap dalam tiga kesempatan yang berbeda. Dua kesempatan pertama saya lihat diskusi yang emosional tentang HAM, tentang bagaimana pentingnya menguak sejarah, dan tentang ajakan agar orang-orang peduli, serta—seperti biasa—maki-makian terhadap pemerintah RI dan gerakan-gerakan paramiliter ekstrim kanan. Tapi tempat terakhir yang saya putarkan, adalah yang paling menarik: KineKlub sebuah Sekolah Film.

Pemutarannya hanya ditonton sekitar lima belas orang. Tidak ada diskusi menggebu soal ideologi. Pertanyaan-pertanyaannya seperti Sidi Saleh (maklum kebanyakan penanya adalah mahasiswa dia), soal motivasi pembuat film, efek yang ditinggalkan, teknik pembuatan filmnya dan investor serta pemaku kepentingan. Jika anda adalah seorang pembuat film, maka elemen-elemen ini pasti hal pertama yang muncul di kepala anda, bukan wacana atau drama yang dibawanya.

Jika penonton adalah orang yang punya pengalaman filmmaking, maka pertanyaan soal investor mestinya gampang terjawab. Di opening dan credit title film ada begitu banyak institusi yang mendukung pembuatan film ini—maklum produsernya Werner Herzog yang legendaris. Lip service mah, lewat! Soal kepentingan-kepentingan dibaliknya? Jelas ada banyak. HAM adalah salah satunya, kebijakan-kebijakan politik negara lain adalah yang lain.
Lalu dimana peran Yahudi (selain pembuat filmnya)?

Di situlah masuk kenyataan pahit bahwa: ‘jika’ yang saya pakai di paragraf di atas hanya sekedar jika. Kebanyakan spect-actor Indonesia (bukan cuma penonton filmnya tapi juga pelaku teater sosialnya), bukanlah orang film. Jadi seperti biasa, spect-actor Indonesia akan pakai budaya latah. Yaitu budaya main tuduh, budaya kambing hitam, budaya praduga tak bersalah. Kita begitu kangennya pada Benyamin S. sampai kita selalu mencari mana Biang Keroknya!

Pasca G 30 S, kita pakai dua kacamata untuk mencari biang kerok. Kacamata pertama adalah kacamata Nasionalisme. Dalam kacamata ini kita akan menyalahkan Amerika, Multikorporasi, atau Asing yang bikin kita bocor, bocor dan bocor. Kacamata kedua kita pakai agama, khususnya agama mayoritas kita, Islam. Dalam kacamata agama, sesuai dengan tafsir dangkal terhadap Al-Quran dan Hadist, musuhnya pasti agama lain, khususnya Ya-hu-di. Yahudi adalah biang kerok semuanya, dia menguasai ekonomi dunia, dia biangnya Iluminati. Dia ada di semua tempat, dari diskotik sampai kecoak di kamar mandi. Karena itu tradisi Kazakhstan adalah membunuh orang dengan topeng Yahudi, nonton Borat? Film Yahudi itu?

Percaya? Semestinya tidak. Tapi banyak yang percaya. Bisa dilihat di grup-grup facebook—situs media sosial buatan Yahudi.

Padahal musuh sebenarnya bisa dilihat ketika bercermin masing-masing. Ya, ini klise. Seklise arti jihad terbesar: melawan diri sendiri. Namun faktanya itulah yang terjadi. Ayo kita retrospek: Kenapa mudah sekali paham-paham masuk Indonesia? Kenapa agama-agama impor ini jauh lebih laku daripada agama/kepercayaan kita sendiri? Kenapa ada inferiority complex yang begitu besar dalam kebudayaan kita? Dan pertanyaan terpenting: kenapa kita selalu ribut soal hal baru: dari kemerdekaan, kapitalisme, komunisme, neoliberalisme, islam liberal, agama baru, sampai ucapan natal?

Mungkin eksperimen monyet rhesusvii ini bisa menjawabnya:

Ilmuwan menaruh empat monyet rhesus dan satu tangga. Ada pisang di atas tangga. Setiap ada monyet yang ingin naik tangga, para ilmuwan akan menyemprot semua monyet dengan air. Supaya tidak disemprot air, para monyet akan memukuli siapapun monyet yang mau ambil pisang—mereka jadi terlatih untuk tidak ambil pisang di atas tangga demi kepentingan komunal. Lalu satu monyet diganti monyet baru, yang langsung naik tangga. Kali ini, tanpa disemprot air, tiga monyet langsung memukuli monyet baru. Monyet yang baru terlatih begini: jangan coba-coba ambil pisang, nanti dipukuli. Si monyet baru tak tahu-menahu soal semprotan air.

Lalu monyet kedua diganti monyet baru. Kejadian pemukulan terulang. Monyet ketiga diganti, dipukul lagi. Begitu seterusnya sampai monyet ke empat. Kini di kandang itu, tidak ada satu monyet pun yang ingat bahwa kalau naik ke tangga, semua monyet akan disemprot air. Mereka cuma tahu bahwa sejak jaman pendahulu mereka, DILARANG MENAIKI TANGGA.

Monyet baru ke lima masuk dan mendekati tangga. Empat monyet memukulinya. Sebab musabab lama soal kepentingan komunal—bahwa jika satu memanjat semua disemprot—sudah tidak ada yang tahu. Prinsipnya jadi: dekati tangga, kami pukuli. Kenapa? Karena DILARANG MENAIKI TANGGA. Persis seperti seorang subjek di film Senyap yang ditanya apa itu PKI?

“PKI ya PKI. Cukup di situ saja.”

Buat saya itulah pelajaran besar film Jagal dan Senyap. Banalitas kejahatan hadir karena kebutaan sejarah dan ketidakpedulian. Itulah yang membuat saya menjadi bangsat yang tak perduli siapa pemaku kepentingan terbesar di balik pembuatan kedua film tersebut. Saya juga jadi tidak peduli apakah Joshua Oppenheimer sedang minum Capuccino atau kopi tubruk sementara kita tubruk-tubrukan. Karena tubruk-tubrukan kita bukan salah siapa-siapa selain diri kita sendiri.

***

Catatan Kaki:

i Lihat http://www.historia.co.id/artikel/modern/1502/Majalah-Historia/Pengadilan_Internasional_Peristiwa_1965
ii Bruce Sinofsky dalam Liz Snubs, Documentary Filmakers Speak. Allworth Press, New York, 2002. Hal 164.
iii Cinema Verite adalah aliran cara produksi dokumenter yang diciptakan oleh Jean Rouch, Antroplog dan filmmaker asal Prancis. Artinya Film yang menyampaikan kebenaran. Kebenaran di sini bukanlah kenyataan, tapi apa yang terkandung dibalik kenyataan. Biasanya Cinema Verite miskin narasi suara, dan lebih banyak narasi visual juga interaksi antara si pembuat film dengan subjeknya.
iv Leonard Helmrich dalam workshop JIFFEST 2008. Kutipan tidak tercatat, tanggung jawab penulis.

 

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.