Joff dulu lelaki bajingan.
Suzie dulu dan sekarang, wanita baik-baik.
Suzie mencintai Joff. Itu sudah pasti. Kalau tidak, untuk apa Suzie datang ke tempat seorang filmmaker dan minta ditempatkan di dunia yang paralel dimana ia bisa tidak bertemu Joff lagi untuk selama-lamanya.
“Kenapa kau ingin pisah dengan kasihmu, yang katamu sudah begitu lama bersamamu?”
Suzie menjelaskan bahwa keinginannya untuk menghapus Joff dari kehidupannya justru karena terlalu lama. Ia tidak ingin menghapus Joff dari memorinya, tidak ingin kehilangan cintanya pada Joff, tapi ia cuma tidak menyukai Joff lagi. Joff, menurut Suzie sudah terlalu jauh dari apa yang ia harapkan.
“Yang mulia filmmaker tahu, bahwa saya gadis baik-baik,” kata Suzie. “dan saya tetap ingin menjadi gadis baik-baik. Saya ingin punya suami baik-baik, dan anak baik-baik. Dan saya tidak ingin Joff menjadi ayah anak-anak saya, karena saya sudah melihat betapa bahagianya Joff menjadi bajingan. Saya tidak ingin Joff menjadi baik-baik, dan hidup datar-datar dan biasa-biasa saja seperti saya. Saya cinta dia karena dia mengagumkan, dan saya masih ingin mencintainya…
“Sebagai bajingan.”
Suzie tidak berharap, misalnya, Joff menjadi lelaki yang tidak bebas. Ia mencintai Joff yang pintar bicara, kadang liar, penuh dengan kisah-kisah cinta dan petualangan-petualangan. Ia mencintai Joff yang sering menyakitinya dulu dengan ratusan perselingkuhan, ia mencintai Joff yang berkali-kali hampir mati dan berhasil hidup untuk menceritakannya, ia mencintai Joff yang mencumbunya dengan semangat menggebu, seakan hari esok tidak akan ada. Ia mencintai Joff yang terlihat bahagia, bukan Joff yang merasa tenteram, nyaman dan bilang dengan datar, “Aku bahagia.”
Suzie membenci Joff yang sekarang begitu tenang, tidak meledak-ledak, dan mencintainya dengan tulus. Ia membenci Joff yang memiliki mimpi untuk menghabiskan masa hidup bersamanya. Ia membenci Joff yang kini bertanggung jawab, tidak lagi liar tapi jinak seperti merpati. Dan Suzie tahu, apapun yang ia lakukan Joff takkan kembali seperti dulu. Ia benci Joff yang baik-baik.
Lalu Suzie menemui sang filmmaker. Ia minta agar dipisahkan dari Joff. Ia ingin dunia tanpa Joff namun ia bisa selalu mengingat Joff. Ia tidak ingin Joff mati. Ia hanya ingin Joff sadar bahwa mereka berbeda dunia–dulu secara simbolik, dan nanti jika sang Filmmaker mengijinkan, secara sepenuhnya.
“Dan apa yang akan kau berikan padaku, jika aku proses film ini?” tanya sang filmmaker pada Suzie.
“Bukan aku yang akan membayarmu, tapi Joff,” jawab Suzie. “Jika ia kehilangan aku, dia akan memberikan banyak cerita-cerita berharga untuk Yang Mulia Filmmaker.”
Sang filmmaker diam sejenak, tapi tidak melepaskan matanya dari Suzie. Beberapa saat kemudian, Sang filmmaker berkata, “Ya. Jika kau benar-benar mencintai Joff, dan ia pun mencintaimu, ini akan jadi cerita yang bagus.”
“Sekarang pergilah, dan temui Joff,” Kata sang filmmaker. “Kau sudah berjanji bertemu dengannya kan hari ini?”
“Tapi bagaimana dengan filmku?”
“Footage sudah ditanganku,” kata sang Filmmaker. “Kalian bisa berpisah dengan absurd dan dramatis.”
Suzie berdiri dan pergi dari ruangan itu. Sang Filmmaker memperhatikan, Suzie pulang kembali, masuk ke dalam proyektor.
Lalu proyektor itu mati.
***
Sebuah restoran di dalam Mall. Joff duduk dengan gelisah dan melihat HP-nya. Ia menelepon dan mendapatkan nada sibuk. Ia menaruh HP-nya di meja, dan merogoh kantong celananya. Ia memegang sebuah kotak kecil berwarna biru tua, membukanya. Sebuah cincin berlian berkilau terkena bias remang lampu restoran.
Suzie datang dengan santai, masuk ke dalam restoran. Si pelayan bertanya, berapa orang. Suzie menjawab ia sudah janjian. Ia melihat sekeliling restoran. Tidak ada Joff di sana. Ia bertanya pada si pelayan, apakah ia melihat pria jangkung berambut cepak datang dan menunggunya. Si pelayan menjawab tidak ada. Suzie bingung lalu mengambil HP nya. Ia menelpon Joff.
“Halo. Kamu dimana?” tanya Suzie.
“Kamu yang dimana?” Suara seorang pria yang nampaknya kesal menjawab. “Aku udah nunggu di sini satu jam.”
“Aku udah di restoran. Kamu di mana?”
“Aku di dalam, di meja non-smoking. Masa nggak kelihatan. Kamu dimananya?”
“Ini aku di luar, di dekat pintu masuk yang ada daftar menunya.”
“Mana? Aku udah berdiri nih. Aku jalan ke depan.”
Suzie mencari-cari di dalam restoran, mencari lelaki tegap berambut cepak yang berdiri dan berjalan ke arahnya. Tak ada siapa-siapa.
“Kamu yakin kamu di restoran di Mall 20?” Tanya Joff. “Nggak salah Mall?”
“Nggak kok. Aku di sini.”
“Kamu jangan main-main dong, Suz. Aku berdiri di dekat meja menu di pintu. Nggak ada kamu tuh!”
“Nggak. Nggak main-main.”
“Sekarang aku tanya, kalo kamu ada di sini. Siapa nama pelayan yang jaga menu?”
Suzie melihat si pelayan yang sedari tadi menunggu pelanggan. Si pelayan itu perempuan muda berusia sekitar 20an. Ia canggung, karena Suzie nampak sedang bertengkar di telepon dengan pacarnya. Suzie melirik ke nametag si pelayan, lalu berjalan sedikit membelakangi si pelayan. Ia berkata dengan nada pelan, “Anjani.”
Senyap. Tidak ada suara di ujung garis telpon kecuali ambiens ruangan seperti sebuah gaung dari restoran tempat Suzie berada.
“Halo… Joff?”
“Iya. Kamu kenal sama pelayan sini, ya? (kepada orang lain) Mbak.. Anjani, mbak kenal sama Suzie, ya?”
Suzie mendengar suara kecil seorang pelayan perempuan yang nampaknya kebingungan. Joff tedengar melenguh dan mulai kesal.
“Yaudah. Aku tanya lagi. Di sebelah kanan pintu masuk, siapa aja yang makan, terus pake baju apa?”
Suzie berjalan sedikit, melirik ke dalam restoran, di sebelah kanan pintu masuk. “Nggak ada orang. Mejanya direserved. ”
“Kamu… darimana kamu tahu sih?” Joff terdengar kebingungan. “Kamu ada dimana sebenarnya? kok jadi main sulap-sulapan begini sih?”
“Joff…”
“Ini nggak lucu Suz. Keluar dong. Aku capek, kerja seharian, buru-buru ke sini untuk ketemu kamu, sejam nungguin tapi kamunya begini–”
“Joff…”
“Kamu dimana? jangan sampe aku teriak ya. Kan malu-maluin–”
“Joff!! Denger aku dulu!”
“Apa!?”
“Maaf ya Joff. Filmnya udah mulai.”
“Film? film apa?”
“Film kamu. Film aku. Aku udah janji mau kasih cerita yang bagus ke filmmaker. Kalo kamu dan aku di film yang sama, nggak bakal seru ceritanya.”
“Apa? Maksud kamu apa?”
“Bye, Joff.”
Suzie menutup HPnya. Tidak ada yang menelpon balik. Tidak ada SMS atau pesan apapun.
Ia menunggu sebentar, dan menyalakan HP-nya lagi, mencari nomor telp Joff. Ia harus memastikan bahwa kontak ke dunia Joff sudah terputus sepenuhnya. Tidak ada nama Joff di kontak HPnya. Tidak sama sekali.
Tapi Suzie masih sangat ingat nomor Joff. Mereka pacaran 9 tahun, ia tidak mungkin lupa. Suzie menekan hp tanpa tombolnya, 0812xxxxxxx. Seorang perempuan dengan nada datar tanpa perasaan menjawab berulang kali, “Maaf, nomor yang anda tekan, salah.”
Suzie menghela nafas. Menutup HP-nya. Pelayan bernama Anjani memperhatikan Suzie dan langsung buang muka begitu Suzie menatapnya balik. Suzie tersenyum tipis pada si pelayan dan mengangguk. Pelayan membalas anggukannya. Suzie pergi.
Sambil jalan ke eskalator, Suzie mengambil dompetnya. Dompet itu panjang, berwarna coklat muda bermerk LV. Ia membuka dompet itu dan melihat fotonya tersenyum di pantai, sendirian. Beberapa menit yang lalu, ada seorang pria di foto itu. Kini, nampaknya ia raib. Tapi Suzie masih ingat persis wajahnya, bau tubuhnya, kontur bibirnya, dan hasratnya yang menggebu. Ah, ia pikir. Mungkin ia hanya khayalanku tentang petualangan. Aku pasti akan kangen.
Ia berjalan pulang perlahan, sendirian, dengan melamun khayalan yang ia pikir pernah jadi begitu nyata. Khayalan yang sangat berbeda dengan hidupnya yang baik-baik, datar, normal. Khayalan yang membuat hidupnya yang baik itu begitu tidak bahagia dan membosankan. Khayalan yang membuat banyak keinginan terpendam, membesar seperti kanker yang menggerogoti setiap milidetik kehidupan, dan membuat cerita yang seru. Sakit dan seru.
Dan dengan cerita-cerita itu, kelak ia membayar sang Filmmaker. Ia dan tentunya Joff di film lain.
Depok, 9 Agustus, 2012 – Kebagusan, 10 April 2017.