Anthropology, Kurasi/Kritik, Teater

Wayang Orang Rock Ekalaya: Ketika Rock yang Sakral Menumbalkan Tradisi dan Diri Sendiri

Tulisan ini pernah dimuat di Jakartabeat, 19 Maret 2014. Ulasan ini akan coba mengupas satu persatu relevansi cerita Ekalaya dari Mahabarata dengan musik Rock Indonesia, bagaimana konsep kesakralan Rock di Indonesia ditampilkan dan bagaimana acara ini membuat tradisi wayang orang dijadikan tumbal untuk menjaga kesakralan Rock tersebut.

15 Maret 2014 kemarin boleh jadi adalah salah satu hari penting dalam sejarah pewayangan dan budaya populer di Indonesia. Bagaimana tidak? Hari itu puluhan bintang rock Indonesia berkumpul di Tenis Indoor Senayan Jakarta untuk sebuah pertunjukan #kelasmenengah seharga tiket ratusan ribu rupiah: Wayang Orang Rock Ekalaya.

Diproduseri Happy Salma dan disutradarai Arie Dagienkz —dua ikon selebriti ibukota dan diidukung Djarum Apresiasi Budaya selaku sponsor. pentas ini -sesuai nama acaranya- adalah perpaduan pentas wayang orang, pertunjukkan gamelan dengan konser musik rock sebagai ritus kota unik yang cukup langka digelar di ibukota.

Wayang-Orang-Rock-Ekalaya
Yopi Item, Sophia Latjuba, Jikun /rif, dan Otong Koil. sumber: https://acara-event.com/wp-content/uploads/2014/02/Wayang-Orang-Rock-Ekalaya.jpg

Menampilkan 70 artis dan musisi antara lain Stevie Item, Sophia Latjuba, Jikun /rif, Otong Koil, IWA K, The Brandals dan sejumlah nama lain, pentas yang digadang-gadang One Show Only ini tentu sulit dilewatkan para penikmat musik, pecinta teater dan publik kota pada umumnya. Kolaborasi musik rock dan gamelan, tata panggung yang dipadu video mapping dan hologram, membuktikan semangat pentas Ekalaya sendiri ini demi memadukan seni tradisional dengan seni modern.

Sayangnya, keterlibatan para pendukung dan kemasan acara yang bisa ditaksir cukup spektakuler ini berbanding terbalik dengan kualitas dan isi dramanya (bukan musiknya). Pasalnya pentas Ekalaya berbicara tentang dimensi spirit kultur Rock n Roll ala Barat dengan cara bertutur ala Timur (wayang orang). Upaya ini cukup fatal mengingat bagaimana dimensi spirit tradisi pewayangan itu sendiri dijadikan tumbal demi menjaga kesakralan Rock (baca: Barat) yang lebih luhur.

Ulasan ini akan coba mengupas satu persatu relevansi cerita Ekalaya dari Mahabarata dengan musik Rock Indonesia, bagaimana konsep kesakralan Rock di Indonesia ditampilkan dan bagaimana acara ini membuat tradisi wayang orang dijadikan tumbal untuk menjaga kesakralan Rock tersebut.

Sinopsis

Rangkuman plot cerita wayang orang ini bermula dari Ekalaya (dimainkan oleh Stevie Item) seorang Raja dari negeri Paranggelung yang mendapatkan wangsit dari Dewata untuk berguru gitar kepada Resi Durna (Jikun /rif) seorang mahaguru gitar di kerajaan Hastinapura.

Setelah Ekalaya meminta izin kepada istri cantiknya, Dewi Anggraeni (diperankan oleh Sophia Muller), ia menemui Resi Durna yang adalah juga guru para Pandawa dan Kurawa, salah satunya Arjuna (Otong Koil). Namun Durna menolak Ekalaya karena ia terikat kontrak pada Pandawa dan Kerajaan Hastinapura, sehingga ia tidak bisa menurunkan ilmunya pada Ekalaya.

Kecewa, Ekalaya kembali ke Paranggelung lalu membuat patung Durna. Ia lalu berlatih di bawah bimbingan patung yang ia buat sendiri.

Suatu hari, Arjuna yang sedang berburu kijang, menemukan panahnya tertusuk panah lain di kepala bangkai kijang yang dipanahnya. Di situ ia sadar bahwa ada orang yang lebih mahir darinya. Ia berkenalan dengan Ekalaya, dibawa ke rumah Ekalaya dan jatuh cinta pada istri tuan rumahnya. Ia juga kaget menemukan patung Durna di rumah Ekalaya lalu menuduh Durna telah melanggar kontrak karena mengajarkan Ekalaya ilmu gitarnya. Pada akhirnya Durna menuntut Ekalaya membayar atas ilmu yang ia curi.

Merasa tidak direstui orang yang dianggap guru, Ekalaya memotong kedua ibu jarinya —memastikan Ekalaya tidak bisa lagi memainkan gitar/panah-nya. Arjuna yang jahat akhirnya membunuh Ekalaya dengan sebilah keris karena dendam pada Arjuna dan juga untuk mendapatkan istrinya, tapi sang istri memilih mati bersama suaminya.

Pementasan Ekalaya ini berdurasi dua jam lebih disajikan selang-seling antara drama, musik gamelan dan rock dari grup musik yang tampil. Beberapa nomor hits Metallica, Stevie Wonder, Krisdayanti dan Chrisye juga turut dimainkan.

Modifikasi Mahabarata Versi Jawa

Seperti yang telah banyak dibahas dan bisa Anda googling, kisah pewayangan Mahabarata memiliki dua versi: India dan Jawa. Maka dengan menyimak nama penggunaan negeri Paranggelung, kita bisa melihat bahwa versi yang dibawakan oleh pentas Ekalaya ini didominasi oleh Mahabarata versi Jawa.

Ada banyak modifikasi yang dilakukan untuk menyesuaikan cerita dan konsep dengan skill pemain dan produksinya, juga masyarakat penonton kota. Dari segi cerita saja (di luar akting dan artistik) Arjuna sejak awal digambarkan sebagai seorang pangeran yang manja dan sombong, dan karakternya tidak berkembang. Padahal baik dalam versi India dan Wayang Purwa, Arjuna adalah tokoh protagonis yang walaupun khilaf tetapi pada akhir cerita kembali menjadi protagonis.

Contoh modifikasi plot lain adalah pembunuhan Ekalaya oleh Arjuna, karena dalam kedua versi kisah, Ekalaya mati oleh Durna atau Kresna, bukan Arjuna. Dan pada akhirnya pun kematian Ekalaya adalah sesuatu hal yang perlu untuk menjaga keseimbangan —bukan bak tragedi Romeo dan Juliet.

Walaupun plotnya diubah dan disesuaikan, sesungguhnya cerita Ekalaya dari epik Mahabarata ini adalah pilihan yang sangat baik ketika kita melihat keadaan musik Indonesia, khususnya musik Rock. Karena hampir semua musisi modern Indonesia memiliki metode belajar yang sama seperti Ekalaya: mereka membangun patung Resi Durna (baca: barat) di negeri sendiri, dan berkembang sangat hebat.

Tapi tanpa restu dari empunya ilmu, musisi-musisi Indonesia tak mungkin bisa bersanding dengan musisi ‘Dunia’ (baca lagi: ba-rat), yang menguasai aliran media, modal dan ideologi pasar global. Seperti Ekalaya, musisi-musisi kita tak mungkin bisa bersaing dalam ranah yang bukan buatan mereka sendiri seberapa pun hebatnya musisi kita. Contoh gampang: berapapun banyaknya musisi kita yang bermain di luar negeri, di festival-festival internasional, mereka akan tetap dikenal sebagai orang-orang yang ‘mengcopy’ barat. Karena kalau Lorde lahir sebagai orang Indonesia, dia tidak akan menang Grammy sehebat apapun musiknya.

Ekalaya berakhir tragis bukan karena ia jahat. Ia memberikan jempolnya sebagai ‘bhakti’ kepada Durna, orang yang dianggapnya guru, yang sebenarnya tak pernah mengajarkan dia apapun. Ekalaya adalah seorang imitator dan Durna adalah sang pemilik hak paten. Ketika ia tunduk pada Durna, ia sedang mengalami delusi kelas pekerja, delusi kebanyakan musisi modern Indonesia, delusi kaum Paria, bahwa ilmu yang dengan susah payah sendirian ia dapat, adalah ajaran Durna.

Seandainya saja kita punya kesadaran kelas dan sistem kebudayaan kita tidak rasis inferior (menganggap bule lebih tinggi dari bangsa sendiri), maka kita bisa besar dan membuat perang besar, seperti Ekalaya kalau ia melawan Durna dan Arjuna.

Kult dan Rock yang Sakral

Dalam sebuah kesempatan, Antropolog Dr. Iwan Tjitradjaja pernah mengatakan kepada saya: “Ambilah sembarang batu di jalan, taruh di meja yang bagus di kamar. Sembahlah dua kali sehari hingga jadi kebiasaan. Setelah sebulan, buanglah batu itu, dan anda akan merasa ada yang hilang dari hidup anda.” Kebetulan, batu dalam bahasa Inggris adalah Rock. Dan dari pemaparan filosofi Mahabarata Jawa di atas saja kita sudah tahu betapa sakralnya musik Rock untuk masyarakat urban kita saat ini.

Rock, yang pernah menjadi musik populer Indonesia di tahun 70-80an, dan meredup hingga akhirnya hanya tersisa ambiens distorsinya saja di musik mainstream kita, kini menjelma jadi agama-agama hipster kalangan kelas menengah atas, atau komunitas idolisasi untuk kelas menengah bawah (dari Slankers sampai OI).

Kult yang bergerak kebanyakan di ranah komunitas, bukan nasional. Komunitas-komunitas ini menyembah Metallica, Led Zeppelin, Dream Theater, The Doors, Jimi Hendrix, Elvis Presley dan semua Durna dari barat yang lain. Begitu sakralnya patung-patung mereka kita sembah, kita jadikan panutan. Karena kita adalah generasi manusia Indonesia yang dibesarkan dalam kebudayaan ‘humanisme universal’, dididik sebagai ‘pewaris kebudayaan dunia.’ Kita yang punya akses bisa merasakan dahsyatnya estetik dan filosofi dalam musik Rock niscaya akan mengaguminya.

Kita bisa merasakan sakralnya patung-patung Durna ini dalam pentas Ekalaya ketika Candil bernyanyi Stairway To Heaven. Kita bisa ikut terbawa suara Bonita ketika menyanyikan Rock And Roll, ketika Adrian Adioetomo membakar gitar signature-nya di panggung seraya menyanyikan Foxy Lady milik Jimi Hendrix. Semua orang ini adalah Ekalaya, imitator, yang sesungguhnya berkembang jauh dari murid resmi sang Begawan barat, tapi tak pernah diakui oleh Durna. Yang paling menyakitkan, mereka juga sebenarnya tak pernah benar-benar diakui oleh bangsanya sendiri—Kejatuhan Rock di musik mainstream adalah contohnya.

Menyaksikan band-band lawas 90-an seperti /rif di panggung Tennis Indoor itu membuat kita merasakan kembali semangat yang membara dalam suara parau yang tak lagi tinggi dari Andi /rif, skill sound dan speed permainan Jikun, yang membuat mereka menjadi “Radja” di negeri sendiri dulu. Kini masa itu telah lewat digantikan lagu-lagu pop Melayu, lirik murahan besutan band-band The Rocks Production dan Nagaswara, atau tari-tarian massal tanpa skill,bombardir infotainment hampir setiap jam, serta sinetron tanpa logika.

Musik Rock benar-benar ada di posisinya yang paling rendah.

Ekalaya Menumbalkan Wayang Orang

Bangsa yang bermartabat adalah bangsa yang menghargai tradisi dan kebudayaannya. Ketika orang Inggris atau Anglo-saxon Amerika mementaskan Shakespeare, mereka akan ‘setia’ kepada teks puisi yang ditulis dramawan itu. Bahkan ketika sutradara film Baz Luhrmann membuat Romeo and Juliet versi Leonardo DiCaprio dan Claire Danes, ia setia memakai kata-kata puitis persis seperti di naskah Shakespeare—dengan penyesuaian setting yang konsisten. Ketika Hollywood dan Inggris mereproduksi Sherlock Holmes dalam film dan serial TV, mereka tetap setia dengan arahan dalam novel Sir Arthur Conan Doyle. Setiap interpretasi baru harus selalu didasarkan pada apa yang telah ditulis oleh penulis aslinya, hingga kita mendapatkan Sherlock yang obsesif kompulsif, drug addict, dan anti-sosial seperti sekarang.

Itu yang tidak dimiliki oleh Pagelaran yang mengaku membawakan Wayang Orang ini. Sutradara Arie Dagienkz nampaknya sama sekali tidak paham apa itu Wayang Orang dan bagaimana sejarahnya. Karena kalau ia paham, ia tidak akan membawakannya dengan gaya ludruk/ketoprak ala Opera van Java. Adalah hal yang begitu ironis dan menyakitkan, ketika para musisi-musisi profesional ini memainkan musik-musik barat dengan begitu detil, apik, berkemampuan tinggi dan terasa kerja kerasnya, tapi di bagian produksi dan penyutradaraan, yang mengaku membuat format Wayang Orang, sama sekali tidak tahu atau tidak perduli bagaimana Wayang Orang diproduksi.

Wayang Orang bukan seni tertutup yang tidak boleh dipentaskan oleh orang non-Jawa. Ia bisa dipentaskan dengan bahasa berbeda, konsep berbeda, dan pakem berbeda; tetapi siapapun yang mementaskannya minimal harus tahu sejarah dan kesakralan seni ini. Bukan semata-mata menggoogle kisahnya dan mengadaptasinya sembarangan. Ada alasan besar kenapa Wayang Orang tidak masuk TV dan tidak berkembang di banyak komunitas seperti Ludruk dan Ketoprak, dan siapapun yang ingin mementaskan Wayang Orang mestinya tahu itu.

Ludruk dan Ketoprak adalah komedi rakyat. Yang penting dari seni tersebut adalah lucu dan menghibur, urusan selesai. Tidak perlu ada tanggung jawab kepada Raja ataupun kepada Tuhan. Tidak ada kitab panduan. Karena itu ludruk dan ketoprak dengan mudah diubah ke konteks kota, dialihbahasakan, dimasukan ke televisi dan dijual bebas. Opera Van Java adalah turunan dari gaya-gaya ini—yang walaupun punya Parto sebagai Dalang, tapi mereka tetap dagelan layaknya ludruk dan ketoprak dan tidak pernah mengaku-ngaku sebagai Wayang Orang. Perubahan konteks tidak pernah membuat wayang orang jadi kesenian biasa: ketika dimainkan di Kampus atau Balai Desa, Wayang Orang akan tetap jadi seni mewah.

Wayang Orang tetap jadi seni mewah karena beberapa faktor. Pertama, Wayang Orang berasal dari Seni Keraton. Artinya ia begitu sakral dan ekslusif, pemainnya kebanyakan benar-benar terlatih dan dibesarkan sebagai pemain/penari wayang orang. Kedua, ketika dipindahkan konteksnya, ada kualitas yang mesti dipertahankan karena ia bagian dari Identitas Jawa—seperti Shakespeare untuk orang Inggris. Ketika Wayang Orang dibawa keluar Keraton, standar kemampuan pemainnya tidak berkurang walaupun merekadi dunia nyata bekerja sebagai orang non seniman panggung—petani, pegawai, musisi rock atau bahkan tukang ojek. Artinya walaupun mereka tidak secara intelektual paham interpretasi kitabnya (seperti si Dalang) tapi mereka menguasai dasar-dasar tari, akting dan bahasanya (yang terkenal sangat kompleks). Mereka yang tidak menguasai Kromo Inggil (bahasa Jawa Tinggi) biasanya akan main peran-peran kecil saja, tapi tetap dengan dasar menari yang pasti.

Salah satu contoh pengadaptasian Wayang Orang Keraton menjadi Wayang Orang Petani adalah di Komunitas Tjipta Boedaja, Dusun Tutup Ngisor, Merapi. Beberapa modifikasi dari keraton dilakukan, dari mulai cerita yang diselipkan dengan wacana-wacana kontemporer, hingga tata cara gerak dan pakem yang juga disesuaikan dengan penonton desa. Namun walaupun disesuaikan, setiap aktornya adalah penari-penari yang belajar tari dari usia sangat dini, semenjak balita. Dan Wayang Orang tetap sakral—bagian dari ritual dan tradisi. Secara plot cerita pun, Dalangnya benar-benar harus mencari referensi ke banyak buku dan kitab kuno, tidak sembarang cecap.

Kesakralan inilah yang membuat Wayang Orang dan kisah-kisah Mahabarata-Ramayana berkembang dengan baik di Jawa dan menyesuaikan dengan konteksnya tanpa meninggalkan kualitas fisik penari/aktor dan juga kemampuan dalangnya dalam membaca dan menginterpretasi teks kuno. Di Jakarta, ada Wayang Orang Bharata yang masih pentas secara rutin di Senen (ketika tulisan ini dibuat, mereka pentas rutin di TMII). Efek lampu modern, dan layar subtitle tersedia dalam pementasan ini, sehingga penonton non-Jawa bisa ikut menikmati. Orang-orangnya pun berpengalaman dan selalu terbuka untuk dimintai informasi serta ajaran. Dari pentas Ekalaya yang saya tonton kemarin, jelas tidak ada usaha untuk minta bantuan ahli Wayang Orang yang mumpuni.

Penutup: Pertunjukkan Kalian Bagus, Nak

Saya tidak bilang bahwa setiap pertunjukkan Wayang Orang sudah pasti bagus, apalagi secara profesional. Banyak juga pentas wayang orang yang gagal total karena produksinya dibuat sangat amatir dan tingkat yang sangat lokal.

Karena itu ketika melihat promosi pentas Ekalaya dan harga tiket yang tergolong mahal, ekspektasi saya jadi melambung tinggi. Tapi ternyata, dilihat dari perspektif orang yang meneliti soal Wayang Orang, pagelaran pentas Ekalaya sama sekali tidak bisa dibilang sebagai Wayang Orang—dari kualitas sampai format sekalipun. Pentas Ekalaya adalah sebuah diskategori yang bahkan tidak cocok disandingkan dengan Wayang Orang amatiran di Kampus-kampus Jakarta. Maka saya tetap pada pendapat saya dari awal: pentas Ekalaya begitu fatal membunuh seni tradisi yang sekarang pun sedang terseok-seok. Alih-alih mengembangkan, pementasan Ekalaya bak drama anak SD, dengan bintang tamu musisi-musisi Rock yang hebat.

Pentas Ekalaya adalah bukti kehancuran dan penghancuran budaya negeri sendiri oleh orang kotanya. Sebuah bunuh diri akibat kemalasan dan kebodohan. Karena kalau tidak malas dan bodoh, sudah pasti sejak awal produser dan sutradara tahu, nama Wayang Orang bukan nama sembarangan. Bahkan grup teater sebesar Teater Koma tahu, ketika mereka berusaha mengalihkan Wayang Orang ke panggung teater kota dalam lakon Republik Petruk beberapa tahun yang lalu mereka tetap menamakan diri mereka ‘Teater’, bukan Wayang Orang. Karena mereka tidak punya skill ataupun pengetahuan yang cukup untuk membawakan Wayang Orang —sebaliknya kemampuan mereka sangat maksimal dalam Teater. Teater Koma begitu apik menggabungkan teknik Wayang Orang, Wayang Kulit Cina, Opera Cina dan Teater Modern. Itu bidang mereka: orang teater belajar wayang orang dan memasukannya ke dalam teater!

Maka mestinya, orang musik belajar tradisi dan memasukannya ke musiknya —seperti yang dilakukan Guruh Gypsi atau Zoo, misalnya. Dan jika Ari Dagienkz atau Happy Salma sadar siapa mereka dan mereka bisa apa, mestinya mereka tahu kalau mereka masih sangat jauh dari memproduksi sebuah Wayang Orang dengan atau tanpa Musik Rock— seperti mereka sangat jauh untuk bisa bermain gitar seperti Jikun /rif.

Sayang sekali, skill dan kehebatan para bintang Rock kita harus dikontekskan dalam sebuah drama yang miskin dramaturgi, miskin pengetahuan, dagelan kosong. Belum pernah saya melihat musik Rock begitu direndahkan —televisi sudah memaksa mereka untuk lipsing, industri memaksa untuk bikin lagu menye-menye, dan kini panggung teater memaksa mereka bermain Wayang Orang yang disandingkan dengan JKT48 dalam adegan battle permainan gitarnya. Rock dan Wayang Orang yang sakral disandingkan dengan kebudayaan konsumen penjual mimpi birahi para WOTA. Saya tekankan lagi, seandainya ini ludruk, ketoprak atau teater komedi, semua ini akan sukses.

Sebagai penutup, saya diajari guru akting saya untuk membuka pikiran biar dapat wangsit. Dan tadi malam saya bermimpi bertemu pak Tino Sidin yang bergandengan tangan dengan Kak Seto. Mereka punya pesan untuk Ari Dagienkz dan Happy Salma. Ini pesannya:

“Pertunjukan kalian bagus, nak.”

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.