Memoir, Racauan

Efimeral Bagong

bagong copy

Mereka yang kuliah dan pernah kuliah di FIB UI pasti mengenal Sandy ‘Bagong’ Surakusumah. Kalau pun tidak secara langsung mengenal orangnya, pasti mengenal karyanya. Di banyak event, ia melukis mural dan membangun karya-karya instalasi dari yang kecil sampai yang raksasa. Dari bentuk tetumbuhan, pepohonan, hingga gapura dan gedung. Ia juga membuat berbagai macam karya sesuai wacana yang hendak dibawakan: dari perjuangan gerakan 98, sampai menyindir rektor ketika biaya kuliah mahal dan mahasiswa miskin tak bisa kuliah. Kebanyakan karya itu ia bangun dengan bahan-bahan sederhana: bambu, lem, kertas koran, pulp, cat tembok, cat kayu, kaso, kawat dan kadang hal-hal yang tak masuk akal untuk jadi karya seni: dedaunan kering, batang-batang pohon, botol plastik, tanah–Sandy Bagong adalah ahlinya mix media. Ia adalah satu dari tiga begawan seni rupa kontemporer FIB UI (versi saya) selain Mulyadi Iskandar dan Anca Dudy.

Memang Sandy Bagong bukan Andy Warhol, walau beberapa karyanya bisa sekali dibandingkan dengan sang pencipta logo Coca-cola dan Campbell Soup itu. Ia juga bukan Basquiat, walau dalam darahnya juga mengalir perlawanan-perlawanan terhadap hal-hal konvensional yang tiran. Sandy Bagong adalah seniman khas kota di Indonesia: otodidak, lahir dari akar rumput, liar, tapi dalam banyak kesempatan di kehidupan sehari-harinya, ia punya pendapat konservatif: dari masalah organisasi kemahasiswaan yang menurutnya makin dipolitisir dan melempem, sampai masalah homophobia.

Boneka-bonek Anti Soeharto yang pernah dibuat Bagong dkk. Sumber: Amatul Rayyani Siddiqah
Boneka-bonek Anti Soeharto yang pernah dibuat Bagong dkk. Sumber: Amatul Rayyani Siddiqah

Konservatisme ini justru kelebihan Sandy Bagong. Toh pendapat pribadi dan ego-nya jarang keluar di dalam karyanya. Karya-karya Bagong biasanya untuk kepentingan kolektif: soal pergerakan mahasiswa, menentang kebijakan kampus yang berat sebelah (padahal ia dosen, tapi ia tak bisa diam jika melihat eksploitasi), pesanan untuk acara-acara kampus, properti pementasan, bahkan kerja sama terakhirnya dengan saya adalah membuat sebuah topeng TV mutakhir untuk sebuah iklam layanan masyarakat yang mengkritisi televisi. Berkat jasa Bagong, video berjudul “TV, Jasamu Tiada” ini sempat menjadi kontroversi dan mendapat banyak hit.

Bagong juga beberapa kali membantu saya untuk membuat properti teater di kelas yang saya ajar. Salah satu idenya yang paling segar adalah membuat properti untuk pementasan horor Sekar di tahun 2010. Dia membuat beberapa topeng setan dan boneka kuntilanak yang bisa terbang di panggung. Penonton berteriak begitu keras, ketika kuntilanak buatan Bagong terbang di adegan klimaks pementasan horor itu.

Sebelum meninggalkan Jakarta, saya sempat main ke kantor Bagong dan pamit sama dia. Kami bertukar ide-ide soal beberapa film yang ingin saya buat ke depannya–dia bahkan menggambarkan denah set film dan perkiraan biaya yang dibutuhkan untuk membuat set mewah tersebut–tentunya biaya akal-akalan untuk mock up. Kami sepakat akan mulai menggarap proyek ini beberapa tahun ke depan, ketika saya sudah matang dan uang sudah terkumpul.

Maka ketika kabar itu datang tadi pagi buta waktu Washington DC, sebuah cita-cita hancur di jiwa saya. Tidak akan pernah lagi saya bisa menemukan orang seberbakat, sejenius, serendah-hati, seidealis, dan seakrab Sandy Bagong. Saya yakin banyak kawan-kawan pun merasakan hal yang sama. Bagong, seperti kebanyakan karya-karyanya, adalah efimeral. Karya-karya yang ramah lingkungan dan bersifat daur ulang itu, hanya sebentar menemani penikmatnya. Tidak seperti mural Michaelangelo di Sistine Chapel, atau Monalisa milik Da Vinci di Louvre. Namun saya yakin, Bagong hidup di kepala kita semua yang mengenalnya, mengganggu kita dengan keresahan-keresahannya, membuat kita tertawa dengan banyolannya, dan untuk banyak murid dan kawan-kawan yang pernah diajar atau bekerja dengannya, Bagong akan hidup dalam karya-karya mereka. Untuk saya pribadi, saya tidak akan pernah lupa sistem kerja yang diajaran Bagong dalam kedetilan, efektivitas dan efisiensi membuat karya seni. Dan yang paling tidak akan saya lupakan adalah senyumnya yang akan selalu tertinggal seperti Kucing Chesire di Wonderland.

Salah Satu Karya Sandy Bagong yang terakhir. Foto oleh Savril Allezarema
Salah Satu Karya Sandy Bagong yang terakhir. Foto oleh Savril Allezarema

Tadi pagi buta saya bermimpi bertemu Bagong di belakang Gedung IX FIB UI. Ia sedang mengecat rak buku beserta buku-bukunya–tentunya bukan rak buku sungguhan, karena Bagong menulis judul-judul di punggung buku-buku yang terbuat dari gabus dan kardus. Saya menyapanya dan dia cuma bertanya, ‘Apa kabar, Dul?’ Setelah itu saya bangun dan ingat lagi, saya tidak bisa menjawab pertanyaan kepadanya.

Maka jawaban ini saya tujukan untuk semua Sandy Bagong di kepala semua yang mengenalnya, ‘Kabar kami baik, Dul. Kami masih inget desain kasar kalian buat set rumah yang kami minta. Nanti kita bikin ye, Dul.’

 

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.