Sejak kecil saya dianggap gila. Saya penderita ADHD, dan saya tidak bisa diam. Saya sangat-sangat nakal dan bengal. Di TK guru-guru saya menyerah karena saya suka teriak-teriak sendirian di kelas, dengan kata-kata yang awalnya tidak jelas; saya cuma senang diperhatikan. Lalu ketika mulai berkawan dengan anak-anak kampung, teriakan saya jadi ada maknaya buat orang dewasa atau anak kecil yang terlalu sopan: “Anjing!” “Taik!”, kata saya yang berumur lima atau enam tahun itu. Tapi saya sendiri sebenarnya tidak mengerti kenapa orang dewasa kesal dengan kata-kata ini. Penjelasan mereka seringkali tidak masuk akal.
“Kenapa nggak boleh ngomong taik?”
“Karena itu nggak sopan.”
“Kenapa nggak sopan?”
“Karena itu kotor.”
“Tanah juga kotor, kenapa boleh ngomong tanah?”
“Udah anak kecil nurut aja. Jadi anak baik dong.”
“Kenapa?”
“HAAAAAH!!!”
Saya juga suka menyiksa teman-teman saya tanpa alasan, dari mulai menyelengkat kaki mereka ketika lari, hingga membuka rok anak-anak perempuan. Ini bukan bully, karena bully masih punya keinginan kuasa atau menguasai. Saya hanya penasaran, apa yang terjadi kalau saya tidak menurut pada guru saya, atau kalau saya melanggar aturan-aturan itu. Saya juga penasaran kenapa anak perempuan memakai rok dan saya memakai celana, bukan karena ngeres atau apa. Anak TK jaman saya, nggak ngerti ngeres-ngeresan. Saya bahkan pernah menyetrika tangan saya sendiri karena saya melihat telapak tangan saya seperti lecek (ada guratan guratannya), dan katanya setrika dipakai supaya baju tidak lecek. Maka, “NYESSS…” Jadilah tangan saya tidak lecek tapi bengkak. Papa saya panik, dikasih kecap dingin (entah darimana ide itu). Lalu saya dibawa ke puskesmas.
Anak goblok.
Karena kenakalan saya maka orang tua saya dipanggil ke TK, dan guru saya mereferensikan saya ke psikolog anak. Papa saya tidak terima kenyataan bahwa anaknya dibilang sakit jiwa. Dia marah kepada guru-guru TK saya yang menyuruhnya membawa saya ke psikolog anak. Beberapa kali saya malah dibawa ke Kiai atau orang pintar, tapi toh mereka juga menyerah. Kebiasaan bicara kotor dan berteriak-teriak seperti anak kesurupan ketika minta perhatian membuat orang tua saya bingung. Semua kebun binatang keluar dari mulut saya. Anak-anak kampung memang punya peran besar dalam melengkapi kata-kata saya. Tapi di rumah masing-masing, anak-anak kampung ini sopan-sopan karena orang tuanya doyan mukul. Mereka tidak sekolah TK tapi langsung SD. Orang tua saya dari kelas menengah jadi agak takut memukul anaknya. Saya tambah sebodo amat.
Kembali ke pak Kiai. Jadi dia baca-baca doa, dan saya disembur. Lalu seperti adegan di film Exorcist, saya nguamuk sambil menangis-nangis karena merasa tak salah apa-apa tapi disembur. Pak kiai pasti sudah gila, dan saya maki-maki dia balik. Mama panik. Saya tidak ingat kejadian ini, tapi Mama nampaknya trauma punya anak seperti saya. Haha.
Yah singkat cerita saya disekolahkan di Madrasah dan jadi terkontrol sedikit karena beberapa guru yang galak dan tidak takut main fisik (mukul tangan pake kunci, jewer, atau pukul pake rotan kalau salah baca Juz’ama). Kebetulan murid madrasah itu hanya sedikit, satu angkatan saya hanya 12 anak. Jadi semua dapat perhatian yang besar. Ini sudah pernah saya tulis di memoir Islam dan Saya. Tapi perilaku penasaran ini tak pernah berhenti dan saya masih sering gila dalam bentuk lain: marah. Saya jadi anak yang sangat-sangat pemarah.
Waktu kecil saya bisa marah pada apa saja: saya marah karena jalanan macet dan tidak bisa nonton acara tv favorit, saya marah karena terlalu lama di acara keluarga dan tidak pulang-pulang, saya marah karena ini dan karena itu. Seluruh keluarga akhirnya memaklumi kalau saya memang sakit jiwa dan sudahlah, Nosa tidak perlu diambil hati. Dia gila. Sebutan untuk anak gila di keluarga saya adalah: Den Angor, sebutan untuk anak manja yang pemarah. Angor dari bahasa Sunda yang sepertinya turunan dari bahasa Jawa Angkara, dan sepertinya juga diambil bahasa Inggris sebagai kata “Anger.” Nggak ding saya cocologi aja kok ini. Walau kata “Amok” dalam bahasa Inggris memang turunan dari kata “amuk” bahasa melayu.
Marah jadi energi utama saya apalagi kalau kenyataan tidak seperti keinginan saya. Saya jadi anak yang mudah dendam. Ketidakmengertian orang tua saya terhadap anak ADHD membuat amarah saya semakin tidak terkendali. Di sekolah SD, pada awalnya guru-guru bisa mengendalikan dengan disiplin dan kekerasan, tapi toh ketika beranjak kelas tiga atau empat, saya semakin manipulatif dan kenakalan saya menjelma keisengan. Pelan-pelan saya jadi anak jahat tanpa motif. Seperti Iago, tokoh antagonis di drama Othello.
Namun saya beruntung karena punya orang tua yang penyabar, guru-guru yang tegas, keluarga besar yang pengertian, kawan-kawan yang setia dan musuh-musuh yang cerdas yang memaksa saya berpikir. Pelan-pelan saya belajar dari manusia yang disfungsional, menjadi manusia yang bisa berfungsi secara sosial–ilmu antropologi membantu banyak soal ini. Kegilaan itu tentu tidak hilang, hanya jadi lebih terkontrol dan terpelihara dalam relung hati, dan bisa digunakan dalam saat-saat yang penting seperti ketika bekerja kreatif, atau ketika berdebar kusir. Saya bisa menulis panjang soal ini di esei yang lain saja.
Saya sangat sadar bahwa ada banyak saat di hidup saya, dimana harusnya saya mati atau berakhir tragis karena kegilaan saya. Tapi saya bisa selamat dari diri sendiri karena ada orang-orang yang peduli pada saya dan tetap menerima saya walau sudah bikin kesalahan yang lumayan fatal. Saya selalu diberikan kesempatan kedua, ketiga dan seterusnya–walau satu kesempatan ke kesempatan lain memiliki beban tanggung jawab yang semakin berat. Di situlah saya merasa jadi orang yang semakin kuat dan semakin waras: karena di dalam diri, saya tetap gila.
Nosa indah sekali dan tulisan terpolusasi indah
Makasih udah mau nulis ini ya Nosa.
Sebagai emak dan orang tua kadangkala gw gak sabaran sama anak dan gampang banget frustasi. Padahal mah kan mungkin dia juga punya perjuangan sendiri untuk memahami orang tuanya.
Keep writing ya.
Sama-sama mbak Izzah. Kemarin lihat anak tetangga yang ADHD dan nggak disekolahin sama orang tuanya karena dia kaya gue dulu, bikin rusuh di sekolah. Kasihan, orang tuanya super kolot banget.