Moral Bengkok, Prosa, Racauan

Kesepian adalah Persahabatan antara Bosan dan Rindu

Ia pasti bosan, dan bosan adalah siksaan utama keberadaan. Penderitaan yang terberat bagi semua umat manusia, miskin atau kaya, pintar atau bodoh, alim atau kufur, adalah kebosanan, stagnasi, perasaan ketika kehidupan jadi mentok dan monoton.

Manusia adalah mahluk yang adaptif. Siksaan fisik tidak akan sebegitu menyakitkan kalau sudah biasa. Begitupun siksaan mental dan kelelahan jiwa akibat perjuangan yang tak kunjung kelar. Namun tidak ada seorang manusia pun yang bisa membiasakan kebosanan. Ia menghantui di setiap detik, jadi bagian di dalam pikiran yang kita kubur dengan pekerjaan, penderitaan, dan harapan. Tapi tidak ada obat kebosanan yang paling mujarab daripada dosa.

Jadi hari itu, ketika si Janda muda yang biasa bertamu ke rumahnya untuk meminta nasihat spiritual, dan bercengkrama dengan istri dan anak perempuannya, mulai mencuri pandang kepadanya, junjungan kita sang orang suci yang dari mulutnya yang sering berdzikir dan melaknat pendosa, balik memandang dengan matanya yang teduh. Keteduhan yang hanya ditunjukkan kepada orang-orang yang ia hormati dan ia cintai. Keteduhan langka, yang tak pernah ia tunjukkan ketika ia berceramah berapi-api tentang kezaliman penguasa, atau kecongkakan para pendosa, pelaknat, penista agama.

Keteduhan seseorang yang romantis.

Di balik hijab Janda muda itu, junjungan kita membayangkan sebuah dunia baru. Kulit putih yang memerah karena hasrat menggebu, puting merah jambu yang menegang terangsang di puncak gunung yang lengkung sempurna. Ia memerhatikan bibir si Janda, dengan kumis tipis yang konon menandakan tingginya nafsu bercinta. Ketika si Janda berdiri dan mengikuti istrinya untuk berbenah di dapur, ia memperhatikan kemolekan pinggul dan kelincahan pantat dan pahanya, memberi gelombang di balik kain sutra syar’i, begitu jelas lengkungan-lengkungan itu ia lihat.

Subhanallah. Astagfirullah. Subhanallah. Astaghfirullah. Berkecamuk seperti orang yang menyatakan kekafirannya dengan pembaptisan di sungai, megap-megap minta udara. Dan junjungan kita menyadari, udara yang ia ingin hirup adalah yang langka dari hidupnya: sebuah dosa.

Sebelum Janda muda itu mencuri pandang padanya, ia selalu berpikir dan meyakinkan dirinya, bahwa udara itu adalah pahala yang selalu ia kumpulkan. Udara itu adalah kebaikan dan ilmu yang ia tebar. Udara adalah keridhaan ilahi. Namun, yang dicuri oleh si Janda bukan cuma pandangan dan nafasnya. Ia telah mencuri hati, dan itu ditunjukkan dari minaret junjungan kita yang berdiri menunjuk ke arah si Janda. Ia kekang minaret berkubah merah yang tertahan celana dalam di balik baju gamisnya. Seperti si Janda menutup keindahan di balik sutra mahal buatan perancang luar negeri.

Tapi semua akan baik-baik saja, selama si Janda tidak memulai dan menyatakan pandangannya dengan kata apalagi sentuhan. Semua akan baik-baik saja, selama perempuan bisa menjaga dirinya dari hasratnya, dari menunjukkan tubuhnya kepada si lelaki. Ia aman, selama tubuh telanjang itu hanya ada di pikirannya yang ‘normal’. Sang Junjungan kita percaya dan bilang pada semua muridnya, mengajarkan tanpa henti, tentang kekuatan perempuan yang juga jadi kelemahannya: tubuh. Lelaki selalu bisa dipercaya, tapi perempuan tidak. Perempuan dalam agamanya adalah makhluk yang kuat lagi picik, yang sejak awal penciptaan sudah bersekutu dengan setan untuk membuat penderitaan terhadap umat manusia. Selama si Janda tidak menggodanya, semua akan baik-baik saja. Ia hanya harus selalu mengingatkan si Janda untuk menjaga dirinya. Dan setiap nasihat ia isi dengan keteduhan dan cinta yang tak terkatakan.

Maka tanpa Sang Junjungan sadari, hujan asmara jatuh membasahi keringnya nurani si Janda, dan selangkangannya.

Si Janda tidak tahan, ia berani menatap pandangan junjungannya! Iblis! Laknat! Junjungan kita panik setengah mati. Bahkan ketika si Janda pulang. ia masih keringat dingin dalam tahajud yang tidak khusyuk–ia membayangankan pandangan si Janda dan segala kemungkinan dosa yang bisa ia lakukan. 

Dan sial, Junjungan kita benar-benar lupa dengan satu faktor lagi, sebuah jebakan setan kafir laknat yang diciptakan untuk menyebarkan dosa: kamera ponsel, aplikasi obrol, dan sosial media. Awalnya ia hanya mengobrol dengan si Janda melalui ponselnya, mengirim ayat-ayat dan tafsir-tafsir. Entah apa yang merasukinya, pelan-pelan tapi pasti, ia melancarkan puja-puji terhadap kecantikan si Janda, hingga si Janda tahu pasti bahwa pandangan yang ia curi menjelma menjadi birahi. Junjungan kita pun bertransformasi, dari kiai menjadi Rumi. 

Si Janda pun mulai membayangkan puja-puji sang Junjungan kepadanya dalam bentuk aksara, mejadi lisan yang berbisik manja dengan suara berat yang membuat seluruh isi tubuhnya bergetar. Jika cinta anak perawan adalah kupu-kupu di dalam perut, cinta seorang wanita yang pernah merasakan nikmatnya senggama adalah gemuruh debur ombak menampar karang-karang di bawah perutnya. Ia bisa merasakan kumis Junjungan kita menyenggol daun telinganya, hingga tanpa sadar, dalam keadaan setengah tidur, tangan sang Janda merogoh selangkangannya, dan ia bergelinjang bergelimang dosa dan doa. Dosa hawa nafsu, doa agar dosa bisa terlaksana. 

Begitulah sebuah gambaran hasrat, duhai pembaca yang budiman. Saya hentikan cerita ini agar Anda semua merasakan, beratnya rasa penasaran yang darinya rindu tercipta, menyiram arang kehidupan yang redup karena kebosanan, dengan minyak dan angin yang membuat api menyala merambat ke seluruh bagian tubuh dan jiwa. 

Bosan dan rindu menjelma sepi. Di masa lalu, seorang penyair bohemia berteriak serak pada orang-orang semacam Junjungan kita dan Janda idamannya, serta tentunya pembaca penasaran:

“MAMPUS KAU DIKOYAK KOYAK SEPI.”

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.