Cinta, Eksistensialisme, English, Perlawanan, Puisi

Debts

They don’t want you to pay

they just want you to stay

.

Then it’s a debt

that leaves a doubt

.

Was it sincere care

or just binding your mare

.

Don’t run into the night

Just fight with all your might

For in their lies

your love doth dies

.

So cast away the sleepless cry

and free away your labour’s try

Cinta, Eksistensialisme, English, Puisi

Room

There is no outside world
just this room
spacey, controllable environment
and I am free, inside

I escape reality
reject responsibility
my body and mind lack capability
to move, strive, struggle, no agility

But I am not running, no
how can I run if I can’t even stand,
nor speak, nor think straight
or see the light that bestowed upon me

But I do believe in love, that surpasses all
I do believe that if we love each other, all of these
sickness does not matter,
love does not make it better
or worse, it will put fidelity in the gutter

What it surpass is our understanding
to one another and to ourselves

That there is no bad intentions
in loving one another
but dire consequences
lies in unfulfilled desire

Despair is the sickness
everyone must endure
unto death

I love you
and nothing can stop that

But we can stop
hurting each other
by stopping those
that entails love.



Moral Bengkok, Prosa, Racauan

Kesepian adalah Persahabatan antara Bosan dan Rindu

Ia pasti bosan, dan bosan adalah siksaan utama keberadaan. Penderitaan yang terberat bagi semua umat manusia, miskin atau kaya, pintar atau bodoh, alim atau kufur, adalah kebosanan, stagnasi, perasaan ketika kehidupan jadi mentok dan monoton.

Manusia adalah mahluk yang adaptif. Siksaan fisik tidak akan sebegitu menyakitkan kalau sudah biasa. Begitupun siksaan mental dan kelelahan jiwa akibat perjuangan yang tak kunjung kelar. Namun tidak ada seorang manusia pun yang bisa membiasakan kebosanan. Ia menghantui di setiap detik, jadi bagian di dalam pikiran yang kita kubur dengan pekerjaan, penderitaan, dan harapan. Tapi tidak ada obat kebosanan yang paling mujarab daripada dosa.

Jadi hari itu, ketika si Janda muda yang biasa bertamu ke rumahnya untuk meminta nasihat spiritual, dan bercengkrama dengan istri dan anak perempuannya, mulai mencuri pandang kepadanya, junjungan kita sang orang suci yang dari mulutnya yang sering berdzikir dan melaknat pendosa, balik memandang dengan matanya yang teduh. Keteduhan yang hanya ditunjukkan kepada orang-orang yang ia hormati dan ia cintai. Keteduhan langka, yang tak pernah ia tunjukkan ketika ia berceramah berapi-api tentang kezaliman penguasa, atau kecongkakan para pendosa, pelaknat, penista agama.

Keteduhan seseorang yang romantis.

Di balik hijab Janda muda itu, junjungan kita membayangkan sebuah dunia baru. Kulit putih yang memerah karena hasrat menggebu, puting merah jambu yang menegang terangsang di puncak gunung yang lengkung sempurna. Ia memerhatikan bibir si Janda, dengan kumis tipis yang konon menandakan tingginya nafsu bercinta. Ketika si Janda berdiri dan mengikuti istrinya untuk berbenah di dapur, ia memperhatikan kemolekan pinggul dan kelincahan pantat dan pahanya, memberi gelombang di balik kain sutra syar’i, begitu jelas lengkungan-lengkungan itu ia lihat.

Subhanallah. Astagfirullah. Subhanallah. Astaghfirullah. Berkecamuk seperti orang yang menyatakan kekafirannya dengan pembaptisan di sungai, megap-megap minta udara. Dan junjungan kita menyadari, udara yang ia ingin hirup adalah yang langka dari hidupnya: sebuah dosa.

Sebelum Janda muda itu mencuri pandang padanya, ia selalu berpikir dan meyakinkan dirinya, bahwa udara itu adalah pahala yang selalu ia kumpulkan. Udara itu adalah kebaikan dan ilmu yang ia tebar. Udara adalah keridhaan ilahi. Namun, yang dicuri oleh si Janda bukan cuma pandangan dan nafasnya. Ia telah mencuri hati, dan itu ditunjukkan dari minaret junjungan kita yang berdiri menunjuk ke arah si Janda. Ia kekang minaret berkubah merah yang tertahan celana dalam di balik baju gamisnya. Seperti si Janda menutup keindahan di balik sutra mahal buatan perancang luar negeri.

Tapi semua akan baik-baik saja, selama si Janda tidak memulai dan menyatakan pandangannya dengan kata apalagi sentuhan. Semua akan baik-baik saja, selama perempuan bisa menjaga dirinya dari hasratnya, dari menunjukkan tubuhnya kepada si lelaki. Ia aman, selama tubuh telanjang itu hanya ada di pikirannya yang ‘normal’. Sang Junjungan kita percaya dan bilang pada semua muridnya, mengajarkan tanpa henti, tentang kekuatan perempuan yang juga jadi kelemahannya: tubuh. Lelaki selalu bisa dipercaya, tapi perempuan tidak. Perempuan dalam agamanya adalah makhluk yang kuat lagi picik, yang sejak awal penciptaan sudah bersekutu dengan setan untuk membuat penderitaan terhadap umat manusia. Selama si Janda tidak menggodanya, semua akan baik-baik saja. Ia hanya harus selalu mengingatkan si Janda untuk menjaga dirinya. Dan setiap nasihat ia isi dengan keteduhan dan cinta yang tak terkatakan.

Maka tanpa Sang Junjungan sadari, hujan asmara jatuh membasahi keringnya nurani si Janda, dan selangkangannya.

Si Janda tidak tahan, ia berani menatap pandangan junjungannya! Iblis! Laknat! Junjungan kita panik setengah mati. Bahkan ketika si Janda pulang. ia masih keringat dingin dalam tahajud yang tidak khusyuk–ia membayangankan pandangan si Janda dan segala kemungkinan dosa yang bisa ia lakukan. 

Dan sial, Junjungan kita benar-benar lupa dengan satu faktor lagi, sebuah jebakan setan kafir laknat yang diciptakan untuk menyebarkan dosa: kamera ponsel, aplikasi obrol, dan sosial media. Awalnya ia hanya mengobrol dengan si Janda melalui ponselnya, mengirim ayat-ayat dan tafsir-tafsir. Entah apa yang merasukinya, pelan-pelan tapi pasti, ia melancarkan puja-puji terhadap kecantikan si Janda, hingga si Janda tahu pasti bahwa pandangan yang ia curi menjelma menjadi birahi. Junjungan kita pun bertransformasi, dari kiai menjadi Rumi. 

Si Janda pun mulai membayangkan puja-puji sang Junjungan kepadanya dalam bentuk aksara, mejadi lisan yang berbisik manja dengan suara berat yang membuat seluruh isi tubuhnya bergetar. Jika cinta anak perawan adalah kupu-kupu di dalam perut, cinta seorang wanita yang pernah merasakan nikmatnya senggama adalah gemuruh debur ombak menampar karang-karang di bawah perutnya. Ia bisa merasakan kumis Junjungan kita menyenggol daun telinganya, hingga tanpa sadar, dalam keadaan setengah tidur, tangan sang Janda merogoh selangkangannya, dan ia bergelinjang bergelimang dosa dan doa. Dosa hawa nafsu, doa agar dosa bisa terlaksana. 

Begitulah sebuah gambaran hasrat, duhai pembaca yang budiman. Saya hentikan cerita ini agar Anda semua merasakan, beratnya rasa penasaran yang darinya rindu tercipta, menyiram arang kehidupan yang redup karena kebosanan, dengan minyak dan angin yang membuat api menyala merambat ke seluruh bagian tubuh dan jiwa. 

Bosan dan rindu menjelma sepi. Di masa lalu, seorang penyair bohemia berteriak serak pada orang-orang semacam Junjungan kita dan Janda idamannya, serta tentunya pembaca penasaran:

“MAMPUS KAU DIKOYAK KOYAK SEPI.”

Alam, Film, Kurasi/Kritik, Puisi, Uncategorized

Kehangatan Musim Dingin: Semua Berkat Ubi

Sebuah film dokumenter non naratif yang sangat indah menurut saya. Diambil dengan ketenangan, kamera diam tanpa gerakan, setiap frame bagai lukisan.

Karena seringkali, gerakan kamera tidak diperlukan untuk situasi yang sudah indah. Videografer mengambil momen dan membingkai kenyataan, memberikan perasaan hangat kepada penonton, itu sudah cukup bermakna–tanpa argumen, tanpa statement. Hanya rasa.

Dan kekuatan seorang perempuan sangat saya rasakan di video ini. Terlepas apakah perempuan di video ini adalah model atau bukan, ketiadaan lelaki di video ini, membuat keindahan yang luar biasa dalam menggambarkan independensi perempuan.

Menonton film ini adalah sebuah terapi.