Buang ke bintang-bintang, cerita kita pernah jadi binatang berpunuk dua di sarang peri-peri hutan kota ini.
Kadang lara ada dan tiada, seperti cintamu yang kau sembur di lidah dan ludahnya, hingga semburatnya di dadamu, di perutmu, tapi tidak di mulutmu.
Mulutmu hanya untuk ku. Bibirmu adalah liang menuju sungai-sungai waktu, surai-surai di derai-derai pelangi; kaki-kakinya menghubungkan lidahmu dan lidahku.

Dan lidahku di liangmu, kau menggelinjang dan dawai-dawai ribuan syarafmu kumainkan dengan jari-jemari ajaib ku. Desah, resah akan akhir sebuah kisah yang bisa jadi sangat menyakitkan karena semua ini tak terasa salah.
Namun kita tahu ada tabu ditabuh dalam ritme tubuh kita. Maka kita saling menolak cinta, dan kita buang kata-kata ke angkasa.
Menjadi meteor-meteor yang menabrak bintang-bintang. Memandu arah jalan pulang, jiwa-jiwa yang mengejar kerinduan.
Jakarta, 2020.