Film, Kurasi/Kritik, Uncategorized

Laut dan Daratan: Keterasingan Perempuan dalam Film Mudik

Pertama kali diterbitkan di website voxpop.id dengan judul:

Film Mudik yang bukan Sekedar Perjalanan Pulang Kampung.

Ini permasalahan besar budaya patriarki yang bertabrakan dengan kepentingan kapitalisme: dimana menempatkan perempuan di masa modern, dimana tenaga dan pikiran mereka, memanusiakan mereka, dibutuhkan dalam dunia kerja?

Sudah banyak usaha yang dilakukan untuk menempatkan perempuan sebagai makhluk berpikir nomor dua; manusia yang tidak lengkap. Dari agama, hukum, ekonomi, politik dan aturan sosial, perempuan dilabeli ‘kodrat’ bahwa secara lahiriah mereka harus ikut (struktur) lelaki. Namun kepatuhan total kaum hawa semacam itu punya harga tinggi: cuma negara-negara penghasil minyak, misalnya, yang mampu untuk menekan perempuan sedemikian rupa, menyekapnya di rumah, menutupi tubuhnya, dan menjadikannya komoditas. Perempuan bisa direndahkan sedemikian rupa, karena tenaga dan pikiran mereka tidak dibutuhkan. Sementara itu negara-negara dengan diversifikasi ekonomi yang membutuhkan tenaga kerja, tenaga ahli, dan mengikuti persaingan global, butuh perempuan untuk menjadi manusia utuh. Dengan itu, perempuan jadi punya kuasa dan lelaki yang tak mampu bersaing jadi ‘terkebiri’ karena harus menerima sebuah fakta bahwa pasangan heteronormatifnya bisa ada di atas dia dalam banyak hal. 

Dikebiri adalah ketakutan utama banyak lelaki. Falus menjadi simbol utama kekuasaan, Pen, pena, penis menulis history, his story, ceritanya laki-laki. Lelaki tanpa penis, adalah lelaki yang tidak bisa menulis cerita, dan karenanya menjadi irelevan. Dan seperti kata Yuval Noah Harrari dalam buku 21 Lessons for the 21th Century (2018), ketakutan utama manusia adalah menjadi irelevan, tidak berguna, tidak bermakna. Dan perempuan-perempuan yang mampu membuat lelaki kehilangan penisnya, adalah simbol ketakutan-ketakutan itu. Dari Medusa sampai Kuntilanak, dari Mary Wollstonecraft sampai Kartini, perempuan yang punya kuasa, punya pena, punya cerita, menempatkan lelaki dalam posisi yang relevansinya diragukan. 

Kepala Medusa harus dipenggal; kepala Kuntilanak atau Sundelbolong harus dipaku; Mary Wollstonecraft, feminis pionir itu, harus dirusak namanya dengan buku Memoir yang ditulis suaminya, William Godwin, setelah kematiannya; dan Kartini harus jadi istri keempat dan meninggal empat hari setelah melahirkan di usia 25 tahun. Perempuan yang punya cerita, punya kuasa, dan mampu mengebiri laki-laki dalam budaya patriarki harus diasingkan karena bisa mengganggu struktur budaya dan cerita yang sudah terbangun tentang kekuasaan dan keperkasaan lelaki. Dalam psikonalisis, keadaan keterasingan semacam ini disebut abjection, dan keadaan ini sangatlah ditakuti. Perempuan yang memendam kemarahan, dan punya kuasa untuk melawan kalau ia mau, adalah suatu hal yang horor, kata kritikus film Barbara Creed dalam buku The Monstrous Feminine (1993).

Dalam film Mudik besutan sutradara Adriyanto Dewo, tokoh Aida (Putri Ayudya) adalah perempuan dalam kondisi abjeksi tersebut. Ia adalah perempuan kota yang mampu mencari uang dan independen, ia bisa mengemudi, dan di saat yang sama ia adalah perempuan yang tidak sesuai dengan kodrat yang dibutuhkan struktur patriarki: ia tidak bisa punya anak. Sementara itu Firman (Ibnu Jamil) diam-diam sudah bersiap untuk menikah lagi dengan dukungan keluarganya. Keluarga mewakili sebuah struktur masyarakat yang mengijinkan poligami sebagai bagian dari usaha reproduksi, sementara Firman sendiri nampak tidak memiliki kemampuan finansial sebaik Aida, dan karenanya merasa ‘terkebiri.’

Perawan tua dan perempuan mandul adalah dua contoh abjeksi paling nyata dalam budaya patriarki. Sejak adegan awal film Mudik, tensi dan emosi yang tegang antara sepasang suami istri ini terus meruncing, hingga Aida menabrak Sugeng, seorang suami yang hendak pulang kampung. Maka Aida dan Firman dibawa ke sebuah konteks yang paling sering menjadi setting horor di film Indonesia: kampung dan orang-orang kampung. Persepsi dan bias kota ini sudah wajar kita lihat dalam film-film yang dibuat sineas urban: Perempuan Tanah Jahanam (2019) dari Joko Anwar menempatkan orang kampung sebagai para penjahat pemuja dukun yang sadis. Lampor (2019) karya Guntur Soeharjanto memperlihatkan orang kampung sebagai orang-orang yang percaya takhyul, penuh kelicikan dan konflik seksual. Mudik memiliki perspektif yang sama tentang orang desa: para lelaki picik yang memeras orang kota demi uang, dan para patriark yang memaksa janda dari korban tabrak lari untuk diam saja. 

Dunia perempuan dalam dunia laki-laki, seperti pepatah lama, ada di dapur-sumur-kasur. Begitulah dunia Santi (Asmara Abigail), janda dari lelaki yang ditabrak Aida. Namun Santi memiliki rahasia yang berbahaya. Ketika ditinggal lama oleh suaminya, ia memutuskan untuk selingkuh dengan Agus (Yoga Pratama) hingga hamil. Kecelakaan yang menimpa suaminya adalah tiket untuk Santi keluar dari kampungnya dan membina hidup baru bersama Agus dan Gendis, anaknya dengan almarhum Sugeng. Ia tidak bisa tinggal di kampung itu karena takut tentang apa yang akan dilakukan warga kampung kepadanya, jika mereka tahu ia hamil tanpa pernah disentuh suami yang belum sempat pulang selama bertahun-tahun. 

Santi adalah cerminan Aida: ketika Santi dengan mudah hamil, Aida tidak bisa punya anak. Ketika Santi mengorbankan rumah tangga dengan perselingkuhan, Aida berusaha mempertahankan rumah tangga yang sudah di ambang kehancuran. Santi tidak punya kekuatan untuk keluar dari struktur sosialnya, Aida selalu punya pilihan untuk meninggalkan Firman tapi tidak pernah diambilnya. Pada akhir film, kita melihat dua perempuan mengambil keputusan dengan ekstrim yang berbeda: Santi memutuskan untuk tinggal bersama Agus di kampung orang tuanya; sementara Aida meninggalkan Firman dengan cara yang puitik dan simbolik: berjalan ke pantai. 

Dunia Santi lebih solid. Dari kampung ia pindah ke kampung lain. Dari satu lelaki, ia pindah ke lelaki lain. Sementara dunia Aida adalah dunia liminal. Liminalitas berarti dunia antara yang seringkali menyakitkan dan penuh kebingungan, seperti seorang mahasiswa yang mengerjakan skripsi untuk diwisuda, atau seorang perawan yang dipingit untuk menikah, atau seorang Sparta yang dibuang ke hutan untuk menjadi lelaki sejati. Sebuah ritual menuju ke kedewasaan. Setelah melewati dunia liminal, seorang manusia akan mengalami perubahan status: dari bujang dan perawan menjadi suami dan istri, dari mahasiswa menjadi sarjana, dan dari remaja menjadi dewasa. 

Dunia liminalitas Aida ini digambarkan secara konsisten dari awal film. Dimulai dari Aida yang sendirian di rumah susun, mengepak barang untuk pergi mudik, hingga di mobil ketika ia bergantian menyetir bersama Firman. Selama di mobil, Aida bukan hanya mengendarai mobil itu tapi juga mengendalikan narasi. Ia yang membuat Firman memutuskan untuk putar balik dan bertanggung jawab karena menabrak orang. Namun ketika keluar mobil, dunia berubah menjadi dunia lelaki. Semua perhatian terpusat kepada Firman, sebagai seorang suami. Dan Firman, dengan segala daya upaya untuk menjadi egois, selalu membuat pilihan pragmatis yang salah, dari salah omong kepada warga, hingga salah menyogok polisi. Pada akhirnya Aida juga yang menyelesaikan masalah, dan kembali Firman mengikuti kehendak Aida untuk membawa Santi dan Agus pergi dari kampung itu. Firman sudah terkebiri.

Namun bukan hanya Aida yang ada di dalam konteks liminal. Firman pun begitu ketika ia harus pulang kampung dan mendapat restu untuk menikah lagi. Di akhir film, Firman dan Aida berjalan di dunia luar, di sebuah gurun pasir dimana orang-orang sedang salat Ied. Mereka berdua terasing dalam hari yang fitri. Mereka menjadi hantu di antara para warga yang lalu lalang. Santi memeluk Aida sebagai rasa terima kasih, dan Aida memilih untuk pergi meninggalkan Firman, melewati hutan menuju ke pantai. Shot terakhir film menunjukkan hutan dan pantai, sebuah dunia antara pula.

Aida ditolak oleh struktur patriarki sebagai seorang perempuan mandul. Dan keputusan Firman untuk menikah lagi, membuat Aida tertolak untuk kedua kalinya. Ia terpinggirkan, dan perjalanan dari hutan menuju pantai menunjukkan hal itu, perempuan yang terasing ke pinggir. Sementara itu Santi tetap ada di struktur yang mengekangnya dengan cara yang baru. Ketidakberdayaannya sebagai seorang perempuan yang tergantung lelaki dan subur, membuatnya tetap pas di konteks semacam itu. 

Pada akhirnya kita bisa melihat keterasingan perempuan dari dua sisi. Kita bisa melihat keterasingan dalam struktur yang dialami oleh Santi, atau keterasingan di luar struktur seperti yang dialami Aida. Keduanya sama terasing, dalam sebuah cermin. Dan pilihan Santi dan Aida adalah pilihan semua perempuan hari ini: terasing di dalam sistem sebagai istri dan ibu yang terkungkung dan tergantung lelaki; atau terasing di luar sistem sebagai perempuan mandul, independen, dan selibat.

Satu pemikiran pada “Laut dan Daratan: Keterasingan Perempuan dalam Film Mudik

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.