Film, Gender, Kurasi/Kritik, Memoir, Racauan

Quo Vadis, Henricus Pria?

Tulisan ini buat mbak yang komen di IG cinemapoetica. Ya, saya patriarki. Itu ideologi yang dipakai semua orang hari ini. Dan saya feminis, karena saya melawan ideologi itu, termasuk melawan diri dan privilise saya sendiri sebagai lelaki heteronormatif, yang berusaha untuk terus evaluasi diri. Yes, thank you, saya tidak kenal kamu tapi saya menghormatimu. Semoga bahagia dan sehat-sehat, ya.

Ketika rumah produksi Penyalin Cahaya menyebarkan kabar bahwa penulis naskahnya dicoret dari kredit karena menjadi terduga pelaku pelecehan seksual, saya sangat galau. Saya sedang ada di tengah project film panjang pertama saya, 6 film pendek yang saya eksekutif produser sedang jalan post produksi dan satu sedang distribusi, dan saya sudah melabeli diri saya sebagai pembuat film aktivis, arus pinggiran, khusus NGO dan misi humanitarian, plus saya self proclaimed feminist, tapi… Saya anxious dipenuhi rasa bersalah!

Karena faktanya, saya adalah laki-laki heteroseksual yang dibesarkan di dalam budaya patriarki, dan saya belajar soal seksualitas dan feminisme ketika saya kuliah, untuk lebih mengerti ibu saya yang seperti gambarannya Betty Friedan dan gebetan saya yang seperti Helene Cisoux. Itu pun, dalam masa-masa kuliah dan pasca kuliah yang rock and roll (saya punya 2 album rock and roll dan pernah punya groupies), saya bergaul dengan lumayan banyak perempuan. Dan seremnya, saya takut ada yang saya lecehkan tapi saya nggak sadar karena saya bias patriarki. Karena seperti kata Hannah Arendt, kejahatan itu banal. Anwar Congo nggak merasa bersalah membantai Komunis, sampe dia dipersalahkan zaman Baru yang melihat pembunuhan sebagai pembunuhan. Dan kebanyakan boomer yang melecehkan perempuan menganggap bahwa hal yang mereka lakukan normal- normal saja pada masanya. Intinya, banyak pelecehan terjadi karena kebodohan dan kekurangan kemanusiaan. Sejarah seringkali tidak bersifat linear, tapi paralel dan komparatif: seperti ditemukannya perbudakan manusia di jaman ini di rumah Bupati Langkat. Atau pemikiran beberapa aliran puritan Islam yang tidak mau hidup dengan teknologi karena tidak sesuai dengan cara hidup rasul.

Untuk memastikan saya tidak melecehkan mantan-mantan pacar, gebetan atau FWB, saya menjaga hubungan baik dengan kebanyakan dari mereka. Nggak semua soalnya ada yang sudah kawin, beranak, berbahagia dan suaminya insecure, jadi saya nggak hubungi lagi. Anyway, kasus Penyalin Cahaya bikin saya ga bisa tidur dan saya bikin draft tulisan yang isinya nama dan peristiwa dimana saya mungkin saja pernah melecehkan perempuan. Saya berusaha mengevaluasi diri karena takut nanti pas film saya jadi, ada yang mengadukan saya karena saya pernah tolol aja waktu muda. Tapi pas saya tulis, saya malah ketrigger sendiri—secara saya banyak dibikin nangis sama perempuan. Sad boi gitu, tapi mabok dan ngeblues, maklum belom jamannya Emo jadi saya terhindar dari punya poni banting.

Saya sedih diputusin tapi saya nggak pernah dilecehkan. Saya cuma not good enough to be their man. Saya juga nggak merasa melecehkan, karena toh saya bener-bener sayang sama mereka semua, dan saya sangat terbuka untuk tanggung jawab dan minta maaf pada mereka kalau mereka bilang saya menyakiti mereka. Tubuh saya penuh luka yang pantas saya dapatkan karena membuat mereka patah hati. Beberapa ada yang mereka kasih karena mereka kesal saya selingkuh terus jujur, tapi kebanyakan luka saya toreh atau saya pukul sendiri karena saya merasa bersalah menyakiti hati orang yang sayang sama saya. Ah, sudah ah. Sedih.

Akhirnya tulisan itu jadi draft aja yang entah kapan bakal saya keluarkan. Dan saya coba bikin kritik Penyalin Cahaya sebagai filmmaker saja. Tapi setelah saya tonton dua kali, saya langsung bosan dengan filmnya. Filmnya well crafted, bagus banget secara visual dan naratif, tapi nggak mengulik intelektualitas saya kayak film-filmnya Joko Anwar, misalnya. Penyalin Cahaya yaudah gitu aja. Paling kalo mau dikritisi, filmnya ga mengandung keistimewaan feminist secara visual: cewek-cewek di film itu tetap aja tereksploitasi dan jadi fetish buat cowok-cowok yang suka sama cewek feminist. Yes, seperti ada cowok-cowok fetish sama nenek-nenek, orang kerdil, anak kecil, dan perempuan cantik, ada juga cowok-cowok yang fetishnya sama dominatrix atau feminist. Kalau cowok-cowok yang fetish feminist ini adalah masokis, itu lebih baik daripada Penyalin Cahaya. Karena, dan ini simpulan saya sama Penyalin Cahaya:

Penyalin Cahaya secara visual dan naratif memberikan sebuah orgasme pada para lelaki patriarki dominan yang fetish pada feminist, bahwa pada akhirnya para perempuan yang melawan ini mereka kuasai, sistemnya kuasai. Di visual filmnya tubuh, punggung, dan ranah privat sudah diekspos ke penonton, memberikan kenikmatan. Dan cerita-cerita terfotokopi hanya sekedar buang-buang kertas ke jalanan. Secara visual keren, kertas kuning melayang di udara, tapi secara subtansi cuma jadi sampah di jalanan. Long live patriarchy.

Maka kesimpangsiuran kasus Henricus Pria, dan banyak pelecehan lain cuma menambah kuat statement film ini: cerita-cerita pelecehan itu sampah yang buang-buang kertas aja. Toh angka penonton dan penjualan di Netflix tetap tinggi, dan cerita korban berkeliaran seperti gosipan lambe turah saja.

Dan saya tetap tidak bisa tidur. Bukan karena saya merasa bersalah seperti ketika film ini tercekik wacana dan jadi trending dulu, tapi karena kasusnya seperti tulisan di pasir yang tersapu ombak waktu. Saya tidak bisa tidur memikirkan para perempuan yang trauma, terluka, dan melanjutkan hidup seperti veteran perang yang sengaja dibuat kalah dan traumatis. Saya tidak bisa tidur memikirkan, apa yang bisa saya lakukan besok, biar saya, murid-murid saya, generasi masa depan, tidak mengulang pelecehan yang sama. Karena bikin film soal pelecehan seksual, yang menang banyak penghargaan dan sempat bikin Peraturan Menteri no. 30 jadi hits, nggak bisa membuat korban diurus dengan lebih baik. Saya merasa helpless sebagai filmmaker.

Taik kucing semua kertas fotokopian itu. Saya akan bikin pendidikan film gratis aja buat filmmaker perempuan. Jadi mereka ga motokopi cerita, MEREKA SYUTING SENDIRI! Kalau kamu merasa kamu berbakat jadi sutradara, penulis, atau produser perempuan, tapi ga bisa sekolah film, daftar MondiBlanc!


Terima kasih sudah membaca tulisan ini. Website ini jalan dengan donasi. Jika kamu suka dengan yang kamu baca, kamu boleh sebarkan tulisan ini. Dan jika kamu mendukung saya untuk bisa terus konsisten menulis, boleh klik tombol di bawah ini dan traktir saya segelas kopi. Terima kasih.

Buku, Kurasi/Kritik, Racauan, Workshop

5 Produser Yang Bikin Nggak Produktif di Filmmaking

Setelah aktor dan sutradara, kini saatnya bahas soal produser. Produser adalah motornya sebuah film. Film sebagai sebuah barang adalah milik produser–ide nya milik sutradara. Tanpa produser, film hanya akan jadi angan-angan sutradaranya. Semua orang bisa jadi sutradara, tapi jarang yang benar-benar bisa jadi produser, karena dia butuh skill untuk membuat film “terjadi”. Karena kalo produsernya bagus, seringkali tanpa sutradara pun filmnya juga bisa jadi. Tapi tanpa produser, sutradara harus jadi produser biar filmnya jadi.

Tapi kasihan banget kalau sebuah film produsernya nggak produktif. Semua orang jadi susah, komunikasi jadi sulit, dan kalau sampai filmnya jadi, produsernya kemungkinan adalah orang lain atau tenaga gaib di film itu. Berikut adalah 5 produser gak produktif yang sebaiknta kamu hindari kalau diajakin proyekan.

1. Produser Tapi PA

Produser kayak gini sukanya melayani sutradara dan yes-yes aja tanpa bisa jadi sparing partner dalam argumen dan pengembangan ide. Dia nggak punya leadership dan seringkali cuma jadi bonekanya sutradara aja. Dia ga bisa bikin jembatan komunikasi antara sutradara dan kru lain, sehingga kalau dia dapat sutradara yang komunikasinya jelek, atau yang kurang dewasa, produksi filmnya bisa berantakan.

Namanya produser tapi kelakuan kayak PA (production assistant). Padahal tugas dia yang utama adalah mencari jalan supaya dia bisa gabut di set pas syuting karena semua berjalan baik. Perilaku PA-nya ini membuat ketika syuting, bisa jadi dia malah kalang kabut ngurusin semua yang ga keurus karena skala produksi salah perhitungan, atau komitmen kru nggak bisa dijaga.

Etos kerja produser tipe ini dihargai, tapi salah konteks. Mungkin harus belajar lagi ngikut produser lain, atau nyobain jadi sutradara, biar sekali-sekali punya visi.

2. Produser Bossy

Bossy itu berlagak boss tapi ga ada kharismanya. Nggak ngerti konsep, nggak ngerti hierarki, nggak ngerti teknis, terus petantang-petenteng nyuruh orang ini itu. Atau ambil kebijakan yang bakal punya konsekuensi produksi yang bikin rugi banget secara waktu dan uang dan hasil footage.

Hubungan dengan kru nggak terjaga karena komunikasi jelek, dan dia nggak sadar kalau komunikasi jelek karena merasa, well, dia boss. Dia rasa semua baik-baik saja karena dia boss yang maunya tahu beres. Nggak, boy. Produser nggak tahu beres, sebaliknya harus selalu curiga kalau sesuatu beres-beres aja. Minimal jadi punya plan B and plan C sampe Z.

Seringkali ini terjadi karena kurang pengalaman: produser dikerjai oleh sutradara atau kru yang lebih jago jualan daripada dia, sehingga dia terbawa suasana aman dan nyaman, dan nggak bikin planning yang rapih, nggak kritis dalam sebuah produksi. Mungkin cocoknya produser macam ini jadi executive produser saja.

3. Produser nggak gaul

Modal utama produser itu bukan duit tapi pergaulan dan managemen konflik. Dia harus kenal orang banyak yang cukup dekat hingga bisa dia pitch ide-idenya, atau ide sutradaranya. Dia pun harus jago milih teman mana yang mau diajak produksi.

Karena bukan cuma komitmen yang dibutuhkan tapi juga skill, dan skill nggak ada gunanya kalau ga ada komitmen. Produser yang gak gaul biasanya bukan orang yang berkomitmen, karena kalau dia penuh komitmen, maka dia akan punya banyak temen yang ngutang sama dia dan rela bantuin filmnya setengah mati.

Ketidakmampuan managemen konflik dan pergaulan sosial ini jadi masalah sangat besar, karena produksi adalah soal mengatur dan mendesain flow kerja. Produser yang cenderung menghindari konflik, tidak bisa mendamaikan pihak-pihak yang berfriksi, dan tidak bisa menjadi mediator, sebaiknya jangan jadi produser.

Karena kenikmatan produksi film adalah hasil kerja keras pra produksi, ketika semua konflik sudah teratasi, semua orang tersedia, semua fasilitas mencukupi, hingga ketika syuting, semua orang bisa menanggung penderitaan bersama dengan rela dan bahagia.

Syuting yang baik seperti seks yang enak: sakit-sakit-nikmat. Produser keren bisa bikin semua orang orgasme, dan orgasme butuh hubungan dan komunikasi yang enak.

4. Produser sotoy

Sotoy di industri film Indonesia ada di mana-mana. Bayangkan film sebagai media termutakhir saat ini: dia mengandung sastra, teater, seni rupa, seni lukis, seni musik, dan seni-seni lain. Produser yang mau jualan ide dan filmnya harus ngerti luar dalam apa yang dia jual. Tapi kalau dia kalah intelek sama sutradara, production designer, scriptwriter, dll, dia bisa salah jual barang dan ujung-ujungnua dianggap penipu.

Sotoy buat sutradara bisa berujung gak dipake orang lagi, ga ada yang mau kerja sama dia lagi. Tapi sotoy buat produser lebih parah: dia bahkan bisa masuk penjara! Sotoy soal budget, bisa jadi overbudget, sotoy soal konsep bisa dituntut sama eksekutif produser dan investor, sotoy soal seni yang dipakai di filmnya, bisa kena pasal Hak Cipta.

Produser kerjaan yang berat dan kudu teliti dan hati-hati. Orang sotoy di Indonesia punya kesempatan dan tempat buat dipercaya orang lain, tapi hasilnya bisa jadi buruk banget. Jadi produser adalah soal trust dan tanggung jawab. Nama dia akan jelek selama-lamanya kalau filmnya keluar dengan banyak masalah yang membuntutinya.

5. Produser power player

Dia humoris, jago bergaul, jago ngatur budget, jago jualan, tapi dia sering menggunakan posisinya untuk bermain kuasa dengan memeras orang lain baik dengan cara halus, atau dengan modal sosialnya. Dia bisa memeras orang dengan rayuan dan ancaman, dari deal soal harga sampai deal soal seks.

Produser kayak gini baiknya dipenjara saja selama-lamanya. Perilaku patron yang pervert, sudah saatnya hengkang dari muka bumi. Jadi sebelum kerja dengan produser manapun, sejago-jagonya dia, pastikan kalian minta kontrak yang jelas, atau referensi terpercaya sebelum kerja dari kawan-kawan lain kalau memang callingannya harian.

Kalau ketemu produset macam ini, jangan takut untuk cerita dan melawan balik. Cari temen-temen deket dulu, bikin asosiasi, atau masuk asosiasi. Produser kuat dan serem kayak gini harus dihajar dengan persatuan dan kesatuan!

***

Terima kasih sudah baca sampai habis. Blog ini dibiayai oleh sumbangan kalian, lumayan mahal biaya tahunannya. Kuy! Klik tombol di bawah ini:

Film/Video, Portfolio

Sejak Dini | Film Pendek Keluarga untuk Mendidik Anak Peduli Lingkungan Sejak Dini

Kalau kamu bingung bagaimana cara menyelamatkan dunia yang hampir kiamat karena kerusakan lingkungan, ini adalah film buat kamu.

Ini adalah film pendek hasil kolaborasi MondiBlanc Film Workshop dan WWF Indonesia yang saya sutradarai. Proses pembuatannya cukup lama dari mulai workshop sampai eksekusi dan post produksi, demi menghadirkan pesan yang jelas namun tetap menghibur, sebagai sebuah film keluarga.

Selamat menyaksikan.

Film, Kurasi/Kritik, Uncategorized

Laut dan Daratan: Keterasingan Perempuan dalam Film Mudik

Pertama kali diterbitkan di website voxpop.id dengan judul:

Film Mudik yang bukan Sekedar Perjalanan Pulang Kampung.

Ini permasalahan besar budaya patriarki yang bertabrakan dengan kepentingan kapitalisme: dimana menempatkan perempuan di masa modern, dimana tenaga dan pikiran mereka, memanusiakan mereka, dibutuhkan dalam dunia kerja?

Sudah banyak usaha yang dilakukan untuk menempatkan perempuan sebagai makhluk berpikir nomor dua; manusia yang tidak lengkap. Dari agama, hukum, ekonomi, politik dan aturan sosial, perempuan dilabeli ‘kodrat’ bahwa secara lahiriah mereka harus ikut (struktur) lelaki. Namun kepatuhan total kaum hawa semacam itu punya harga tinggi: cuma negara-negara penghasil minyak, misalnya, yang mampu untuk menekan perempuan sedemikian rupa, menyekapnya di rumah, menutupi tubuhnya, dan menjadikannya komoditas. Perempuan bisa direndahkan sedemikian rupa, karena tenaga dan pikiran mereka tidak dibutuhkan. Sementara itu negara-negara dengan diversifikasi ekonomi yang membutuhkan tenaga kerja, tenaga ahli, dan mengikuti persaingan global, butuh perempuan untuk menjadi manusia utuh. Dengan itu, perempuan jadi punya kuasa dan lelaki yang tak mampu bersaing jadi ‘terkebiri’ karena harus menerima sebuah fakta bahwa pasangan heteronormatifnya bisa ada di atas dia dalam banyak hal. 

Dikebiri adalah ketakutan utama banyak lelaki. Falus menjadi simbol utama kekuasaan, Pen, pena, penis menulis history, his story, ceritanya laki-laki. Lelaki tanpa penis, adalah lelaki yang tidak bisa menulis cerita, dan karenanya menjadi irelevan. Dan seperti kata Yuval Noah Harrari dalam buku 21 Lessons for the 21th Century (2018), ketakutan utama manusia adalah menjadi irelevan, tidak berguna, tidak bermakna. Dan perempuan-perempuan yang mampu membuat lelaki kehilangan penisnya, adalah simbol ketakutan-ketakutan itu. Dari Medusa sampai Kuntilanak, dari Mary Wollstonecraft sampai Kartini, perempuan yang punya kuasa, punya pena, punya cerita, menempatkan lelaki dalam posisi yang relevansinya diragukan. 

Kepala Medusa harus dipenggal; kepala Kuntilanak atau Sundelbolong harus dipaku; Mary Wollstonecraft, feminis pionir itu, harus dirusak namanya dengan buku Memoir yang ditulis suaminya, William Godwin, setelah kematiannya; dan Kartini harus jadi istri keempat dan meninggal empat hari setelah melahirkan di usia 25 tahun. Perempuan yang punya cerita, punya kuasa, dan mampu mengebiri laki-laki dalam budaya patriarki harus diasingkan karena bisa mengganggu struktur budaya dan cerita yang sudah terbangun tentang kekuasaan dan keperkasaan lelaki. Dalam psikonalisis, keadaan keterasingan semacam ini disebut abjection, dan keadaan ini sangatlah ditakuti. Perempuan yang memendam kemarahan, dan punya kuasa untuk melawan kalau ia mau, adalah suatu hal yang horor, kata kritikus film Barbara Creed dalam buku The Monstrous Feminine (1993).

Dalam film Mudik besutan sutradara Adriyanto Dewo, tokoh Aida (Putri Ayudya) adalah perempuan dalam kondisi abjeksi tersebut. Ia adalah perempuan kota yang mampu mencari uang dan independen, ia bisa mengemudi, dan di saat yang sama ia adalah perempuan yang tidak sesuai dengan kodrat yang dibutuhkan struktur patriarki: ia tidak bisa punya anak. Sementara itu Firman (Ibnu Jamil) diam-diam sudah bersiap untuk menikah lagi dengan dukungan keluarganya. Keluarga mewakili sebuah struktur masyarakat yang mengijinkan poligami sebagai bagian dari usaha reproduksi, sementara Firman sendiri nampak tidak memiliki kemampuan finansial sebaik Aida, dan karenanya merasa ‘terkebiri.’

Perawan tua dan perempuan mandul adalah dua contoh abjeksi paling nyata dalam budaya patriarki. Sejak adegan awal film Mudik, tensi dan emosi yang tegang antara sepasang suami istri ini terus meruncing, hingga Aida menabrak Sugeng, seorang suami yang hendak pulang kampung. Maka Aida dan Firman dibawa ke sebuah konteks yang paling sering menjadi setting horor di film Indonesia: kampung dan orang-orang kampung. Persepsi dan bias kota ini sudah wajar kita lihat dalam film-film yang dibuat sineas urban: Perempuan Tanah Jahanam (2019) dari Joko Anwar menempatkan orang kampung sebagai para penjahat pemuja dukun yang sadis. Lampor (2019) karya Guntur Soeharjanto memperlihatkan orang kampung sebagai orang-orang yang percaya takhyul, penuh kelicikan dan konflik seksual. Mudik memiliki perspektif yang sama tentang orang desa: para lelaki picik yang memeras orang kota demi uang, dan para patriark yang memaksa janda dari korban tabrak lari untuk diam saja. 

Dunia perempuan dalam dunia laki-laki, seperti pepatah lama, ada di dapur-sumur-kasur. Begitulah dunia Santi (Asmara Abigail), janda dari lelaki yang ditabrak Aida. Namun Santi memiliki rahasia yang berbahaya. Ketika ditinggal lama oleh suaminya, ia memutuskan untuk selingkuh dengan Agus (Yoga Pratama) hingga hamil. Kecelakaan yang menimpa suaminya adalah tiket untuk Santi keluar dari kampungnya dan membina hidup baru bersama Agus dan Gendis, anaknya dengan almarhum Sugeng. Ia tidak bisa tinggal di kampung itu karena takut tentang apa yang akan dilakukan warga kampung kepadanya, jika mereka tahu ia hamil tanpa pernah disentuh suami yang belum sempat pulang selama bertahun-tahun. 

Santi adalah cerminan Aida: ketika Santi dengan mudah hamil, Aida tidak bisa punya anak. Ketika Santi mengorbankan rumah tangga dengan perselingkuhan, Aida berusaha mempertahankan rumah tangga yang sudah di ambang kehancuran. Santi tidak punya kekuatan untuk keluar dari struktur sosialnya, Aida selalu punya pilihan untuk meninggalkan Firman tapi tidak pernah diambilnya. Pada akhir film, kita melihat dua perempuan mengambil keputusan dengan ekstrim yang berbeda: Santi memutuskan untuk tinggal bersama Agus di kampung orang tuanya; sementara Aida meninggalkan Firman dengan cara yang puitik dan simbolik: berjalan ke pantai. 

Dunia Santi lebih solid. Dari kampung ia pindah ke kampung lain. Dari satu lelaki, ia pindah ke lelaki lain. Sementara dunia Aida adalah dunia liminal. Liminalitas berarti dunia antara yang seringkali menyakitkan dan penuh kebingungan, seperti seorang mahasiswa yang mengerjakan skripsi untuk diwisuda, atau seorang perawan yang dipingit untuk menikah, atau seorang Sparta yang dibuang ke hutan untuk menjadi lelaki sejati. Sebuah ritual menuju ke kedewasaan. Setelah melewati dunia liminal, seorang manusia akan mengalami perubahan status: dari bujang dan perawan menjadi suami dan istri, dari mahasiswa menjadi sarjana, dan dari remaja menjadi dewasa. 

Dunia liminalitas Aida ini digambarkan secara konsisten dari awal film. Dimulai dari Aida yang sendirian di rumah susun, mengepak barang untuk pergi mudik, hingga di mobil ketika ia bergantian menyetir bersama Firman. Selama di mobil, Aida bukan hanya mengendarai mobil itu tapi juga mengendalikan narasi. Ia yang membuat Firman memutuskan untuk putar balik dan bertanggung jawab karena menabrak orang. Namun ketika keluar mobil, dunia berubah menjadi dunia lelaki. Semua perhatian terpusat kepada Firman, sebagai seorang suami. Dan Firman, dengan segala daya upaya untuk menjadi egois, selalu membuat pilihan pragmatis yang salah, dari salah omong kepada warga, hingga salah menyogok polisi. Pada akhirnya Aida juga yang menyelesaikan masalah, dan kembali Firman mengikuti kehendak Aida untuk membawa Santi dan Agus pergi dari kampung itu. Firman sudah terkebiri.

Namun bukan hanya Aida yang ada di dalam konteks liminal. Firman pun begitu ketika ia harus pulang kampung dan mendapat restu untuk menikah lagi. Di akhir film, Firman dan Aida berjalan di dunia luar, di sebuah gurun pasir dimana orang-orang sedang salat Ied. Mereka berdua terasing dalam hari yang fitri. Mereka menjadi hantu di antara para warga yang lalu lalang. Santi memeluk Aida sebagai rasa terima kasih, dan Aida memilih untuk pergi meninggalkan Firman, melewati hutan menuju ke pantai. Shot terakhir film menunjukkan hutan dan pantai, sebuah dunia antara pula.

Aida ditolak oleh struktur patriarki sebagai seorang perempuan mandul. Dan keputusan Firman untuk menikah lagi, membuat Aida tertolak untuk kedua kalinya. Ia terpinggirkan, dan perjalanan dari hutan menuju pantai menunjukkan hal itu, perempuan yang terasing ke pinggir. Sementara itu Santi tetap ada di struktur yang mengekangnya dengan cara yang baru. Ketidakberdayaannya sebagai seorang perempuan yang tergantung lelaki dan subur, membuatnya tetap pas di konteks semacam itu. 

Pada akhirnya kita bisa melihat keterasingan perempuan dari dua sisi. Kita bisa melihat keterasingan dalam struktur yang dialami oleh Santi, atau keterasingan di luar struktur seperti yang dialami Aida. Keduanya sama terasing, dalam sebuah cermin. Dan pilihan Santi dan Aida adalah pilihan semua perempuan hari ini: terasing di dalam sistem sebagai istri dan ibu yang terkungkung dan tergantung lelaki; atau terasing di luar sistem sebagai perempuan mandul, independen, dan selibat.