Racauan

Ariel dan Jim Morrison dalam Mitologi

Tulisan ini diterbitkan pertama kali di Jakartabeat.net dengan judul “Tentang Mitologi Ariel Peterpan dan Jim Morrison.” Diedit ulang setelah diupload tanpa atribusi ke saya sebagai penulis asli di sebuah blogspot yang saya jadi nggak mau sebut. Terima kasih karena membajak tulisan ini, lain kali boleh lah sebut nama saya. Saya malas untuk mengedit tulisan ini lagi menjadi seperti bentuk yang semula. Jadi saya akan biarkan banyak kesalahan kontekstual di sini, di mana si teng unggah mengganti Ariel Peterpan menjadi Ariel Noah. Sesungguhnya ini kesalahan konteks yang cukup fatal karena tulisan ini dibuat ketika Ariel masih ada di band Peterpan dan sedang terjebak kasus pornografi. Semoga kalian yang membaca tulisan ini, bisa bijak menyikapi bahwa tulisan ini tidak lagi kontekstual dan hanya berlaku sebagai data yang ingin saya simpan sebuah jejak penulisan saya titik karena ini adalah tulisan yang pertama kali saya terbitkan di Jakartabeat.net. atas permintaan kawan saya, Pry, maka saya taruh tulisan ini di blog ini. Terima kasih sudah sedih untuk membaca ulang

They don’t want me, they want my death”
—Val Kilmer as Jim Morrison in Oliver Stone’s The Doors

Yesus mengorbankan dirinya: daging dan darahnya dipersembahkan untuk murid-muridnya sebagai representasi dari umatnya dalam perjamuan terakhir. Inilah sebuah metafor purba tentang selebriti, tentang idolisasi (idolatry) dan tentang bagaimana manusia yang memakan daging dan darah-Nya adalah konsumen tanda. Yesus adalah selebriti. Begitupun para pahlawan terkenal, para nabi dan para figur publik. Dan selebriti adalah: Mitos.

Roland Barthes (1982), pakar semiotik dan strukturalisme, mengatakan bahwa mitos adalah bagian dari sistem tanda yang sudah tidak bisa (atau tidak diperdulikan) lagi asal-muasalnya. Dengan kata lain, ia tidak dianggap lagi sebagai manusia yang mampu berdialog dan mempertahankan posisinya, tetapi hanya dianggap sebagai teks. Teks yang permaknaannya tergantung publik.

Mitos terbentuk dari idolisasi. Herkules, Achiles, Perseus, dan dewa-dewa Yunani Kuno dibentuk dengan cara yang sama. Imaji tentang Tuhan-pun dibentuk dengan cara yang sama. Ada dakwah, ada pesebaran propaganda, informasi, berita, cerita-cerita, narasi, dan pada akhirnya dongeng atau, dalam bentuk paling ekstrim, agama yang terinstitusi. Mitos membentuk identitas dan perilaku masyarakat, kata Levi-Strauss (1955), dan inilah yang selalu terjadi dalam peradaban manusia. Mitologi, karenanya, dalam masa sekarang kita bisa sebut sebagai media.

Roland Barthes, ahli semiotika asal Prancis

Idolisasi adalah bagian dari sistem bermasyarakat yang universal. Ia ada di semua masyarakat dari suku bangsa manapun dari waktu manapun. Sang Idola biasanya tidak melawan ketika dimaknai—karena dia hanya teks. Idola ini (atau orang-orang di belakangnya—dan ini yang penting) berusaha membuat kesan dan tanda untuk dikonsumsi agar ia bisa tetap hidup sebagai teks di dalam masyarakat. Para penganutnya setia dalam memaknai sang idola. Mereka menolak persepsi baik pada idola yang jahat (misalnya setan) dan menolak persepsi buruk pada idola yang baik (misalnya Tuhan atau Nabi). Begitu diterbitkan, tanda bisa diinterpretasi secara bebas. Para Idola yang memaksakan kehendaknya di masyarakat akan menjadi tiran dan pada akhirnya akan dianggap negatif. Diktator macam pak Harto, misalnya, harus rela dianggap jahat ketika kekuasaannya mempertahankan imej hilang.

Narasi-narasi dalam mitologi membentuk identitas dan kesadaran manusia. Marx dalam Fuerbachian Criticism of Hegel (1967) membahas bagaimana tuhan adalah proyeksi/karya manusia yang teralienasi dari manusia sendiri. Tuhan adalah buatan manusia yang disembah-sembah dan menimbulkan fetisisme seperti halnya seorang tukang sepatu yang tak mampu membeli sepatu dan menganggap sepatu yang dibuatnya sebagai bukan karyanya. Adorno (2004) mengembangkan teori Marx untuk memberikan definisi tentang seni rendah-seni tinggi di mana seni rendah adalah seni komoditas yang dicopy dan diperjualbelikan untuk mengatur kelas pekerja, sementara seni tinggi adalah seni otentik dengan kerumitan dan kekhususan yang sulit untuk ditiru. Keduanya—agama dan seni rendah—dianggap sebagai cara untuk ‘membodohi’ kelas pekerja dengan kesadaran palsu agar tidak melawan. Jika ‘media’ adalah kata modern untuk ‘mitos’, maka Noam Chomsky (1977) berkata hal yang sama:

The real mass media are basically trying to divert people. Let them do something else, but don’t bother us (us being the people who run the show). Let them get interested in professional sports, for example. Let everybody be crazed about professional sports or sex scandals or the personalities and their problems or something like that. Anything, as long as it isn’t serious. Of course, the serious stuff is for the big guys. “We” take care of that.

Media massa yang sebenarnya berusaha untuk mengalihkan orang-orang. Membiarkan mereka melakukan hal-hal lain, asal jangan memperdulikan kami (kami yaitu orang yang menjalankan acara). Biarkan mereka tertarik dengan olahraga profesional, contohnya. Biarkan semua orang tergila-gila dengan olahraga profesional atau skandal seks atau kepribadian dan masalah-masalah mereka atau apapun itu. Apapun, selama itu tidak serius. Tentu saja, yang serius-serius untuk orang-orang besar. “Kami” mengurus itu.

Dari sini kita bisa melihat bahwa beberapa kritikus budaya yang memandang nyinyir mitologi atau folklore—dua wacana yang sangat diakrabi ilmu antropologi klasik—sebagai akar pembagian kerja dan alienasi, kontra-revolusioner, dan penipuan publik. Idola-idola menjadi narasi yang menanamkan kepercayaan tentang hierarki dan posisi oleh karena itu menjaga sistem kelas seperti semestinya; seperti sejarah yang diklaim dan dibentuk penguasa untuk menguatkan kekuasaannya.

Namun kadang-kadang, ada idola-idola yang menjadi anomali. Idola-idola yang dengan merusak bentuknya sebagai tanda, sebagai mitos, mampu merusak sistem; mengekspos kemunafikan dan membongkar penyakit sosial di dalam sistem yang banal. Itu adalah saat sang idola mengeluarkan sisi kemanusiaannya, sisi individualitas dan kebebasan absolutnya sebagai seorang manusia. Di situ sistem akan goyah dan dipaksa mencari titik keseimbangan baru. Sebagai contoh, tulisan ini akan mencoba menghadirkan dua idola/mitos : Ariel ‘Noah’ dan Jim Morrison.

Sebelum lebih jauh membahas hal ini, saya perlu tekankan bahwa Ariel ‘Noah’ sebagai seorang individu tidak bisa dibandingkan dengan Jim Morrison dari segi pemikiran filosofis dan intelektualitas karena mereka berasal dari kebudayaan dan masa yang benar-benar berbeda. Mereka saya pilih untuk dibahas karena ada satu hal yang menurut saya sama: mereka berdua pernah menjadi ‘the ultimate Barbie doll’ dari dunia entertainment, dunia banalitas budaya pop, pada konteks waktu dan tempatnya sendiri-sendiri. Perbandingan kedua orang ini sebagai wacana saya rasa adalah contoh yang baik untuk melihat fenomena budaya populer dan sebuah usaha melihat dua kebudayaan secara horizontal.

The Ultimate Barbie Doll adalah sebuah fenomena penting di dalam perkembangan kebudayaan modern Amerika dimana seorang idola dipandang sebagai objek seksual. Yang menarik dari Ariel dan Morrison adalah sebuah keterbalikan jender: maskulinitas yang biasaya subjek seksual, diobjektifikasi sebagai sesuatu yang indah dan menggairahkan. Jim Morrison muda dengan celana kulit ketatnya dan sifat kekanak-kanakkannya atau Ariel ‘Noah’ yang sering telanjang dada di panggung untuk menunjukan dadanya yang bidang dan ototnya yang mengkilat karena keringat, juga dengan celana ketat. Tidak semua idola bisa menjadi begini. Hal ini tergantung pada konteks dan imej yang dibangun. Contohnya Iwan Fals Muda yang telanjang dada, brewokan, dan menunjuk ke aparat sambil berteriak ‘Bongkar!’ lebih menjadi provokator daripada objek seks karena saat itu yang dilawan adalah tiran politik.

Media membuat Ariel dan Morrison menjadi bintang. Keduanya adalah penulis lirik-lirik lagu yang kaya metafora dan menjadi hits. Dan, yang perlu ditekankan, keduanya adalah pemain cinta. Ketika Ariel ‘dikatakan konon’ telah memproduksi 32 video seks pribadi dengan perempuan-perempuan selebriti yang berbeda-beda, Jim Morrison telah berhubungan seks dengan lebih dari 40 orang perempuan (Stone, 2000). Secara lebih ekstrim, buku berjudul Sex Revolt (1996) bahkan pernah mengutip sebuah gossip di media tentang Jim yang ‘diperkosa’ oleh beberapa perempuan, salah satunya ratu musik soul kenamaan Janis Joplin.

Indonesia sekarang (hampir) mirip sekali dengan Amerika Serikat pada akhir 1960-an dan awal 1970-an secara sosial-ekonomi. Konsumerisme tinggi, pemerintah penuh dengan korupsi, politik bisa dibilang stabil (karena tidak ada kudeta ekstrim meski sistemnya busuk—mungkin banyak orang Indonesia nyaman dengan kebusukan ini) dan kaum konservatif-fundamentalis-ekstrimis menjamur. Kehadiran Ariel ‘Noah’ di tengah-tengah industri hiburan adalah sebuah fenomena langka: dia tampan, menebarkan keseksiannya, bisa bernyanyi dan mencipta lagu, dan seorang penghibur yang komunikatif. Banyak fansnya tidak terlalu memperhatikan arti lirik-lirik yang ia ciptakan karena ia telah menjadi mitos. Persis Jim Morrison pada masa kejayaannya yang digilai penggemar cuma karena fisik dan imej-nya.

Ariel dan Jim muda tidak mengubah apa-apa meski mereka telah menjadi mitos. Di Indonesia, ‘Noah’ adalah salah satu band yang memprakarsai kejatuhan musik mainstream Indonesia. Band-band baru pop melayu meniru-niru teknik vocal Ariel, chord lagu, gaya dan beberapa kata-kata di dalam lirik seperti ‘bintang’ atau ‘menunggu’, tapi tidak bisa mencipta kedalaman metafora dan refleksi perenungan seperti “Apa yang kuinginkan tak pernah jadi kehidupan, apa yang kulakukan menjauh dari kenyataan….melihat di balik awan.” Jim Morrison muda pun tidak bisa memperbaiki sistem Amerika Serikat yang ia kritik pada saat itu ketika masyarakatnya menghabiskan pengeluaran untuk minuman alkohol dan narkotik jauh lebih besar daripada untuk pendidikan. Padahal lirik-lirik lagunya sudah memperingatkan tentang kematian kemanusiaan, dan neo-kolonialisme (lihat lirik The End) atau kekhawatiran yang terbentuk dari kebingungan masyarakat kapitalis dan budaya konsumerisme (lihat lirik Soft Parade). Media dan fans (atau umat) tidak memperdulikan kemanusiaan dan individualitas idolanya, tapi terus menerus mengelukan imej mereka, mitos mereka. Lalu yang terjadi adalah sebuah perlawanan, sebuah kenyataan pahit bahwa mereka berdua adalah manusia yang memiliki sisi abnormalitas tinggi.

Ariel kehilangan imejnya sebagai bintang berwajah melankolis, pencipta lagu hits yang nampak seperti pria baik-baik, ketika video seksnya bebas diunduh secara mudah. Karirnya hancur karena skandal ini dan ia dinyatakan bersalah hingga harus masuk bui. Di sisi lain, Jim Morrison sempat lelah dengan ketenarannya. “Girls want my dick, not my words,” ucap Jim dalam rekaman An American Prayer. Ketika skandalnya terbuka: beberapa perempuannya hamil dan minta tanggung jawab, ia juga masuk ke penjara dan diadili akibat perbuatan tidak senonoh (kencing di panggung Miami dan membuat kerusuhan); kebebasannya sebagai manusia terkekang sama sekali dan awal tahun 1970 ia harus masuk rehab karena ketergantungannya pada narkoba dan depresi yang akut.

Sampai tulisan ini ditulis, Ariel masih dipenjara dan dari dalam bui mengeluarkan satu single. Di waktu dan tempat yang lain, menjelang akhir 1970, Jim Morrison kembali dari pengasingannya. Umurnya 26 tahun namun fisiknya seperti pria 65 tahun. Ia masih minum-minum namun ada dalam tahap yang menurut saya paling sempurna di hidupnya: seorang tua yang bahagia bagai sang Buddha yang diangkat ke Nirwana. Di sini pamornya sebagai Ultimate Barbie Doll sudah jatuh. Ia tidak lagi seksi, tapi gemuk. Tidak lagi tampan tapi berewokan. Para penggemarnya berkurang, tapi yang tersisa benar-benar mendengarkan liriknya, puisinya. Jim telah membuat imej yang ia inginkan sendiri, bukan aturan korporat atau sistem.

Yang pasti, Ariel dan Jim telah membuat keseimbangan sistem dan struktur masyarakat menjadi goyah. Sebagai idola, mereka telah membuat skandal. Efeknya adalah sebuah masyarakat yang sudah sepatutnya merenungi etika dan moral yang telah pudar dan hancur dimakan keserakahan akan konsumsi akan idola/mitos. Sebuah kenyataan bahwa seks dan konsumerisme sudah begitu bebasnya hingga nilai-nilai hancur, nihilisme berkuasa, tujuan hilang, institusi kemapanan goyah dan imej hierarki kapital runtuh. Sudah seharusnya masyarakat mencari keseimbangan baru.

Jim dan kawan-kawan flower generation-nya telah membuka mata masyarakat Amerika tentang kebobrokan sistemnya. Masa Beat-generation adalah salah satu turning point tertajam Amerika. Sistem pendidikan mulai diperbaiki, segala hal yang tabu seperti seks dan kritik sejarah, mulai dibuka aksesnya ke ranah pendidikan wajib. Kebebasan diberikan dengan pemantauan dan pengembangan. Pemerintah dan pengkaji budaya bisa membaca apa yang bisa dilakukan masyarakatnya melalui skandal selebriti-selebriti ini: sadomaskisme, homoseksual dan biseksual mulai diakui keberadaannya, narkoba semakin dipersempit geraknya, dan media mulai menyadari bahwa mereka sudah benar-benar membunuh mitos-mitos yang mereka besarkan sendiri. Ini juga bisa diinterpretasikan kenapa perlahan-lahan para raja entertainment mati tanpa ada regenerasi—Michael Jackson adalah yang terakhir. Era para Raja dan idola sudah berakhir di Amerika.

Hal yang serupa tidak terjadi di Indonesia. Ruang privat selebriti yang secara ekstrim dibuka skandal Ariel, alih-alih membuka topeng kemunafikan, malahan memberikan semacam reality-by-proxy atau ‘kenyataan-yang-dekat’ dengan para fansnya. Kedekatan semacam ini bertransformasi secara simbolik dalam bentuk infotainment yang menguasai 70% acara televisi nasional dari pagi sampai malam dan membahas secara berulang-ulang narasi kehidupan privat para selebriti—bukan produk mereka. Dominasi infotainment di televisi nasional menjadi bahasan penting karena dari situ kita bisa melihat sebuah kebanalan tanpa pilihan yang membuat mitos dianggap sebuah kenyataan yang dekat. Pembicaraan tentang figur publik dari internet sampai dapur pribadi tak jauh beda seperti pembicaraan tentang skandal tetangga, kawan atau saudara dekat yang menjadi bahasan sehari-hari. Narasi-narasi ini begitu populer saat ini dengan kebanalannya: seorang musisi menikah secara besar-besaran dan mantan istrinya datang dengan suami barunya, seorang pengacara membelikan anak perempuannya mobil seharga miliaran padahal anaknya cuma minta martabak, seorang kekasih selebriti memalsukan identitasnya, dan seterusnya.

Gosip difabrikasi dan kenyataan diverifikasi dalam sebuah siklus pabrik semiotis artifisial citraan-citraan. Bukannya kemunafikan berusaha diredam, tapi malah diumbar dengan usaha untuk membuat citraan yang baik dengan cara yang sangat buruk dan menghasilkan performance yang absurd. Seperti narasi tentang seorang penyanyi dangdut yang menikah dengan ‘janda kaya’ yang dirangkai dengan musik horror, narasi mencekam, dan gaya investigasi kriminal pembunuhan berantai. Sangat postmodern, sangat bebas dan semaunya, sangat banal, dan sangat tidak masuk akal. Dalam mitologi seperti inilah kebudayaan dominan Indonesia kontemporer sedang dibangun.

Di negara-negara kapitalis lain, media memiliki banyak cabang dan fungsi. Orang bisa memilih berbagai macam acara yang tidak melulu infotainment. Tapi tidak di negeri ini. Jika TV dikuasai infotainment, kemana larinya wacana politik? Kemana perginya kasus-kasus lama yang belum terkuak? Siapa yang masih peduli akan Widji Thukul, mahasiswa-mahasiswa yang diculik dan dibunuh sebelum 1998, Munir, atau Prita yang kasusnya masih mengambang? Nampaknya kalau tak sedikit, tak ada. Toh, Trending topic twitter tertinggi di Indonesia tahun 2011 hingga sekarang tak jauh-jauh dari wacana-wacana selebriti dari Briptu Norman hingga Lady Gaga. Apakah pendapat Marx, Adorno dan Chomsky masih relevan di negeri ini, bahwa hal remeh temeh dan tidak penting diciptakan untuk kelas pekerja? Apakah Ariel benar-benar jauh dari Jim Morrison sehingga efek filosofis Morrison tidak mungkin terjadi di negeri ini? Benarkah dominasi acara tak penting di TV nasional adalah manipulasi kelas penguasa? Saya tidak ingin menjawab semua itu. Saya memilih untuk menutup tulisan ini dengan sebuah cerita fiksi dan membiarkan anda menyimpulkan sendiri:

Jeany adalah seorang anak SMU dari keluarga menengah kelas atas Indonesia. Ia sekolah di sekolah internasional dan sering jalan-jalan ke luar negeri dengan orang-tuanya Ia adalah anak salah satu pengusaha paling kaya di Indonesia yang juga seorang pejabat pemerintah dan pembesar partai. Suatu hari ia pulang ke rumah, menyalakan TV kabelnya dan memilih saluran. Tentunya tayangan TV nasional (dua di antaranya milik ayahnya) yang berisi infotainment ia lewatkan. Ia berhenti menekan remote dan mulai menonton sebuah program international E! Entertainment yang membahas pita pink yang dipakai Miley Cyrus dalam sebuah acara. Pita pink dibahas hampir satu jam, dan ia tidak melewatkannya semenit-pun. Untuk Jeany, pita Pink Miley Cyrus jauh lebih penting daripada nonton stasiun TV ayahnya yang membahas Saipul Jamil yang ingin bangun mesjid. Jeany adalah masa depan kaum menengah atas yang akan mengurus hal-hal ‘penting’ di negeri kita. Ia hanya menonton ‘yang penting-penting saja’ sebelum nanti malam dugem bersama kawan-kawannya.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.