Racauan

Ariel dan Jim Morrison dalam Mitologi

Tulisan ini diterbitkan pertama kali di Jakartabeat.net dengan judul “Tentang Mitologi Ariel Peterpan dan Jim Morrison.” Diedit ulang setelah diupload tanpa atribusi ke saya sebagai penulis asli di sebuah blogspot yang saya jadi nggak mau sebut. Terima kasih karena membajak tulisan ini, lain kali boleh lah sebut nama saya. Saya malas untuk mengedit tulisan ini lagi menjadi seperti bentuk yang semula. Jadi saya akan biarkan banyak kesalahan kontekstual di sini, di mana si teng unggah mengganti Ariel Peterpan menjadi Ariel Noah. Sesungguhnya ini kesalahan konteks yang cukup fatal karena tulisan ini dibuat ketika Ariel masih ada di band Peterpan dan sedang terjebak kasus pornografi. Semoga kalian yang membaca tulisan ini, bisa bijak menyikapi bahwa tulisan ini tidak lagi kontekstual dan hanya berlaku sebagai data yang ingin saya simpan sebuah jejak penulisan saya titik karena ini adalah tulisan yang pertama kali saya terbitkan di Jakartabeat.net. atas permintaan kawan saya, Pry, maka saya taruh tulisan ini di blog ini. Terima kasih sudah sedih untuk membaca ulang

They don’t want me, they want my death”
—Val Kilmer as Jim Morrison in Oliver Stone’s The Doors

Yesus mengorbankan dirinya: daging dan darahnya dipersembahkan untuk murid-muridnya sebagai representasi dari umatnya dalam perjamuan terakhir. Inilah sebuah metafor purba tentang selebriti, tentang idolisasi (idolatry) dan tentang bagaimana manusia yang memakan daging dan darah-Nya adalah konsumen tanda. Yesus adalah selebriti. Begitupun para pahlawan terkenal, para nabi dan para figur publik. Dan selebriti adalah: Mitos.

Roland Barthes (1982), pakar semiotik dan strukturalisme, mengatakan bahwa mitos adalah bagian dari sistem tanda yang sudah tidak bisa (atau tidak diperdulikan) lagi asal-muasalnya. Dengan kata lain, ia tidak dianggap lagi sebagai manusia yang mampu berdialog dan mempertahankan posisinya, tetapi hanya dianggap sebagai teks. Teks yang permaknaannya tergantung publik.

Mitos terbentuk dari idolisasi. Herkules, Achiles, Perseus, dan dewa-dewa Yunani Kuno dibentuk dengan cara yang sama. Imaji tentang Tuhan-pun dibentuk dengan cara yang sama. Ada dakwah, ada pesebaran propaganda, informasi, berita, cerita-cerita, narasi, dan pada akhirnya dongeng atau, dalam bentuk paling ekstrim, agama yang terinstitusi. Mitos membentuk identitas dan perilaku masyarakat, kata Levi-Strauss (1955), dan inilah yang selalu terjadi dalam peradaban manusia. Mitologi, karenanya, dalam masa sekarang kita bisa sebut sebagai media.

Roland Barthes, ahli semiotika asal Prancis

Idolisasi adalah bagian dari sistem bermasyarakat yang universal. Ia ada di semua masyarakat dari suku bangsa manapun dari waktu manapun. Sang Idola biasanya tidak melawan ketika dimaknai—karena dia hanya teks. Idola ini (atau orang-orang di belakangnya—dan ini yang penting) berusaha membuat kesan dan tanda untuk dikonsumsi agar ia bisa tetap hidup sebagai teks di dalam masyarakat. Para penganutnya setia dalam memaknai sang idola. Mereka menolak persepsi baik pada idola yang jahat (misalnya setan) dan menolak persepsi buruk pada idola yang baik (misalnya Tuhan atau Nabi). Begitu diterbitkan, tanda bisa diinterpretasi secara bebas. Para Idola yang memaksakan kehendaknya di masyarakat akan menjadi tiran dan pada akhirnya akan dianggap negatif. Diktator macam pak Harto, misalnya, harus rela dianggap jahat ketika kekuasaannya mempertahankan imej hilang.

Narasi-narasi dalam mitologi membentuk identitas dan kesadaran manusia. Marx dalam Fuerbachian Criticism of Hegel (1967) membahas bagaimana tuhan adalah proyeksi/karya manusia yang teralienasi dari manusia sendiri. Tuhan adalah buatan manusia yang disembah-sembah dan menimbulkan fetisisme seperti halnya seorang tukang sepatu yang tak mampu membeli sepatu dan menganggap sepatu yang dibuatnya sebagai bukan karyanya. Adorno (2004) mengembangkan teori Marx untuk memberikan definisi tentang seni rendah-seni tinggi di mana seni rendah adalah seni komoditas yang dicopy dan diperjualbelikan untuk mengatur kelas pekerja, sementara seni tinggi adalah seni otentik dengan kerumitan dan kekhususan yang sulit untuk ditiru. Keduanya—agama dan seni rendah—dianggap sebagai cara untuk ‘membodohi’ kelas pekerja dengan kesadaran palsu agar tidak melawan. Jika ‘media’ adalah kata modern untuk ‘mitos’, maka Noam Chomsky (1977) berkata hal yang sama:

The real mass media are basically trying to divert people. Let them do something else, but don’t bother us (us being the people who run the show). Let them get interested in professional sports, for example. Let everybody be crazed about professional sports or sex scandals or the personalities and their problems or something like that. Anything, as long as it isn’t serious. Of course, the serious stuff is for the big guys. “We” take care of that.

Media massa yang sebenarnya berusaha untuk mengalihkan orang-orang. Membiarkan mereka melakukan hal-hal lain, asal jangan memperdulikan kami (kami yaitu orang yang menjalankan acara). Biarkan mereka tertarik dengan olahraga profesional, contohnya. Biarkan semua orang tergila-gila dengan olahraga profesional atau skandal seks atau kepribadian dan masalah-masalah mereka atau apapun itu. Apapun, selama itu tidak serius. Tentu saja, yang serius-serius untuk orang-orang besar. “Kami” mengurus itu.

Dari sini kita bisa melihat bahwa beberapa kritikus budaya yang memandang nyinyir mitologi atau folklore—dua wacana yang sangat diakrabi ilmu antropologi klasik—sebagai akar pembagian kerja dan alienasi, kontra-revolusioner, dan penipuan publik. Idola-idola menjadi narasi yang menanamkan kepercayaan tentang hierarki dan posisi oleh karena itu menjaga sistem kelas seperti semestinya; seperti sejarah yang diklaim dan dibentuk penguasa untuk menguatkan kekuasaannya.

Namun kadang-kadang, ada idola-idola yang menjadi anomali. Idola-idola yang dengan merusak bentuknya sebagai tanda, sebagai mitos, mampu merusak sistem; mengekspos kemunafikan dan membongkar penyakit sosial di dalam sistem yang banal. Itu adalah saat sang idola mengeluarkan sisi kemanusiaannya, sisi individualitas dan kebebasan absolutnya sebagai seorang manusia. Di situ sistem akan goyah dan dipaksa mencari titik keseimbangan baru. Sebagai contoh, tulisan ini akan mencoba menghadirkan dua idola/mitos : Ariel ‘Noah’ dan Jim Morrison.

Sebelum lebih jauh membahas hal ini, saya perlu tekankan bahwa Ariel ‘Noah’ sebagai seorang individu tidak bisa dibandingkan dengan Jim Morrison dari segi pemikiran filosofis dan intelektualitas karena mereka berasal dari kebudayaan dan masa yang benar-benar berbeda. Mereka saya pilih untuk dibahas karena ada satu hal yang menurut saya sama: mereka berdua pernah menjadi ‘the ultimate Barbie doll’ dari dunia entertainment, dunia banalitas budaya pop, pada konteks waktu dan tempatnya sendiri-sendiri. Perbandingan kedua orang ini sebagai wacana saya rasa adalah contoh yang baik untuk melihat fenomena budaya populer dan sebuah usaha melihat dua kebudayaan secara horizontal.

The Ultimate Barbie Doll adalah sebuah fenomena penting di dalam perkembangan kebudayaan modern Amerika dimana seorang idola dipandang sebagai objek seksual. Yang menarik dari Ariel dan Morrison adalah sebuah keterbalikan jender: maskulinitas yang biasaya subjek seksual, diobjektifikasi sebagai sesuatu yang indah dan menggairahkan. Jim Morrison muda dengan celana kulit ketatnya dan sifat kekanak-kanakkannya atau Ariel ‘Noah’ yang sering telanjang dada di panggung untuk menunjukan dadanya yang bidang dan ototnya yang mengkilat karena keringat, juga dengan celana ketat. Tidak semua idola bisa menjadi begini. Hal ini tergantung pada konteks dan imej yang dibangun. Contohnya Iwan Fals Muda yang telanjang dada, brewokan, dan menunjuk ke aparat sambil berteriak ‘Bongkar!’ lebih menjadi provokator daripada objek seks karena saat itu yang dilawan adalah tiran politik.

Media membuat Ariel dan Morrison menjadi bintang. Keduanya adalah penulis lirik-lirik lagu yang kaya metafora dan menjadi hits. Dan, yang perlu ditekankan, keduanya adalah pemain cinta. Ketika Ariel ‘dikatakan konon’ telah memproduksi 32 video seks pribadi dengan perempuan-perempuan selebriti yang berbeda-beda, Jim Morrison telah berhubungan seks dengan lebih dari 40 orang perempuan (Stone, 2000). Secara lebih ekstrim, buku berjudul Sex Revolt (1996) bahkan pernah mengutip sebuah gossip di media tentang Jim yang ‘diperkosa’ oleh beberapa perempuan, salah satunya ratu musik soul kenamaan Janis Joplin.

Indonesia sekarang (hampir) mirip sekali dengan Amerika Serikat pada akhir 1960-an dan awal 1970-an secara sosial-ekonomi. Konsumerisme tinggi, pemerintah penuh dengan korupsi, politik bisa dibilang stabil (karena tidak ada kudeta ekstrim meski sistemnya busuk—mungkin banyak orang Indonesia nyaman dengan kebusukan ini) dan kaum konservatif-fundamentalis-ekstrimis menjamur. Kehadiran Ariel ‘Noah’ di tengah-tengah industri hiburan adalah sebuah fenomena langka: dia tampan, menebarkan keseksiannya, bisa bernyanyi dan mencipta lagu, dan seorang penghibur yang komunikatif. Banyak fansnya tidak terlalu memperhatikan arti lirik-lirik yang ia ciptakan karena ia telah menjadi mitos. Persis Jim Morrison pada masa kejayaannya yang digilai penggemar cuma karena fisik dan imej-nya.

Ariel dan Jim muda tidak mengubah apa-apa meski mereka telah menjadi mitos. Di Indonesia, ‘Noah’ adalah salah satu band yang memprakarsai kejatuhan musik mainstream Indonesia. Band-band baru pop melayu meniru-niru teknik vocal Ariel, chord lagu, gaya dan beberapa kata-kata di dalam lirik seperti ‘bintang’ atau ‘menunggu’, tapi tidak bisa mencipta kedalaman metafora dan refleksi perenungan seperti “Apa yang kuinginkan tak pernah jadi kehidupan, apa yang kulakukan menjauh dari kenyataan….melihat di balik awan.” Jim Morrison muda pun tidak bisa memperbaiki sistem Amerika Serikat yang ia kritik pada saat itu ketika masyarakatnya menghabiskan pengeluaran untuk minuman alkohol dan narkotik jauh lebih besar daripada untuk pendidikan. Padahal lirik-lirik lagunya sudah memperingatkan tentang kematian kemanusiaan, dan neo-kolonialisme (lihat lirik The End) atau kekhawatiran yang terbentuk dari kebingungan masyarakat kapitalis dan budaya konsumerisme (lihat lirik Soft Parade). Media dan fans (atau umat) tidak memperdulikan kemanusiaan dan individualitas idolanya, tapi terus menerus mengelukan imej mereka, mitos mereka. Lalu yang terjadi adalah sebuah perlawanan, sebuah kenyataan pahit bahwa mereka berdua adalah manusia yang memiliki sisi abnormalitas tinggi.

Ariel kehilangan imejnya sebagai bintang berwajah melankolis, pencipta lagu hits yang nampak seperti pria baik-baik, ketika video seksnya bebas diunduh secara mudah. Karirnya hancur karena skandal ini dan ia dinyatakan bersalah hingga harus masuk bui. Di sisi lain, Jim Morrison sempat lelah dengan ketenarannya. “Girls want my dick, not my words,” ucap Jim dalam rekaman An American Prayer. Ketika skandalnya terbuka: beberapa perempuannya hamil dan minta tanggung jawab, ia juga masuk ke penjara dan diadili akibat perbuatan tidak senonoh (kencing di panggung Miami dan membuat kerusuhan); kebebasannya sebagai manusia terkekang sama sekali dan awal tahun 1970 ia harus masuk rehab karena ketergantungannya pada narkoba dan depresi yang akut.

Sampai tulisan ini ditulis, Ariel masih dipenjara dan dari dalam bui mengeluarkan satu single. Di waktu dan tempat yang lain, menjelang akhir 1970, Jim Morrison kembali dari pengasingannya. Umurnya 26 tahun namun fisiknya seperti pria 65 tahun. Ia masih minum-minum namun ada dalam tahap yang menurut saya paling sempurna di hidupnya: seorang tua yang bahagia bagai sang Buddha yang diangkat ke Nirwana. Di sini pamornya sebagai Ultimate Barbie Doll sudah jatuh. Ia tidak lagi seksi, tapi gemuk. Tidak lagi tampan tapi berewokan. Para penggemarnya berkurang, tapi yang tersisa benar-benar mendengarkan liriknya, puisinya. Jim telah membuat imej yang ia inginkan sendiri, bukan aturan korporat atau sistem.

Yang pasti, Ariel dan Jim telah membuat keseimbangan sistem dan struktur masyarakat menjadi goyah. Sebagai idola, mereka telah membuat skandal. Efeknya adalah sebuah masyarakat yang sudah sepatutnya merenungi etika dan moral yang telah pudar dan hancur dimakan keserakahan akan konsumsi akan idola/mitos. Sebuah kenyataan bahwa seks dan konsumerisme sudah begitu bebasnya hingga nilai-nilai hancur, nihilisme berkuasa, tujuan hilang, institusi kemapanan goyah dan imej hierarki kapital runtuh. Sudah seharusnya masyarakat mencari keseimbangan baru.

Jim dan kawan-kawan flower generation-nya telah membuka mata masyarakat Amerika tentang kebobrokan sistemnya. Masa Beat-generation adalah salah satu turning point tertajam Amerika. Sistem pendidikan mulai diperbaiki, segala hal yang tabu seperti seks dan kritik sejarah, mulai dibuka aksesnya ke ranah pendidikan wajib. Kebebasan diberikan dengan pemantauan dan pengembangan. Pemerintah dan pengkaji budaya bisa membaca apa yang bisa dilakukan masyarakatnya melalui skandal selebriti-selebriti ini: sadomaskisme, homoseksual dan biseksual mulai diakui keberadaannya, narkoba semakin dipersempit geraknya, dan media mulai menyadari bahwa mereka sudah benar-benar membunuh mitos-mitos yang mereka besarkan sendiri. Ini juga bisa diinterpretasikan kenapa perlahan-lahan para raja entertainment mati tanpa ada regenerasi—Michael Jackson adalah yang terakhir. Era para Raja dan idola sudah berakhir di Amerika.

Hal yang serupa tidak terjadi di Indonesia. Ruang privat selebriti yang secara ekstrim dibuka skandal Ariel, alih-alih membuka topeng kemunafikan, malahan memberikan semacam reality-by-proxy atau ‘kenyataan-yang-dekat’ dengan para fansnya. Kedekatan semacam ini bertransformasi secara simbolik dalam bentuk infotainment yang menguasai 70% acara televisi nasional dari pagi sampai malam dan membahas secara berulang-ulang narasi kehidupan privat para selebriti—bukan produk mereka. Dominasi infotainment di televisi nasional menjadi bahasan penting karena dari situ kita bisa melihat sebuah kebanalan tanpa pilihan yang membuat mitos dianggap sebuah kenyataan yang dekat. Pembicaraan tentang figur publik dari internet sampai dapur pribadi tak jauh beda seperti pembicaraan tentang skandal tetangga, kawan atau saudara dekat yang menjadi bahasan sehari-hari. Narasi-narasi ini begitu populer saat ini dengan kebanalannya: seorang musisi menikah secara besar-besaran dan mantan istrinya datang dengan suami barunya, seorang pengacara membelikan anak perempuannya mobil seharga miliaran padahal anaknya cuma minta martabak, seorang kekasih selebriti memalsukan identitasnya, dan seterusnya.

Gosip difabrikasi dan kenyataan diverifikasi dalam sebuah siklus pabrik semiotis artifisial citraan-citraan. Bukannya kemunafikan berusaha diredam, tapi malah diumbar dengan usaha untuk membuat citraan yang baik dengan cara yang sangat buruk dan menghasilkan performance yang absurd. Seperti narasi tentang seorang penyanyi dangdut yang menikah dengan ‘janda kaya’ yang dirangkai dengan musik horror, narasi mencekam, dan gaya investigasi kriminal pembunuhan berantai. Sangat postmodern, sangat bebas dan semaunya, sangat banal, dan sangat tidak masuk akal. Dalam mitologi seperti inilah kebudayaan dominan Indonesia kontemporer sedang dibangun.

Di negara-negara kapitalis lain, media memiliki banyak cabang dan fungsi. Orang bisa memilih berbagai macam acara yang tidak melulu infotainment. Tapi tidak di negeri ini. Jika TV dikuasai infotainment, kemana larinya wacana politik? Kemana perginya kasus-kasus lama yang belum terkuak? Siapa yang masih peduli akan Widji Thukul, mahasiswa-mahasiswa yang diculik dan dibunuh sebelum 1998, Munir, atau Prita yang kasusnya masih mengambang? Nampaknya kalau tak sedikit, tak ada. Toh, Trending topic twitter tertinggi di Indonesia tahun 2011 hingga sekarang tak jauh-jauh dari wacana-wacana selebriti dari Briptu Norman hingga Lady Gaga. Apakah pendapat Marx, Adorno dan Chomsky masih relevan di negeri ini, bahwa hal remeh temeh dan tidak penting diciptakan untuk kelas pekerja? Apakah Ariel benar-benar jauh dari Jim Morrison sehingga efek filosofis Morrison tidak mungkin terjadi di negeri ini? Benarkah dominasi acara tak penting di TV nasional adalah manipulasi kelas penguasa? Saya tidak ingin menjawab semua itu. Saya memilih untuk menutup tulisan ini dengan sebuah cerita fiksi dan membiarkan anda menyimpulkan sendiri:

Jeany adalah seorang anak SMU dari keluarga menengah kelas atas Indonesia. Ia sekolah di sekolah internasional dan sering jalan-jalan ke luar negeri dengan orang-tuanya Ia adalah anak salah satu pengusaha paling kaya di Indonesia yang juga seorang pejabat pemerintah dan pembesar partai. Suatu hari ia pulang ke rumah, menyalakan TV kabelnya dan memilih saluran. Tentunya tayangan TV nasional (dua di antaranya milik ayahnya) yang berisi infotainment ia lewatkan. Ia berhenti menekan remote dan mulai menonton sebuah program international E! Entertainment yang membahas pita pink yang dipakai Miley Cyrus dalam sebuah acara. Pita pink dibahas hampir satu jam, dan ia tidak melewatkannya semenit-pun. Untuk Jeany, pita Pink Miley Cyrus jauh lebih penting daripada nonton stasiun TV ayahnya yang membahas Saipul Jamil yang ingin bangun mesjid. Jeany adalah masa depan kaum menengah atas yang akan mengurus hal-hal ‘penting’ di negeri kita. Ia hanya menonton ‘yang penting-penting saja’ sebelum nanti malam dugem bersama kawan-kawannya.

Anthropology, Filsafat, Kurasi/Kritik, Politik, Racauan, Uncategorized

Noam Chomsky: Neoliberalisme Menghancurkan Demokrasi Kita (part III)

Sejak Perang Dunia ke dua, kita menciptakan dua cara kehancuran. Sejak era neoliberal kita menghancurkan cara menanggulanginya. Itulah masalah kita, Itulah yang kita hadapi, dan jika masalah itu tidak bisa diselesaikan, habislah kita.

Wawancara ini diambil dari Open Source with Christopher Lydon, program mingguan tentang seni, ide, dan politik. Dengarkan keseluruhan wawancara di sini. Lihat juga Part I dan Part II dari artikel ini.

Oleh Christopher Lydon, 2 Juni 2017
Diterjemahkan tanpa izin oleh Nosa Normanda, dari thenation.com

18622-the-ten-best-noam-chomsky-quotes-wallpaper-1600x12001

Christopher Lydon: Saya mau kembali ke Pankaj Mishra dan Zaman Amarah sebentar–

Noam Chomsky: Ini bukan Zaman Amarah. Ini adalah zaman kebencian (resentment) terhadap kebijakan sosioekonomis yang telah menyakiti mayoritas populasi selama satu generasi dan telah secara sadar dan prinsipiil merusak partisipasi demokrasi. Kenapa tidak boleh marah?

CL: Pankaj Mishra menyebutnya–sebuah kata Nietzschean–“ressentiment,” yang berarti semacam amarah meledak-ledak. Tapi dia bilang, “Inilah fitur di dunia dimana janji modern tentang kesetaraan bertabrakan dengan pemisahan yang massif dari kuasa, pendidikan, status dan–

NC: Yang memang didesain sedemikian rupa, yang memang sengaja dirancang seperti itu. Kembalilah ke tahun 1970-an. Melintasi spektrum, spektrum elit, ada keresahan yang dalam tentang aktivisme tahun 60-an. Itulah masa yang disebut “masa bermasalah.” Masa itu membuat negara jadi beradab, dan itu berbahaya. Apa yang terjadi adalah banyak bagian dari populasi–yang biasanya pasif, apatis, dan penurut–mencoba memasuki arena politik dengan satu dan lain cara untuk menuntut kepentingan dan kepeduliannya. Mereka disebut, “kepentingan khusus.” Artinya minortas, anak muda, orang tua, petani, pekerja perempuan. Dengan kata lain: populasi. Populasi adalah kepentingan khusus, dan tugas mereka [menurut kaum neoliberal] adalah hanya untuk memerhatikan dalam diam. Dan itu eksplisit.

Ada dua dokumen yang terbit di pertengahan tahun 70-an yang sangat-sangat penting. Dokumen tersebut hadir dari kedua ujung spektrum politik, sama-sama berpengaruh, dan dua-duanya berakhir di kesimpulan yang sama pula. Salah satu dari dokumen itu, dari perspektif kiri, diterbutkan oleh Komisi Trilateral–internasionalis liberal, tiga negara industri besar, kebanyakan di bawah administrasi presiden Carter. Ini dokumen yang lebih menarik [unduh pdf bahasa Inggris: The Crisis of Democracy, a Trilateral Commission report]. Penulis Amerika dari Harvard, Samuel Huntington, melihat ke belakang dengan nostalgia pada hari ketika, menurut dia, Truman bisa menjalankan negara dengan kerjasama abeberapa pengacara dan eksekutif Wallstreet saja. Waktu itu semua baik. Demokrasi sempurna.

Tapi di tahun 60-an mereka setuju itu jadi bermasalah karena kepentingan khusus tadi mencoba untuk masuk ke kancah politik, dan itu menyebabkan banyak tekanan dan negara tak bisa menanganinya.

CL: Saya ingat buku itu dengan baik.

NC: “Kita harus mengurangi demokrasi.”

CL: Tak hanya itu, Huntington juga membalik pernyataan Al Smith. Al Smith bilang, “Penyembuh demokrasi adalah lebih banyak demokrasi.” Tapi truman bilang, “Tidak, penyembuh demokrasi ini adalah kurangi demokrasi.”

NC: Itu bukan Huntington. Itu adalah kalimat lembaga liberal. Huntingten bicara untuk mereka. Ini adalah pandangan konsensus dari internasionalis liberal dan tiga demokrasi industrial. Mereka–dalam konsensusnya–mereka menyimpulkan bahwa masalah utamanya adalah, “tanggung jawab institusi adalah indoktrinasi anak muda.” Sekolah, universitas, gereja, mereka tidak kerja. Mereka tidak mendoktrin anak muda dengan benar. Anak muda, menurut mereka, harus dikembalikan menjadi pasif dan patuh, dan dengan itu, demokrasi akan baik-baik saja. Itu adalah sisi kirinya.

Lalu apa yang terjadi di kanan? Sebuah dokumen yang berpengaruh juga: Memorandum Powell [Download di sini], terbit di saat yang bersamaan.  Lewis Powell, seorang pengaca korporat, selanjutnya menjadi Mahkamah Agung AS, membuat sebuah momerandum rahasia untuk Kamar Dagang Amerika Serikat, yang pengaruhnya besar sekali. Ini kurang lebih menjadi sesuatu yang meluncurkan “gerakan konservatif” di masa modern. Retorikanya agak gila. Kita tidak perlu membahasnya secara dalam, tapi intinya mereka menanggap kelompok kiri [pemerintah AS] telah mengambil alih semuanya. Kita harus gunakan segala sumber daya yang kita punya untuk menghabisi amukan kaum kiri ini, yang telah merusak kebebasan dan demokrasi kita.

Ada sesuatu yang lain yang terhubung dengan ini. Sebagai hasil dari aktivisme tahun 1960-an dan militansi buruh, ada penurunan keuntungan. Ini tak dapat dierima. Jadi kita harus membalik kerugian ini, kita harus merusak partisipasi demokrasi, dengan apa? Neoliberalisme, yang hasilnya adalah seperti yang kita lihat hari ini.

Akhir artikel.

Dengarkan keseluruhan wawancara di sini.

Anthropology, Filsafat, Kurasi/Kritik, Politik, Racauan

Noam Chomsky: Neoliberalisme Menghancurkan Demokrasi Kita (part II)

Sejak PD-II, kita telah menciptakan dua cara bencana besar. Sejak era neoliberal, kita malah membunuh cara mengontrol bencana itu.

Wawancara ini diambil dari Open Source with Christopher Lydon, program mingguan tentang seni, ide, dan politik. Dengarkan keseluruhan wawancara di sini.

Oleh Christopher Lydon, 2 Juni 2017
Diterjemahkan tanpa izin oleh Nosa Normanda, dari thenation.com

Baca Part I

Noam Chomsky: Thatcher, secara tidak sadar, memparaphrase Marx, yang ketika mengutuk opresi yang terjadi di Prancis, mengatakan, “Represi telah membuat masyarakat menjadi sekarung kentang, berisi individu-individu, sekelompok massa tanpa bentuk yang tak mampu bertindak bersama.” Melihat masyarakat jadi kentang adalah kutukan buat Marx. Tapi buat Thatcher, itu jadi berkah–itulah neoliberalisme. Kita hancurkan atau rusak mekanisme pemerintahan dimana orang-orang setidaknya secara prinsip bisa berpartisipasi  dalam masyarakat yang demokratis. Neoliberalisme melemahkan mereka, melemahkan perserikatan, dan bentuk-bentuk asosiasi lain, membuat orang jadi sekumpulan kentang sementara memindahkan pengambilan keputusan pada kuasa pribadi yang tak bertanggung jawab, dan berlindung dibalik jubah bernama “kebebasan.”

Margaret Thatcher
Mirror.co.uk

Nah, apa yang terjadi setelah itu? Masyarakat yang terhubung, terdidik, dan bergerak bersama demi menghadapi bencana dan menanggapinya adalah sebuah pemecahan terhadap ancaman perang nuklir dan kerusakan alam. Jaringan masyarakat itu dilemahkan, secara sadar. Maksud saya, dulu tahun 1970-an, kita mungkin sudah pernah bicara soal ini. Ada banyak diskusi elit lintas spektrum tentang bahayanya terlalu banyak demokrasi dan keinginan untuk memiliki demokrasi yang lebih “moderat”, supaya orang lebih pasif dan apatis, dan tidak terlalu sering mengganggu program kekuasaan, dan itulah yang dilakukan Neoliberal. Jadi, ketika kau membuat jaringan masyarakat lemah dan individualis, apa yang akan kau tuai? Badai yang sempurna.

CL: Apa yang semua orang tahu adalah hal-hal di headline, termasuk soal Brexit dan Donald Trump dan nasionalisme Hindu dan nasionalisme dimana-mana dan Le Pen; semua itu mulai memukul secara bersama dan menjadi fenomena dunia yang riil.

NC: itu sangat jelas, dan sudah terprediksi. Anda tidak tahu kapan, tapi ketika Anda menerapkan kebijakan sosioekonomis yang membuat kebuntuan atau kemunduran mayoritas dalam populasi, merusak demokrasi, menghilangakan pembuatan kebijakan dari tangan-tangan populer, Anda akan mendapatakan kemarahan, ketidakpuasan, dan ketakutan dalam segala macam bentuknya. Dan itulah fenomena yang sering salah disebut sebagai “populisme.”

170203133005-intv-amanpour-pankaj-mishra-age-of-anger-00000609-super-169

CL: Saya tidak tahu pendapat Anda soal Pankaj Mishra, tapi saya suka buku dia Age of Anger (Zaman Amarah), dan ia memulai dengan sebuah surat tanpa nama ke sebuah koran dari seseorang yang bilang, “Kita harus mengakui bahwa kita tidak hanya takut tapi juga bingung. Dunia tiba-tiba sulit dimengerti dan diperbaiki, lebih parah dari teror bangsa Vandal di Roma dan Afrika Utara.”

NC: Yah, itu bukan salah sistem informasi tentunya. Karena informasi sebenarnya sangat mudah dimengerti, sangat jelas, dan sangat sederhana. Contohnya Amerika Serikat, yang pada kenyataannya menderita paling sedikit dari kebijakan neoliberal dibanding negara lain. Lihat tahun 2007, tahun penting sebelum krisis ekonomi.

Ekonomi macam apa yang waktu itu diagung-agungkan? Itu adalah ekonomi dimana upah, upah nyata dari pekerja-pekerja Amerika, lebih rendah daripada tahun 1979, ketika periode neoliberal dimulai. Secara historis, hal ini tidak teramalkan kecuali dalam keadaan trauma politik atau perang atau semacamnya. Inilah periode dimana upah riil tiba-tiba terjun bebas, di saat dimana segelintir orang jadi kaya. Ini juga periode dimana institusi-institusi baru berkembang, institusi-institusi finansial. Anda kembali ke tahun 50 atau 60-an, masa keemasan itu, bank-bank terhubung dengan ekonomi riil. Itulah fungsi bank yang sebenarnya. Waktu itu juga tidak ada benturan karena adanya peraturan-peraturan untuk Perjanjian Baru keuangan.

Mulai awal tahun 70-an, ada perubahan tajam. Pertama, insitusi-institusi finansial membeludak. Tahun 2007 mereka memiliki 40% keuntungan korporat. Lebih jauh lagi, institusi-institusi ini tidak berhubungan dengan ekonomi nyata.

Di Eropa, demokrasi dirusak secara langsung. Kebijakan ditempatkan di troika yang tidak dipilih secara demokratis: Komisi Eropa, yang tidak dipilih; IMF, tentu tidak dipilih; dan Bank Sentral Eropa. Mereka membuat kebijakan. Jadi orang sangat marah, orang kehilangan kendali terhadap hidupnya sendiri.

Kita baru saja melihat dua minggu lalu di pemilihan umum Perancis. Dua kandidat datang dari luar lembaga politik. Partai politik tengah telah roboh. Kita melihatnya juga di pemilu Amerika November lalu. Ada dua kandidat yang memobilisasi basis, salah satunya milyuner yang membenci kelembagaan, kandidat Republikan yang memenangkan nominasi–tapi lihatlah begitu ia berkuasa, kelembagaan lama-lah yang mengambil kendali semuanya. Anda bisa melawan Goldman Sachs pada masa kampanye, tapi Anda jugalah yang memastikan mereka mengendalikan ekonomi ketika Anda terpilih.

CL: Jadi pertanyaannya, di saat dimana orang-orang hampir siap…ketika mereka siap untuk bertindak dan menyadari bahwa permainan ini tak bekerja, sistem sosial ini, apakah kita punya kelebihan sebagai satu spesies untuk bertindak, untuk maju ke zona teka-teki itu lalu mengambil aksi?

NC: Saya pikir takdir spesies kita bergantung pada itu, karena, ingat, ini bukan hanya soal ketidaksetaraan, kebuntuan. Ini soal bencana parah. Kita telah membentuk badai sempurna. Badai itulah yang seharusnya ada di headline-headline berita setiap hari. Sejak Perang Dunia ke dua, kita menciptakan dua cara kehancuran. Sejak era neoliberal kita menghancurkan cara menanggulanginya. Itulah masalah kita, Itulah yang kita hadapi, dan jika masalah itu tidak bisa diselesaikan, habislah kita.

 

Bersambung ke Part III

Anthropology, Filsafat, Kurasi/Kritik, Politik, Racauan

Noam Chomsky: Neoliberalisme Menghancurkan Demokrasi Kita (Part I)

Bagaimana Elit Politik dari kedua sisi spektrum politik telah merusak persamaan sosial, politik, dan lingkungan kita.

Wawancara ini diambil dari Open Source with Christopher Lydon, program mingguan tentang seni, ide, dan politik. Dengarkan keseluruhan wawancara di sini.

Oleh Christopher Lydon, 2 Juni 2017
Diterjemahkan tanpa izin oleh Nosa Normanda, dari thenation.com

 

Selama 50 tahun, Noam Chomsky telah menjadi Socrates-nya Amerika, mewabahi publik dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyengat. Ia bicara tidak kepada penduduk Athena, tapi kepada desa-desa global yang menderita, dan sekarang, sepertinya, dalam bahaya.

Dunia bermasalah hari ini masih mengetuk pintu Noam Chomsky, karena ia sudah lama memperingatkan akan datangnya angin topan. Dunia tidak tahu apa yang harus dilakukan, ketika Chomsky memperingatkan mereka bahwa bencana sedang mereka buat. Ingatlah ketika Chomsky membantai argumen William F. Buckley Jr., pembawa acara TV terkenal di Amerika, soal perang Vietnam di tahun 1969.

Ada hal aneh soal Noam Chomsky: The New York Times menyebutnya “bisa jadi” pemikir publik terpenting hari ini, walau koran itu jarang mengutipnya, atau berdebat dengannya, apalagi bintang-bintang media populer di televisi jaringan. Namun Chomsky tetap mendunia dan dirujuk di usianya yang ke 89 ini: ia adalah ilmuan yang mengajarkan kita untuk berpikir soal bahasa manusia sebagai sesuatu yang terpatri secara biologis, dan bukan akuisisi sosial; ia adalah humanis yang berdemo melawan Perang Vietnam dan memproyeksikan sisi lain kekuatan Amerika, awalnya atas dasar moral dan lama kelamaan untuk pertimbangan praktis. Ia menjadi rock star di kampus-kampus, di Amerika atau di luar negeri, dan ia menjadi semacam Bintang Utara untuk generasi pasca Occupy Wallstreet yang menolak kekalahan Bernie Sanders. 

Sayangnya, Chomsky tetap terasing di dunia dimana kebijakan dibuat. Tapi di markasnya, di Massachusetts Institute of Technology (MIT), ia tetap seorang profesor tua yang terkenal, yang dengan mudah dihubungi, menjawab email, dan menerima pengunjung seperti kami dengan ramah.

Minggu lalu, kami mengunjungi Chomksy dengan sebuah misi pikiran terbuka: Kami mencari pendapat yang tidak umum tentang sejarah terbaru kita, dari seseorang yang terkenal jujur. Kami bersurel-surelan padanya, dan bilang kami ingin tahu bagaimana ia berpikir, bukan apa yang ia pikirkan. Ia membalas surel kami dengan bilang ia bekerja keras dan membuka pikirannya, dan menerapkan, dalam kata-katanya sendiri, “Kemauan gaya Socrates untuk mempertanyakan apakah doktrin konvensional yang diterapkan cukup adil.”

Christopher Lydon: Kami hanya ingin Anda menjelaskan, sedang dimana peradaban kita hari ini–

Noam Chomsky: Gampang itu.

CL: [Tertawa]—Ketika banyak orang ada di tepian sesuatu, sesuatu yang bersejarah. Adakah ringkasan Anda mengenai semua ini?

NC: Ringkasan singkat?

CL: Ya.

NC: Ringkasan singkat saya pikir bisa dimulai ketika kita melihat sejarah baru-baru ini di Perang Dunia Ke-II, sesuatu yang mengagumkan telah terjadi. Pertama, kecerdasan manusia menciptakan dua palu godam raksasa yang dapat menghancurkan keberadaan kita–atau paling tidak keberadan kita yang terstruktur ini—keduanya berasal dari PD II. Salah satunya cukup mudah dikenali. Bahkan keduanya hari ini mudah dikenali. PD II berakhir dengan penggunaan senjata nuklir. Langsung jelas pada tanggal 6 Agustus, 1945, hari yang sangat saya ingat. Jelas bahwa teknologi akan berkembang ke titik dimana ia akan menjadi bencana mutakhir. Para Ilmuan sudah pasti mengerti ini.

 

Tahun 1947, Bulletin of Atomic Scientists meresmikan Jam Kiamatnya yang terkenal. [Jam kiamat adalah sebuah jam simbolik yang maju mundur menuju kiamat, kiamat adalah tengah malam. Ia meramalkan setiap kemungkinan bencana global dari nuklir, perang antar agama, hingga pemanasan global; sifatnya fluktuatif]. Kamu tahu, seberapa dekat jarum menitnya ke tengah malam? Dan itu dimulai tujuh menit sebelum tengah malam. Tahun 1953, ia dua menit ke tengah malam [menjelang perang nuklir]. Itu adalah tahun dimana Amerika Serikat dan Uni Soviet meledakan bom-bom hidrogen mereka. Tapi kini kita mengerti bahwa di akhr PD II dunia juga memasuki kisah epik geologis yang baru. Epik itu dinamakan Anthropocene, kisah dimana manusia menjadi sebuah perusak atau bencana terhadap lingkungan. Maju lagi ke tahun 2015, lagi di tahun 2016. Langsung setelah pemilihan Trump di akhir Januari tahun ini, jam nya bergerak lagi ke dua setengah menit ke tengah malam, ini yang terdekat sejak tahun ’53.

Jadi ada dua ancaman eksistensial yang kita ciptakan–yang satu kemungkinan perang nuklir menyapu kita semua; dan satu lagi bencana lingkungan hidup, menciptakan akibat parah–lalu ada lagi ancaman lain muncul.

Ancaman ketiga terjadi. Dimulai sekitar tahun 70an, kecerdasan manusia didedikasikan sepenuhnya untuk memusnahkan, atau melemahkan, halangan utama yang bisa menangani dua bencana sebelumnya. Mereka menambah masalah dengan menciptakan neoliberalisme. Ada transisi pada saat itu dari periode yang banyak orang sebut “kapitalisme ter-regimen,” di tahun 50 dan 60-an, periode pertumbuhan besar, pertumbuhan egalitarian, banyak kemajuan di keadilan sosial dan sebagainya–

CL: Sosial Demokrasi…

NC: Ya, sosial demokrasi. Itu juga kadang disebut, “masa keemasan kapitalisme modern.” Itulah yang mengubah tahun 70-an dengan cara pikir era neoliberal yang sampai sekarang kita hidupi. Dan jika Anda tanya diri sendiri, era apakah ini, prinsip utamanya adalah era dimana terjadi pengrusakan mekanisme solidaritas sosial dan dukungan sesama dan keterlibatan populer dalam menentukan kebijakan.

Tapi era ini tidak pernah menyebut dirinya demikian. Apa yang hari ini disebut “kebebasan,” arti sebenarnya adalah manut pada kuasa yang terpusat, tak bertanggung jawab, dan swasta. Itulah arti sebenarnya. Intitusi pemerintahan [demokratis]–atau asosiasi-asosiasi lain yang memperbolehkan masyarakat terlibat dalam pembuatan kebijakan–secara sistematis dilemahkan. Margaret Thatcher mengatakannya dengan gamblang ketika bilang, “tidak ada masyarakat, yang ada hanya individu-individu.”

 

Bersambung ke part II.