Kontributor, Moral Bengkok, Prosa

Simbok

Semua orang yang tinggal di Jalan Kaki Lima, Desa Sukasari, Kecamatan Setiabudi, memanggil penjual nasi uduk/kunung di depan pos kamling dengan sebutan ‘Simbok’. Nama panggilan tersebut telah begitu saja menjadi identitasnya sehingga semua orang tak sadar bahwa itu bukan nama aslinya. Bahkan Pak RT saja, orang yang mengurus dokumen kepindahan Simbok dua tahun lalu, lupa bahwa Simbok punya nama asli. Simbok, bagaimanapun, tak keberatan dipanggil apa pun selama kehidupannya damai sentosa.

Selain menjual nasi uduk/kuning standard berisi tempe orek, telur dadar suwir dan bihun, Simbok juga menjual lauk lain. Seperti, telur rebus dan tongkol balado, serta ayam kecap dan ayam sambal padang. Gerainya di depan pos kamling sederhana, yaitu hanya terdiri dari meja untuk menaruh wadah lauk dan kursi untuk menaruh termos nasi. Jam buka gerai dimulai dari pukul 6 lewat sedikit sampai pukul 8.30. Tapi, jika kau baru datang pada pukul 8, kau mungkin hanya bisa membeli sisa lauknya atau bahkan sudah kehabisan kalau kau sedang kurang beruntung.

Warung Simbok begitu laris. Bukan hanya karena rasanya enak, tapi harganya juga murah meriah serta porsinya besar. Sungguh surga, terutama bagi para pemuda-pemudi indekos yang banyak tinggal di daerah itu. Sekarang tahun 2017, tapi dengan harga 6 ribu rupiah kau sudah bisa menambah satu butir telur atau ikan tongkol balado ke dalam nasi udukmu. Jika kau membeli seharga 8 ribu, kau bisa menambahnya lagi dengan satu ayam, atau dua jika hanya ayam yang kau beli.

Semua orang yang baru pertama kali makan di warung Simbok terkejut mengetahui harga dan melihat betapa dermawannya porsi nasi uduk/kuning yang mereka terima. Beberapa orang khawatir kalau-kalau Simbok tak akan dapat untung. Meskipun ukuran paha dan sayap ayam Simbok terbilang kecil, penjual lain menghargai sebungkus nasi uduk berisi tempe orek/bihun/telur suwir dan telur balado mereka minimal 8 ribu. Saking terlalu murahnya, ada juga yang mempertanyakan kwalitas ayam yang Simbok gunakan. Meski begitu, investigasi lebih lanjut tak dilakukan. Pembeli yang merasa sangsi itu pernah menemukan sehelai rambut di ayam kecap Simbok. Ia simpulkan, kurangnya kebersihan adalah penyebab harganya yang murah. Dan selayaknya penghuni indekos bokek, ia tak keberatan karena toh ia bisa membuang rambut itu.

Rumah Simbok berada di Gang Hamsad I yang ada di sebrang pos kamling. Letaknya tak terlalu dalam, mungkin hanya 80 meter dari pintu gang. Karena itu, ia tak kesulitan meskipun setiap pagi bulak-balik membawa dagangannya ke depan pos kamling sendirian.

Aktivitas Simbok pada umumnya adalah pergi ke pasar pukul 19.00 dan kembali ke rumahnya pada pukul 21.30. Kemudian, ia mencuci bersih ayam, merebus telur sambil menyiapkan bumbu, setelah itu mencuci muka, berganti pakaian, dan tidur. Pukul 2.30, ia bangun dan mulai memasak. Lalu, ia pergi ke pos kamling pada pukul 5.40, memasang gerai dan menata dagangannya. Ia akan pulang ke rumahnya pukul 9.00 setelah membenahi kembali gerainya dan menyapu jalan tempatnya berjualan. Selain saat berdagang dan belanja ke pasar, Simbok selalu berada di dalam rumahnya dan hanya sesekali terlihat saat menyapu di teras.

Apa saja kegiatan Simbok di rumahnya? Biasanya, ia akan menghabiskan waktunya menonton televisi di sofa sampai ketiduran. Atau lebih tepatnya, tiduran di sofa dengan televisi menyala. Tapi, tiga bulan lalu ia mulai terobsesi dengan drama Korea setelah berkenalan dengan seorang mahasiswa yang tinggal di kosan sebrang rumahnya. Sejak saat itu, waktu bersantainya pun jadi terasa lebih hidup dan mendebarkan. Ia bahkan membeli sebuah laptop untuk mendukung hobi barunya. Mahasiswa itu yang juga membantu memilihkannya.

Drama Korea pertama Simbok adalah The Heirs, dan ia segera jatuh hati pada Lee Min-ho karenanya. Baru-baru ini, ia mengubah meja konsul di dalam kamarnya menjadi altar berisi foto-foto aktor muda tampan itu. Sudah ada lima judul drama Korea yang ia selesaikan. Minggu ini, ia sedang dalam proses menonton yang keenam, drama berjudul Goblin.

Drama Korea jelas berpengaruh pada kesejahterasaan batinnya. Khususnya hari ini, mood Simbok yang baik membuat ia memberi ekstra ayam pada setiap orang yang belanja sebanyak sepuluh ribu. Mereka mungkin bisa menyisihkan sebagian lauknya untuk makan siang. Jualannya pun habis sebelum pukul 8.30. Tapi, saat Simbok sedang berbenah, seorang perempuan paro baya datang. Seketika mata mereka bertemu, Simbok membeku dan di wajahnya muncul kengerian.


Tatapan perempuan paro baya itu kejam, dan caciannya untuk Simbok seperti udara dingin yang menusuk. Simbok masih hanya diam seperti orang yang nyawanya menghilang, tapi keributan yang perempuan paro baya itu buat menarik perhatian orang-orang di sekitar. Tak butuh waktu lama hingga orang-orang mulai berkumpul untuk menonton mereka.


Ada yang berusaha menghentikan perempuan tak dikenal itu, tak tega melihat Simbok yang tubuhnya seperti tiba-tiba menyusut menyedihkan. Tapi, pada akhirnya mereka tak bisa berbuat apa-apa.


“Kalian harus tahu dari siapa kalian membeli sarapan kalian! Dia pembunuh! Dia membunuh anak dan suaminya sendiri!”


Pengumuman mengejutkan itu mengubah suasana menjadi canggung. Keheningan mencekam pun perlahan menelusup. Kini semua mata tertuju pada Simbok. Ada yang menatapnya takut dan curiga, tapi ada juga yang hanya ingin tahu. Mungkin tak ingin cepat-cepat menghakimi.


Simbok masih bungkam, tapi matanya yang beberapa detik lalu tanpa kehidupan tiba-tiba berkilat ngeri, diikuti dengan sebuah senyum aneh yang muncul di wajahnya. Pemandangan yang membuat bulu kuduk berdiri dan membawa keresahan di hati.

“Kau pikir kau bisa hidup damai dan memulai kembali? Apa yang membuatmu berpikir kau pantas?”
Suara tajam perempuan itu yang akhirnya memecah keheningan. Ia tampaknya belum puas meluapkan perasaannya dan tak menunjukan tanda-tanda akan segera berhenti. Tapi, seseorang yang bukan penduduk setempat menyelinap di antara kerumunan dan menariknya pergi. Tentu saja perempuan itu berontak. Sekuat tenaga ia mencoba melepaskan diri sambil tak henti-hentinya meneriaki lelaki yang menyeretnya.

Sepuluh menit kemudian, dua orang asing itu pergi, meninggalkan warga dengan mulut ternganga. Sementara itu, Simbok mulai kembali pada pekerjaannya yang tertunda. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya, serta tak sekalipun ia membalas tatapan ingin tahu orang-orang. Ia bersikap seolah tak ada yang terjadi. Tapi, keesokan harinya Simbok tak muncul untuk berjualan. Pun di hari berikutnya dan berikutnya.
Di belakang Simbok, tak hanya keributan tempo hari yang jadi topik pembicaraan, tapi rumor mengenai dirinya yang ternyata mantan narapidana pun mulai menyebar seperti wabah.

Rupanya, bertahun-tahun lalu ia sungguh membunuh dua anaknya yang masih balita. Simbok tak membunuh suaminya seperti yang dikatakan perempuan itu, tapi suaminya mati bunuh diri.
Simbok membayar kejahatannya di dalam penjara dalam waktu lama. Lima tahun lalu, ia akhirnya bebas. Meski begitu, dendam masa lalu tak mau melepas ia begitu saja. Perempuan yang tempo hari datang adalah adik suaminya, orang yang tak akan pernah memaafkannya.


Menurut desas-desus, Simbok kehilangan akal setelah mengetahui suaminya selingkuh. Ia lantas membunuh anak-anaknya untuk menghukum suaminya. Ia sudah mencoba bunuh diri untuk menyusul anak-anaknya, tapi gagal. Gosip lain mengatakan, Simbok bergabung dengan sebuah sekte sesat yang memuja setan, dan ia memberikan anak-anaknya sebagai persembahan. Gosip lainnya, kehidupan sebagai ibu rumah tangga yang mendorong Simbok pada kegilaan. Apa pun alasannya, membunuh anak sendiri tetap keji.
Simbok bukannya tak mengetahui itu. Hanya saja, keseruan drama Korea yang dua bulan belakangan menghiburnya membuat ia lupa akan siapa dirinya.

Tapi, di dalam kegelapan kamarnya yang sudah beberapa hari ini tak ia tinggalkan, ia kembali ingat. Apa yang dulu terjadi bermain di dalam kepalanya seperti film yang pemeran utamanya adalah dirinya.
Sambil menonton dirinya sendiri, Simbok menatap wajah Lee Min-ho di altar, yang ketampanannya telah menghipnotis dan menjadikannya tak tahu malu. Simbok pun bangkit dan berjalan mendekati altar. Setelah tersenyum pada Lee Min-ho, ia membuka lemari pakaian dan mengambil sebuah kain. Ia lantas menarik kursi, mengikat salah satu ujung kain pada pipa gantung bekas menghubungkan kipas angin ke plafon, lalu mengikatkan ujung lainnya sehingga membentuk celah yang cukup untuk kepalanya masuk.

Ia berpikir, apa yang selanjutnya mesti ia lakukan? Mungkin sudah saatnya ia pindah tempat tinggal lagi sebagaimana yang biasa ia lakukan setiap kali ia ditemukan oleh mantan adik iparnya. Tapi, orang sepertinya memang tak pantas memulai kehidupan baru. Kalau begitu, daripada susah payah melarikan diri, bukankah lebih baik sekalian saja ia pergi meninggalkan dunia?

Dari sudut matanya, Simbok bisa melihat senyum Lee Min-ho yang memesona. Dengan senyum di wajah, ia pun menendang kursi tempatnya berpijak.


Sakit yang tak tertahankan membuat tangan Simbok susah payah mencari pegangan untuk hidup. Sudah jadi insting manusia untuk menyelamatkan diri saat berhadapan dengan kematian sekalipun itu adalah pilihannya sendiri. Tapi, ia sudah kepalang menyebrangi jembatan maut. Ia tak bisa kembali.

Tok. Tok. Tok.

“Mbok?”
Di tengah pergulatannya dengan maut, tiba-tiba Simbok mendengar pintu rumahnya diketuk. Ia masih dapat mengenali suara yang memanggilnya itu. Itu milik mahasiswa yang mengenalkannya drama Korea. Mungkin ia datang untuk memberikan drama baru.

Tok. Tok.

“Simbok? Mbok ada di dalam?”

Simbok mulai merasa seolah ia sedang melayang, dan suara di depan rumahnya terdengar makin jauh. Saat Simbok merasa tubuhnya makin ringan dan yakin ia sudah sampai pada kematian, tiba-tiba ia terlempar ke lantai.

BUK!

Kain yang menggantungnya terlepas dari pipa, mengalirkan udara ke dalam dadanya yang beberapa detik lalu hampir meledak.

Sesaat setelah Simbok jatuh, pintu digedor.

Duk. Duk. Duk.
“Mbok? Simbok?!”
Duk. Duk. Duk.
“Mbok baik-baik saja?! Mbok!”

Simbok yang terkulai di lantai dengan nafas tersengal dan batuk di sela-selanya, terlalu lemah untuk dapat menjawab.
Air mengalir dari sudut matanya dan perasaan malu menyeruak di dalam hatinya. Diam-diam ia bersyukur telah gagal mati.

***

Terima kasih sudah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan sumbangan. Jika kamu suka yang kamu baca dan ingin mendukung penulisnya atau website ini silahkan di share. Jika kamu ingin membantu patungan bayar domain dan server website ini, silahkan klik tombol traktir kopi di bawah ini.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.